Sabtu, 25 Januari 2025

DIORAMA BADUT

Akhir-akhir ini memang cuaca sangat panas, ditambah badut-badut itu makin gencar meneror dan sesekali membunuh, jika terpaksa. Orang-orang mulai malas untuk berjalan di trotoar, para badut itu sering berkerumun menjelma polisi yang tak punya lencana. Sekedar menggertak atau mencibir, bahkan seringkali ghibah untuk memuaskan intelektualnya.

Kendit mengelap keringat yang membanjiri mukanya. Handuk kecil hijau berubah warna, deterjen telah mengurainya pelan-pelan. Tanco yang dioleskan pada rambutnya ada yang berhasil lolos hingga bergelantungan pada ujung rambut.

Ia memperhatikan Tauke ‘membetulkan’ kacamata yang berkali-kali lolos dari hidungnya yang licin. Ini waktu istirahat yang paling ditunggu. Tauke itu sudah tak berhenti menenggak es limun yang dipesan dari pedagang depan tokonya.

Sebentar senyap, sebentar tegang. Bunyi musik mencekam itu pelan-pelan mendekati mereka.

"Mereka telah kembali, berapa banyak pengikut mereka," Guman Tauke.

"Tidak tahu bos." Jawab Kendit.

"Sekelompok badut telah memenggal nurani di sepanjang Jalan."

Jalanan tampak ramai, orang-orang bernyanyi-nyanyi seperti lelucon kesiangan. Orang tak lagi malu untuk menyemprot sana menyemprot sini. Tangannya mengacung-acungkan ke langit. Atau mungkin menantang langit. Seberapa pantaskah mereka.

Kendit menatap kerumunan para badut yang banyak tingkah. Nampak matanya membelalak, ia menubruk sebongkah wajah yang ia kenal saat masih mengeja huruf di bangku sekolah. Wajahnya tampak merah. Riasan badut tak menghalangi Kendit untuk mengenalinya. Atau memang betul wajahnya seperti itu, tanpa harus meminum darah, atau marus. Wajahnya tetap merah. Itu tak baik, bahkan di jauhkan sejauh-jauhnya. Haram.

Mungkin hanya riasan yang membuatnya tampak semerah saga, atau jiwanya telah karam oleh darah. Atau betul-betul menenggelamkan diri pada lautan merah, meski hanya semata kaki. Walau hidungnya tak mau berbohong, ia telah mencium bubuk mesiu seharian. Bersama dengan genangan merah, atau ia tak sengaja merias wajahnya, hingga tampak semerah darah.

Touke mengajak Kendit keluar. "Ini malam minggu kau harus menghirup udara segar," begitu katanya. Ia tentu punya alasan. Semua orang punya alasan. Kadang melakukan sesuatu juga tanpa alasan. Semua hal bisa terjadi. Meski banyak alasan akan mempertegas sebuah kesalahan.

Kendit memegang erat besi pegangan yang berada di bawah sadel. Udara malam mengelus rambutnya yang berombak. Touke mengayuh sepedanya di jalan raya yang dipenuhi lampion-lampion aneka warna. Orang-orang berpakaian bagus berjalan kaki menuju satu titik secara bersamaan.

"Kemana kita Bos."

"Pasar Malam, di sana tidak hanya kemeriahan yang akan kau temukan, tapi juga rindu yang bisa kau temukan."

Kendit tersenyum.

Sepeda Onta berhenti. Mereka berdua berjalan beriringan. Layaknya ayah dan anak.

Mereka sampai pada kedai yang ramai dipenuhi gelak tawa dan berdenting minuman yang ditenggak secara bersamaan. Cahaya Petromak menerangi kedai malam itu.

"Selamat datang, lama tidak berjumpa." Kata seorang pengunjung. Matanya tampak terpejam ketika ia tersenyum.

"Kau tampak gemuk sekarang." kata Touke.

"Berkat kau, aku bisa seperti ini."

"Jangan ungkit-ungkit terus, tak baik." Jawab Touke.

"Linda?" kata bapak bermata sabit itu. Ia melambaikan tangan pada pelayan kedai.

Seorang gadis berbaju merah datang menghampiri meja kami. Ia menghidangkan minuman dengan jari jemarinya yang tampak terawat. Bosnya sendiri sudah menenggak minuman sebelum berdiri di atas meja.

Gadis itu berdehem untuk mempersilahkan Kendit mengambil minumannya. Kendit menoleh kearahnya. Mata mereka saling berpandangan, dan Kendit tampak kikuk dibuatnya. Mata sipitnya telah membuat Kendit kalang kabut. Ia tetap berdiri di depan Kendit, dan tersenyum ke arahnya.

"Oh ya Linda, aku baru ingat kalau Kendit tidak minum," kata Touke.

"Maaf Paman, aku tidak tahu. Segera ku bawakan minuman yang lain."

"Anakmu rupanya sudah besar. Ia cantik seperti ibunya" Kata Touke.

Pria bermata sabit tertawa.

Selanjutnya yang Kendit dengar dari mereka berdua adalah bahasa yang seringkali digunakan oleh Touke. Sesekali mereka menatap Kendit dalam beberapa detik. Lalu mereka melanjutkan pembicaraan yang terputus-putus. Baru kali ini Kendit melihat sang Touke menghapus air mata beberapa kali. Termasuk bapak itu, kemudian mereka bersulang lagi dan suasana berganti dengan cepat.

Gadis yang dipanggil Linda oleh bapak itu muncul lagi dari dalam pintu yang gelap. Ada tirai yang tampak berkilaun dari pintu itu.

"Ini Kopinya," kata gadis itu.

"Terimakasih." Jawab Kendit.

"Rokok?" tanya gadis itu lagi.

"Maaf, itu juga tidak?"

"Hei Linda, bawakan saja semangkok bakso, pasti ia tak bisa menolak." kata Touke.

Pulang dari Pasar Malam, udara makin dingin. Kendit ganti mengayuh sepeda. Bosnya duduk dibelakang sambil terus bercerita. Sambil sesekali tertawa sedih. Kendit tak tahu harus menyimpulkan seperti apa. Karena Ia sedang menertibkan jantungnya sendiri, yang sedari tadi berdebar-debar. Seperti ada yang memompa secara sembunyi. Ia tak tahu kenapa berdenyut lebih kencang. Perasaan yang telah lama terkubur, kini kembali muncul.

