Kamis, 09 Januari 2025

Aku Puas!, Sangat Puas!

Saat sampai di tukang cukur dekat rumah. Sampingnya penjual nasi uduk, tempat kami jika kepepet tidak grecep untuk membuat sarapan, gantinya beberapa bungkus nasi uduk dan lontong sayur sebagai penggantinya. Karena menjelang masuk anak-anak sekolah, beberapa tempat cukur dipenuhi oleh anak-anak yang ingin merapihkan rambutnya. Dengan berbagai ragam mode. Tempat yang satu ini, adalah pilihan terakhir yang tidak ramai, seperti tempat cukur lain.

"Low Fade bang," kata seorang anak, ayahnya disamping bereaksi. Tetapi buru-buru untuk melihat situasi. Ia tersenyum dengan permintaan dari anaknya. Ia cukup lega.

"Yang dua jari dibawah (Pendek diatas telinga)" kata si abang.

"Ya," jawab anak itu.

Abangnya mempersilakan duduk dan menambah papan untuk menyesuaikan tinggi badannya. Menyelimuti kain khusus dari bawah leher sampai menutupi tubuh bagian bawah. Abangnya mengeluarkan alat cukur elektrik jenis Philips Clipper HC3426, jika tak salah. Dengan elemen dua ketajamanan yang bunyi khas mirip penyedot debu.

"Aku Puas!, Sungguh Puas...!" ucap seorang anak kepada ayahnya yang telah mengantarkan ke tukang pangkas rambut. Anak itu memilih sendiri jenis model yang ia ajukan kepada si tukang cukur rambut. Tukang cukur rambut menyanggupi model rambut yang si anak ajukan. Kongkalikong model rambut terjadi. Karena si anak mengetahui jenis rambutnya dan bagaimana menentukan jenis model yang tepat.

Tiga bulan sebelumnya. Mereka pergi ke tukang cukur di tempat yang berbeda, melakukan sebagaimana seharusnya dilakukan. Memangkas sedikit demi sedikit. Sampai model yang disepekati selesai dituntaskan.

Turun dari kursi cukur. Anak itu nyelonong di depan ayahnya tanpa menatap wajahnya. Terburu-buru keluar dari tempat cukur, sambil bercucuran air mata. Ayahnya membayar ongkos cukur dan menghampiri anaknya yang tiba-tiba menangis.

"Tukang cukur bodoh, aku bilang dia malah potong, ayah juga malah diem-diem aja!"

"Kamu boleh bilang lagi, kalau modelnya jelek!" kata Ayahnya. Membututi anaknya yang sungut-sungut. Lalu pulang naik motor, kepalanya beberapa kali menoleh kebelakang, memastikan anaknya baik-baik saja. Dan mulutnya mengatup menahan marah.

"Kenapa ayah yang bilang, aku kan malu yah!"

"Tidak perlu malu, kan jadi gini, kamu nggak suka hasil potongannya!"

"Dasar tukang cukung bodoh, nggak jelas!"

sampai rumah pun masih sama, anak itu urat lehernya masih kencang, dan terus saja mengeluarkan kata-kata tak suka pada tukang cukur, katanya tukang cukur baru belajar, aku ngomong begini malah nggak nurut, bilang anak itu.

Itu yang terjadi pada tiga bulan yang lalu.

Sekarang ini anak itu bolak balik bercermin. Menyeka potongan rambut, hasil usulan sendiri, tanpa ada unsur campur tangan ayahnya. Yang kemudian lahir senyuman mengembang tak henti setiap selesai bercermin.

Mengusulkan sesuatu lalu lahir ciptaan rasa yang membangun kedekatan dirinya dengan ayahnya. Sesuatu yang jarang dimiliki oleh ayahnya yang sebagian besar waktunya, diluar rumah.

Ayahnya yang di dapur, memasak nasi goreng, terasa lega pada telinganya yang sudah mulai berusia empat dekade. Melongok sejenak pada anaknya yang teriak dengan kencang."Aku puas!, sangat puas!

Selasa, 07 Januari 2025

Melayat

Seorang nenek meninggal sore hari. Somplang dan Ibunya melayat ke rumahnya sampai malam. Di sana terbujur kaku mayat yang sudah dislimuti kain batik (jarit) coklat motif bunga kenanga. Somplang menatap ke arah mayat yang terbungkus kain dan masih mengingat jelas bagaimana wajahnya ketika masih hidup. Jakunnya naik turun.

