Jumat, 04 Juli 2014

Pagi di Purbalingga

Kalimanah 1972
Bab Dua

Kota Purbalingga masih terjebak musim kemarau panjang. Awal pagi udara masih dingin menusuk tulang. Sebagian penduduk masih mendengkur di peraduan dengan sejuta alasan.

Marko sudah bangun sebelum azan subuh. Penyakit malas bangun pagi menyergap sebagian penghuni bedeng. Para kuli masih mendengkur di balik selimut sekedarnya. Marko keluar dari bedeng untuk menyambut suasana pagi. Marko duduk di kursi rotan. Azan subuh berkumandang. 

Pukul enam pagi Marko sarapan dengan tempe mendoan. Salah satu makanan khas tradisoal masyarakat Purbalingga. Selesai sarapan Marko istrirahat sejenak. Setelah itu perjungan di mulai mendorong drum berisi minyak goreng dari jalan raya ke sebuah toko. Marko teringat teman-temannya yang berangkat menuju sekolah. Ada rasa iri melihat anak-anak berseragam putih biru hilir mudik bersepeda membelah kabut tipis di awal pagi. 

Marko tak bisa melanjutkan SMP. Kenyataan hidup harus dijalani dengan wajar. Hidup itu membutuhkan keseimbangan. Nasib itu hanya perlu waktu dan keberanian untuk merubahnya. Itulah prinsip hidup Marko.


Waktu terus berlalu. Usia Marko 20 tahun. Dalam umur seperti ini Miky Tyson sedang berada dalam puncak karir bertinju. Tetapi Marko menyadari dirinya bukan Tyson, ataupun seorang teman yang menjadi camat. Marko punya kehidupan dan takdir sendiri.

Kabut tipis mulai memudar. Mentari pagi hangat membelai kulit. Marko keluar dari warung dan menuju ke pangkalan minyak. Menurut perkiraan mandor truk-truk besar pengangkut minyak akan tiba sekitar jam tujuh pagi. Marko menunggu sambil membaca koran. Berita tentang suara misterius dari dalam tanah masih menjadi topik utama. Tak lama kemudian muncul Narman. Salah seorang teman satu profesi.

Truk-truk besar satu persatu datang membawa muatan. Ada lima truk yang tengah menurunkan drum berisi minyak goreng. Marko dan Narman serta beberapa teman yang lain harus mendorong ke sampai Toko agen minyak goreng. Letaknya 100 meter. 

Kaos oblong yang Marko kenakan sudah sudah basah oleh keringat. Sejak ayahnya meninggal karena diracun oleh tetangganya sendiri, Marko membantu meringankan beban ekonomi. Ibunya masih rajin berdagang ke pasar bersama dengan Nara tiga kali dalam sepekan. Ketekunan Marko dalam bekerja membuat beberapa temannya simpati. Tetapi, tak sedikit yang mencibir. Bahkan Narman kerap meledeknya tanpa maksud yang jelas. Di depan Marko, Narman menunjukkan sikap prihatin. Di belakanya, Narman  menertawakannya. Marko sering melihatnya di belakang bedeng. 

Narman memiliki lubang misteri yang gelap. Meski teman dari kecil, Marko tak terlalu dekat dengannya. Ia seperti muak padaku satu sisi dan begitu simpati pada sisi yang lain. Apakah gara-gara Farah lebih menyukai Marko ketimbang dirinya. Marko tak pernah menggubris  perhatian Farah. Sementara Narman mati-matian mendekati Farah. Narman rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk membelikan kertas kado permintaanya. Cinta membutakan logika sehatnya. Marko curiga kalau profesinya sebagai kuli hanya untuk mengawasi gerak-geriknya. 

“Mar!, jangan terlalu ngoyo!, kasihan badanmu!.” Narman memberi nasihat. Lalu tersenyum mengejek.

“Mau gimana lagi Man?, aku harus melakukannya!." Jawab Marko.

“Terserah kamu sajalah.?” Narman tersenyum lalu pergi ke warung bersama temannya. 

Pekerjaannya sebagai kuli di desa Kalimanah tak melupakan sholat lima waktu. Setelah sholat zuhur, Marko ingin pulang ke desanya. Sudah satu bulan ia tak berjumpa dengan Ibu dan adik-adiknya. Mandornya memahami kebiasaan Marko di akhir bulan. Ketika pamit, Marko diberi uang tambahan sebagai imbalannya bekerja keras melampaui Narman dan teman-temannya. 

0 Comments:

Posting Komentar