Jumat, 04 Juli 2014

Pagi di Purbalingga

BAB
Tiga


Sebulan ini Marko bekerja begitu semangat. Energinya berlipat ganda manakala bayangan pernikahan tinggal menunggu hari. Nara menjadi motivasi kuat pada diri Marko.

Marko pamit kepada mandor dan beberapa temannya. Narman dan Marko pulang satu arah, dan tetangga rumah. Tetapi, soal prinsip hidup sangat berbeda dengan Marko. Marko akan di beri kabar ketika proyek kembali ada proyek Langsung Mandor datang ke rumah atau kabar dari salah seorang teman.

Marko memasuki Alun-Alun Purbalingga bersamaan dengan azan asar berkumandang. Sepeda yang dikendarai Marko tampak oleng. Ternyata bannya bocor. Tepat di gerbang penjara Purbalingga. Marko menuntun sepedanya ke bengkel terdekat. Rezekinya tukang tambal ban. Pikir Marko. Gondok memang. Tetapi, semuanya sudah terjadi.Rumusnya: siap dengan hal yang kita sukai, dan siap dengan hal yang tidak kita sukai.

Penjara itu tampak misterius. Temboknya yang menjulang tinggi keatas. Sebuah mitos mengatakan kalau di dalam penjara ada kastil besar. Selain itu kerap terdengar suara aneh yang muncul dari dalam tanah. Apakah Jin Iprit yang sedang mengatur pasukan atau transaksi ilegal sedang terjadi.

Pemilik bengkel sepede itu seorang lelaki tua sekitar 50 tahun. Tubuhnya kekar. Sorot matanya tajam, dan gerak geriknya terlatih.

“ Ban sepeda saya kempes, bisa di tambal Pak?.” Kata Marko ringkas.

Pak tua mengangguk. Sorot matanya menakutkan. Aneh, Pak tua itu menambal ban sepedanya dengan tergesa-gesa. Marko agak ragu dengan pekerjaannya.

20 menit kemudian Pak tua selesai menambal ban sepeda. Di usianya yang tak muda lagi, lengannya masih berotot. Tanpa bantuan kacamata. Kedua kakinya memakai sepatu cats terawat. Sebuah Tato burung gagak terlihat pada pergelengan tangan ketika menyerahkan sepedanya kepada Marko. Marko ucapkan terimakasih dan pergi cepat-cepat pergi. Pak Tua itu, Tak begitu senang ketika Marko menatap terus tato Pak tua itu. Sementara Narman telah lama mendahuluinya, Farah yang ingin di tujunya setelah sampai di rumah. Hingga Ia menolak ajakan Marko untuk istirahat di bengkel Pak tua sejenak. 

Pukul sembilan malam Marko sampai di desa Kesamen. Setelah melintasi hutan bambu dan menuntun sepedanya di atas jembatan bambu.Marko seperti koboi kemalaman. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Sepeda wangkring menyusuri jalanan setapak yang diapit oleh pohon singkong dan umbi-umbian. Nyanyian hewan malam terdengar jelas.

Sampai di halaman rumah, terlihat cahaya dari lampu teplok keluar dari celah-celah pagar bambu. Marko menarik nafas dalam-dalam setiap ingin mengetuk pintu. Kedua adiknya yang membukakan pintu di dampingi seorang Ibu yang tersenyum. Marko mengulurkan kantung plastik berisi jagung bakar yang dibelinya ketika memasuki desa Kesamen. Tiky dan Wiro langsung membuka dan makan dengan lahap. Selama Marko bekerja di Desa Kalimanah, Wiro menggantikan posisi sebagai kepala rumah tangga. Marko mencium punggung Ibunya, lalu beralih kepada kedua adiknya yang heboh dari tadi. Mereka adalah warna pada kehidupan Marko yang terus memberinya semangat.

0 Comments:

Posting Komentar