Rabu, 14 Desember 2022

episode 1

Aku tersenyum.

"Bagaimana kabar Intan."

"Masih sama bang."

Bus Dony Jaya berhenti di depan sekolahku,  MAN I Idolaku. Sebelum turun aku sempatkan untuk tersenyum pada kursi yang selalu didudukinya. Yang duduk di sana, Intan. Teman esempe. Ia gila, tepatnya dibuat gila. Orang-orang tua menuduh para jurik sebagai biang kerok atas tragedi yang menimpanya. Tetapi hanya omongan sampah yang tak perlu kalian dengarkan. Aku punya alasan sendiri, tetapi kerap kali kusimpan. Satu kali mengutarakan kepada orang-orang tua itu, aku dianggapnya gila puluhan kali. 

"Ben!"

"Ya Bang?" rupanya ia memergoki mematung. Lelaki dewasa yang menggotong jasad kakak Intan dengan batok kepala remuk. Sementara darah terus merembes membasahi bajunya dan tanganku. Sejak saat itu Intan tak lagi sama.  

Sebelum turun, bang Zoro memberikanku sebuah kalung unik berbahan kayu. Ia bilang kalau kalung tersebut tergantung di dinding gudang rumahnya sejak ia masih kecil. Kedua orang tuanya telah lupa asal muasal kalung itu.

"Salam buat pamanmu."

"OK bang?"

 

"Sepertinya kau salah seragam? Ucap seorang gadis yang tak ingin kukenal.

Tubuhku meredup dan terasa dingin. Gerbang utama sekolah terkunci rapat. Pak Taro berdiri menantang. Tangannya kebelakang menelangkup. Seperti menggendong mahluk ganjil. Ia terlihat sinis. Tatapannya tajam menusuk. Melingkar di jari tengahnya cincin batu akik asli bandar klawing Purbalingga. Jari jempolnya besar berlemak. 

"Sampai kapan kau akan begini Ben!, terlambat terus."

"Maaf Pak."

Gadis itu tertawa. Baru ini kulihat. Sambil membetulkan tas gendongnya, ia melirikku seperti silet. Gerak-geriknya terlihat berbeda. Atau terlalu pede. Sepatunya keren berlogo terkenal. Terlalu bersih untuk ukuran umum anak MAN Idolaku. Kulitnya seperti tak pernah tergarang matahari.

 

Aku berdiri di halaman sekolah. Bendera merah putih berkibar sambil memeluk tiang. Kami berdua menaikkan tangan setinggi telinga (memberi hormat). Diam-diam ku kenakan kalung pemberian bang Zoro dan menyembunyikannya di balik kerah baju. Razia kelas bisa merebut paksa tanpa pernah kembali.

"Saya Kiera, kamu?" 

Aku diam saja.

"Saya pikir kita seumuran," ucapnya tersenyum. Bahasa Indonesia terdengar enak, bukan logat banyumasan. Ini mengingatkanku pada penyiar SBS, radionya wong Purbalingga, Tias Amalia.
Sejam kemudian, Pak Taro datang.

"Tugas kamu sekarang, bersihkan toilet kelas 2, setelah itu masukan kotoran kambing kedalam karung."

Kuanggukan kepala ke atas dan ke bawah.

"Kau anak baru, siapa namanya."

"Kiera Pak."

"Pindahan dari mana?" 

"SMA 108 Jakarta."

"Ok, silahkan masuk, kepala sekolah sudah menunggumu."

"Kok nggak ikutan dihukum Pak!" 

"Diam!"

Kiera menurunkan tangannya, lalu ia masuk ruang kepala sekolah, setelah sebelumnya meledekku terus tanpa henti.

"Siapa suruh turunkan tanganmu. Naikkan lagi setinggi telinga Ben!,"

Aku masih berdiri kaku menatap rumput halaman sekolah, coklat. Menanti putusan waktu. Sempat ku berpikir membenturkan kepala ke dinding lalu terbangun di hutan terlarang sabuk yang berisi tali-tali bekas bunuh diri. Apakah itu mungkin? atau Mengajak Intan sambil memakan ruas-ruas tebu. Lalu menebak jenis capung sambil memperhatikan langkah kaki di atas pematang sawah.

Kucari tempat aman untuk meletakkan pakaian dan sepatu. Setelah satu karung beribil dan kotoran lainnya berhasil kumasukan. Lalu berganti dengan celana pendek dan kaos oblong gelap. Aku hanya bersikap waspada pada anak yang terobsesi pada film Jaka Tarub. Bisa saja aku mencari baju seragam dari kelas ke kelas dengan koboi kalah.

Bahuku ditepuk agak keras. Pak Taro muncul tanpa suara. Aku sudah kembali rapih, baju atas ku masukan ke dalam celana dan membiarkannya tanpa ikat pinggang. Ia menatap kesal.

"Ben."

"Ya Pak."

"Kau harus mengantar undangan Pensi ini ke ponpes Candi Nata, kau bisa menggantikan Bapak," ucapanya pelan.

"Kenapa saya pak,"

"Pakai nanya!, ini hukumanmu karena telah  99 kali terlambat!"

"Boleh bawa teman-teman Pak."

"Terserah kau sajalah."  


Ini malam jumat. Malam yang rutin kumengunjungi rumah Intan. Tepatnya sebuah kebun dengan kurungan besar mengelilinginya. Kau bisa menyebutnya sebagai kandang burung kasuari atau semacamnya. Dengan resiko baju koyak, cakaran, bahkan sesekali kematian. Seperti lelaki keparat yang menyebut sebagai orang "kemanusiaan" tetapi mengingini yang lebih lebih dari seorang gadis. 

Seperti yang sudah-sudah. Aku memberanikan diri, meski oleh-oleh di tubuhku sudah seperti panu, ada dimana-mana. Yang paling parah adalah mata hampir buta. Tapi, ada kelegaan tiap selesai berkunjung. 

Kudapati ia sudah bertengger di atas pohon jambu. Seperti monyet besar-maaf. Ia menyeringai, kuanggap sebagai senyuman. Lalu turun cepat-cepat. Hingga merontokkan sebagian jambu merah yang ranum itu. Aku ingin mengambil jambu-jambu yang jatuh itu, tetapi jarak adalah pilihan terbaik. 

Ia naik lagi, tapi tak terlalu tinggi. Ia terlihat menjaga jarak. 

"Hari ini kubawakan sesuatu untukmu lihatlah, kau pasti akan menyukai." Ia naik ke batang lain lagi. Aku ingin menyusul, tetapi ia bisa jadi lebih buas. Entah Iblis macam apa yang telah membuatnya wajahnya telah hilang manisnya. 

"Hemmm!" 

Aku meletakkan batang coklat di bawah pohon dan meninggalkannya. Senter yang telah kupersiapkan, rupanya tak membantu apapun. Aku seperti bicara pada gagak besar yang rakus.  



0 Comments:

Posting Komentar