Jumat, 21 Maret 2025

Anak Yang 'Menakutkan' Guru

BABAK 13
Ia melempar meja dan kursi, juga kertas-kertas dari buku yang disobeknya kasar. Kotak-kotak kecil berisi perlengkapan bergulingan, tak beraturan. Map-map berjatuhan. Sebuah lukisan yang dibungkus secara apik berubah remah-remah. Ketika seorang guru masuk, ia membentaknya secara vulgar tanpa segan ataupun tak enak. Pertahanan terbaiknya adalah tantrum sejadi-jadinya. Sebuah benteng yang teramat kokoh lagi sulit ditembus. Kecuali oleh orang-orang yang dipercayainya. Tenaganya menyimpan untuk menyeruduk siapa saja yang berani untuk melumpuhkan tantrumnya. 

"Diam!" bentaknya. Gurunya menatap takjub sekaligus prihatin. Meski hatinya ikut juga mendidih, terapi langit ia gulirkan agar tersungging senyuman kemudian. Telapak tangannya berkeringat. Karbo yang dikunyahnya di pagi hari cepat sekali menguap. Guru yang lain ikut membantunya. Pasukan tambahan, sementara ia mulai menertibakan segala sesuatunya. Anak itu terus saja meronta-ronta, ia menendang dan memukul. Bahkan guru itu pernah dicakar menggunakan kukunya yang tajam, saat ia masih duduk di kelas satu. Sekarang ia sudah kelas dua, tetapi masalah dirinya dan lingkungan sekitar belum bisa diselesaikan dengan caranya sendiri. 

Kami menikmati makan siang dengan rasa tak biasa. Lapar yang tak tergantikan dengan lauk apapun. Sebuah kehambaran yang kerap terjadi, meski tampak sepele tapi hormon tak juga membantu. Kegiatan makan siang seperti melambat. Seperti film yang diperlambat agar frame semakin tajam terulang dengan maksimal. Anggota murid yang kehilangan selera makan, salah satu murid laki-laki yang biasanya makan dalam porsi banyak, di atas piringnya teronggok satu centong nasi saja. 

"Diam!" bentaknya kembali. Teman-teman yang mencoba menghiburnya surut juga nyalinya. Tak berani melakukan hal yang jauh lagi. Pergerakan tampak kaku dan serba kikuk. Mereka kembali fokus untuk menyelesaikan makan siangnya. 

Kami meninggalkannya sejenak untuk memberi ruang privasi. Agar ia bisa meredam emosinya yang terlanjur tak terbendung. Kami menantikannya agak lama sekitar sepuluh menit. Pada menit selanjutya ia bisa meluapkan emosinya, walau tampak belum berdamai dengan isi kepalanya. 

Pada hari-hari berikutnya ia  serba diam ketika meredam situasi yang kurang nyaman baginya. Perkembangan ini cukup menggembirakan. Meski ia tak piawai untuk mempertahannya. Diamnya asal tampak wajar dan proporsioanal, bagi kelas sudah cukup, kami tak ingin melihatnya dalam diam yang menyeramkan.

Perawakannya memang kecil, tapi ia punya kekuatan di atas rata-rata anak sebayanya. Meski baru sembilan tahun, ia memiliki tenaga tambahan yang dikumpulkannya sejak lama. seperti kumpulan tenaga dalam yang dilatihnya bertahun-tahun. Tinggal menunggu momen saja, maka ia bisa mengangkat meja dengan enteng saja. Untuk bisa mengangkat meja tersebut membutuhkan kekuatan dua anak sebaya. 

Sorot matanya terasa menyimpan dendam. Dendam pada orang dewasa di sekelilingnya. Meski tak semua orang dewasa bersikap tak kompromi dan terlihat menakutkan. Setiap ia tantrum, seisi kepalanya berhamburan peristiwa-peristiwa buruk yang datang secara otomatis. Ia kerap hadir untuk memporak-porandakan segala sikap yang pernah dituturkan oleh gurunya.