Ia tak menggubris ocehan Kendit yang berbau formal itu. Ocehannya seperti kentut yang keluar buru-buru. Mengeluarkan aroma sebusuk mayat, yang telah dikebiri hak-haknya. Lalu terkubur sia-sia bersama bakat yang tak pernah ditemukan oleh pemandu bakat sehebat apapun.

Badut berwajah merah menenggak sari buah lontar dari gelas bambu hitam. Jakunnya naik turun. Nafasnya tertahan sejenak. Lalu ia menghembuskan nafas. "Ah..." terasa betul ia menikmatinya.

"Minuman ini bisa menjauhkan kamu dari impotensi, dan jumlah sperma kamu makin banyak, camkan itu baik-baik, kelak kalau sudah menikah, banyak-banyaklah minum legen," ucap badut berwajah merah.

"Kau tak mau Dit," tawarnya.

"Itu sudah lewat satu minggu guru, tak baik untuk kesehatan."

"Maaf, aku sudah lupa hari."

Badut berwajah merah tiba-tiba menatapnya tajam. Kendit menatap balik. Ditatapnya orang yang telah membangkitkan mimpi-mimpi besar, cita-cita, juga menceritkan kisah-kisah abadi. Seragam yang dulu ia pakai, berganti dengan pakaian sederhana. Tak lagi terselip pena di saku bajunya. Yang ada sekarang badut berwajah merah yang menggusarkan banyak pihak.

"Maaf," ucap Badut berwajah merah.

Kendit menghapus air mata yang turun tiba-tiba, menyeka dengan jempolnya. Mungkin terlalu lama beradu pandang dengan gurunya sendiri. Lelaki yang memilih jalan lain. Sebuah jalan terlalu terjal, tak biasa, dikecam, bahkan dituduh tak bertuhan.

"Kendit waktu istirahatmu sudah habis, nanti kau dicari Touke," ucap badut berwajah merah. Kendit tak mau menghindari gurunya, tak memilih jalan lain seperti buang muka ketika berpapasan di jalan, pasar, terminal, puskesmas, bahkan di sekolah.

Beberapa tahun kemdian badut berwajah merah menjelma raksasa yang ditakuti. Kepalanya besar, wajahnya tak presisi, kulitnya kasar, hidungnya besar, telinganya panjang, dan menimbulkan kegaduhan setiap ia jalan menelusuri lorong-lorong kelas.

"Bapak perlu istirahat sejenak," kata Kendit. “Orang-orang sudah mulia mendiktenya dengan suara-suara sumbang, menyakitkan, merendahkan dan berbagai gunjingan yang menohok,” tambah Kendit.

Badut berwajah merah hanya menoleh kearahnya.

"Tak usah," ucapnya. "Ketahuilah, kita tidak selalu baik di cerita orang lain, seperti penulis yang yang bermaksud mengucapkan JALAN, pembacanya menafsirkannya GURUN. aku tak bisa menghentikan semua lidah itu, tatapan itu, dan tentu saja ucapan itu." tambahnya.

Kendit tak menjawab sepatah kata. Ia sakit, tapi bukan badannya yang sakit. Nuraninya telah dipenuhi berbagai kilatan pedang dan sayatan sembilu. Ia menatap wajah yang dulu dirindukan, sederhana, tetapi menggema. Raksasa yang kalem, tuturnya menyentuh, dan jalannya tak membuat bising seisi ruang kelas. Kini badut berwajah merah menyusut, akalnya juga kesehatannya. Ia tampak kurus dan mengecil. Bahkan orang-orangnya mulai memakinya dengan Raksasa Kerdil.

"Kau tak perlu bersedih. Aku punya cara hidupku sendiri, kamu juga. Kita sama-sama hidup dengan cara masing-masing," ucap pria berwajah merah. Kendit menatapnya pilu. Ia harus menyaksikan orang yang dicintainya telah dikucilkan hingga makin mengecil. Rumah yang dirintis dengan segenap jiwa kini menolaknya, bahkan sampai bau tubuhnya.

Badut berwajah merah masuk kedalam gua, sebagai rumah baru yang tak pernah menolaknya. Ia tak peduli dengan keangkeran dan mistis. Hewan-hewan buas mungkin jadi teman setianya.

Kendit pulang. Kakinya kuat melangkah. Pikirannya melayang. Panas matahari yang menyengat, tak juga melepuhkan. Ia ingin merebahkan sejenak bersama segala yang keropos, tak bertulang, juga meluruskan prasangka-prasangaka.

Jumat, 24 Januari 2025

AYAH YANG DURHAKA KEPADA PUTRINYA

Selepas pulang mengaji Tina terkejut. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung di halaman rumahnya. Suasana rumah yang tak biasa membuatnya cemas dan gelisah. Apalagi ada mobil mewah dan selingan gelak tawa Bang Kobar, ayahnya sendiri.

Tina masuk ke rumah. Di ruang tamu ia lihat ada orang ‘asing’ yang sedang duduk berhadapan dengan Bang Kobar.

“Tin,” sapa Bang Kobar.

Tina berhenti. “Ya Ayah.”

“Beri salam pada calon suamimu,” ucap Bang Kobar enteng.

Tubuh Tina menegang, lutut gemetar. Ia seperti melihat malaikat maut. Al-Quran yang ia pegang hampir jatuh. Ia hanya mengangguk dan masuk kamar. Sejam kemudian, tamu itu pulang. Bang Kobar masuk kamar memasang wajah ceria. Banyak barang-barang yang ia bawa masuk. Satu persatu ia serahkan kepada Tina.

“Ini apa yah?"

“Jangan bodoh, semua barang-barang mahal ini adalah hadiah dari calon suamimu, Paman Tom. Ia akan melamarmu secepatnya,” Tukas Bang Kobar sambil membuka barang-barang satu persatu.

“Aku tak mau, kenapa ayah tak bicarakan dulu dengan Tina.”

“Anak dungu!, kau tak bisa menolak. Sekarang ayah jadi manusia bebas. Paman Tom yang melunasi semua hutang-hutang ayah. Camkan itu nak?” seringai Bang Kobar, sambil merobek pembungkus kado.

Tina memilin-milin bajunya sendiri. Ia merasa kebebasannya telah terjual mulai saat ini.

