Jumat, 12 April 2019

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan


Menjelang Fajar. Mesin pick Up di matikan. Kami turun dari mobil tua itu. Polisi Saryo meneropong keadaan sekitar. Alat canggih itu bisa melihat di kegelapan. Sesaat alisnya mengkerut. Dari penjelasannya kalau Pasukan elit yang di tempatkan sebelumnya untuk menjaga kastil dari serangan musuh kini terkapar di beberapa titik. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah Polisi Marno. Rupanya seorang sniper yang datang jauh-jauh dari Jayapura sudah menembak mereka semua. Syukurlah Polisi Saryo tidak lewat jalan utama, dia memotong jalan lewat bukit-bukit rahasia. Aku merasakan kalau aku akan melewati sebuah pagi yang berbahaya bersama Nara.

“Kalian harus berhati-hati. Dan maafkan saya sudah melibatkan urusan negara ini pada kalian. Kastil ini kembali di jaga ketat, mereka belum kapok temannya terkapar peluru. Kalian harus hati-hati.”

Aku mengangguk bersama dengan Nara.

“Bukan waktunya untuk minta maaf, lebaran masih jauh. Inilah takdir kami yang kini sedang ku hadapi.”

Polisi Saryo tersenyum. Polisi Saryo yang kini sudah naik pangkat. Lebih menyukai dengan panggilan Polisi Saryo, tak masalah menurutku itu lebih membumi.

Minggu, 07 April 2019

Datang dan Pergi

BAB
Empat Puluh Tujuh


Semua manusia yang menghuni mayapada ini tidak bisa terlepas dari himpitan masalah. Masalah kecil sampai yang besar begitu mudahnya hinggap pada kehidupan manusia. Kepergiannya juga tak bisa di pertahankan barang 1 menit saja. Masalah hidup seakan menguap bila sudah terpecahkan. Maka sungguh benar kesulitan itu akan tergantikan dengan kemudahan yang datang begitu cepat.

Cobaan itu datang kembali. Aku dan Nara di jemput pagi buta oleh sekelompok pasukan yang bersenjata lengkap. Mereka adalah anak buah Polisi Saryo. Tak ku dengar Mobil Pick Up yang biasa di gunakan mereka ketika menjemputku dan Nara di rumah. Setelah berpamitan dengan Ibu Mertua dan titip Qaiser. Aku dan Nara bergegas mengikuti langkah mereka yang tidak terdengar. Satu sisi tentara bisa jadi monster pembunuh bila salah langkah dan salah komando. Di sisi lain bisa menjadi pahlawan kebajikan seperti yang ku lihat pada gerak langkahnya. Aku bisa menyimpulkan ketika penyerbuan ke ruang bawah tanah. Sampai di pinggir jalan raya, mobil pick sudah menunggu, tepat di bawah pohon Jambu Monyet yang rindang berdekatan dengan Gardu Pos.

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam
Lanjutan


Aku tak bisa berpikir lama-lama karena Nara sudah dalam keadaan yang membahayakan. Dia terpojok di antara lumpur-lumpur sawah. Aku berlari kearahnya dan menerkam tubuh orang itu kuat-kuat. Keberanianku muncul bila sudah terpojok begini. Ku tonjok mukanya, tetapi ia tidak bergeming, mungkin pukulanku terlalu lemah atau dianya yang sudah terlatih. Ia malah mencengkram leherku kuat-kuat, aku tak berkutik, nafasku sesak. Sorot matanya merah bernafsu ingin membunuhku. Ku lihat Tato yang sama bergambar burung Rajawali yang pernah ku lihat ketika berkelahi dengan salah seorang maling. Mungkinkan orang yang sama. Dalam sesak nafas yang berat ku lihat orang yang satunya lagi sudah kembali berdiri. Ku lirik Nara sibuk mencari-cari sesuatu. Apa yang sedang ia lakukan.

Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tiba-tiba dengan cepat tangan kanan Nara menghantan kepala orang yang sedang mencengkram leherku dengan batu di tangan kanannya, darah segar meluncur dari keningnya. Cengkaramnya mulai lunak dan aku membebaskan diri dari tangan kekarnya. Orang itu ingin bangkit kembali, tetapi Nara sudah menendang orang itu kebelakang. Syukurlah Nara masih waras tak menghantam kembali dengan batu di tangannya. Temannya kaget melihatnya tersungkur kebelakang. Ia terkapar, sementara darah mengucur dari keningnya. Nafasnya tersengak-sengal. Ia tak lagi memegang pentungan. Mungkin terlempar dan hanyut di sungai kecil.

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam

Bengkel sepeda tampak sepi. Aku ngeri melihat tampang penjaga yang pernah menyembelih kucing itu ketika ku pulang kerja. Aku memperhatikan ban depan, aku senang tidak kurang angin. Hujan atau tidak aku selalu membawa payung. Aku tidak ingin melihat istriku Nara basah kuyup.

Seorang penjaga menjajari laju sepeda, wajahnya tampak tegang.

“Mas Marko bisa kau kayuh sepeda lebih cepat lagi!.” Seorang penjaga memberi intruksi.”

“ Ada apa Pak!.” Aku cemas.

“ Lihat di belakangmu!.”

Aku dan Nara menengok kebelakang 3 detik. Gerombolan orang berjumlah 6 orang tengah membuntuti kami. Mereka semua bertopeng. Jaraknya masih 15 meter. Mereka membawa pentungan yang terselip punggung lewat kaos dalamnya. Ku kayuh sepeda secepat-cepatnya melewati jembatan kali klawing. Aku beradu cepat dengan mereka, aku heran kemana Para Polisi yang biasa jaga di perampatan. Toko-toko rata sepi tak di buka. Skenario apalagi yang akan kuhadapi. Hal mengerikan apalagi yang harus aku dan Nara hadapi.

Jumat, 05 April 2019

Sang Penjaga

BAB
Empat Puluh Lima


Sejak ayam jantan berkokok, aku dan Nara sudah bangun pagi buta. Menggelar sajadah untuk sujud panjang-panjang. Agar awal pagi bisa di lalui dengan lancar. Mungkin para anak buah penjaga kastil yang pernah melihat Alm. Anis berkomunikasi dengan Nara bisa menyebabkan Nara celaka. Atau setidaknya ada gejala kearah sana, begitulah kesimpulan awal yang berani ku terka-terka.

Selesai Sholat Shubuh, aku biasa mengantarkan Nara berdagang dengan sepeda Onta. Keluar dari gang rumah, orang-orang yang dikirim oleh Polisi Saryo sudah tiba di desa Kaligondang. Aku tahu ketika Nara membisikkan ke telingaku tentang orang-orang misterius itu. Nara hafal betul satu-persatu penduduk Desa Kaligondang. Kalaupun tak hafal nama, dia akan mengenali wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kepasar. Dua orang bersepeda mengikuti kami berdua. Sepedanya terlalu bagus untuk ukuran seorang petani. Aku dan Nara memutuskan untuk bicara dengan mereka. Rupanya Polisi Saryo benar-benar melakukan apa yang di ucapkan.

Kamis, 04 April 2019

Svetlana Alexievich

“ Ini cara saya melihat dunia, melalui suara –suara individual yang berbunya secara bersamaan,” katanya.

Di dalam wawancara dengan Dalkey Archive Press, Alexievich mengungkapkan bisa menghabiskan tiga hingga sepuluh tahun untuk melakukan penelitian sebelum menulis novel. Keahlian sebagai wartawan amat berguna untuk mewancara dan malakukan investigasi sebagai bahan tulisan.

Pada 1983, ia menamatkan novel pertamanya berjudul The Unwomanly Face Of War. Novel itu mengupas kisah satu perempuan Soviet yang terlibat langsung dalam perang dunia II. Meraka berusia 15 hingga 30 tahun dan tidak gentar berada di garis depan peperangan sebagai serdadu, pengemudi tank, bahkan pilot pesawat tempur. Akan tetapi, jasa-jasa para perempuan itu dilupakan begitu perang usai.

“ Kaum laki-laki seenaknya mengubur pengorbanan yang telah dilakukan para perempuan ini,” ujar Alexievich.