Guru itu mencoba merengkuh kedua bahunya yang tampak ringkih. Mencoba menawarkan menu makan siang. Tatapannya tampak ragu, tapi sorot sang guru seperti meyakinkan. Ia pun mengangguk, melangkah ke meja makan mengambil piring dan sendok dan mengisi nasi beserta lauk pauk.

Raut wajah yang tampak menakutkan bagi anak-anak yang lain, kini mulai mencair. Tersungging senyuman yang terlihat wajar, tapi ada rasa yang masih disembunyikan. Ia seperti beranjak dari kenyataan satu ke kenyataan yang lain. Ia masih menyimpan rasa sakit yang penawarnya masih misterius. Atau barangkali hanya ia sendiri yang mampu mengobati. Bahkan sekolah bisa jadi menyuburkan "penyakit" dengan perlakuan yang tidak tepat. Bisa jadi sebaliknya. Mungkin manipulasi prilaku. Untuk sementara, anak bisa dibilang cukup 'menakutkan' gurunya. Cekap Semanten.

Tulisan Ini diproduksi 22 Juli 2020

Kamis, 20 Maret 2025

Saat Ruang Kelas Diuji

BABAK 12
Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Memasang wajah cemberut di kelas adalah salah satu jurus ampuh yang di pakai anak-anak ketika ia belum bisa meregulasi emosinya. Ia bahkan bisa menjadi super duper ganas pada beberapa kesempatan bila orang dewasa di sekitar terasa menyebalkan.

Cobalah untuk tidak menyapa terlebih dahulu pada anak-anak yang belum percaya pada orang dewasa di dekatnya, itu akan jadi perkara yang membuatnya menjadi lebih sulit untuk mengendalikan diri sendiri.

Perhatikan hari-hari berikutnya apakah tetap pada pendirian bahwa ruang kelas adalah kotak berbahaya yang harus ia hindari dan jangan lupa tengadahkan di penghujung malam pada pemilik alam semesta ini agar bisa mengubah perangai, lalu beralih pada pemahaman dasar tentang kepercayaan pada orang dewasa sekitar. Itu bisa jadi peluang padanya bahwa ada banyak orang dewasa yang bisa dijadikan panutan dan tempat untuk memberikan kepercayaan yang ia jaga selama ini. Dengan catatan semuanya bermuara pada edukasi dan pengoyoman bukan pada didaktis dan intervensi. Cekap semanten. 

Tulisan ini diproduksi 16 Agustus 2022

Rabu, 19 Maret 2025

Berpikir Tingkat Rendah

BABAK 11
Seorang guru tengah duduk di gelanggang terbuka. Kepalanya menunduk seperti berzikir. Anda keliru, ia sedang memandangi setan gepeng yang digenggam dengan mesra. Ia telah "berhianat" pada apa yang telah dicita-citakan oleh guru bangsa. "hargai murid, maka kau akan melihat mata yang indah pada mereka". Bahkan ia tengah menyusun rencana untuk gabung dalam dunia Phubbing alias pelan-pelan menjadi anti sosial. Pada kondisi tertentu ia telah mangkir dan mulai menolak Ki sebagai guru, menganggapnya sebagai lelucon belaka. Cilaka 12. 

Ia mendongak sekilas ketika seorang senopati sekolah lewat tak jauh dari tempat duduknya. Mengangguk sejenak, lalu kembali tenggelam pada dunia 'konohagakure' desa tersembunyi di balik lebatnya dedaunan. Kalian mesti jeli, ia sedang tidak mampir di konoha, tetapi sembunyi di balik kesalahan yang diakumulasikan dalam tindakan yang menurutnya benar. Lalu enteng saja kembali mengajar dengan melepas baju evaluasi, atas dirinya, tanggung jawabnya, sekaligus penhianatan terhadap profesinya.

