Senin, 17 Februari 2025

15. Demi Ibu


Alun-Alun Purbalingga menjadi tempat asik untuk rehat sejenak dari berbagai tumpukan masalah yang pelik. Tua, muda, kakek, nenek, ibu-ibu hamil, bayi yang dalam gendongan, anak-anak bermata jeli, mereka menumpahkan 'kekesalannya' pada sebuah nama: Alun-Alun Purbalingga. Mereka juga berbagi tempat dengan puluhan ekor kuntul yang bersarang di atas dua pohon beringin besar.

Lapangan berumput, kursi-kursi berjajar, dan akar-akar besar pohon beringin, jadi pilihan mereka untuk duduk. Anak-anak dari sekolah lain juga banyak yang bersliweran. Gaya mereka mematikan, bertingkah macam Lupus, Andi Lau, anak-anak Meteor Garden, Ali Topan, Wiro Sableng, Si Buta dari gua hantu, dan mengeong seperti Bruce Lee.

Sambil tersenyum, Naura mengeluarkan Biola berwarna hitam malam. Ia mulai memainkan Biola, mereka yang sedang duduk-duduk menikmati intervalnya, mulai menolehkan kepalanya ke arah kami. Aku ikut terpapar suara indah biola yang digesek mesra.

Naura tidak hanya mahir menggunakan Crossbow Barnet Ghost 350, tetapi juga pandai memainkan biola. Penonton terdiam, Ibu-Ibu membawa anaknya ke pangkuan, anak-anak sekolah berhenti menjahili temannya, dan mulut-mulut berhenti mengunyah. Pelan-pelan mereka membuat lingkaran besar dan mengepung kami.

Kaleng biskuit mulai berisik, uang logam banyak berjatuhan.

Tepuk tangan terdengar, aku merasa senang. Walau jarang yang ada yang memperhatikanku. Pada saat yang bersamaan, kuperhatikan kaleng biskuit tak sebrisik tadi. Meski penonton terus saja melemparkan uang logam pada jarak yang memungkinkan.

Ia beralih pada Gitar dan mulai memainkan. Sebuah lagu lama yang ia nyanyikan, Dan dari band SOS. Aku tak beruntung, mereka benar-benar mengabaikanku. Mereka mungkin berkosentrasi penuh pada lagu yang dibawakan serta pada wajahnya.

Setelah berhasil mengaduk-ngaduk perasaan pengunjung dengan permainan Biola dan Gitar, Naura seperti memberi jarak pada penonton untuk mengambil kesimpulan sendiri, tak ingin menjadi pengaku seniman atau apapun namanya. Ia tersenyum dan membungkuk mengucapkan terimakasih atas respon pengunjung yang ku lihat puas.

Ambigu, suatu penyakit yang berusaha ku jauhi. Tetap jaga jarak dengannya, meski ia tampak tak risih. Aku tidak ingin terjebak dalam kepercayaan diri yang tak terukur, kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Naura hanya manusia biasa, bukan gadis biasa, ku pikir itu dua hal yang berbeda. Ini bisa jadi soal memantaskan diri, meski aku tak berusaha memantaskan apapun.

Tatapan para cowok keren di sekolah itu membuatku memantaskan diri. Junior ganteng berwajah Italia itu salah satunya, ia inspirasiku. Aku angkat topi pada kegigihannya mendekati Naura. Mereka ideal untuk disandingkan. Jujur mereka sangat ideal.

Yang terjadi sebaliknya, benteng kokoh menjulang kerap dibangun Naura setiap Junior ganteng berwajah Italia mencoba sesuatu. Bagiku, semua itu terasa misterius. Sampai benteng yang sulit ditembus itu akan bertahan. Jika yang datang seorang pemuda yang nyaris tanpa cela.

Lamunanku buyar, saat beberapa penonton mengeluarkan lembaran puluhan ribu dan menyerahkan ke dalam kaleng bekas biskuit yang ku pegang. Aku mengangguk pada mereka dan tersenyum tak berdosa. Naura yang berdiri di sampingku ikut membungkuk, mengucapkan terimakasih.

Kututup kaleng biskuit yang mulai membuatku pegal. Sementara Naura sibuk merapihkan Biola dan Gitarnya. Seorang lelaki bertopi jepang datang mengagetkanku.

"Pacarmu sangat berbakat," kata lelaki itu.

Aku bingung menjawabnya.

"Terimakasih Pak," jawab Naura enteng.

"Kau tampak bersemangat," tambahnya.

"Tentu saja, ini untuk orang yang kami sayangi, betulkan Ben?"

Aku mengangguk. Sudah berapa kali aku mengangguk, pembaca mungkin bosan aku tak kreatif soal jawab menjawab.

Mengakui sebuah ikatan tanpa ikatan adalah kesepakatan konyol. Bersikap jujur memang pahit, tetapi terasa manis di kemudian hari. Kata orang bijak: Pacaran mengajarkan pada kita agar jadi pacar yang baik, bukan suami yang baik. Kata-kata itu terus saja menghantuiku. Apakah benar?atau hanya semacam perisai agar tidak terjerumus dalam pergaulan tanpa batas.

"O, kalian anak muda yang hebat." Katanya. Setelah itu ia pergi sambil memasukan lembaran dua puluh ribu.