Sepekan kemudian Tina dilamar. Satu bulan kemudian berikutnya laki-laki itu menikahinya. Matanya selalu terpejam manakala tersenyum dan tertawa. Tina tak berani memandangnya. Ada luka yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

Malam hari Tina di boyong ke Ciputat. Perjalanan dari Bogor ia habiskan dengan melamun. Sebelum berangkat ia melihat ayahnya tertawa melepaskan kepergiannya dengan membawa koper besar yang terus menerus dipeluk. Bibirnya menjepit cerutu yang mengepulkan asap terus menerus.

Di kamar yang luas Tina duduk dipinggiran tempat tidur. Lantainya bagus, tidak seperti dirumahnya yang kasar dan kotor. Ia masih memakai gaun pengantin. Laki-laki asing itu masuk dan menatap Tina. Tina menunduk menatap lantai yang licin. Kedua tangannya memegang pundak Tina. Luka itu makin merekah dengan akar-akarnya menghujam kuat. Tetapi ia tak bisa mengelak. Matanya menutup kuat-kuat sejak lelaki itu mengangkat dagu Tina hingga lelah membuatnya tertidur.

Pukul 06.00 Tina terbangun.

“Allah, ampuni aku. Hamba terlambat solat subuh,” lirih ia berucap.

Selesai sholat ia melipat sajadah dan pergi ke ruang tamu, membuka gorden yang tebal dan mengaitkannya pada kayu apik.

“Tuan Tom keluar kota, ada pekerjaan di sana,” ucap seorang perempuan. Ia membawa secangkir teh dan meletakannya di atas meja. Tina menoleh dan mencoba tersenyum.

“Terimakasih tehnya.”

“Sama-sama Neng, kalau butuh bantuan. Bibi ada di belakang.”

Tina mengangguk. Dan ia tak ingin tahu nama Bibi barusan. Caranya menatap membuatnya teringat dengan Guru Matematika yang galak.

“Kau senang?” tanya tuan Tom pada Tina yang sekarang duduk di Taman Kota. Sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.

“Tina mengangguk kecil, dan mencoba seramah mungkin. Melihat wajah Paman Tom yang tampak bersahabat membutanya tak lupa dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Memasuki usia pernikahan yang yang kedua. Tina diberikan sebuah rumah mewah dan besar. Di garasi rumahnya terdapat dua mobil mewah. Satu mobil Eropa dan satu mobil lokal.

Tina mulai belajar mengendarai mobil. Kursus selama tiga bulan. Sementara Paman Tom mulai jarang di rumah. Pekerjaanya sebagai pengusaha ‘impor ekspor’ membuatnya sering ke luar negeri.

“Kau sudah bisa mengendarai mobil Tin?” tanya Tuan di pagi hari ketika mereka sarapan. Aneka macam hidangan tersedia. Sang Bibi selalu menolak setiap mereka makan bersama. Ia membawa satu piring makanan dan menyantapnya di kamar sambil menonton sinetron.

“Pekan ini aku akan coba bawa mobil sendiri,” ucapnya kikuk.

“Bagus, oh ya selama empat pekan aku akan pulang kampung, ibuku sedang sakit,” ujar Paman Tom. “Semoga Ibumu cepat sembuh,” tutur Tina.

Paman Tom di sambut di ruang tamu. Di sana sudah hadir keluarga besar. Anak-anaknya yang kuliah di Amerika juga ikut bergabung. Hatinya tiba-tiba menciut. Pendingin ruangan yang besar itu tak mempan mengusir gerah yang tiba-tiba menyergapnya.

“Sudah satu tahun kau meninggalkan rumah ini, apa yang kau lakukan di Indonesia,” tanya seorang perempuan dengan dialek korea selatan yang medok. “Berbisnis,” ucap Paman Tom.

“Sekarang kamu pandai berbohong!, Cepat tinggalkan Indonesia dan perempuan desa itu. Kalau tidak aku akan gugat cerai kau!, dan semua kerjasama akan di atur ulang. Semua keluargamu dan juga dirimu tak akan mendapatkan apa-apa. Dan kalian akan kembali tidur di emperen toko!” teriak perempuan itu. Sementara kedua anaknya menatapnya jijik.

“Baik,” ucapnya parau.

“Dasar lelaki tak tahu di untung!” teriaknya kembali. Ia meninggalkan ruang tamu. Anggota keluarga yang lain ikut bubar. Seorang laki-laki berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat mendekatinya.

“Tinggalkan dia,” ucapnya. Tangan kanannya yang keriput mencengkram kuat bahu Paman Tom. Ia pun meringis kesakitan. Ia buru-buru mengangguk. “Baik Ayah.” Jawab Paman Tom.

Tina pulang ke Bogor mengendarai mobil Eropa. Sampai di rumah ia disambut meriah. Soudara-soudaranya memperlakukan layaknya raja. Ia mencari-cari ayahnya. Tak ada di rumah.

“Kemana ayah.”

“Biasa di ‘kebon’, jawab salah seorang soudara ayahnya.

Tina meluncur ke ‘kebon’. Maksudnya tempat judi. Sampai disana suasana sepi. Ia menemukan ayahnya yang tertidur pulas. Tina membangunkannya. Ayahnya tertawa melihat putrinya pulang.

“Hebat sekali kau nak?” puji sang Bang Kobar. Sementara gelak tawanya tidak berhenti sampai di depan Mushola. Tempat yang penuh kenangan. Ia keluar dari mobil dan sholat magrib. Bang Kobar menolak untuk turun.

Ketika keluar dari Mushola ia berjumpa dengan salah seorang sahabatanya. Hatinya yang gembira berubah sedih. Kata-kata dari sahabatnya mengandung bawang.

“Dasar perek!” ucapnya kasar. Senyum Tina hilang berganti rasa sakit. Air matanya tiba-tiba saja jatuh.

Satu pagi ayah dan saudara-saudaranya mampir ke rumah. Mereka mengambil apa saja yang menarik baginya. Guci, Karpet Turki, sampai pembersih WC pun mereka ambil. Tina pun tak bisa berbuat apa-apa. Mereka berdalih apa saja. Ayah pun mengamininya.

“Kasihan, mereka sedang terlilit hutang, bantu mereka ya,” pinta sang ayah.

Tina mengangguk. Air matanya sulit terbendung. Begitu selesai dengan hajatnya, saudara-saudaranya pergi begitu saja. Hatinya tiba-tiba sangat kacau, pikirannya melanglang buana, dan Paman Tom, suaminya makin sulit dihubungi.