Ibunya bercakap dengan putri almarhumah. Usianya sebaya dengan ibunya. Somplang duduk di atas amben tak jauh dari jenazah itu. Rasa takut itu masih menjalari tubuh somplang. Ia meneguk ludahnya sendiri beberapa kali.

Hujan turun deras. Suasanya menjadi adem. Somplang duduk termangu dan masih mendengar jelas percakapan mereka. Sampai larut malam obrolan itu masih saja berlanjut.

Ibu mendekati Somplang dan duduk di sampingnya.

“Tidurlah, kita pulang setelah hujan reda,” bujuk ibunya.

Somplang tidur bersama ibunya. Nyenyak sekali. Pukul dua pagi ia terbangun. Jantungnya seperti copot ketika wajah ibunya berubah menjadi wajah mayat sang nenek. Matanya yang menakutkan itu tak berkedip memelototi wajah somplang. Somplang berkedip berharap hanya mimpi. Ketika membuka matanya ia masih di pelototi.

Ia memaksa utuntuk tidur dan bangun keesokan pagi. Mencari ibunya yang tak ada disampingnya. Ia duduk bengong sendiri. Ketika menengok ke arah jenazah yang masih terbaring, jantungnya berdebar kencang. Jenazah masih ada di tempat, dan masih tertutup wajahnya. Lalu ia tidur dengan siapa. Somplang mendengar ada suara berdehem. Dan itu suara yang ia kenal betul. Suara yang empunya sudah meninggal. Ia kabur lari membuka pintu dan bertubrukan dengan ibunya yang sedang membawa sarapan.

HADIAH

Badrun sudah sampai di rumah terlebih dahulu dibanding ayahnya. Duduk di kursi, siap untuk makan siang. Di atas meja makan sudah lengkap nasi dan lauk pauknya. Ada ikan balado merah dan tumis buncis, juga bala-bala. Ia menelan ludahnya sejenak. Lalu tangan kanannya mengambil piring, tak ketinggalan satu setengah centong nasi.

Suapan pertama ayahnya datang. Ia melihat dengan ujung matanya. Seperti kebiasannya, ayahnya meletakkan peci di gantungan, mencantolkan baju kokonya, dan melepaskan sarung berganti celana santai.

Ayahnya ikut gabung di meja makan. Mulai menyendok nasi dan menata lauk pauk secara acak di atas piring yang pinggirnya bergambar rumah dinasti Ming.

“Drun kau buru-buru sekali pulang, tak doa dulu?”

“Laper yah.”

“Sama?”

“Apalagi banyak yang tidur Yah, ketika ustaz ceramah. Emang boleh tidur Yah saat sholat jumat.”

“Aturannya tidak boleh, jika mereka tahu hadiahnya, mereka tak mungkin tidur saat khotib berkhutbah.”

“Emang hadiahnya apa Yah?

Sebelum ayahnya menjawab. Ibunya bergabung di meja makan. Ayahnya berhenti sejenak. Ia mengambilkan piring dan sendok di dekatnya lalu diberikan kepada istrinya.

“Terimakasih Yah?” ucap Bunda.

Ia mengangguk dan tersenyum tipis.

“Apa hadiahnya Yah,” desak Badrun.

“Mereka yang datang lebih awal sebelum khotib berbicara, sempat sholat sunnah dua rokaat, lalu berusaha melek mendengarkan seksama saat khutbah berlangung, meski banyak berdehem setiap satu menit, dapat hadiah bisa berenang di atas kolam berkaporit. Jernih tapi bisa memerahkan matamu. Yang datang pertengahan, sesekali berceloteh dan melototi anak-anak kecil yang berisik, peroleh hadiah bebas berenang di setu yang airnya berat kerena jarang mengalir. Apalagi yang datang terlambat, duduk dan ngobrol ngalor ngidul, mereka mendaptkan hadiah makan kerupuk kulit berkilo-kilo.”

“Itu kan yang datang Yah, yang tidur bagaimana?” cecar Badrun.

“Kalau tidurnya hanya merem melek masih sempat mengaktifkan telinganya. Itu mereka dapat hadiah telur onta. Tidurnya angguk-angguk dan air liur mulai keluar dari celah bibir, ceramah dari ustaz hanya ditangkap sayup-sayup, mereka dapat hadiah telur Angsa. Bagi orang-orang yang ketika khutbah duduk bersender di tiang masjid, lalu ketiduran dan masih bisa sigap ketika iqomat dikumandangkan. Mereka dapat hadiah telur bebek bakar khas Tegal. Masih untung mereka.”