Ia tengah menyempitkan dan mengkebiri hak anak, yaitu pendampingan. Dengan masuk ke dalam dunia setan gepeng, kalian merasa telah salah dengan sebenar-benarnya kesalahan. Seperti Musalaimah Alkazab, seorang pembohong yang kebohongannya tidak ia kenali melalui akalnya sendiri. Mau kalian akan jadi seperti itu?, Zombi saja jujur dengan apa yang mereka kerjakan, jarang sekali merekayasa eS O Pe yang mereka dapat. Gigit mereka dan sebarkan virus. Tetapi kalian begitu asik masuk main setan gepeng di tengah pembelajaran atau jelang pembelajaran, apakah kalian lebih mulia dari zombi. Mungkin kalian perlu melihat film Train To Busan, agar sedikit belajar dari para zombi. 

"Ah, Anda sebagai guru juga tak perlu begitu saklek dengan urusan orang lain." begitu ucapnya, manakala satu nasihat mampir ditelinga kanannya, lalu tak sempat mengendap di logikanya. 

Tak bermaksud seperti itu, jangan tersinggung. Jika kalian mudah sekali untuk mengabaikan yang penting. Yang telah telah di SK kan maka kalian akan mudah untuk menjadi jamur ketika yang lain tengah berlomba-lomba menjadi mutiara.

Kalau urusan hanya menyangkut anda sendiri. Tak ada orang yang dirugikan, tak jadi soal. Titik tekannya adalah kalian merasa penting dan menganggap kepentingan orang banyak tidak penting. Termasuk murid kalian sendiri yang tampak selalu memaafkan, otak mereka minta jatah untuk diberikan nutrisi, setidaknya pendampingan yang tulus. Bukan pendampingan yang sedikit-sedikit menjalin mesara dengan setan gepeng. Kemudian menghitung berapa menitkah jam kepulangan.

"Ok, kalau itu bisa dipertimbangkan." Selanya. 

"Lalu, apakah kalian akan berhenti. Tidak kan?, kalian akan terus mencari celah agar apa-apa yang kalian kerjakan mendapatkan pengakuan atau bahkan legitimasi tentang apa-apa yang kalian perbuat, sudah seharusnya, sudah semestisnya. Pantaskan?, sejatinya kurang pantas. Kalian boleh kecewa pada sebuah lembaga, tetapi hak anak-anak jangan sampai kalian kurangi, apalagi mengabaikan. Sampai kapanpun hak anak tetap berhak mendapat hak didik yang layak. Meski kalian berdalih dengan cara yang tidak lazim, main sembunyi. Lalu tiba-tiba keluar."

Apa yang kalian upayakan, kalau yang keluar hanya keluhan yang tidak berpangkal ujung. Ujung saja ada pangkalnya. Masalah kalian tidak pernah selesai, dengan mental kalian yang itu-itu saja. Menjejejalkan seluruh asumsi di kepala, mengendapkannya seperti bikin tape, lalu beberapa kemudian hari kalian menggugat apa yang sebenarnya kalian sepakati. 

Orang yang mengeluh tanpa pernah berhenti, tak keluar dari tempat di mana ia mendapat rezeki, seperti kalian mengencingi sumur sendiri setiap hari. Tanpa pernah menyiramnya atau mengurasnya. Kalau kalian berani. Bikin surat lamaran keluar sebagaimana kalian dulu, di awal-awal mencari pekerjaan. Menghilangkan semua ego, setelah dapat pekerjaan, merapat ke sana kemari, mencari tempat dengan mengobrol sana sini mengumpulkan informasi, lalu tiba-tiba sorot matanya begitu sinis memandang sesuatu yang tidak lagi di sepakati. Padahal ia menyepakati dengan tindak tanduk seorang budak ketika pertama kali melamar, sekarang setelah mendapat sedikit tempat, tiba-tiba menjelma seekor serigala yang siap menerkam apa yang bisa diterkam.

