Minggu, 03 Maret 2019

Arah Jam 10

BAB 
Tiga Puluh Dua

Gerimis turun deras menghajar alam maya pada, desa Kaligondang yang sunyi. Di luar kantor Polisi suasana tenang. Jalanan sepi, pedagang bakso yang biasanya berkeliling menjajakan dagangan tak terdengar dentingan mangkok yang di pukul sebagai ciri khasnya.

Para Polisi yang berjaga tengah asik mendengarkan radio sambil menyeruput kopi, tak ketinggalan batang rokok yang terselip diantara kedua bibirnya, katanya dapat menyebabkan serangan jantung, impontensi, gangguan kehamilan dan janin. Anehnya masih saja banyak orang yang membakar duit untuk alasan yang tidak jelas. Entah sampai kapan kebiasaan tidak sehat ini akan berakhir.

Bondan masih terkurung menunggu pengadilan yang akan di gelar pekan depan. Sekarang dia menjadi saksi kunci bagi kejahatan konspirasi dan pembunuhan mutilasi. Para Polisi sudah melacak keberadaan kelompok yang di pimpim oleh Farah dan Arkon beserta anak buahnya. Santer kabar kalau Farah dan Arkon membentuk suatu kelompok dengan sebutan Geng Fark. Keluraga Farah cenderung menutupi keberadaan putrinya. Dengan alasan pergi keluar kota dan sebagainya. Apakah keluarganya juga menjadi dalang besar dari setiap kematian yang tidak wajar di didesaku.

Saksi Kunci

BAB 
Tiga Puluh Satu

Pagi ini aku tengah berada di kantor Polisi untuk memastikan kalau Bondan benar-benar dalam kurungan. Setelah mendapatkan pengakuan darinya tentang bagaimana ia menjadi provokator hingga membuat Nara mendekam dalam penjara, Bonda pun meringkuk dalam sel sempit.

Kabar tentang penyerahan Bondan ke kantor Polisi telah sampai juga kepada Polisi Saryo. Informasi penyerahan Bondan begitu cepat hingga Polisi Saryo siang ini sudah berkunjung ke Polsek Kaligondang. Ku lihat dia tidak berseragam hanya membawa kartu tanda pengenal sebagai identitas. Polisi Saryo memakai sepatu olahraga, celana panjang bersaku banyak, dan sebuah sweater berwarna hitam menempel di tubuhnya. Tak ketinggalan sebuah pistol berada di atas pinggangnya lengkap dengan sarungnya.

Setelah mendapatkan alamat dari Bu Bar. Beberapa kali aku berkunjung ke rumahnya. Hingga aku tak begitu asing dengannya. Aku bertegur sapa seperti biasa. Ini mungkin sebagai kode etik para pelindung rakyat. Terjadi dialog sebentar sebelum kami berdua masuk ke dalam ruangan tempat dimana Bondan sekarang mendekam dalam ruang tahanan. Bondan masih berpakaian sama ketika dia menyerahkan diri ke kantor polisi. Beberapa orang Polisi tengah memeriksa keadaan dan mencatat semua yang di ucapkan oleh Bondan. Wajah Bondan masih menyisakkan bekas luka pukulan beberapa hari yang lalu. Ruangan itu tersekat oleh Kaca besar sehingga aku hanya bisa melihat gerak bibir para pengintrograsi dengan anggukan dan sesekali matanya melotot-ekpresi keget.

Titik Balik

BAB 
Tiga Puluh 

Udara sejuk di awal pagi membuat suasana tenang dan nyaman. Saat itu pula Bondan terbangun dari pingsannya. Ia dapati sekujur tubuhnya penuh denan lebam ke biru-biruan. Pelipis matanya sebek dan terasa sangat menyakitkan. Bondan tengah berada di rumah Ibu Baroroh, atas bantuan dari warga. Ibu Kinarsih setelah ikut mengantar kerumahnya ia pun langsung pamit melanjutkan perjalanannya ke Pasar. Sebuah naluri kemanusiaan yang kerap kali menggendor jiwa untuk menolong orang yak tak berdaya. Keduanya belum tahu kalau laki-laki hitam berkumis itu adalah penyebab dari kemelut yang menerpa dua keluaraga itu.