“Ada yang sampai ngorok Yah,” ungkap Badrun.

“Mereka-mereka yang datang sholat jumat belakangan, duduk mencari tiang, tiga menit kemudian mereka tidur ngorok setelah khotib membacakan wasiatnya. Mereka mungkin paling ngenes soal hadiah yang mereka dapatkan. Mereka dapat hadiah telor-telor cicak yang putih dan kuningnya tak bisa diceplok.” Ucap Ayah. Bunda di sampingnya hanya senyum-senyum saja.

“Dikasih tulisan saja yah, “DILARANG TIDUR SAAT KHOTIB BERKHOTBAH DAPAT HADIAH TELOR CICAK DOANG!” kata Badrun semangat. “Lalu di pasang ketika hari jumat, pasti nggak ada yang tidur Yah,” tambah Badrun.

“Anak pintar,” puji bundanya.

Ayahnya berhenti mengunyah. Meneguk air putih, dua tegukan. “Boleh juga tuh,” kata Ayah sambil mengacungkan Jempol yang gede.

“Soalnya aku lihat Ayah tadi pas jumatan tidur nyender di tiang. Mana ngorok lagi. Terus dibangunin sama orang samping, padahal imam sudah takbir. Baru Ayah berdiri dan Takbir dech. Kata Pak ustaz, harusnya wudu dulu, jangan main takbir aja yah?” ucap Badrun cuek.

CALON SARJANA TINGGAL TUNGGU WISUDA

Mereka janji akan bertemu di taman setelah sepekan yang lalu keduanya berkenalan. Satunya mengenalkan diri sebagai mahasiswi kedokteran di sebuah kampus ternama. Sedangkan pemuda itu mendeklarasikan sebagai mahasiswa psikologi. Satu sama lain saling mengagumi, cara klasik untuk mengukur hukum pertemuan dengan perkenalan.

Keduanya saling bertemu untuk kedua kalinya. Saling mengobrol ngalor ngidul tak ada dendam yang menjebak rasa rindu. Mungkin belum, keduanya tampak menjajaki untuk kesekian kalinya.

Mereka saling menatap mengukur kasih. Kicau burung seperti nyanyian india sebagai lagu pengiring rasa padu itu. Tukang taman yang berada jalur aman untuk mengawasi sambil menyabit seperti pengawal kerajaan yang rajin tutup mulut.

“Apa perlu mengikat pertemuan pada arah yang serius?” tanya pemuda itu sambil terus menyembunyikan tangan kanannya di balik jaket kulit coklat prodak Cianjur.

“Maksud abang?” Tanya gadis itu, tangan kanannya berkali-kali membetulkan poni yang berantakan.

“Janur kuning lengkap dengan undangan?” ungkap sang pemuda.

“Ah..., jangan buru-buru. Penjajakan saja dulu?” tangkas gadis itu.

Jawaban gadis itu oleh pemuda seperti penolakan halus. Ia berdiri spontan. Membetulkan rambutnya. Lalu memakai topi yang membuat gadis itu terkejut.

“Kau supir ya?” cecar gadis itu.

“Ngawur, aku ini calon sarjana tinggal tunggu wisuda,” elak sang pemuda.

“Bohong!, kau pikir aku bodoh, itu topi khas sopir!” desak sang gadis.

“Maaf...” polos sang pemuda. Ia menurunkan topi dan duduk lemas di kursi taman.

Gadis pujaan sang pemuda pergi sambil membawa hadiah dari sang pemuda. Tiba-tiba ia berhenti. Dan balik kanan berjalan menuju pemuda yang pucat pasi duduk melepas topi dan menggoyangkan sebagai kipas.

Pemuda mendongak melihat wajah pujaan hatinya kembali. Ia tersenyum dan berdiri menyambutnya.

“Maaf, aku juga bukan calon sarjana tinggal tunggu wisuda.”

“Siapa kamu.”

“Babu orang kaya yang sibuk bekerja, permisi.”

Hening. Taman sunyi. Kicau burung berhenti. Dan tukan taman itu tiba-tiba menghilang. Keduanya balik kanan. Tanpa pernah menoleh ke belakang.