Ruang yang kalian bangun dengan dedikasi tinggi dan penuh perjuangan, kalian matikan sekejap ingatan. Mengubahnya menjadi ruang-ruang penuh kedengkian, selidik menyelidik ketika 'menemani' anak-anak pulang sekolah. Mengobrol dari jauh sambil mengangguk takzim kepada orang tua yang kebetulan lewat di depannya. Seoalah-olah kalian telah memikirkan seluruh masa depan tempat kerja. Yang kalian lakukan mencoba untuk mengkudetakan suasana, tetapi modal kalian mentah. Modalnya hanya BAPER, karena tersinggung ditegur oleh teman kalian sendiri. Karena kalian telah menjelma menjadi manusia PHUBBING jengkal demi jengkal. Sampai kalian tidak bisa mengelak, lalu menyalahkan semua orang. Dengan dalih hal-hal yang mereka lakukan tidak pernah dihargai. Lalu kalian pergi tanpa permisi. 

Kalian bukan manusia puisi yang mencoba Escape From Personality, melarikan diri dari kepribadiannya. Mengambil jarak dengan dengan diri sendiri. Mengambil sudut pandang yang lain. Kalian tidak-jika tidak pantas- kalian belum bisa masuk ke wilayah lain. Yang cocok adalah katak di dalam tempurung. Apalagi Heteronim, memakai banyak nama. Bukan hanya banyak nama, tetapi satu nama satu karakter. Kalian banyak maunya tetapi minim kerjanya. Sibuk melihat dari jauh lalu menertawakan apa yang menurut kalian tak layak.

Kalian masih sibuk dengan definisi sendiri, tidak bisa masuk dalam pandangan orang lain. Kesadaran bahwa pandangan sendiri bisa lebih keliru, katro, norak, dan seterusnya. Bahwa ada kemungkian pandangan orang lain lebih layak, lebih tepat untuk dijalankan.

Atas dasar apa kalian mengutamakan kepentingan sendiri dari pada mengutamakan kepentingan orang lain. Kalian menyebut sebagai kalian kumpulan indvidu yang kepalanya dijejali oleh hasud menghasud lalu tertawa terbahak-bahak menertawakan orang yang luruh dalam kerjaannya.

Kalian hanya menghasilan keyakinan yang tidak bisa diskusikan. Sebuah keyakinan yang keliru memakanai sebauh kebijakan. "Kenapa dia boleh, kok saya nggak." begitu katamu tempo hari ketika LIBURANMU MULAI TERGANGGU. Loh, kalian hidup dari pelayanan jasa. Yang sejatinya bisa 24 jam. Lalu tanpa merasa berdosa. Pasang status 'Tolong Liburanku Jangan di Ganggu' jika kalian tak ada "apa-apa" status apapun tak pernah menggoyangkan apa-apa yang telah disepakati.

"Itu hak kalian, pandangan kalian."

Betul kalian punya hak itu, tetapi sejak saat itu, kalian telah memadamkan api tekad seorang guru yang dibangun atas dasar misi mulia, bukan sok mulia, tetapi siapa memantaskan diri, kalau bukan kalian (guru). Jika apresiasimu buruk terhadap profesi guru yang sedang dijalankan, maka kalian sedang memahat patungmu sendiri. 

Sebab kalian masih merasa kampung sendiri lebih baik. Karena kalian masih pengecut untuk mengakui ketika kalian merasa asing sendiri. Tidak mementingkan diri sendiri , kata yang lebih umum. Api tekad seorang guru memandang bahwa kampung lain justru lebih baik, itu karena ia menangguhkan sejenak kepribadiannya demi sebuah peradaban yang dialasi oleh tarbiyah zatiyah.  

Naifnya, kalian lebih baik minta maaf dari pada minta izin. Ya, kalian masih terjebak dalam nostalgia anak baru gede. Badan kalian boleh saja gede, tetapi otak reptil kalian lebih dulu berkembang dari pada yang lain. Salam Pak Pelita. Cekap Semanten. 