Tubuh Bondan di letakkan pelan-pelan di sebuah bale. Sebuah tiker anyaman daun pandan menjadi alas tidur dengan bantal berwarna hitam. Dengan telaten Bu Bar mengelap luka yang tampak menganga di kedua pelipisnya. Wajah Bondan seperti baru saja di pukuli oleh Muhammad Ali petinju yang telah bersyahadat lewat tangan dingin Malcom X sebagai guru spiritulanya. Tetapi Bondan bukan Muhammad Ali yang bisa menahan pukulan telak dari anak buah Arkon dalam durasi panjang. Bondan memang punya beladiri, tetapi ketika di keroyok bisa babak belur juga.

Sabtu, 02 Maret 2019

Geng Fark

BAB 
Dua Puluh Sembilan 


Malam semakin larut. Farah tengah tertawa sambil membagi-bagikan sejumlah uang kepada orang yang telah membantunya menyelesaikan dendamnya. Hingga Marko dan Nara berada dalam penderitaan yang mendalam. Dendam dan sakit hatinya kini telah terbayar juga.

Farah menyalakan radio butut dan mencari sinyal untuk saluran lagu-lagu keroncong, bila bosan tinggal memindahkan lagu-lagu dangdut yang menyajikakan suara emas bukan liukan tubuh yang tak sadarkan diri. Farah dan kelompoknya sedang melintasi sebuah masa yang telah menjungkirbalikan sebuah peradaban dalam batas yang tidak biasa.

Sebuah kasta-kasta mulai berdengung hinggap di permukaan hati yang di bakar rasa cemburu, Farah yang berkasta Brahmana mulai melampiaskan ke Brahmananya itu kedalam wujud sifat licik, picik, keras kepala, mau menang sendiri, dan segala sesuatu harus sesuai dengan kemauannya. Bila tidak, wujud iblis akan hadir dalam paras cantiknya itu.

Sudah dua jam Farah dan kelompoknya menghabiskan tawa-tawa penuh laknat itu. Beberapa minuman bergambar Topi Miring tergelatak kosong di atas meja kecil di temani kopi pahit bergelas-gelas. Mereka sedang di tanah lapang yang diapit oleh dua buah sungai besar yang sekelilingnya terdapat banyak pohon beringin dan Kamboja. Sebuah tempat yang di anggap angker dan jauh dari pemukiman warga. Sungai besar itu berkelok-kelok mengelilingi desa Kesamen.

Penjara

BAB 
Dua Puluh Delapan 


Pak Lurah tak bisa berbuat banyak karena akses kepenjara Purbalingga amatlah sulit. Sepertinya pejabat di daerahku tak bisa untuk di andalkan. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, dalihnya bermacam-macam. Hukum telah di beli dengan uang. Siapa yang punya duit banyak maka kekuasaan ada dalam genggamannya.

Pagi ini dengan susah payah. Aku, Ibu, kedua adikku, serta Ibu Baroroh melobi sipir penjara agar mau mempertemukanku dengan Nara. Keberadaanku di Lembaga Pemasyarakatan ini sama sekali tak melibatkan aparatur pemerintahan. Ibuku membawa makanan dalam balutan kain batik warna hitam, sepintas terlihat mirip perbekalan para pendekar yang hendak melalang buana menembus dunia fana. Lewat bantuan Polisi Saryo kami sedikit di permudah bertemu dengan Nara. Selanjutnya biar kami menunggu kedatangan Nara. Birokrasi semacam ini sudah menjadi hal lama yang sulit di hilangkan.

Kulihat Ibu Baroroh sudah beberapa kali bolak-balik ke WC untuk buang air besar. Depresi yang terus menerus melanda pikirannya membuat Ibu Baroroh sering terkena penyakit diare dan demam tinggi. Kasihan Ibu Baroroh dalam kehidupannya yang sendiri tanpa suami Ia harus menanggung beban cobaan sendirian. Ku lihat dari wajahnya ada ketegaran yang terpancar dari wajahnya.

Topeng

BAB 
Dua Puluh Tujuh


Esok pagi aku sudah menyambangi temanku yang kena sabetan golok bersama dengan teman-teman. Aku melihat Narman sendirian sedang menikmati secangkir kopi hangat di warung. Aku mengira dia sedang mabuk dan sejak kapan dia mulia menggilai kebiasaan tak sehat itu.

“Apa Kabar Man?.”

“ Baik.” Cuek dan tanpa melihatku.