Selasa, 31 Desember 2024

OLIGARKI

Terdengar suara tembakan. DOR! Semua pelari melesat menuju lintasan. Bergerak cepat berlomba menuju garis finis. Penonton yang membludak memenuhi stadion memberi semangat pada jagoannya masing-masing. Otot-otot paha pelari yang terlatih semakin terlihat, latihan bertahun-tahun untuk menjadi yang tercepat dalam beberapa detik saja. Impian semua atlet di dunia manapun.

Nomor punggung sepuluh sudah melesat cepat mendahuli lawan-lawannya. Kecepatan larinya seperti cheetah, pelari tercepat diantara kucing-kucing besar di Afrika sana.

Pada detik yang hampir bersamaan, pelari bernomor punggung tujuh mulai menyusulnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Seolah tak punya pusar, lari dan lari. Penonton dibuat kagum oleh penampilannya. Pendukungnya makin bersemangat, mereka berteriak dan bertepuk tangan. Histeris.

Peluh keringat nampak mengkilat menerpa tubuh pelari yang sedang kerasukan, matanya ada yang melotot menahan nyeri menyerang otot paha. Larinya semakin tertinggal.

Yang lain masih memiliki nafas banteng. Semakin sayu matanya semakin ganas larinya. Kini kelompoknya makin terpisah. Satu tertinggal masih berlari sambil menahan nyeri. Hanya darah yang terus mendidih mempertahankan nama baik negaranya. Mereka adalah petarung yang siap mati di medan perang, dengusannya mampu menanggalkan pedang-pedang tajam. Keringat makin bercucuran membuat para pelari seperti di sauna.

Lomba lari seratus metar tingga beberapa puluh meter lagi. Menyisakan dua pelari di barisan pertama. Saling mempertahan kecepatan berlarinya. Garis finis sudah terlihat. Kecepatannnya semakin mengagumkan, siapa yang mencapai garis finis dialah yang terbaik. Harga dirinya dan negaranya menjadi jaminan. Namanya akan menjadi legenda dari setiap pelari terbaik dari segenap penjuru dunia.

Penonton makin histeris manakala pelari nomor tujuh dan sepuluh semakin liar, tidak terkendali, seperti kecepatan mesin, mereka berdua memiliki kecepatan yang nyaris sama. Pelari nomor tujuh melewati garis finis nyaris sama dengan pelari nomor sepuluh. Keduanya merayakan dan sama-sama mengaku sebagai pemenangnya.

“Kita coba tanya wasit lapangan, siapa yang tercepat!” usul pelari nomor sepuluh.

“Siapa takut!” pungkas pelari nomor tujuh.

Keduanya menghadap wasit. Penonton ikut hening. Mereka seperti tahu ada yang sedang diperebutkan. Hanya bisik-bisik kecil lewat mata juga mulut-mulut yang terkatup.

Microphone berdesis, semuanya menahan nafas. “Untuk pemenang lomba lari jarak 100 meter adalah pelari dengan nomor punggung sepuluh,” ucap sang wasit.

Tidak hiruk pikuk seperti lazimnya ada seorang pemenang. Mereka seperti menentang, tetapi bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Diam tak bicara sepatah kata.

Pelari nomor tujuh datang menghadap kepada wasit. “atas dasar apa anda!, kenapa dia yang menang! Keputusan salah akan merugikan yang lain, anda tahu itu!” protes pelari nomor punggung tujuh.

“Memang dia yang menang, kau mau apa!” tanya wasit balik. Alisnya makin naik.

“Kasih satu alasan yang logis kenapa dia yang menang!” ucap pelari nomor punggung tujuh, marah.

“Ketika menginjak garis finis, mulutnya terbuka, giginya yang tonggos membuatnya sampai duluan di garis finis. Salah sendiri gigi kau tidak tonggos. Kuharap you paham ya!” jawab sang wasit tajam. Pelari nomor punggung tujuh turun dari podium menggeleng tak percaya.

HAKIM RAKUS

Emir tengah duduk di kursi pesakitan, pandangan matanya menatap seorang hakim yang sedang duduk mengawasinya. Kepalanya menunduk menatap koper yang berisi lempengan-lempengan batu yang ia susun sebelum menjalani sidang. Koper diletakkan dekat dengan kedua kakinya. Kedua tangannya mencengkrem lengan kursi jati warisan zaman kompeni. Emir tengah menghadapi tiga tuntutan.