Selasa, 18 Maret 2025

Ketika Jadi Ayah Di Rumah

BABAK 10
Belajar dari para penyair, bisa diambil dari sumber puisi. Yaitu mereka yang suka mengeidentifikasikan sebagai escape from personality mencoba keluar dari kepribadian diri sendiri. Lalu mencoba melebur menjadi susunan tidak membentuk dogma, tetapi susunan kebijakan kebajikan yang terus dilatih tiap hari agar nilai-nilai pendidik meresap sampai ke akar nalar. 

Kalimat diatas setidaknya memompa seorang ayah untuk menangguhkan sejenak apa-apa yang tersisa dari pekerjaan-pekerjaan sebagai seorang guru yang terus saja bersambung tanpa henti. Ini kenikmatan jenis tersendiri, yang bisa menikmatinya ya, pendidik itu sendiri. 

Dalam hal membaca juga guru yang kembali ke rumah dituntut untuk meninggalkan pendirian-pendirian pribadi atas 'buku' yang sedang dibaca, jika terus saja ngotot dengan pandangan sendiri maka ia akan terjebak pada kacamata yang tak pernah ganti lensa. Misalnya, Lihatlah anak-anak dengan kacamata anak-anak bukan kacamata orang dewasa.

Seorang ayah bisa mengambil jarak sejenak ketika masuk rumah. Merubah susunan emosi ruang kerja yang atmosfirnya bisa saja labil. Jika negatif maka jadikanlah sebagai sarana untuk membentuk diri agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Jika positif maka persepsikan diri sebagai ayah yang jarang pulang ke rumah. Ayah dua pekanan, ayah empat pekanan, ayah tahunan dan ayah-ayah yang lainnya.

Katanya kalian sudah berliterasi, Ok itu bagus. Tetapi tidak berhenti di situ saja. Ada banyak hal setelah kita berliterasi keayahan, yakni sesuatu hal yang membuat kalian menjadi fatherman, Family Man atau apalah. Yang jelas setelah kalian berliterasi, setidaknya kalian berani untuk melihat diri sendiri lebih asing, kenapa? agar kalian lebih terbuka, tidak nyaman dengan ilmu-ilmu yang sekarang kalian anut selama ini secara turun-temurun. Jika kalian melihat film-film pendekar, kenapa hanya ada satu jagoan yang lain adalah pendekar-pendekar nomor dua. Karena jagoan ini terbuka dengan jurus-jurus lain yang tidak diturunkan oleh gurunya. Begitu juga ayah, setidaknya ia membuka diri terhadap jurus-jurus dari para ayah yang lain agar estafeta kepengasuhan bisa saling terhubung (relate)

Ketika pintu sudah di buka. Ayah mengambil jeda untuk memberikan senyum terbaik. Meski di luar sana hatinya masih sesak oleh ruang-ruang yang melelahkan baik fisik non fisik. . Ia tetap menggambarkan seorang pahlawan yang melawan penjahat meski ia dalam keadaan demam atau flu. Lalu anak kalian tiba-tiba loncat ke atas punggung dan minta keluar untuk sekedar jalan-jalan. Sementara anak tertua minta dimasakan mie yang berkuah lengkap dengan telor, tapi putihnya saja. 

"Ada yang bisa dibantu?" ucap seorang ayah. Ia sedang merendahkan emosinya. Berupa lelah yang berlipat-lipat. Hingga dari ucapannya ia berharap dapat mendapatkan energi ganda yang jos gandos.

Setidaknya ayah mampu meditasi yang cepat, tepat, agar situasi ada di kendali anda. Bahkan sholat bisa menjadi perisai agar situasi-situasi runyam di luar kendali, bisa diarahkan dan digenggam oleh kita sendiri ketika peran berubah, yakni menjadi ayah. 

Maka ketika tiba di rumah seluruh atmosfir sekarang ada dalam genggaman ayah. Mau dihembuskan sebagai keluhan yang berkepanjangan, sehingga menolak semua permintaan anak-anak yang sudah setia menanti hingga puluhan jam, atau beberapa jam, atau ratusan jam. Tetap menjadi ledakan kegembiraan tak terhingga, meski dalam bentuk yang paling sederhana. 