Menurut Alexievich, seusai perang, hidup para perempuan itu semakin rumit. Di masa damai, para perempuan harus merahasiakan keterlibatan mereka dalam peperangan agar para lelaki mau menikahi mereka. Ketidakadilan penulisan sejaran inilah yang membuat Alexievich terdorong untuk menceritakan kembali sejarah dari mulut orang-orang yang mengalaminya.

TAK DISUKAI 

Masyarakat Soviet tidak menyukainya. Alexievich dianggap memutarbalikkan fakta dengan menulis bahwa keberhasilan Soviet di Perang Dunia II adalah akibat kontribusi perempuan. Ia dinilai sebagai penulis disiden (yang tidak sepakat dengan pendapat seseorang atau kelompok) dan penentang ideology komuisme.

Anggapan ini tidak membuat Alexievich ketar-ketir dan tetap aktif menulis. Pada 1991, The Boys of Zinc terbit dengan premis pertikaian Timur dan Barat untuk suatu hal yang sia-sia. Judul tersebut diambil dari peti jenazah seng yang membawa pulang jenazah para serdadu muda yang tewas di pertempuran itu.

Presiden Alexander Lukashenko naik pita dan menuduh Alexievich menghina ideology komunis dan militer Soviet. Hidup Alexievich pun mulai diwarnai tuntutan hokum dari pemerintah Belarus. Dua buku menyusul terbit pada 1993 dan 1997,yaitu Enchanted With Dead tentang orang-orang yang bunuh diri akibat runtuhnya Soviet,dan Voice From Chernobyl yang menyuarakan derita para korban bencana ledakan nuklir.

Sejak saat itu, Alexievich dianggap sebagai musuh pemerintah. Kehidupan pribadinya disadap dan diikuti para agen. Ia juga dilarang tampil di acara-acara public. Tahun 2000, International Cities Of Refuge Network menawarkan suaka politik kepada Alexievich sehingga ia pindah ke Paris, Prancis.

Setelah itu, ia berpindah-pindah ke Jerman dan Swedia. Beasiswa penulis menjadi penunjang hidupnya. Pada 2011 meskipun masih ada tekanan dari rezim pemerintahan baru, Alexievich kembali ke Belarus dan terus menulis. Novel terbarunya, Second-hand Time, terbit pada 2013.

Kegigihannya bertahun-tahun untuk menyuarkan mereka yang terbungkam suaranya mengantarkannya pada Nobel Sastra 2015.

“Ini cara saya melihat dunia, melalui suara-suara individual yang berbunyi bersamaan.”

• Karya:
o The Unwomanly Face Of War (1985)
o The Last Witnesses (1985)
o The Boys Of Zinc (1991)
o Enchanted With Death (1994)
o Voices from Chernobyl (1997)
• Penghargaan:
o Nobel Sastra (2015)
o Prix Medicis Essai (2013)
o Peace Prize of The German Book Trade (2013)
o Ryszard kapuciski Award for Litarary Reportage (2011)
o Oxfam Novib/PEN Awar (2007)
o National Book Critic Circle Award (2005)
o HerderPrize (1999)
o Friedrich-Ebert-Stiftung-Preis (1998)
o Leipziger Book Prize on European Understanding (1998)
o Andrei Snyavasky (1997)
o Tuchholsky-Preis (1996)

Penulis: Laraswati Ariadne Anwar
Sumber : Kompas, selasa, 13 Oktober 2015

Selasa, 02 April 2019

NARA: Menemui Polisi Saryo

BAB
Empat Puluh Empat
Lanjutan

Aku menghirup nafas setengah dalam.

“ Langsung saja Pak Saryo, waktu peristiwa penyergapan dulu ada seorang gadis yang bersama Nara, bapak masih ingat.”

Polisi Saryo terdiam sejenak.

“ Oh yang selalu berada di belakang Nara itu, aku ingat sekarang. Kalau tidak salah namanya Alm. Anis kan.”

“ Iya betul Pak?"

“ Terus.”

“ Ketika Anis tertembak, dalam sakaratul mautnya ia memberikan sebuah kertas. Dalam kertas tersebut Anis menceritakan sebuah penemuan yang...” Nara tak meneruskan ceritanya.”