Pertama, tuntutan dari kakaknya, Aldino. Mobil yang ia pinjem untuk mengantarkan temannya ke kampus apes, kecelakaan. Kakaknya yang superduper pelit menuntutnya dengan ganti rugi seratus juta karena telah menghilangkan dua spion mobilnya.

Kedua, tuntutan dari temannya. Masing-masing menuntut ganti rugi sebesar lima puluh juta. Karena telah membuat anjing termahal sedunia kehilangan ingatan pada tuannya (temannya).

Ketiga, Emir tak sengaja menyenggol temannya hingga masuk got yang menyebabkan Arloji bertahta berlian dari Paris mati total.

Emir sudah mencoba segala cara, tetapi tidak berguna sama sekali. “Ini negeri yang aneh,” batinnya. Ia menatap ke arah hakim yang sudah bersiap-siap membacakan putusannya.

Kopernya ia angkat dan dilitekkan di depan kakinya. Hakim mendelik menatap koper itu. Ia tersenyum senang dan membayangkan bagaimana banyaknya uang yang akan diterimanya. Tanpa berpanjang kata, si Hakim mulai membacakan putusannya.

“Untuk kasus pertama, kakakmu harus membelikan sepeda motor Yamaha YZR-M1 yang pernah dipakai oleh legenda hidup motoGP,Valentino Rossi,” ucap sang Hakim meyakinkan. Aldino terhenyak, wajahnya sepucat salju.

“Kasus kedua dan ketiga, kalian harus memberikan Honda RC212V yang pernah dikendarai oleh Dani Pedrosa. Dan satu lagi, kau harus memberikan honda Ducati Desmosedici, yang pernah dikendarai oleh Casey Stoner,” kata Hakim tegas. Ia mengetuk palu tiga kali, dan kembali menyidang kasus-kasus yang lain. Koper pun berpindah tangan, si Hakim mengedipkan matanya ke arah Emir. Ia berencana akan berlibur ke luar negeri membawa semua anggota keluarga, serta menginap di hotel mewah berbintang tujuh.

Selesai menyidang, si Hakim membuka koper. Matanya membelakak; Jika Tuan Hakim memutuskan tidak adil, akan kubunuh dengan koper ini. Secarik kertas berisi pesan Emir terbaca oleh si Hakim. Tangannya gemetar meraba lempengan batu pipih yang dikiranya uang berlimpah. “Jika aku tak menolongnya, kepalaku sudah berdarah dihantam koper berisi batu-batu ini,” bisiknya lirih. Ia sangat terkejut sembari tersenyum kecut.

Kakaknya tak mampu memberikan apa yang diminta Pak Hakim, ia hanya mampu membelikan motor bebek, Emir merasa senang dan menerimanya. Kedua temannya yang penipu itupun hanya mampu memberikan motor klasik kesayanganya dan motor metik yang baru lunas. Mereka terpaksa memberikan karena tak mau merasakan dinginnya lantai penjara.

Jumat, 27 Desember 2024

Balada Anak Kos

Di warung makan sederhana Andri sedang mengantri menuggu giliran memesan menu makanan. Ia berencana untuk makan di kosan., alias bungkus. Teman-teman satu kosan sudah mudik ke kampung halaman, mengisi waktu liburan.

Di depannya dua gadis sedang memesan makanan.

“Bang bungkus tiga ya?, pakai semur ati, orek tempe, capcay, jangan lupa kasih sambel.”

Aroma semur ati menguar kemana-mana. Begitu juga sambel medok di campur irisan pete. Andri menelan ludahnya sendiri. Dari subuh ia sudah mengelus-elus perutnya, bukan oleh mulas ingin buang air besar.

Abang itu mulai membungkus pesanan gadis itu. “Yang dua menunya apa?” tanya si abang sambil mengikat nasi bungkus itu dengan karet geleng merah. “Yang dua samain aja bang?” jawab gadis itu.

Abangnya membungkus pesanan dalam waktu yang mengagumkan. Semunya diberikan karet gelang merah, tak ada sobekan pada kertas nasi.

“Berapa bang?”

“24 ribu neng?”

Gadis itu membayar dan kemudian bergegas pergi.

“Saya pesan empat bungkus bang,” ucap gadis selanjutnya.

“Pakai apa,” tanya abang warung.

Abang warung sudah menaruh nasi di atas kertas nasi, lalu dibentuk cekung agar nasi tidak tumpah. Tangan kanannya sudah memegang gagang sendok menunggu lauk apa saja yang di pesan oleh sang gadis.