Hingga kembali ke rumah, kalian bisa mengawali apa yang sudah pernah kalian akhiri sejak awal. Menyambung kembali ikatan yang terjeda sekian jam dan mencoba memperbaikinya terus menerus. Lalu anak mudah untuk menjangkau tubuh ayah, lalu bergelayutan sejenak sekadar melepas kangen, dan  mendapatkan kenyamanan dari balik punggung ayah yang letih.

Senin, 17 Maret 2025

Cara Mengapresiasi Diri

BABAK 9
Cara mengapresiasi dirinya sebagai guru, adalah cara awal untuk menertibkan nalar bahwa dirinya menjadi salah satu penentu arah bangsa ini. Hingga hal-hal yang di luar konteks pendidikan untuk sementara diabaikan. Bukan tidak penting, tetapi kalau sebagian energi seorang dihabiskan untuk menjaga nalar para guru yang tidak mengarah pada kekuatan membangun peradaban, katakanlah begitu. Visi pribadinya bisa tergores, lalu bisa menimbulkan dendam, efeknya yang menganggu sekaligus meruntuhkan value yang telah susah payah dibangun. Jangan rusak nalarmu dengan perkataan-perkataan yang impulsif itu. Guru, jauhkanlah dari pendendam, dan kuat-kuat tolak lupa.

Sebutkan saja sebagai perumpamaan. Seorang guru yang di dalam nalarnya menilai sesuatu adalah bisa diubah sesuai kehendaknya. Diduga ia akan memberikan penilaian semudah menoleh, tanpa pernah kalkulasi rekam jejak seseorang yang telah dinilainya. Ujungnya guru telah mendapatkan framing tertentu akan terus melekat, meski ia telah mencoba memperbaikinya.

Apalagi kepentingan bawahannya bisa menjadi hal yang merepotkan. Ketika hal-hal yang sudah disepakati sebagai suatu kebijakan, pada saat nantinya bisa diterabas tanpa memandang hasil kesepakatan. Musyawarah dianggapnya sebagai sesuatu bisa diobrak-abrik semaunya. Analisisnya sederhana, bisa saja ia kenal dekat pengampu kebijakan, dekat secara afiliasinya sama, dekat karena soal feminimnya sama. Pada saat yang sama ia sedang menunjukkan ketidakpatuhan pada soal-soal organisasi. Semuanya bisa dipatahkan dengan diskusi kecil yang menohok. Apalagi ia mengenali betul bagaimana warna pengampu kebijakan. 

Orang-orang di dekatnya bisa saja tak mampu mengakali bagaimana menghentikannya, tetapi ia, si guru yang selalu potong kompas tak bisa menghindari dari pada penilaian-penilaian. Bahkan secara nyata ia sedang memahat dirinya untuk jadi patung arogansi. Merasa sudah lama, merasa punya investasi dedikasi hingga mudah untuk mematahkan apapun yang dinilainya tak sepadan untuk dirinya. Yang parah, ia melakukan hasil mulut-mulut yang di antara giginya tidak ada jaronya. Mungkin ia memenangkan setiap pertarungan kebijakan yang sudah tertulis, tetapi ada banyak mata yang tajam yang selalu mengawasi bagaimana ia punya selera menolak. Bukan untuk memberikan vonis ghibah, tetapi untuk mencegah agar pikirannya tetap pada pengabdian seorang guru dan api tekadnya.

Sebagai salah satu penentu peradaban penjaga dignity mestinya mendapat tempat tertinggi dari dirinya, yakni seorang guru. Agar jalan murid-muridnya tak pernah gamang melangkah. Pikirannya jernih menyegarkan. Harapannya tinggi memuncak. Dan seterusnya. Dengan cara ini guru sedang memotret dirinya tanpa memikirkan bayangannya. Pada saat nantinya murid melampaui bayangan sang guru, sang guru tunduk sujud mencium bumi. Lalu mereka akan memodelkan para pembawa pelita sebagai gambaran utuh tempat mereka bercermin.  


