Senin, 07 Juli 2014

Pagi di Purbalingga

BAB 
Lima 


Setelah melewati desa Kembaran (Bleng), Kalikajar, Merden, dan Bancar. Akhirnya jam lima pagi mereka sampai di pasar Purbalingga. Dagangan digelar tepat di bawah pohon chery. Tempat utama sudah penuh dengan para pedagang. Mereka lebih awal datangnya. Sholat Subuh mampu menenangkan mereka dari pertemuannya dengan dua orang maling.  

“Mbak Nara pesen tape dan tempe bongkreknya  sepuluh." Laki-laki berseragam mirip tentara memesan.”

" Baik Pak." 

Nara memasukan pesanan bapak berupa tape dan bongkrek ke dalam keranjang bambu. Bapak itu menerima dan membayarnya, lalu pergi dari hadapan Nara. 

Tempe bongkrek adalah makanan yang berasal dari ampas kelapa.  Memiliki warna hijau tua dan rasa yang gurih. Tempe ini dapat dikonsumsi dengan cara digoreng atau ditumis dengan teri-teri kecil ditambah  puluhan cabe merah yang dipotong kasar. Sedang Tape Singkong adalah makanan dari singkong yang telah difermentasi dengan bantuan ragi. 


Dagangan Ibu Kinarsih berupa tahu kulit dan kuning hampir habis. Para pelanggan setia telah bertahun-tahun mengenal kualitas tahu milik Ibu Kinarsih. Wajar dalam waktu singkat dagangannya terus terjual. 

Keduanya menikmati Nasi Rames di sela-sela istirahat. 

“Bu, nanti pulang jalan kaki lagi atau naik Delman?” Nara bertanya sambil waspada. Beberapa kali pengutil berhasil menggasak beberapa lembar uang. Pengalaman adalah cara yang untuk bertahan. 

“ Naik Dokar saja, badan saya nggak sekuat dulu."

Nara mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya.

Selesai makan,  Nara di kejutkan oleh suara yang memanggilnya dengan keras.

“Mba Nara!, coba kesini!”. Bapak pedagang nasi rames memanggilnya dengan ketus.

 “Ada apa Pak?", Nara menanggapi panggilan itu dengan tetap sopan.

“Kamu mau nipu Bapak ya!, uang kamu palsu tahu. Coba lihat ini!. Kamu pengedar uang palsu ya!.” Perintah penjual nasi rames dengan wajah garang.

" Aku tidak tahu Pak!, Nara dapat dari pembeli!." Ungkap Nara tegang.

Ibu Kinarsih mendekati Nara. 

“Salah satu pembeli ada yang sengaja membyar dengan uang palsu. Kamu ganti aja uang yang kamu berikan sama Bapak itu." Ibu Kinarsih memberi saran. 

" Baik Bu." Nara menyerahkan selembar uang lain kepada  bapak penjual nasi rames yang terkenal galak tapi ramesnya lezatnya bukan main. Dia menggantikan adiknya yang sedang sakit. Nara berencana akan membakar uang palsu itu agar tidak di tuduh sebagai pengedar uang palsu.

Di luar dugaan. 

Njenengan aja nuduh sembarangan!, duit palsu neng pasar Purbalingga kiye mbene kedadian. Kancane kulo niki wonge jujur!.” Komentar Ibu Kinarsih sengit. 

(Kamu jangan nuduh sembarangan! Duit palsu di pasar Purbalingga baru kali ini terjadi. Kawan saya ini orangnya jujur.!)


Nafas langsung sesak setelah berbicara cepat dan lantang.  Efek racun puluhan tahun silam bereaksi. menggerogoti kulitnya. 

Kayane malah rika pada sekongkol ya ngedarna duit palsu .” Tuduh Bapak penjual rames.

Wong edan, sembarangan angger ngomong .” Kinarsih menyahut tuduhan bapak penjual Nasi Rames itu.

Ora usah di ladeni wong kaya kue. Mengko malah tambah rame .” Nara mengingatkan Ibu Kinarsih yang sedang dalam puncak emosinya.

Keduanya akhirnya berlalu dari bapak itu. Bapak penjual nasi rames tertawa melihat kekalahan mereka berdua.

Wong kok, kaya kue ya .”Ibu Kinarsih dongkol.

Wis ora usah durusi, beres-beres dagangan bae Bu .” Nara memberi lusul. Ia tidak kaget kalau Ibu Kinarsih yang lembut itu bisa marah bahkan bisa marah dari orang yang di kenal pemarah sekalipun.

Tiga tahun bersahabat dengan Ibu Kinarsih membuatnya Nara tahu ketegasannya. Nara tersenyum melihat keunikan yang di miliki oleh Ibu Kinarsih. Dia bisa naik pitam, ketika harga diri dan kehormatan terinjak-injak tidak adil. 

“ Bener Na, wis awan dela bae .” Ibu Kinarsih setuju. Ia memandang tajam ke arah pedagang Nasi Rames itu. 

***

Mereka berdua sedang mengobrol di atas dokar. Dua ekor kuda hitam menarik dokar yang kami naiki. Kusirnya  kami kenal. Tak sulit untuk menyesuaikan diri. Selonjoran kaki sambil menikmati kudapan tape yang bersisa. 

“Na?. Boleh nanti kapan-kapan aku main kerumahmu?.” Ibu Kinarsih bertanya sambil tubuh nya bergoyang-goyang karena gerakan kuda jantan yang sedang berjalan.

“Silahkan Ibu, Kapan?"

“ Mungkin pekan depan, Malam Ahad" Jawab Ibu Kinarsih. 

" Sekarang kita harus lebih berhati-hati. Uang palsu mulai beredar." Ibu Kinarsih memberi nasehat.

“ Kita sulit untuk membedakan mana uang palsu dan tidak.” Ungkap Nara.

“ Kau bener juga. Sebaiknya uang palsu itu kamu bakar saja."  Ibu Kinarsih menjawab sambil berwajah serius.

“ Ya, sampai di rumah nanti aku ingin bakar uang itu.” Jawab Nara.

Jam sembilan pagi, Nara turun dari dokar. Ibu kinarsih melanjutkan perjalanan. " Kasih tahu ibu kamu ya, pekan depan Ibu Kinarsih mau main." 

Nara mengangguk. Lalu berjalan menuju rumah. 

Nara sedang melepas letih di beranda rumahnya di temani segelas teh hijau. Fitnah pertama selama menjadi pedagang di pasar membuatnya termenung. Apalagi dituduh sebagai pengedar uang palsu. 

Konspirasi jahat telah disusun oleh Farah. Baginya Nara adalah batu sandungan yang harus disingkirkan. Walau Nara sudah dilamar oleh Marko. Tetapi, bagi Farah peluang untuk mendapatkan hati Marko masih besar. 

0 Comments:

Posting Komentar