Menemui Polisi Saryo

BAB
Empat Puluh Empat 


Nara terlihat anggun dan bersahaja. Sejak peristiwa di penjara dan ruang bawah tanah yang menyimpang sejuta misteri. Nara memutuskan untuk berkerudung. Alasannya karena sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Kegiataan berdagang pun masih terus di lakukan setiap pagi. Aku mendukungnya, karena itu adalah perintah dari Allah. Begitu guru ngaji mengajarkan kepadaku saol berkerudung yang wajib bagi wanit muslimah.

Sorenya aku dan Nara memutuskan untuk mengantarkan surat Anis kepada Polisi Saryo untuk di jadikan alat bukti untuk menyelidiki tentang kebenaran berita di balik kastil dalam penjara Purbalingga itu, surat itu bagai beban berat yang harus di simpan dengan baik.

Sebelum keberangkatan aku terkejut mendengar cerita dari Nara kalau Kang Dirman pernah menyatakan cinta kepadanya. Tetapi Nara menolaknya dengan alasan sudah ada yang melamar. Kata Nara Kang Dirman jatuh cinta ketika Nara memberi makan pada Kudanya. Tetepi penolakan Nara tak membuat Kang Dirman membalasnya dengan kejahatan seperti yang di lakukan oleh Farah padaku. Di pernikahan kami berdua saja kang Dirman sudah menggandeng Istrinya. Sikapnya yang ramah dan baik itu tak juga berubah sampai sekarang.

Sebuah Pengakuan

BAB
Empat Puluh Tiga 


Aku mulai menjauhi Musholla. Aku berteman dengan seorang laki-laki yang ku kira baik, tetapi aku malah kehilangan kehormatanku.

Aku menangis, sedih, dan marah. Lalu aku mencoba membunuhnya pada suatu malam. Tetapi aku hanya berhasil menancapkan pisau beracun itu pada pahanya. Aku puas. Tetapi mala petaka itu baru saja menghampiriku. Ternyata lelaki itu anak bupati. Dengan memfitnahku di depan bapaknya akhirnya aku di jebloskan ke penjara dengan tuduhan pembunuhan berencana lengkap dengan saksi yang telah di sumpel mulutnya dengan duit.

Di penjara aku sengaja menghindar dari kamu, padahal aku sudah tiga tahun di pernjara. Tetapi takdir Tuhan berkata lain. Kamu menemukanku. Lalu kamu menolongku dari sipir bejat itu, padahal sipir itu adalah pelanggannku yang ingin menikmati tubuhku ini. Tetapi aku tidak protes karena aku sudah mulai muak dengan diriku sendiri.

Sebuah Pengakuan

BAB
Empat Puluh Tiga


Kebahagian kami tak terlukiskan setelah Nara melahirkan anak yang pertamanya. Nara mengalami kontraksi setelah mengunjungi makam Anis dan Hasan si sipir pendiam. Keduanya di makamkan berdekatan di komplek makam pahlawan. Keduanya tercatat sebagai orang yang telah menyelamatkan situs yang bersejarah. Kami pun bertemu kembali dengan Polisi Saryo. Dia begitu rendah hati mengunjungi rumah kami dengan sepeda motornya sendirian tanpa pengawal.

Sekarang Polisi Saryo mendapatkan kepercayaan lebih dari atasan soal keamanan di Kota Purbalinnga. Sinar pagi belum muncul dari peraduan, tetapi Polisi Saryo sudah bertandang kerumah kami. Semua keluarga merasakan keteduhan dari tatapan bayi yang mungil itu. Tiky dan Wiro tak henti-hentinya berebutan untuk menggendong. Ibuku dan Ibu mertua terlihat jelas pancaran kebahagiaan seperti lukisan pelangi.

Beberapa jam kemudian ruangan kamar yang di huni oleh bayi mungil kami kembali tenang. Semuanya kembali beraktivitas masing-masing. Wiro dan Tiky kembali ke rumah, Ibuku menyuruh Wiro dan Tiky untuk memberi makan pada ayam-ayam peliharaannya. Ibuku sedang memasak untuk makan siang nanti. Sedang Ibu Baroroh terlihat sibuk untuk siap menumbuk padi dalam lumpang kayu.