“ Mar aku kasihan sama kamu, tahu nggak?, gadis yang kamu bela mati-matian mungkin saja sedang bermesraan dengan lelaki lain sesama penghuni penjara, sudahlah... lupakan Nara. Hadapilah kenyataan yang ada.” Aku terkejut. Narman mengatakan hal yang menyakitkan itu. walau bagaimanapun aku tetap bersabar menghadapinya. Mungkin di hadapannya aku terlihat seperti laki-laki bodoh yang mudah di permainkan. “ Aku percaya Man pada Nara, Ia tak mungkin melakukan apa yang engkau tuduhkan itu.”

“ Kamu disini sudah seperti orang gila yang di mabuk cinta, padahal disana Nara yang kamu puja-puja itu sedang bercinta dengan lelaki lain di dalam sel.” Narman mengejek sekali lagi, temanku yang lain semua menatap wajah Narman seolah-olah tak percaya apa yang baru saja di ucapkannya. Kata-katanya tak lagi menampar pipiku, tetapi sudah mencoba meruntuhkan harkat dan martabatku.

Pencuri Bertato

BAB 
Dua Puluh Enam 


Di bawah cahaya rembulan, aku berlari ke tengah sawah lalu memanjat bekas runtuhan bangunan Rel Kereta peninggalan Belanda, setelah itu aku berteriak kencang agar beban di pikiranku sedikit berkurang. Aku sempat menghujat takdir yang sedemkian kejam karena tak berpihak padaku.

Suasana sekitar hening. Gemericik ari dari sungai kecil terdengar jelas. Suara kodok saling bersahutan. Di atas reruntuhan bangunan rel kereta api zaman Belanda aku berpikir keras bagaimana bisa Nara di penjara. Kedua tanganku menengadah ke atas. Aku mohon pertolongan kepada Allah Swt atas cobaan ini. Dadaku naik turun menahan kesedihan yang terpendam. Selain di Musholla aku sering mengadukan kesedihanku kepada Allah diatas bekas bangunan rel kereta Api yang terdapat di tengah-tengah sawah. Aku teringat dengan satu nama, “Polisi Marno.” Nama Polisi itu terasa sangat menganggu pikiranku selama ini.

Aku turun dari bangunan bekas rel kereta api zaman Belanda. Aku melangkah menyusuri pematang sawah sendirian dan hanya di temani dengan cahaya bulan. Beberapa kali aku melihat burung semak terlihat terkantuk-kantuk terkena cahaya bulan. Ular yang beroperasi malam juga sudah mulai mencari binatang pengerat. Dari kejauhan tampak cahaya petromaks yang tampak mengecil, para pemburu sedang mencari belut-belut yang akan di jual ke pasar, atau memenuhi pesanan beberapa tetangga.

Mimpi Akhir Malam

BAB 
Dua Puluh Lima 


Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Tuduhan itu benar-benar sudah membuat Nara terdampar dalam penjara yang dingin dan gelap. Belum lagi aku dapat kabar dari Polisi Saryo kalau Polisi Marno punya ambisi untuk berbuat yang tidak senonoh dengan Nara. Aku tak mengira sudah satu tahun Nara di penjara. setiap malam aku seperti di cekam ketakutan karena sosok wajah polisi Marno yang pernah di tunjukkan kepadaku kerap hadir dalam tidur malamku.

Suatu malam aku bermimpi Nara di kejar-kejar oleh Polisi Marno di safana yang sepi dan para penjaga berada di titik yang sangat jauh dari jangkauan Nara untuk minta Tolong. Aku melihat wajah Polisi Marno sangat bernafsu untuk menjamah tubuh Nara yang sudah lelah berlari ketakutan menghindar darinya. Dalam mimpiku itu, entah kenapa aku hanya melihat Nara ketakutan minta tolong. Sementara kedua kakiki seperti tertancap kayu yang kuat. Kedua kakiku seperti terserap energi setiap aku berusaha melepaskannya. Aku hanya berteriak menyumpah serapah pada Polisi Marno dari kejauhan. Polisi bejat itu menengok ke arahku dengan tatapan kemenagan.

Polisi Marno sesekali menghampiriku secepat kilat. Lalu terbang bagai burung Elang. Ia tertawa keras, mulutnya terbuka. Aku mencium bau Alkohol dari minuman Topi miring. Aku mengetahuinya ketika Ia balik badan hendak berburu Nara yang semakin lemah karena terkuras tenaganya. Di saku belakangnya terselip botol minuman tak waras dengan simbol Topi Miring. Ia mungkin tahu aku memperhatikan botol minuman memabukkan itu, secara sengaja ia mengambil botol itu dan menenggaknya sambil berjalan. Lalu berlari secepat kilat mengejar Nara di titik kejauhan.