Tina menangis sendiri. Ruang tamu sangat sepi. Bibi pulang kampung melayat suaminya yang meninggal. Ia tertidur di atas sofa dan terbangun mendapati dirinya sudah di kepung saudara-saudara dari Bang Kobar. Mereka memasang wajah melas. Sementara Bang Kobar duduk mengangkat kaki di salah satu kursi yang biasa Paman Tom duduki.

“Ayah pinjam surat-surat rumah dan mobilmu ya.”

“ Untuk apa.”

“Pinjam duit ke bank, buat usaha ayah dan usaha saudara-saudaramu.”

“Tapi, aku harus izin sama suami dulu yah.”

“Tak perlu karena hari ini kawin kontrakmu sudah habis, dan nanti ayah akan bangunkan rumah yang lebih mewah dari rumah yang kamu tinggali.” Sorot mata Tina tiba-tiba berubah seperti mata beruang yang kena jebakan. Ia pun meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya. Terdengar teriakan dan lolongan tangis yang menyayat. Bang Kobar tersentak, tetapi saudara-saudaranya cepat-cepat bereaksi agar kelicikan mereka tak tergagalkan oleh nurani yang tiba-tiba hadir pada benak Bang Kobar.

Mereka pergi meninggalkan rumah Tina yang mewah dan megah. Hampir seluruh perabotannya lenyap oleh tangan-tangan rakus saudara-saudara Bang Kobar. Mereka semua gila judi.

Di sebuah rumah judi yang ramai. Mereka bertaruh dengan sertifikat rumah dan mobil milik Tina. Sementara Bang Kobar sibuk menenggak bir sambil mengacungkan uang bergepok-gepok di atas meja judi.

Kali ini mereka menang. Semua uang hasil judi mereka bawa kabur. Sementara Bang Kobar terkapar di meja judi dengan nyaris telanjang. Uang bergepok-gepok itu lenyap oleh kelicikan sang bandar.

Tina mengurung diri. Wajahnya kuyu. Sementara perutnya mulai membesar. Dan ia kelihatan linglung.

Bang Kobar terbangun sendiri oleh tangisan Tina. Di dapatinya ia sedang duduk di atas amben di tengah ‘kebon’. “Ayah menjualku pada orang kota, ayah kejam!” teriak Tina sambil tergugu.

“Tidak, ayah ‘menikahkanmu’ pada orang kota, itu yang betul.” Pungkas ayah.

“Ini buktinya!” ucapnya. Nada perkatannya makin tinggi. Ayah yang masih pengar ingin membantah dan menutupi semua kejahatannya. Tetapi secarik surat lengkap dengan tangannya membuatnya terpaku. Dan ia membaca pada bagian yang paling menyengat kesadarannya.

“Sekarang ayah mau mengelak!” cecar Tina.

“Maafkan aku nak?”

Tina pergi dari ‘kebon’. Di ujung jalan sebuah mobil berhenti. Paman Tom keluar dari mobil itu. Tina langsung berlari ke arahnya. Ia ingin memeluknya.

“Kenapa kau jual rumah dan mobilmu!” Dasar pelacur bodoh!” umpat Paman Tom dan menghujani kedua pipi Tina dengan tamparan serta beberapa pukulan.

“Hentikan!, teriak Bang Kobar yang muncul dari balik pepohonan.

“Anak dan ayah sama saja. Sama-sama goblok!” hardik Paman Tom.

“Pergi! Pergi! teriak Bang Kobar.

Paman Tom tertawa lebar.

Paman Tom masuk masuk mobil dan melaju. Tina berdiri kaku dan rahangnya mengatup. Ia diam tak mengeluarkan sepatah kata. Ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Bang Kobar mengajak Tina pulang ke rumah dan menyuruhnya istirahata di kamar, tempat ia dilahirkan.

Ia meninggalkan Tina sendiri yang tertidur. Lalu berlari ke arah ‘kebon’. Mencari pohon kopi yang pernah di tandainya dengan getah karet. Ia menggali tanah di sekitar akar pohon tersebut. Ia berhenti mengambil tanah ketika tangannya menyentuh kotak yang terbungkus plastik.

Satu kotak perhiasan milik mendiang istrinya masih utuh. Ia ingin memberikan perhiasan itu untuk Tina sesuai sesuai wasiat terakhirnya. Senyum culas tiba-tiba hadir. Bang Kobar mengeluarkan kotak kecil dari dalam sakunya. Ia memasukan tiga buah kalung dan tiga cincin. “ini cukup untukmu nak.” Tukasnya sambil menyeringai. Sisanya, gelang jumlah yang banyak, siap-siap ia bawa ke ‘kebon’.

Rabu, 22 Januari 2025

Serangan Lebah Madu

Sore tadi Anto disengat oleh beberapa ekor lebah di bagian tangannya, sepulang bermain. Membuat Ibunya panik dan Ayahnya bingung, baru kali ini lebah-lebah peliharaannya berubah pemarah. Lelaki berhidung besar itu menghampiri Anto yang tengah duduk merintih di atas bale-bale rumah.

“Kamu kok bisa disengat lebah, kamu ganggu mereka ya?”

“Nggak Yah, cuma aku lempari rumah madu itu beberapa kali dengan batu?”

Ayahnya menggeleng, menghela nafas.

“Itu namanya mengganggu, kalau kamu tak ganggu pasti lebah-lebah tak akan menyengatmu?”

Beberapa hari berikutnya.

Ia menoleh ke arah kanan dan kiri, memastikan sekali lagi. Tak ada orangtuanya yang mengawasi. Perlahan-lahan ia berjalan menuju rumah madu. Tangan kanannya memegang sebilah bambu panjang. Langkahnya ia buat sepelan mungkin. Ia kini berjarak hanya satu meter dengan rumah madu. Suara dengungan makin terdengar. Ratusan ekor lebah lain sedang berkumpul diatas madu, bersama seekor Ratu Lebah yang cantik.

Anto menoleh kebelakang sekali lagi. “Aman...” ucapnya lirih. Ia tersenyum, tepatnya menyeringai. Tiba-tiba ia melangkah lebih cepat dua sampai tiga gerakan. Dan bilah bambu yang ia bawa tiba-tiba melayang, menusuk, memukul bertubi-tubi, merusak, dan menghancurkan rumah madu dalam waktu singkat.

“Rasakan pembalasanku!, dasar lebah-lebah madu bodoh!” pekiknya. Situasi mulai membahayakan, tetapi Anto tak berhenti mengayunkan bilah bambu untuk lampiaskan dendamnya tempo hari.

