Senin, 07 Juli 2014

Pagi di Purbalingga

BAB
Empat


Kaligondang 1972

Pukul tiga pagi wib. Nara, gadis muda asal desa Kaligondang tengah duduk di pos ronda di tepi jalan. Amat ganjil. Kebiasaan tak lazim. Nara berharap tak bertemu dengan para maling yang tergopoh-gopoh menanggul barang curian. Dulu ia pernah berkelahi dengan seorang maling. Dari perkelahiannya Nara mendapat luka sobek di daerah betis.

Nara menunggu Ibu Kinarsih, Ibunya Marko. Sahabat seperjuangan dan calon mertua. seorang sahabat juga calon Ibu mertuanya. Ibu Kinarsih berusia 50 tahunan. Dari desa Kaligondang keduanya akan menempuh perjalanan menuju pasar Purbalingga selama satu jam.

Sebuah rinjing berisi dagangan tergolek di sampingnya. Suara kentongan bernada doro muluk terdengar saling bersahutan memecah keheningan. Nara merasa lega. Sandi kentongan menunjukkan kalau keadaannya aman. 

Nara mendongak ke atas. Ribuan bintang menempel di langit. Rembulan sempurna bertengger di langit sana.

Sebuah bayangan muncul dari arah lain. Ibu Kinarsih berjalan sambil memanggul rinjing besar. Sampai di pos ronda, keringat bercucuran. Nara membantu Ibu Kinarsih menurunkan rinjing besar berisi barang dagangan dan beristirahat sejenak.


“Bu, perjalanan aman."

“ Aman Na, tetapi saya khawatir, sekarang maling-maling sering berkeliaran."

Kokok ayam jantan terdengar.

“ Kita berangkat Bu?”, ajak Nara.

“ Baiklah?”. Sambut Ibu Kinarsih.

Keduanya beranjak dari tempat duduk dan berjalan menembus jalanan sepi dan mencekam. Cahaya rembulan mampu mengurangi gelapnya malam. Bintang dan binatang malam menjadi saksi atas keteguhan mereka menghadapi perjalanan hidup yang sulit.

Memasuki daerah Bleng. Mereka berdua harus menempuh jalan memanjang (bulak) yang di apit oleh hamparan sawah yang luas. Pohon-pohon besar tumbuh di sekelilingnya. Pedagang yang penakut tak sanggup melalui bulak ini. 

Nara terkejut melihat sebuah cahaya senter dari radius 30 puluh meter. Bayangan hitam itu rupanya maling bertopeng sarung sedang memanggul barang curiannya. Satu orang maling itu membawa pedang terhunus.

Sandi kentongan yang terdengar oleh mereka berdua menandakan kalau pencurian. Nara berhenti dan bersikap waspada.

" Bu, dengar kentongan barusan."

" Ya, tanda ada yang kecurian rumahnya. Gimana ini." Ibu Kinarsih merasa cemas.

Tak lama kemudian. Dari arah berlawanan muncul dua bayangan berjalan ke arah mereka. Mata Nara memandang tajam kearah dua bayangan itu.

" Kita sembunyi Bu, ada maling yang berjalan ke arah kita, Cepat!" Nara berbisik dan menuntun Ibu Kinarsih ke bawah pohon Cherry yang banyak tumbuh di sekitar sawah. Dahannya menjuntai ke bawah tepat di pematang sawah. Mereka sembunyi sambil jongkok menahan beban rinjing besar berisi dagangan di punggungnya.

Salah satu dari maling itu melihat bayangan Ibu Kinarsih dan Nara.

Kang..., kayane ana wong mau pada nggawa rinjing neng bulak!, ndeleng dewek nggawa barang. Neng galengan aku weruh pada umpetan."

(Kang, sepertinya ada orang lagi bawa rinjing di bulak!, lihat sendiri bawa barang di pematang sawah. Aku lihat pada sembunyi)

Wis ora usah di urusi, malah mengko ana wong, urusane bisa kacau. ” Salah seorang maling mencoba melarang kawannya agar meneruskan perjalanannya saja, tetapi tidak di gubris.

(Sudah tak perlu cemas, nanti malah ada orang, urusannya bisa kacau)

Salah seorang maling itu dengan senter mencari mereka, nasihat temannya tak di hiraukan. Ibu Kinarsih panik dan berekeringat dingin. Nara mulai berpikir keras agar bisa selamat dari bahaya yang mengancam.

Nara membuka konde dan membiarkan rambut panjangnya tergerai. Kemudian tanpa berpikir lagi ,Nara mengambil lumpur yang ada di pinggiran sawah dan membaluri wajahnya hingga tampak menyeramkan. Rambutnya di acak-acak hingga mirip kuntilanak.

Ketika cahaya senter dari sang maling mengenai wajah Nara. Tubuh maling itu mulai goyah. Ketakutan. Gemetar karena kaget sekaligus takut. Nara masih berdiri di pematang sawah dengan wajah menyeramkan menatap tajam sang maling.

“ Hi...hi...hi....!” Nara melengking lama sambil melotot.

“ Kuntilanaaaakkk! Teriak maling itu sambil ngbirit lari.

" Maling yang satunya bingung. Di pundaknya membawa hasil curian. Selain itu temannya sudah lari terbirit-birit meninggalkannya.

“Hiii-Hiii-Hiii.!” Nara mengikik sambil menyeringai kepada seorang maling yang masih bengong dan kaku.

“Kuntilanak...!, Teriak sang maling dan lari meninggalkan barang curiannya. Nara berhasil memerankan sebagai hantu pematang sawah.

Suasana hening. Ibu Kinarsih mendekati Nara.

"Suara kamu tadi serem banget. Maling-maling itu langsung lari.”

“ Bu, gimana barang-barang yang di curi oleh maling itu.

“ Biarkan saja." Jawab Bu Kinarsih.

Nara membersihkan wajahnya yang berlumpur dengan air yang mengalir di pinggir sawah. Lalu melanjutkan perjalanan. Tanpa terlihat, seorang laki-laki tengah mengintainya mereka dengan ketat.

0 Comments:

Posting Komentar