“Pakai lele goreng, sayur nangka, tahu goreng satu, kasih sambel ya bang?”

Si abang mengambil kesemua lauk itu cekatan. Meletakaknnya di atas nasi putih. Lalu membungkus dengan karet gelang kuning.

“Terus,” kata si abang yang sudah siap dengan pesanan kedua.

“Telor balado, orek tempe, capcay, tahu goreng satu, juga sambelnya bang.”

“Dua lagi pakai apa neng.”

“Samain saja bang lauknya.”

Hening sejenak.

“Semunya 32 Neng,” kata si Abang. Si gadis itu pun membayar dan lekas pergi.

Andri menoleh ke belakang. Tak ada orang yang mengantri di belakangnya. Ia menatap berbagai menu yang ada di depannya. Seperti dosen yang melihat mahasiswa presentasi.

Si abang menatapnya. “Pesan berapa?” ucap si abang. Andri kikuk meremas uang kertas yang sedang digenggamnya.

“Satu saja bang,” jawab Andri mantap.

“Pakai apa,” tanya si abang.

“Ini apa bang,” tanya Andri menunjuk menu secara bergantian.

“Sayur nangka, lodeh, capcay, opor, ati, dan lainnya ” jawab si abang agak manyun.

“Kuahnya saja bang, banyakin ya.”

Untuk sejenak si abang tertegun, kedua alisnya mengkerut. Ia menatap Andri cepat-cepat, lalu mengguyur nasi itu dengan kuah sayur nangka, lodeh, opor dan ati. Andri makin kikuk dan memberi intruksi lagi kepad si abang.

“Jangan lupa sambelnya bang.”

Si abang membungkusnya dengan cekatan setelah menambahkan satu sendok sambal. Ia memberikannya kepada Andri.

“Berapa bang?” tanya Andri. Keningnya banjir oleh keringat. Dan ia makin kuat meremas uang kertasnya.

“4000 ribu saja?” jawab si abang.

Ia tampak lega, lalu memberikan uangnya.

“Nih saya kasih gorengan Tahu gratis,” ucap si abang agak meleleh. Gorengan tahu itu tampak gendut dan menggiurkan.

“Terimakasih ya bang?” tutur Andri. Bergegas berbalik ingin keluar dari warung makan. Tak di duga, dua gadis tadi kembali lagi dan tengah duduk mengantri, meraka tersenyum manis padanya. Andri cepat-cepet pergi dari warung makan, menyesal tak sempat membalas senyum dari kedua gadis manis itu.

Somplang dan Batu Nisan

Selepas asar Somplang pergi ke rumah neneknya mengantarkan rantang bekal buat buka puasa. Jalan terdekat adalah menerobos setapak diantara makam-makam yang rebah. Apalagi kalau berhasil melewati makam bertanda salib besar di salah satu sudut kuburan itu. Teman-teman Somplang akan berhenti meledek dengan label cupu. Setapak demi setapak Somplang mulai berjalan. Tubuhnya tiba-tiba merasa dingin, ia seperti diawasi oleh ratusan mata yang tak bersahabat.

“Aduh!” teriak somplang. Kakinya menabrak batu nisan.

“Kenapa Som?” tanya seorang dari arah gubuk pertama.

“Aku tersandung batu Nisan, gimana ini?” Reflek Somplang menjawab. Ia menoleh kanan kiri tak ada orang sama sekali. Bahkan penjaga makam yang biasa duduk di gubuk pertama pun tak ada. Makam benar-benar kosong.

“Jalan saja tak apa,” perintah sebuah suara yang berat dan serak. Kali ini dari arah makam bertanda salib itu.

Somplang melirik batu nisan itu. Agak bergeser. Lalu berjalan. Tubuhnya mulai basah. Ia ingin kembali ke jalan semula. Tapi urung, kini ia sudah berada di tengah-tengah makam.

“Hei kau yang menabrak Nisan, benerin dulu, main kabur saja.” Sebuah suara cempreng dari arah gubuk kedua.

Somplang berhenti. Ia menoleh berkali-kali. Hanya ia sendiri dengan nafas yang mulai berat.

Ia melangkah kembali. Mencoba abaikan suara itu. Toh batu nisan hanya geser dikit.

“Bocah geblek!, ayo benerin!” suara itu muncul lagi. Somplang mencoba mengamati sekitar, tak bosan. Jantungnya terasa mau lepas. Di gubuk kedua, ada seorang laki-laki berwajah bayi sedang duduk menatapnya. Dan jari telunjuknya menuju ke arahnya.

