Senin, 28 Maret 2022

DUNG TANG

Kau tahu masa itu sungguh tak ingin nenek lalui lagi. Masa yang membuat nenek tak lagi bisa tidur nyenyak. Kalaupun bisa tidur mimpi-mimpi kerap menjadi lebih nyata dari sebelum-belumnya. Ia seperti mata pedang yang akan menebas siapa yang tak bisa mencegah mimpi buruk. Entah sampai kapan nenek bisa melupakan yang mencekam itu. Bahkan kakekmu itu juga sering menutup pintu rumah ketika suara kodok masih asik bernyanyi. Kakemu menjadi lebih pendiam ketika senja sudah mulai melebarkan sayapnya. Ia membetulkan letak pandangan dan menajamkan pendengaran pada tahap yang melelahkan. Ia tak berguling ke kiri atau ke kanan ketika orang-orang mendengkur dan menyerahkan semua keselamatan pada selimut malam.

Hari itu tiba, siang yang tenang berubah menjadi kegaduhan bercampur kepanikan. Pesawat-pesawat tempur Jepang itu telah menyita sebagian hidup nenek. Padahal sebelumnya raksasa berkulit putih itu sering membiarkan kami untuk merekayasa hidup kami, meski mereka juga tak sama dengan tentara Jepang. Mungkin mereka sedang tak lagi punya uang saku sekedar untuk pergi berjalan-jalan, atau ransuman telah menyita akal sehatnya.

Kami beragam usia bersembunyi dalam lubang-lubang yang kami gali sendiri, masih menutupi kepala mereka dengan daun pisang, semak, bahkan tampah lebar untuk menjemur lada-lada beralih fungsi. Setelah sirene (Dung Tang) dari pesawat hilang, kami mendapati bumbu-bumbu dapur tiba-tiba raib, bahan pokok sebagian lenyap, dan meninggalkan beras-beras berkutu.

Betapa bodohnya kami-kami ini, termasuk nenek. Kau tak perlu mengikuti jejak kami semua. Kau bisa mengubah sendiri nasibmu. Karena pesawat tempur itu kini banyak parkir dan jarang terbang. Sebagiannya bahkan mejeng di museum.

0 Comments:

Posting Komentar