Bilah bambunya terjatuh. Ketika tiga ekor lebah madu menghujamkan pantat runcingnya ke atas tangannya.

“Aduh!” Anto berlari, sambil menyingkirkan lebah-lebah yang melesat cepat, menempel, lalu menyengat bergantian.

“Tolong...!” teriak Anto. Lebah yang tadi hanya puluhan kini berjumlah ratusan. Lebah-lebah yang ada di rumah madu, keluar semua. Semuanya dalam mode menyerang. Dengungan yang terus bersliweran membuat Anto kehilangan fokus, lebah-lebah itu mulai menyerang wajahnya.

“Tolong...!” pekik Anto. Tanganya sibuk mengusir lebah-lebah yang semakin galak menyengat kedua telinga, menusuk kepalanya masuk melalui rambut-rambutnya, juga paha dan kaki.

Ratusan lebah itu terus mengerumuni tubuh Anto yang sedang berguling-guling di atas tanah. Menghindari sengatan lebah yang makin liar dan ganas. Beberapa saat kemudian, tubuh Anto tak bergerak dan lebah-lebah tak berhenti menyerang.

“Ayah!, tolong Anto Yah, dia di sengat lebah!” teriak Istrinya. Teriakannya seperti auman Singa jantan yang lapar. Ibunya menemukan Anto, ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi di belakang rumah.

Ayahnya yang sedang mengupas buah kelapa di kebun dekat rumah pun berhenti. Ia mengenali teriakan itu. Ia pun bergegas berlari menuju rumah. Sampai di lokasi, cepat-cepat ia melepas baju untuk dijadikan kipas, menghalau ratusan ekor lebah yang makin tak terkendali. Nafasnya terengah-engah. Rahangnya mengatup keras.

“Cepat tolong Anto Yah!” Pekik Ibunya.

Ia mengangkat tubuh Anto yang terkulai lemas dan membopongnya. Ia berlari sepanjang jalan setapak yang dipenuhi semak-semak yang rebah. Menuju Puskesmas yang ada di dekat lapangan bola.

“Tolong anak saya, ia di sengat oleh lebah, sekarang dia pingsan,” pintanya pada perawat yang sedang berjaga.

Satu pekan kemudian.

“Ingat Nak?, jangan pernah lagi ganggu rumah madu itu, tak aman buatmu?” saran ayahnya sebelum ia pergi ke kebun untuk mengambil buah-buah kelapa. Anto mengangguk.

“Ya ayah,” ucap Anto lirih. Pada sekitar bola matanya masih menyisakan bengkak. Juga beberapa bagian tubuh lainnya, seperti pipi, tangan, tengkuk, dan kakinya.

Anto melihat punggung ayahnya sampai hilang diantara pohon pisang. Ia berjalan ke arah rumah madu. Tak ada lebah-lebah yang berterbangan. Rumah madu itu sebagiannya terlihat hitam. Ada ratusan ekor lebah yang mati berserakan di bawah rumah madu. Anto balik badan dan berlari mencari ibunya.

“Bu!, rumah madu kok kosong dan lebah-lebahnya pada mati!” seru Anto pada ibunya yang sedang memetik daun singkong.

“Ayahmu yang membakar, dia begitu marah pada lebah-lebah itu, menyerangmu hingga pingsan,” jawab Ibunya.

Anto terdiam dan duduk di bale-bale rumah.

“Anto yang salah Bu?, lebah-lebah itu tak bersalah,” ucapnya pelan. Ibunya mendengar dan duduk di sampingnya.

“Ada rumah madu yang baru dibuat oleh ayahmu,” tutur Ibunya.

“Dimana Bu!” ucap Anto semangat.

“Ibu mohon jaga sikapmu, agar lebah-lebah itu tak lagi marah, kasihan ayahmu, ia tak bisa jual madu pekan ini kepasar,” kata Ibunya.

“Iya..., tapi dimana sarangnya,”

“Di pohon Nangka, ingat jangan ganggu lebah-lebah itu lagi?” pinta Ibunya.

Anto tertegun memandangi rumah madu yang baru. Terikat kuat diantara batang pohon Nangka. Sepi, tak ada dengungan lebah. Ia nampak lesu dan memutuskan pulang. Tak diduga kedua matanya tiba-tiba keluar air mata.

Hari-Hari Bersama Percakapan Kosong

hari-hari ini percakapan kosong tengah berlangsung memenuhi gelanggang hingga petang

kadang mulutnya yang lancang bagai pedang menebas lawan ataupun kawan

buih-buihnya berhamburan meleleh dari bibir yang rawan
menebar janji-janji  tak berkesudahan


hari-hari bersama percakapan kosong

menyusun rencana tuk menyesatkan
dari garis-garis pedoman yang ditetapkan
sejak kalian masih dalam buaian


hari-hari bersama percakapan kosong

berjalan tanpa cahaya seperti orang buta pembohong
hanya harap pada pundi-pundi uang
janji-janji berhenti di atas kertas putih bertanda tangan

hari-hari bersama percakapan kosong
mengecam sana-sani untuk merendahkan
menjual parodi-parodi lalu dimatikan pelan-pelan
kemana nurani yang kalian edarkan pada pamflet-pamflet berjalan


O dunia...

kemarin, hari, dan esok bersama percakapan kosong berganti bacot
tumbuh bersama cerdik cendikiawan yang terlambat minum obat
lalu menjelma sebagai psikopat yang muncul dari balik kerumunan
tak jelas siapa lawan siapa kawan


kemana ajaran orang tua kalian

hari ini banyak sekali percakapan kosong yang ditontonkan
berulang-ulang tanpa bosan seperti iklan
dari balik jutawan yang menumbalkan nuraninya pada kesesatan


yang pintar seringkali keblinger-blinger

mengocok perut 
yang benar diikat kuat katebelece
laju jalan pun hanya berpuatar-putar


apakah kalian akan menunggu kemarahan dari kolong langit!

cukup sudah percakapan kosong yang kalian kemas dan gigit!
sampai lepas dan berdarah...
padahal waktu terus membunuh!