“Cepat!” tuturnya galak matanya melotot memutih.

Ia meletakkan rantangnya cepat-cepat. Gemetar tangannya. Lututnya terasa lemas. Somplang membetulkan letak nisan yang doyong sedikit menjadi tegak kembali, dibawah tatapan lelaki berwajah bayi. Setelah selesai ia kembali menatapnya sambil menjulurkan lidahnya dan lari lintang pukang. Lelaki berwajah bayi berubah merah, dan tertawa lebar.

Somplang menoleh, lelaki itu berubah kembali menjadi berwajah bayi. Ia tengah melambaikan topeng yang menyeramkan itu. Dan ia tertawa lebar. Satu persatu teman-temannya keluar dari arah yang terduga. Makam yang sunyi jadi ramai oleh tawa temannya. “Sial!” umpat Somplang.

Terdengar tawa menggema dari alam yang berbeda. Besar dan berat.

Somplang dan teman-teman yang usil lari terbirit-birit. Dan batu nisan yang dibetulkan oleh Somplang kembali miring.

 

Hapus Pesan Sebelum Pulang

Boneng mematikan mesin truk. Lalu ia turun sambil menentang handuk kecil oren yang biasa pakai untuk lap ketika berkeringat. Ia mampir ke warung kopi langganannya. Kopi hitam sudah menunggu. Masih panas. Seorang perempuan datang sambil membawa pisang goreng. Ia meletakan tepat di hadapan Boneng. Sekilas ia melirik ke arah perempuan itu. Perempuan itu tersenyum.

“Kau sudah baca pesanku,” kata Boneng.

“Pesan yang mana, aku tak melihatnya,” kata perempuan itu. Sambil mengalihkan perhatiannya pada pengunjung lain. Menerima pesanan dari pengunjung lalu kembali ke dalam warung.

Pemilik warung yang ayahnya sendiri sudah memantaunya dari jauh. Tetapi ia tak bisa berbuat banyak. Anak perempunannya rupanya tak menghiraukan nasihatnya. Ia masih bercakap-cakap dengan Boneng.

“Sri, satu piring pisang goreng jangan lupa,” seru seorang pengunjung yang baru turun dari truk.

“Antri!” teriak Sri dari dalam.

Lima belas menis kemudian Sri keluar dari warung membawa pesanan. Satu nampan besar berisi puluhan kopi dan beberapa piring pisang goreng. Setelah memutar mengantarkan pesanan. Sri kembali lagi ke arah warung. Kesempatan ini tak boleh hilang. Boneng melancarkan aksinya lagi.

“Kau sudah baca kan?” tanya Boneng.

“WA-ku banyak, tak sempat membacanya satu persatu,” ucap Sri.

“Berarti kau tak menyimpan nomorku,” cecar Boneng. Ungkapan yang menyalahi kaidah pendekatan.

“Siap bilang, dari mana kau tahu, jangan asal tuduh!” pungkas Sri.

“Habis kau tidak tahu pesanku, mana mungkin tidak tahu, itu pesan yang terbaik yang pernah kukirimkan untukmu, masa sih, kau tak pernah anggap semua perhatianku selama ini,”

“Bukan begitu Mas Boneng, jangan salah sangku dulu, jangan-jangan ke semua perempuan kau lakukan hal yang sama?” ungkap Sri curiga. Ayahnya di dalam mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.

“Jadi Sri nggak percaya sama aku,” tegas Boneng. Ia menyeruput kopi dalam-dalam.

“Bukan nggak percaya, sekarang begini saja. Coba aku lihat HP mu!” pinta Sri.

“Lihat saja!” kata Boneng, terdengar emosi.

HP berpindah ke tangan Sri. Beberapa detik ia tampak menang. Pada detik berikutnya Boneng blingsatan, kopi yang masih panas tiba-tiba diminumnya cepat-cepat. Tandas. Ia pun berkali-kali melonggarkan kaosnya.

“Dasar buaya!, sok ganteng!, playboy cap kuda!, kata Sri. Ia pun buru-buru masuk ke dalam warung.

Boneng yang merasa kecolongan, mengejar Sri sampai ke dalam warung. Didapatinya Sri yang tengah menangis di pelukan ibunya. Ayahnya sedari sudah memilin-milin kumisnya yang tebal dan panjang.

