Kamis, 17 Juli 2014

GADIS MERAH SAGA

7


“ Sebaiknya Nara saja yang nentuin tanggalnya.” Aku berkilah sambil memandang lekat-lekat wajah Nara yang bersih itu.

Nara pun menatap wajah Marko untuk beberapa detik dan selanjutnya keduanya terpaku layaknya mendapat instruksi dari juru foto yang ingin mengambil gambar.

“ Lho, malah main lempar begitu, ayo Nara katanya kamu sudah dapat tanggal dan bulan jauh sebelum mereka kemari.” Ledek Ibu Baroroh.

Nara merenung sejenak. “Bagaimana kalau tanggal 10 April.” Usul Nara kepada mereka yang hadir.

“ Ya aku setuju, ide bagus.” Kataku sambil memandang wajah Nara. Disusul dengan nada yang sama oleh Ibu Kinarsih dan Ibu Barorh.

Kompak mereka berkomentar. “Aminnnnnn?” Suasana syahdu itu benar-benar terasa walau tak ada jamuan makan yang mewah.



Ibu Baroroh yang duduk di samping Nara langsung memeluknya dengan erat. Isak air mata kebahagiaan mulai terdengar. Aku memandang kedua adikku dan Ibuku juga paman. Tiky yang menyaksikan adegan menyentuh ini ikut larut dalam kebahagiaan, reflek ia memelukku dari samping sambil mengucapkan selamat. Di susul dengan pelukan Ibuku. Suasana seperti sedang berkabung, hanya saja tidak jenazah di sana. Wiro mengacungkan dua jempolnya kearahku.

Ăšntuk melengkapi kebahagiaan itu Ibu Baroroh mengajak makan malam bersama. Serempak mereka berdiri mengikuti langkah Ibu Baroroh kedalam. Tiky mulai menggodaku dengan ungkapan meledek dan mencandaianya. Adikku yang paling bontot itu memang paling pandai meledek.

Sambil makan dan minum kedua keluarga itu membicarakan tentang penjara misterius. Setelah di sepakati keduanya bahwa bulan depan adalah waktu yang tepat untuk mereka melangsungkan akad nikah secara sederhana saja. Keluarga besar keduanya akan di undang secara sederhana pula. Mungkin meraka akan menghadapi pertanyaan dari saudara-saudara yang tidak di ikut sertakan dalam acara lamaran. Kedua keluarga itu menyepakati akan memberikan jawaban kalau lamaran memang di sengaja tidak mengundang sanak famili-nya.

Tepat pukul 9 malam mereka pamit dari kediamanan Ibu Baroroh yang sederhana. Malam ini langit terlihat kelabu dan mendung. Baru melangkah beberapa meter dari rumah, Ibu Baroroh memanggil Makinem. Ia membawa payung menghampiri mereka.

“ Ibu Makinem, sepertinya akan hujan besar, jadi bawa saja payung ini. Entar di titipin saja sama Nara kalau berdagang di Pasar.”

“ O..., terimakasih, kalau begitu saya pamit dulu. Memang benar sepertinya mau hujan besar.”

“ Hati-hati di jalan.”

Sepertinya awan di langit sana sudah tak kuat lagi menahan berton-ton air. Dalam sekejanp hujan turun dengan deras membasahi bumi. Ibu Baroroh terpaksa lari untuk menghindari derasnya air hujan sebelum ia sampai di rumah. Musim kemarau yang membuat paceklik para petani kini mulai bergairah kembali. Hujan mengganti musim kemarau yang dingin menusuk gigi di akhir bulan Maret.

Keduanya masuk ke rumah dalam kondisi bahagia, terutama Nara yang begitu merasakan kebahagiaan. Tiga bulan yang lalu, awalnya Nara menolak dengan alasan umurnya masih muda. Tetapi melihat kesungguhan Marko dan mendengar langsung dari Ibu Kinarsih tentang ketegaran Marko dalam menghadapi hidup membuat Nara tidak ragu untuk menerima lamaran, walau baru saja melihat dan berjumpa dengannya. Atau mungkin saja Nara tak mau berlama-lama dalam “hubungan” yang belum tentu berakhir dalam pelaminan.

Di akhir bulan Maret hujan turun tak teratur. Ramalan cuaca sekarang sulit untuk di prediksi. Kadang hujan turun siang dan bisa jadi malam. Kadang juga mendadak sore-sore, sama seperti rasa cinta yang datang tanpa bisa di tebak dan di terka. Cinta bisa datang cepat atau mungkin bisa bertahun-tahun. Seperti hujan yang turun, siapapun tak ada yang menebak dengan tepat. Maka benar adanya kalau cinta tumbuh tak mengenal batas-batas status, dari kaum sudra ataupun brahmana. Cinta tak bisa di beli dan tak bisa di paksa. Cinta harus mengalir bebas seperti turunnya air hujan. Cinta itu: Cerita Indah Tiada Akhir. Datangnya mudah perginya juga mudah.

0 Comments:

Posting Komentar