 

Senin, 20 Januari 2025

MENUNGGU IBU PULANG


sekali berucap tiba-tiba senyap
pada waktu yang sepi
pada lelap yang menghantui
lalu buka sudah lelap

dua anak terbaring lesu
setelah lama menjahit mimpi
sementara mentari meninggalkan kelu
lanjut esok pagi

kalian sudah ditunggu Ibu
cepat-cepat memasak
sampai rasa membencimu
untuk rindu mendesak

rampas semua lelah
sampai lelah membecimu
menjauh untuk mendekat
lalu peluk ibu erat-erat

 

NENEK PEMBAWA JERAMI


 Padanya asa menjawab semua hal 
 Melawan papa sebab derita
 Sepasang kaki tua mengaspal siang
 Dibawah terkaman sinar menyetrika raga 
 Menjereng sepanjang jalan pulang 

 Sepasang mata muda yang telah lama mengeriput 
 Dimakan waktu dibakar kelelahan menunggu pulang 
 Membawa sepanggul jerami-jerami dari sudut belukar yang tertingal 
 Pagi gelap menggigil selimuti juang 
 Untuk sapi-sapi idul kurban

Kamis, 16 Januari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

Kado Pengantin Untuk Istri

Elang berjalan menuju sebuah pasar. Ia Ingin membeli sebuah kado pengantin, ia ingin menyenangkan layaknya suami pada umumnya. Tempat yang dirindukan, meski beraroma tai bebek. Meski begitu, pasar rakyat ibarat surga yang menyenangkan, mungkin tak penipuan disana. Apa yang mesti ditupu, jika dulu semasa kecil, ia bersama dengan teman-temannya mengais cabe-cabe tak layak jual untuk dikumpulkan dan dijadikan bahan sambel untuk makan malam. Ia tak ingin dejavu seperti yang biasa terjadi jika mental sedang melankolia. Justru dengan ingatan jelas tentang sebuah masa, ia ingin memperjelas kenangan menjadi sebuah kekuatan.

Jalan yang aman dari para mata-mata penguasa hanyalah sebuah gang sempit yang sempat ditutup. Tak ada yang berani melintas meski pintu gang telah menganga lebar. Ingatanya juga melayang pada gang yang sedang dilewatinya, sebuah gang yang mengerikan, dimana telah terjadi pembunuhan yang mengerikan. Tubuh korban dimutilasi dan potongannya disusun menjadi sebuah kata. “PUAS” sebuah kata yang sampai sekarang tak ada yang bisa menerjemakan, meski para ahli bahasa sekalipun.

Gang yang sempit hanya bisa dilewai oleh dua orang berjajar, kedua sisinya diapit oleh tembok-tembok dari gedung perkantoran dan pusat berbelanjaan. Ingatannya tanpa dipanggil lebih dalam, tiba-tiba saja muncul seperti bisul. Sebelum ditembok, gang ini adalah lapangan bola luas yang bisa menampung seluruh anak-anak kecil sekampung, termasuk Lukman. Tempat mengadu laying-layang, pertandingan tarkam yang selalu ribut menjelang maghrib, atau melihat layar tancap dimalam hari dengan mulut sibuk mengunyah kacang rebus.

Kini semuanya serba kaku dan membisu, jalan-jalan tak lagi aman dan menyenangkan, anak-anak bingung mencari tempat bermain.

Selain sempit, gang ini juga selalu dipenuhi air semata kaki. Entah air dari mana, tak peduli hujan atau tidak. Gang ini sangat menjengkelkan sekaligus mengerikan. Orang-orang lebih memutar dari pada harus melewati gang ini, ketika berangkat ke pasar. Elangtak melakukannya.

Ia berjalan sambil melihat tulisan yang banyak menghiasi tembok sepanjang gang. Isinya macam-macam, ada yang mengutuk, mengumpat, ataupun memaki.

Tulisan itu seperti: Tumpas, tebas, korupsi sampai habis. Lalu ada yang menambahka pada tembok lain, korupsi, kolusi, nephotisme, biang kerok. Dan seterusnya, seperti tak ada tempat penghisap darah.

Mata yang terlatih itu terus menyerap semua tulisan dari tangan-tangan berminyak yang kebanyakan kerja hanya mengandalkan tenaga. Bisa saja mereka menuliskan sambil tersedu-sedu, karena terus saja memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia setelah ia tiada. Di gantikan oleh anak cucu yang mengais rempah-rempah keadilan dengan cucuran peneyelasan.

Penamaan pengantin dan mencari kado setelah usai resepsi pernikahan agaknya ganjil. Tetapi tidak bagi Lukman, ia justru ingin menghadiahi istrinya dengan kado setelah menikah, entah apa kadonya. Uang tebal juga tak ia genggam, hanya bunyi kepingan uang yang saling beradu pada kantong bajunya. Ia ingin duduk santai di tepi ranjang, sambil menatap punggung istrinya yang sedang menyisir rambutnya yang basah, padahal subuh tadi terlalu dingin.

Sampai di mulut gang, ia melihat tulisan mural yang membuatnya tampak nyaman. “Tulisan itu hasil residu dari bahasa lisan.” Di bawahnya tersemat sebuah nama: Sapardi Djoko Damono. Ia melangkah sambil tersenyum menyebrang jalan raya. Ia menurunkan tudung kepala sampai menyentuh kedua alisnya. Matanya menyisir cepat, siapa tahu ada para serdadu yang tingkahnya aneh. Menyamar sebagai pedagang yang aroma tubuhnya sama sekali berbeda.

Elang melipat baju dan memasukannya kedalam kantong plastik. Tak berkado, juga tak elegan. Hanya sepasang baju yang dibelinya dengan perasaan bercabang.

“Kau belum tidur,”

“Mana mungkin aku bisa tidur, ini hari yang bahagia, tetapi serdadu itu terus saja membuatmu kecut.”

“Maaf, mungkin ini membuat perasaanmu ringan.” Elangmengulurkan baju yang dibelinya di pasar tadi pagi.

“Uang dari mana.” Tanya istrinya.

“Seperti biasa, aku memposisikan diri sebagai konsultan hukum.”

“Orang-orang itu masih percaya.”

“Mungkin tidak ada pilihan lagi.”

Elang meninggalkan istrinya setelah tengah malam. Melepaskan diri dari pelukannya. Menyibak selimut kain hadiah dari seorang teman yang mengaku diriya sebagai pejuang HAM. Seorang teman yang mata kirinya telah dibuat buta oleh hantu menguntitnya sejak lama. Naasnya setelah kejadian itu, temannya dituding sebagai orang bergaya modern, tiap hari dituding sebagai mata lensa.