“Jangan pernah ke warung ini lagi, ngakunya belum punya pacar, tetapi WA dari peremuan banyak banyak, bayar hutang-hutangmu sekarang juga!” kata Sri marah.

Ayahnya mendekati Boneng. “Matilah aku sekarang,” bisik Boneng. Pandanganya menunduk ketika ayahnya sudah ada di hadapannya. Pengunjung lain ikut hening, mereka berhenti menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng. Menanti putusan terakhir untuk seorang Boneng.

“Lihat Bapak, sampeyan laki-laki kan?” tanyanya, suaranya berat. Boneng makin lemas. Mungkin ini petualangannya yang terakhir.

Boneng mengangguk.

“Lain kali, hapus pesanmu sebelum pulang, HP-mu sudah bersih dari chat dari wanita lain, kamu harus belajar lagi sama Bapak, main cantiklah?” ungkap Ayah Sri. Semua pengunjung yang tadinnya cemas. Langsung riuh, ada yang tertawa, memukul meja, berisiul, dan seterusnya. Sri berlari ke arah ayahnya, dan menghujaninya dengan cubitan.

Hikayat Penjaga Wartel

Seorang penjaga wartel sedang istirahat. Nama wartel itu, wartel mawar. Ia membalik sebuah tulisan: TUTUP. Duduk ia di beranda depan. Air dari got kecil menyambutnya. Kadang bau kadang tidak. Di depan wartel banyak kontrakan kecil yang di huni dari beragam suku. Mulai dari Batak, jawa, sumatera, sunda, dan seterusnya. Mereka sering mampir ke wartel pada waktu-waktu mendesak.

Saat istirahat, penjaga wartel membuka cemilan. Minum beberapa teguk dari air kemasan dan makan camilan. Di samping tempat duduknya tergeletak cemilan lain, seperti kripik, kue, marning, dan seterusnya yang dibelinya dari warung sebelah.

Seorang anak kecil usia 5 tahunan datang mendekatinya. Lalu duduk disampingnya sambil terus melihat ke arah penjaga wartel. Kedunya sudah sering bertemu, tetapi kesempatan untuk duduk bersama, bisa dihitung jari.

“Kamu sudah mandi belum?” tanya penjaga wartel sambil menyesap air yang tidak sehat untuk ginjal, jika sering-sering.

Anak kecil itu mengangguk. Ibunya dari seberang berkata. Suara cukup lantang. Tetapi masih bisa ditoleransi.

“Jangan ganggu Omnya, dia lagi istirahat,” ucap ibunya dalam bahasa sunda. Lalu si Ibu kembali lagi dengan cucian menggunung.

Anak kecil itu mengangguk-angguk menggemaskan.

“Lucu banget sih kamu,” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu tertawa. Lalu kedua matanya langsung fokus pada sepotong kue yang terbungkus plastik bening. Dan ia tak berhenti menatap.

“Kamu mau kue ini?” ucap penjaga wartel.

Anak kecil itu hanya tersenyum. Tetapi matanya tetap pada kue yang terbungkus plastik bergambar daun salak. Dan ia tersenyum lagi.

“Mau nggak?” tanyanya lagi.

Pesan Ayah

“Dari tadi saya perhatikan kau hanya mondar-mandir. Mungkin saya bisa bantu mencarikan atau memilih kain yang ingin kau beli?, saran Ibu pemilik Toko.

“Ayah menyuruhku mencari kain, tetapi aku tak mengerti bagaimana corak dan warnanya,” jawab Anton. Tas ransel yang menggelayut dipunggungnya masih menempel sekarang ia turunkan.

Anak itu mengeluarkan beberapa lembar amplop cokelat. Aroma kue bolu muncul dari balik amplop. Ia terus menukar antara amplop satu dengan yang lain. Si Ibu tampak gemes melihat Anton yang sudah sepuluh menit mampir di tokonya.

“Aku lupa pada amplop mana kutaruh tulisan itu? ucapnya sambil tersenyum. Senyum agak ganjil dan tatapan matanya terasa jauh.

“O, kira-kira amlop mana surat itu berada?” ucap si Ibu sambil menggeledah tiga amplop coklat.

“Aku tidak tahu Bu?, mungkin yang ini Bu?” ucap Anton sambil tersenyum disertai gumam tak jelas dan tawa yang tertahan. Ia kesulitan untuk kontak mata dengan Ibu pemilik toko.