Selasa, 08 Juli 2014

GADIS MERAH SAGA

6


Nara berjalan pulang sehabis ngaji dengan gadis manis bernama Anismara yang sudah sejak kecil di kenalnya. Keduanya mengaji di Mushola yang letaknya cukup jauh dari rumah. Anis membawa senter untuk menerangi jalan-jalan yang gelap. Anis dari anak orang kaya, tetapi rumah tangganya di ambang kehancuran. Anis sering mengeluhkan hal ini kepada Nara. Cahaya senternya kelihatan seperti lampu sorot pada menara pengawas kapal-kapal besar. Setelah berpisah dari Anis karena rumahnya berlainan. Nara teringat akan janji Ibu Kinarsih yang akan berkunjung ke rumahnya. Tak terasa satu pekan sudah berlalu. Hati Nara dag-dig-dug setiap Ibu Kinarsih berkujung ke rumahnya.

Nara sudah sampai di depan rumah. Langkahnya terhenti sebentar, jantungnya berdebar-debar. Ia tak mengerti kenapa perasaannya begitu tegang dan sikapnya tiba-tiba gugup dan sedikit cemas. “Apakah gara-gara Aku di tuduh mengedarkan uang palsu atau ada hal lain yang lebih mengerikan yang akan terjadi.” Guman Nara akhir-akhir ini.

Ia berfikir sejenak. Berdiri mematung, seperti sedang bersemedi. “Ya Allah.... malam ini kan, Ibu Kinarsih kan mau berkunjung ke rumah. Kenapa saya jadi pikun begini, padahal baru saja memikirkan hal itu. Pertanda apakah ini?” Nara memukul jidatnya sendiri, kode bahwa ia memang di landa sifat pelupa akhir-akhir ini. Nara lupa kalau pekan ini Ibu Kinarsih akan bertamu ke rumahnya.



Ia mendengar di ruang tengah ada tamu yang sedang berbincang-bincang dengan Baroroh, Ibunya. Nara menghirup nafas senjenak, -walau sejak dalam rahim manusia sudah di beri nafas gratis- lalu mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

“ Assalamualaikum” ucap Nara.

“ Waalaikum salam” kompak mereka menjawab.

Lalu Nara masuk, tanpa berani menoleh ke arah tamu di tempat duduk paling sudut. Sepertinya radar kewanitaannya menangkap “seekor kumbang Jantan yang sedang mengawasinya.” Kedua matanya berhasil menangkap sesosok mahluk laki-laki di pojok sana. Ia tidak ingin kelihatan salah tingkah di hadapan “kumbang” yang sebentar lagi jadi suaminya.

Setelah mengangguk pelan-etika-, Nara buru-buru masuk ke kamar, sejenak tak perduli dengan kesenyapan yang tengah melanda ruang tamu untuk beberapa saat.

Baru duduk sebentar, Ibunya menghampirinya dengan wajah ceria tak seperti biasanya.

“Na..., kok malah masuk ke kamar.” Ibu Baroroh sepertinya sedang di liputi oleh hal-hal yang menyenangkan.

“ Kenapa sih Bu, kayannya lagi seneng banget, dapat duit banyak ya bu?” ledek Nara.

“ Itu ada Ibu Kinarsih, dan Mas Marko calon suamimu. Kamu tidak menemui barang sebentar, malah langsung masuk ke kamar. Temuin sana sebentar.”

“ Sudah Ibu saja yang nemenin mereka, saya masih malu Bu?” Nara beralasan.

“ Ngga, nyesel nih..., kamu tahu Ibu Kinarsih sekarang sama Marko yang gagah kaya Kaya Arjuna itu.” Ledek Ibunya.

“ Ibu ini..., ada-ada saja. Bu..., inget sama umur. Umur Ibu sekarang sudah kepala 4” Nara balas ngeles ngga mau kalah.

“ Na..., Ibu Kinarsih itu sudah saya anggap seperti keluarga. Ibu Kinarsih itu temen ibu sejak Ibu masih sibuk berdagang sejak ayah kamu meninggal.” Ibunya mulai melankolis.

“ Iyaaa bu..., Nara tahu. Terus apa saya harus menemui mereka. Nara masih malu bu,?. Rajuk Nara.

“ Sekali lagi, Ibu mohon sama kamu, temui mereka karena ada hal yang sangat penting. Kami berdua ingin menentukkan tanggal pernikahan kamu.” Ibunya berusaha menjelaskan dengan nada memaksa.

Nara menjadi kikuk setiap kali bertemu dengan Marko yang akan menjadai calon suaminya.

“ Udah..., temenin dulu mereka. Dari tadi Marko nanyain kamu terus lho Na” Ibunya berkata sambil menggandeng lengan Nara keluar dari kamar. Di ruang tamu Ibu Kinarsih dan keluarganya sudah menunggu.

“ Ihh Ibu ini suka ngeledek deh.” Nara berkata lirih sambil mengekor di belakang Ibunya yang sudah menggenggam tangan Nara yang mulai keringat dingin.