Minggu, 16 Maret 2025

Obrolan Siput di Pagi Hari

"Bu, Mau kemana?" kenapa ayah nggak ikut?" tanya anaknya."

"Ayahnya sudah tak ada, di melindungimu ketika banjir air asin menghantam rumah-rumah temanmu,"

"Apakah kita perlu bertukar cangkang dengan paman kura-kura."

"Tak perlu, kita hanya perlu sembunyi saja."

"Tetapi kita nggak bisa secepat burung, sembunyi saja tak cukup untuk mengontrol diri kita agar tak lekas punah oleh penduduk bumi."

"kita tak perlu jadi yang lain. Tuhan menciptakan kita agar bisa menggunakan kekuatan kita bukan kelemahan, ingat kita hanya mahluk, semuanya sudah ada takarannya."

"Mengapa kita sangat lambat."

"Karena kita tekun."

"Bukannya pemalas."

"Kaum seperti kita tak ada yang pemalas. Mereka semua punya jam kerja masing-masing. Ada yang mamatuk, menghisap, menggulung, mencengkram, mengoyak, memamah, menggigit, mereka semua punya cara kerja yang hebat."

"Apakah kita akan menjadi Qurban seperti paman Sapi?"

"Tidak ada cerita nenek moyang, kalau kaum kita menjadi konsumsi orang-orang merayakan hari Kurban, kau jangan aneh-aneh."

"Seluruh teman-temanku mati ditusuk diatas api, meski mereka menggeliat, tetap saja mereka diatas dibakar bara api."

"Kita diciptakan untuk itu, salah satunya, ada banyak hal yang bisa dilakukan."

"Tiap hari aku mengutuki mereka, mereka orang-orang sombong, tak mau berkomunikasi dengan kita bu."

"Mereka tak pernah omongon kita, untuk apa kita berteriak, kita punya cara masing-masing unutk beribadah."

"Hanya untuk itu."

"Tak ada yang lain."

"Tidak."

"Paman Sapi selalu menangis, ketika manusia mulai memotong lehernya, di hari rara."

"Mereka sedang berbagia."

"Tahu dari mana."

"Tangisannya."

"Ibu sok tahu."

"Ya memang."

Keduanya tertawa.

"Apakah hewan seperti kita akan masuk surga bu. Lalu bisa melihat penduduk surga sedang duduk-duduk bersantai.

"Itu hak Tuhan, kuharap ibu menjadi tanah saja, itu caraku saja berterimakasih sudah diciptakan."

"Ibu tak sedih."

"Untuk apa sedih, sekali lagi semua hewan memiliki sendiri caranya menghamba."

"Termasuk surga."

"Tentu. Kalau kita beribadah karena surga dan takut neraka. Itu menyedihkan. kita mencintai Tuhan semesta Alam, mengerti!"

"Bu Awas...ada manusia, dia mau ngambil kita dan dijadikan makanan."

"Aman mereka sedang puasa, kalau mau tentu saja bukan kita yang dijadikan pilihan."

"Benda apa itu?"

"Ibu tak tahu."

"Bisa mengeluarkan cahaya, kabur saja bu."

"Kita perlu ratusan menit untuk maju beberapa langkah. jadi lebih baik kita tetap tenang.

"Ibu punya firasat, itu manusia baik."

"Dari mana ibu tahu?"

"Pengalaman."

Seorang manusia selesai mengambil gambar kedua siput yang berjalan bersisian. Lalu pergi meninggalkan.

"Tuh, aman kan?"

meraka melanjutkan perjalanan lain untuk mencari tumbuhan segar untuk nutrisi tubuhnya.