Jumat, 01 Maret 2019

GELAP

Gelap adalah persepsi terang yang sudah termakan sampai ke dasar akar hingga sulit membedakan antara siluet dengan cahaya. Meski matahari sudah menyengat pelupuk mata, tapi justru yang terlihat hanya pekat karena tak mampu menahan terangnya cahaya. Maka jika kita terbiasa dengan warna terang, sulit sekali untuk beralih ke warna gelap. Tak selamanya gelap, adalah pahit, semu, dan buntu. Dan tak selamanya terang adalah ceria, gembira, dan asik. Semuanya punya sisi sudut pandang. 

Berjalan di bawah nyala obor hanya menerangi sebagian langkah, langkah-langkah yang terbuang di belakang menyisakan jejak gelap yang tak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang gelap akan terasa terang bila lilin kepercayaan terus bergema sampai ruang gelap tergerus arus cahaya. Muncul ke permukaan sebagai tongkat estafeta intuisi yang terus memupuk paradigma.

Waktu terus mendefinisikan kalau pekat sama dengan hitam, manampakkkan sisi gelap dari warna kegelapan. Yang terus abadi, mungkin sudut pandang yang bisa mengubah pola tertentu agar lebih berwarna. Hidup adalah perpaduan warna, agar warna gelap tak lagi menjadi kegelapan. Dan terang tak selamanya menyilaukan dan menenggelamkan kilauan perbendaharaan kata tentang gelap.

NOVEL FRANS MAKI

Bab 10

Berburu Jangkrik


Ini malam minggu, di belahan waktu lain mungkin kawula muda sedang mengadakan kontes tentang dunia eksplorasi laki-laki. Yang paling sederhana misalnya duduk-duduk di pinggir jalan raya sepi hanya untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Bintang di langit kerlipnya mampu menyihir para pengabdi sajak hingga lahirlah sebuah puisi yang ketika dibacakan akan menimbulkan daya kejut ribuan volt. Seorang Frans juga sedang terhipnotis tentang kemegahan angkasa lengkap dengan sejuta misterinya.

Pulang dari mengaji Frans harus memutar logikanya agar ajakan Jidon dan Hari yang amat menarik dapat dipenuhinya dengan langkah mantap tanpa menghianati kepercayaan seorang ibu. Frans mencium punggung tangan ibunya setelah sampai di rumah. Ibunya yang sedang serius mendengarkan sandiwara radio di 94.7 FM SBS radionya Purbalingga, membuat Frans urung untuk pergi berburu jangkrik malam-malam. Cukup berisiko sekaligus menantang. Berburu pada saat itu adalah bukti seorang laki-laki. Stigma itu cukup membuat Frans frustasi.

" Kau tak makan Frans, kalau kau tak suka nasi, ada bubur kacang hijau di panci." Sang Ibu memberikan pilihan.

MATAHARI TERBIT DARI BARAT-5

Kawan, sungguh menakjubkan manakala ketika kita menengadahkan tangan kita ke angkasa, bergemuruhlah dada kita akan ada penguasa yang Maha Kekal tak pernah tersentuh kematian. Tetap abadi meski nanti matahari terbit dari barat. Dia yang akan menghakimi tentang perkara-perkara manusia bumi, apa yang telah dikerjakan selama menjadi mahluk bumi. Rakuskah, hingga tega menganiaya lingkungan sekehendaknya. Menyulap tempat menyuap mulut dengan nasi organik menjadi lahan putih berbentuk kotak. Lalu dengan dalih entah berantah menjerat pemasukan dengan langkah yang dianggap amat milenial, menghianati kemanusiaan.

Kawan, sungguh memilukan pekerjaan yang kita idam-idamkan dan bangga-banggakan lenyap ketika jaminan keduniawian sudah selesai kontraknya. Melalaikan kewajiban kepada Tuhan dengan dalih kesibukan yang meninabobokan semangat tempur muhasabah, hingga terpuruk dalam penghianatan iman. Iman tak lagi menjadi perisai dari segala hingar bingar cinta dunia, ya tak munafik kita memang masih di dunia tapi sedikitlah berpikir tentang rasa pengharapan akan keberkahan menyelimuti setiap jengkal langkah kita, lalu endingnya adalah mampu tersenyum di akhir kematian.