Nara duduk berhadapan dengan Ibu Kinarsih. Ia memilih duduk di dahapan Ibu Kinarsih agar tidak kelihatan canggung dan malu. Lalu bertegur sapa sebentar. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Ketika Nara menatap laki-laki di samping Ibu Kinarsih. Untuk beberapa detik kemudian, Nara seperti terhipnotis oleh laki-laki di depannya yang tak lain adalah Marko. Lelaki berwajah keras tapi tampan dari Desa Kesamen. Sementera Marko juga demikian, Marko melihat wajah Nara yang dewasa tapi Ayu. Marko untuk sesaat terpana, kedua mata Nara terselip bebatuan yang bercahaya.

“Ehhmmm!, Ibunya terpaksa melerai sejenak adegan yang melankolis itu.”

Nara dan Marko langsung tertunduk malu, dan berusaha mengendalikan rasa malu yang tertahan. Keduanya sedang menyelami rasa cinta. Sementara Paman Marko sudah mulai terbatuk-batuk. Batuk yang di buat untuk meledek Nara dan Marko. Kedua adik Marko, Tiky dan Wiro mulai cekikikan. Tetapan dari Ibunya membuat keduanya berhenti mengikik. Keduanya langsung pura-pura ingin mengambil gelas minuman padahal belum di suruh minuk oleh Ibu Baroroh, selaku tuan ruman. Keduanya mulai cengengesan melihat tatapan Ibunya. Tetapi Ibu Baroroh malah mempersilahkan keduanya agar ngga usah malu-malu. Ibu Kinarsih menghela nafas dan menggelengkan kepala beberapa kali mirip leher Hindustan.

Sejenak tak ada suara, bahkan suara jangkrik di luar sana terdengar jelas. Ibu Baroroh dapat menangkap gejala grogi anaknya maka ia tak membiarkan kekakuan untuk waktu yang lama.
“ Monggo, silahkan di minum?” Ibu Baroroh mengalihkan perhatian sejenak.

Satu persatu mereka menjatuhkan minuman ke dalam kerongkongan. Suasana sedikit mencair. Kecuali Tiky dan Wiro mereka malah sudah mencicipi hidangan yang tersedia. Nara masih di liputi oleh perasaan berdebar-debar dan gerak-geriknya mulai salang tingkah. Ia menangkap kalau dirinya memang sedang jadi pusat perhatian, terutama bagi laki-laki di samping Ibu Kinarsih.

“Na..., ini pertemuan kedua setelah acara lamara tiga bulan yang lalu. Rencana malam ini kami ingin membicarakan masalah tanggal pernikahan Marko dan kamu, bagaimana Baroroh.” Ibu Kinarsih mengawali pembicaraan.

“ Sebaiknya kita serahkan saja sama anak-anak biar mereka saja yang menentukkan.” Komentar Ibu Baroroh sambil memandang wajah anaknya dan Marko yang ganteng itu.

Laki-laki di depan Nara tersenyum, dan senyumnya itu telah membuat hati Nara makin kebat kebit seperti sate kepanasan.

Suasana mendadak hening sejenak, ketika Ibu Kinarsih menawarkan solusi kepada mereka berdua. Apalagi bagi Nara yang panas dingin setiap melihat wajah Marko di depannya. Marko memang ganteng, perpaduan antara wajah Silverster Stallon dan Jakcie Chan.

“Wah sudah besar rupanya kamu Ky, dulu pas ketemu Ibu di pasar kamu masih di gendong, sekarang sudah tumbuh jadi gadis yang cantik.” Puji Ibu Baroroh kepada Tiky yang duduk di sebelah Marko.

Ibu Kinarsih tahu betul kalau Marko dan Nara sedang mati gaya sehingga Ibu Kinarsih mengalihkan sejenak keadaan yang menggelikan itu.

“ Yang satu lagi namanya siapa Mba Kinarsih saya lupa.” Kembali Ibu Baroroh komentar.

“ Oh ini Wiro namanya, Jawab Ibu Kinarsih sambil tersenyum, sesekali matanya melirik kepada Marko yang tengah terdiam seperti melihat mayat gantung diri di bawah pohon Rambutan.

Suasana hening. “Monggo di tambah lagi minumnya.” Ibu Baroroh tak ingin sahabat di depannya kelihatan canggung. Baginya Ibu Kinarsih yang biasa di panggil Mba adalah teman seperjuangannya ketika sama-sama masih menjadi pedagang. Hanya saja Ibu Kinarsih fisiknya secara kasat mata jauh lebih sehat di bandingkan dengan Ibu Baroroh, padahal Ibu Kinarsih sedang berjuang terus melawan racun di tubuhnya.

“ Lho kok malah diam saja, apa sudah menemukan hari dan bulan yang tepat nih.” Ledek Ibu Baroroh.

“ Aku terserah saja Mas Marko Bu.” Jawab Nara sambil pintar sekali matanya memandang wajah Marko sejenak, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke arah Ibunya.

“ Gimana Marko, apa sudah ketemu tanggal dan Bulannya.” Uji Ibu Kinarsih kepada anaknya.

0 Comments:

Posting Komentar