Sabtu, 15 Maret 2025

SEPATU BESAR HITAM

Sepatu besar hitam:
Suaranya kasar membentak-bentak
Tertawanya, senyumannya mengejek

Galak-galak, suka menolak
Derap langkahnya menghentikan nafas
Sepatu besar hitam:

Suka merampok hak-hak
Melempar syahwat pada lubang keterpaksaan
Menelanjangi kehormatan-kehormatan
Abai, tak peduli meski ratusan tangisan

Sepatu besar hitam:Tanah lelulur diinjak-injak
Menjualnya dengan harga murah
Pada tangan-tangan yang panjang tangan
Suka bersembunyi di balik kambing hitam

Jumat, 14 Maret 2025

Kamis, 13 Maret 2025

MEWARISI SALINAN

Sebagai perekat kuat
Menghalangi deburan air
Tak muncrat kemana-mana
Sajikan penampilan terkini

Merah, kuning, biru
Hijau, oren, hitam
Ia mewarisi salinan
Kepercayaan, kekuatan, serta keseimbangan

Kemasan yang elegan enutupi semua kelabu
Sajikan penampilan yang terus populer
Tetap menyediakan ruang untuk rasa yang klasik
Semua untuk pemenang
Menyisihkan para pecundang

Rabu, 12 Maret 2025

MATA MALAM


Mata-mata yang jalang dan beringas

Sepatu-sepatu yang berketuk keras

Langkah-langkah yang terburu-buru

Ingin menuntaskan tugas-tugas


Teriakan yang membisu

Suasana serba buram

Fajar belum merekah

Menyisakan malam


Genangan darah di sudut-sudut ruang

Pagi yang kelam

Menyisakan tangis dan dendam

Pada hidup yang panjang 


Menjereng harapan

Pada kedamaian malam juga sebagian siang 

Meski sedu sedan telah lama tinggal 

Nurani siaga sepanjang nyawa 

Selasa, 11 Maret 2025

8. Drama Pengakuan

"Orang jawa lugu dari kampung itu perlu diberi tahu soal siapa yang kuat dan lemah," ucap seorang berkulit hitam berminyak. Bibirnya mengulum permen jahe yang dibelinya dari toko, tepatnya gubuk di jalan depan.

"Aku tak berani bang, orang macam tuh, biasanya tak kosong, ada isinya," ucap seorang lagi.

"Dasar pengecut, nanti malam, lihat saja siapa yang berkuasa disini, di kandang ayam."

Umar lewat didepan mereka. Tawa dan canda sebentar hening. Jam kerja tinggal sepuluh menit lagi. Umar sudah membawa cangkul dan pakan ayam.

Mereka kembali bekerja di kandang ternak ayam sampai senja. Mereka kembali ke bilik setelah bersih-bersih. Makan kenyang. Hujan turun setelah mereka mengunci dan meringkuk hangat dalam selimut usang turun temurun. Pada bagian biliknya terselip foto-foto keluarga mereka yang ditinggalnya di pulau jawa. Lelap segera menyergap pada mereka. Sementara Umar masih menulis surat yang ia akan kirimkankan ke Jawa.

Langkah tertib dibawah derasnya hujan. Seseorang hati-hati mendorong gerobak. Sarung ninja menyelimuti wajahnya. Nafasnya panas teratur. Sampai pada kandang besar. Ia berhenti dan masuk mengamati sejenak situasi. Merasa aman, ia mengambil telur-telur yang sudah dikemas siap diangkut ke dalam truk esok harinya.

Satu persatu dimasukan ke dalam gerobak. di rasa cukup, ia keluar dan mendorong gerobak nyaris tanpa suara.

Umar sudah tertidur pulas meninggalkan kertas surat yang sudah ditulis penuh dua halaman. Tulisannya miring ke kanan. Dengkurannya membuat si maling adalah jaminan bahwa dirinya mudah melakukan banyak hal.

"Siapa yang berani mencuri telur-telur dari kandang tadi malam!, sampai sore harus ketemu orangnya. Umar, kau urus ini, Hari ini saya mau ke kota."

Umar mengumpulkan semua karyawan di depan kandang. Mulai mengintograsi satu-satu.