Kakinya melantur kemana-mana sampai ia berhenti pada warung 24 jam. Penjualnya sedang menikmati secangkir kopi, menyesapya pelan-pelan. Ia menoleh ke arah Elang.

“Hei penyair duduklah, kubuatkan kau segelas kopi.”

“Andai masih ada Wiro Sableng, mungkin aku bisa taya sesuatu padanya.”

“Kau mau tanya apa Lang?”

“Mungkin beliau bisa kuajak untuk demontrasi sambil ia mengacungkan kapak naga geni 212. Atau jurus matahari yang bisa menyilaukan para serdadu, hingga kami bebas bersuara. Setelah itu aku akan bertanya tentang arti kemerdekaan, apakah termasuk dalam jenis hantu.”

“Aku punya bukunya, kau ingin baca.”

“Aku sudah membaca semuanya.”

“Mungkin ini belum.”

Elang tercengang melihat serial novel yang belum pernah dibacanya. Digengamnya erat-erat dan sebuah teriakan serigala menjalar ke segala arah. Ia mulai membaca halaman demi halaman pertama sambil menikmati gelas-gelas kopi lainnya. Sementara penjualnya sudah mendengkur memimpikan kapak yang sering di idam-idamkannya.

Teriakan serigala berubah menjadi kokok ayam yang saling sahut menyahut. Elangmenuntaskan setengah novel Wiro sableng. Dan ia memutusan untuk kembali ke rumah sambil merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Untuk sejenak ia seperti terlupakan oleh serdadu yang selalu bernafsu untuk meringkus dirinya.

Elang terbangun ketika hidungnya mencium aroma kopi seperti yang ada di televisi. Ia berharap istrinya yang membuatkan segelas kopi, bukan mertua seperti yang sudah-sudah.

Ia mengintip dari lubang kunci, halaman rumahnya kini ramai oleh anak-anak yang sedang menonton aksi topeng monyet diiringi musik penuh bulian. Ia tersentak manakala bertubrukan dengan mata si monyet. Si monyet mogok untuk melakukan aksinya. Sang pawang terus saja membentak-bentak si monyet. Tanpa di sadari, ia melihat monyet itu lari lintang pukang meninggalkan pawang yang terengah-engah mengejarnya.

Sore hari Elang mandi di sungai. Ia menyelam sampai ke dasar sungai. Ikan-ikan kecil kocar-kacir dibuatnya. Ia senang karena salah satu temannya menepati janji agar tak membuang limbah ke sungai. Tapi, apakah janji itu akan diturunkan kepada orang yang akan menggantikannya nanti. Malam hari ia kembali ke warung 24 jam. Tak lama ia duduk-duduk di warung. Telinganya seperti mendapati langkah-langkah sepatu yang ia kenal. Sepasang sepatu yang bisa mematahkan jemari kalian. Sepasang sepatu yang tak berbau meski telah berlumuran darah.

Rabu, 15 Januari 2025

BAKO

Satu Malam

“Kek kenapa tubuhku bongkok?” tanya Bako satu malam.

Kakek komar menatapnya.

“Sabar ya,” jawab kakek.

“Yang lain tidak bongkok kek,” cecar Bako.

Kakek komar berhenti mengunyah tape. Meneguk air hangat dari gelas pemberian anaknya yang sudah almarhum.

“Karena Allah sayang sama kamu.” Ucap kakek.

“Allah nggak sayang sama aku kek, tubuku bongkok, dan teman-teman sering meledek.” Pungkas Bako.

“Pasti sayang,” jawab kakek lembut.

“Nggak!” Teriak Bako. Ia masuk kamar dan menangis.

Bako kembali membuka pintu, kakek Komar lega.

“Allah jahat!” ucapnya. Bako menutup pintu kembali.

Kakek Komar menghela nafas.

Tak lama kakek Komar menghampirinya dan mengelus-elus punggungnya. Sang kakek memberinya cerita. Bako tersenyum. Ia memeluk tubuhnya. Mereka berdua terlelap.

Satu Sore

“Kek, ada lomba, aku boleh ikut nggak?” tanya Bako semangat.

“Tentu saja boleh, semua lomba boleh kamu ikuti,” tutur kakek.

Bako senang. Ia lompat-lompat. Melupakan tubuhnya yang bongkok. Ia masuk ke rumah. Dan keluar dengan baju santai.

“Kek, tolong tancapkan tongkat kuat-kuat ke dalam tanah.”

“Buat apa.”

“Latihan, nanti lombanya mencabut tongkat.”

“Dengan senang hati cucuku.”

Tiap pulang sekolah Bako latihan. Tidak kenal lelah. Ditemani kakek Bako terus mencabut tongkat berkali-kali.

Puncak Lomba

“Dari perwakilan kampung dukuh silahkan,” ucap pembawa acara.

Muncul dari kerumunan seorang bertubuh tinggi lagi kekar.

“Kau sudah siap!” ucap pembawa acara.

“Siap!” ucapnya melengking. Penonton terdiam. Dari balik tubuhnya yang tinggi keluar suara cempreng yang membuat sakit telinga. Penonton tertawa.

Si tubuh tinggi lagi berotot mulai mencoba mencabut tongkat. Percobaan pertama gagal. Ia pun terkejut. Tongkat seperti menempel kuat di dalam tanah. Ia pun mencoba lagi. Gagal. Percobaan terakhirpun gagal. Ia sampai terjengkang kebelakang. Penonton tertawa dan ia kembali lagi kelompoknya.

“Peserta selanjutnya dari perwakilan kampung rambutan, beri tepuk tangan.”

Para penonton bersorak-sorai. Gembira dan senang. Anak kecilpun ikut bahagia melompat-lompat.

“Kau siap!”

“Siap Pak!” teriak si tubuh tinggi namun kurus sekali. Suaranya besar dan menggelegar. Membuat penonton terdiam. Hanya sejenak. Mereka kembali tertawa dan bertepuk tangan. Makin meriah suasana.

Si tubuh tinggi lagi kurus langsung mencabut tongkat itu. Wajahnya menegang. Otot-otot lehernya keluar. Terdengar suara kentut yang besar. Hanya ia yang mendengar. Penonton makin histeris dan bertepuk tangan tiada henti. Ia mencoba lagi walau tubuhnya sudah bercucuran keringat. Ia tidak menyerah.

Sampai pembawa acara menghentikan usahanya. Waktunya sudah habis. Ia pun kembali ke kelompoknya. Ia menangis keras. Gagal membawa hadiah untuk anaknya.

