Minggu, 15 Oktober 2017

Gempar 4

Pasar sabuk masih ramai pengunjung. Pasar di ujung desa simalakama ini menjadi Pasar sretegis karena dekat dengan desa-desa yang lain. Teriakan, tertawa, juga ada di pasar ini. Terdengar negosiasi yang halus, tinggi,bahkan tak segan-segan bernada ancaman.

"Turunkan harganya sedikit Ki Amat, masih terlalu mahal. Kau tahu sendiri kan, para penikmat jengkol akhir-akhir ini beralih ke menu yang lebih murah, gadung. Belum lagi upeti kepada para penjaga perbatasan desa."

"Aku turunkan sedikit, tapi kau akan membeli gadung-gadungku nanti ya!, Kalau tidak jengkol-jengkol ini akan langsung aku turunkan di desa yang lain, kau bisa melakukannya Ki Bindo."

" Kita bukan anak kecil lagi, kita sama-sama sudah dekat dengan pacul."



Jengkol-jengkol diturunkan, beberapa saat kemudian langsung diserbu pengunjung. Jengkol adalah makanan langka yang sangat digemari oleh penduduk Simalakama dan desa-desa yang lain, hanya segelintir orang yang memiliki kebun jengkol, salah satunya Ki Amat.

" Kita pergi Gempar, dua bulan lagi kita akan memanen gadung-gadung itu, kita tidak akan serahkan kepada Ki Bindo, tapi kita akan olah dan kita antar ke kampung, ke Kota tempat orang-orang kaya makan di restoran atau para turis."

" Gempar takut kalau epilesiku kambuh di saat-saat penting. Saya merasa punya banyak kepribadian, Ki Amat tahu itu kan."
" Kakek akan bawa kau seseorang yang akan menunjukkan tentang penyakit yang derita sekarang." " Percuma, jangan buang-buang waktu, dulu pernah ada yang hendak menyembuhkan penyakit ini, tapi nyatanya penghinaan yang didapat."

" Tabib ini lain."

" Kek, aku dapat urap dari seseorang tadi, tapi warnanya lain seperti cokelat."

" Coba kakek lihat, Gempar! Ini bukan urap ini tai kuda, kau di bohongi. Orangnya mana."
" Sudah pergi kek, dengan kudanya. Boleh aku cobain kek urap ini."
" Gempar! Jangan bercanda terus. Kau harus di bawa ke Tabib."

" Wah imam gila sedang ada di pasar, Coba kalian lihat!."
Pasar seperti terhipnotis diam, semuanya diam tak bergerak, hanya kepala menengok ke arah Ki Amat dan Gempar.

" Waktunya pulang Gempar."

Gempar bingung, langkah Ki Amat sudah semakin jauh menuju ke Delman yang tertambah di pohon karet.

0 Comments:

Posting Komentar