“Peserta berikutnya!, dari kampung Manggis!” lantang pembawa acara memanggilnya. Sontak penonton senang.

Lelaki pendek tampak kuat. Tak beralas kaki. Kakinya lebar dan jemarinya besar-besar. Ia seperti pejalan kaki yang ulung. Tak ada yang menyemangatinya.

“Kau sudah siap anak muda!” teriak pembawa acara.

Ia hanya mengangguk cepat. Ia berlari sambil memakai ikatan di kepala. Penonton memberinya semangat.

Ia mulai mencabut. Semangat sekali usahanya. Berkali-kali ia berhenti untuk mengambil kekuatan. Sampai batas yang di tentukan lelaki itu tak berhasil mencabut tongkat. Ia pun gagal dan berlari menjauhi arena.

Kini tiba saatnya Bako maju ke depan. Penonton sejenak terdiam. Melihat seorang anak maju ke tengah arena. Tetapi hanya sebentar. Mereka langsung tertawa. Bako terlihat tenang. Ia menatap sang kakek. Si kakek mengangguk memberinya semangat.

Percobaan pertama gagal. Penonton teriak meminta untuk pulang saja. Begitu juga usaha kedua. Anak-anak ikutan mengejek. Ia mengambil nafas dan mencobanya sekali lagi.

Bako mencabut tongkat itu keras-keras. Tubuhnya berkeringat. Beberapa kali bergetar. Sejenak penonton terdiam melihat usaha Bako. Bako terjungkal kebelakang. Tubuhnya mencium tanah. Dan kedua tangannya memegangi tongkat. Penonton bersorak gembira. “Pemenangnya dari kampung Jambu Monyet!” teriak pembawa acara. Semua penonton bertepuk tangan.

Di rumah.

“Ternyata Allah ngga jahat ya kek,” ucap Bako.

“Tentu saja tidak. Allah Maha penyayang,” jawab kakek.

Keduanya tampak senang melihat sepeda baru berdiri di dalam rumahnya.

Siluman Rumah Gedongan

Jam tiga pagi aku terbangun. Suara Bronto, kambing peliharaan keluarga tak berhenti mengembik, suaranya seperti menahan sesuatu. Kubangunkan Anggoro, kakakku yang mendengkur keras. Tak berhasil, malah omelen yang kuterima.

Aku keluar dari kamar. Hujan tadi malam menyisakan gerimis yang tak putus-putus. Berjalan pelan menuju kandang kambing yang bersatu dengan dapur rumah. Di batasi oleh dinding anyaman bambu dan sebuah jendela jeruji kayu sengon.

Kunyalakan senter, kuarahkan pada kandang kambing. Kudapati mahluk berwajah seram sedang mengunyah daging Bronto, kambing kesayangan kami semua, kecuali Anggoro, ia pembenci kambing.

“Mau kumakan juga kau!” ucapnya, ia tertawa. Membuatku ketakutan. Aku berlari menuju kamar ayah dan Ibu. Ayah mendengkur keras. Putus asa membangunkannya. Terpakasa kucabut salah satu bulu ketiaknya, dan ia tersentak terbatuk-batuk, kaget. Ia menoleh kesal kepadaku.

“Bronto diserang Yah!”

Ayah langsung bangun. Membangunkan Ibu. Ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengucek matanya berkali-kali.

“Bronto diserang Bu, coba bangunkan Anggoro!” perintah ayah.

Tak lama Anggoro bangun. Masih memakai sarung kesayangannya. Ia berjalan bersama ibu menuju dapur. Rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak marah.

“Ada apa sih lagi tidur enak-enak dibangunin!”

“Bantu ayah, bawa Alu, Bronto diserang!” perintah ayah.

The Recruitment

Barkah berdiri tegang. Jalan raya sepi. Di sampingnya seorang ketua geng motor tengah memberi arahan. Barkah anggota baru yang baru bergabung dalam club yang dipimpinnya. Barkah menoleh ke arah ketua.

“Sekarang saatnya kau buktikan kalau kau benar-benar bagian dari kami, geng motor landak ireng!” ujar sang ketua. Asap rokok mengepul tepat di wajah Barkah. Ia terbatuk-batuk. Sang ketua menyeringai, dan bola matanya seperti ingin loncat. Barkah menjadi gugup, keringat dingin tiba-tiba saja merembes di area tengkuknya dan menjalar keseluruh tubuh.

“Apa tak ada cara lain bang, selain membunuh?” tanya Barkah. Lututnya tiba-tiba gemetar setelah mengatakan yang menurutnya tak perlu disampaikan.

“Tak ada, hanya itu satu-satunya, kalau kau mundur, kepalamu yang akan aku penggal!” ucap ketua geng yang membuat Barkah tak bisa mundur.

Barkah melihat jam tangan hadiah dari ayahnya. Sekarang pukul 2 pagi lewat 17 menit. Ia rindu pada bantal guling yang selalu dipeluknya erat-erat.

“Bang Baron mau kemana?”

“Kencing, awas!, jangan kabur kau?”

Barkah melirik jam yang ada di tangan kanannya. Waktu pembuktian tinggal tiga menit lagi. Tepat di pukul 02.20 Barkah harus menghunus pedang dan mencari mangsa pertama. Apapun yang terjadi aku harus menemukan mangsa dan tanpa ragu, aku akan tebas batang lehernya, urusan penjara nanti saja. Ucapnya pelan.

Seorang pengendara lewat, sorot lampunya terang dari jauh. Kecepatannya sedang. Barkah membuka sarung klewang yang panjang menyeramkan. “Pokoknya aku harus masuk geng ini,” bisiknya.

Pengendara motor agak oleng ketika Barkah tiba-tiba menghadangnya. Barkah mengayunkan klewangnya, tetapi pengendara motor berhasil menghindar, kepalanya selamat dari klewang itu, tetapi lengannya terkena sabetan, darah segera mengucur merembes melewati bajunya.

Barkah mendekati motor itu ingin menuntaskan tugas sebagi ujian masuk geng. Matanya membelalak, lututnya gemeter, ketika pengendara motor itu membuka kaca helemnya.

“Ampun Pak, ampun...saya masih punya anak di rumah?”ucapnya memelas.

“Ayah...” bisiknya. Barkah melempar klewang jauh ke semak-semak dan lari meninggalkan pengendera motor yang juga gugup tergesa-gesa mengendari motor meninggalkan tempat mengerikan itu.