Dari arah lain, seorang pemuda memakai kalung akar bahar datang menuju ke arah kami. Tampangnya pucat dan kekar.

"Kau pacarnya bukan?"

"Bukan bang," kataku.

"Kalau begitu saya kasih lima ribu." Ia berlalu setelah memberikan uang, kepalanya digeleng-gelengkan.

"Kenapa kau tak mengaku saja pacar, siapa tahu dapat dua puluh ribu," ucap Naura, ucapannya mengalir saja, tanpa ada beban.

"Maksud kamu," tanyaku penasaran.

"Hanya mengaku saja, itukan mudah?"

"Dasar aneh."

"Kau yang aneh, cepat kejar bapak itu?" perintah Naura.

"Untuk apa," aku makin sewot.

"Dua puluh ribu, kau tak mau."

Aku lari ke arah pemuda tadi. Aku bisa melihat kecemasanku, tapi tak bisa kutampakkan. Semoga Naura sedang tidak merekayasa atau melakukan konspirasi 'keji' yang sempat membuatku terjungkal ke jurang. Suasana ini, seperti kapal yang berlabuh pada dermaga yang telah ditentukan, menjatuhkan sauh dan menurunkan para penumpang. Ini soal kepastian saja.

Lelaki berkalung akar bahar itu langkah kakinya seperti kijang. Berjalan dengan kecepatan berlari. Langkahnya panjang-panjang dan agak gemulai. Ia seperti pemain sirkus yang punya kedua kaki tambahan.

"Bang!, tunggu!" teriakku terengah-engah.

Ia berhenti dan memutar tubuhnya. Tak di sangka, ia meletakan kedua tangannya pada pinggang, seperti model. Tubuhnya terasa ingin rebah ke belakang. Ia tersenyum, tapi mulutnya cepat-cepat ia bekap menggunakan jari jemarinya yang tampak lentik. Apakah ada yang salah dengan kedua mataku? Aku memutuskan untuk balik kanan saja.

"Hei anak muda, kau sudah memanggil saya, pamali tahu?" katanya. Terpaksa ku putar tubuhku sendiri, aku dibuat kikuk olehnya. Seandainya ada pilihan lebih baik dimarahi oleh Pak Taro dari pada bertemu lelaki dari kaum tulang lunak. Jakunku naik turun ketika ia menatapku lekat-lekat, seakan kue tart yang siap dijilat dan dilahap dengan satu gigitan. Aku benar-benar bisa melihat kecemasanku sendiri.

"Bang, maaf, gadis tadi memang 'pacar' saya," ungkapku cemas. Naura mungkin hanya memberiku semangat, dengan begitu abang ini bisa memberi tips yang lebih besar. Pikiranku kembali dangkal soal persepsi, salah persepsi bisa-bisa Naura akan kabur lintang pukang.

"Sudah abang duga, kalian memang cocok, kalau begitu saya kasih dua puluh ribu ya," ucapnya sambil jemarinya cepat-cepat menyentuh daguku dan mengangkatnya. Rasa tegang menyerangku. Ingin rasanya pipis di celana. Aku disergap ketakutan yang akut.

"Makasih ya, ih, kamu ganteng deh, cucok deh." Tambahnya. Ia berlalu dari hadapanku. Lutut terasa lemas. Aku seperti diserang oleh hama yang paling mematikan di muka bumi.

Semua itu demi ibu.


Minggu, 16 Februari 2025

14. Senja Tersenyum

Tiga bulan telah berlalu. Terbangun sendiri setiap tiga jam. Mengolesi zambuk pada bagian kepala yang terluka. Perlahan-lahan wajahnya lebih cerah. Tubuhnya tampak kurus, tapi lebih segar. Jalannya tak lagi terhuyung-huyung. Kepala Ibu tak perlu di bor untuk mengambil gumpalan darah yang membeku, rupanya dengan obat yang seharga dua puluh ribu mampu mencairkan darah beku yang menghambat sel-sel saraf. Sakti betul vonis sang dokter, tapi tak mampu mengalahkan ketentuan langit.

Tiap sore kubaluri kedua kaki ibu dengan ramuan alami. Dari jahe, cengkeh, lengkuas, dan air tajin. Bahan tersebut dilumatkan dengan cara ditumbuk, setelah itu dimasak dengan air tajin. Ibu bilang, semut-semut yang menggrayangi kakinya seolah hilang berganti rasa dingin yang menenangkan.

Senja mulai menapak.

Terdengar bunyi pintu diketuk diiringi salam. Aku agak kikuk, setelah membukakan pintu. Di hadapanku berdiri Naura dan Ibunya yang menatapku secara bersaman.

"Ibumu ada," tanya Bu Mona.

"Ada, mari silahkan masuk," sial kenapa aku gugup begini.

Mereka masuk kamar ibu, Naura terlihat lebih pendiam. Aku gembira melihat Ibu mulai merespon setiap pertanyaan dari Bu Mona, meski agak lama.

"Ben, ajak temanmu petik rambutan di kebun," ucap ayah.

Aku melangkah keluar. Naura mengikutiku dari belakang. Angin lembut membelai. Kupetik rambutan menggunakan galah bambu yang ujungnya terbelah, mencapit setiap tangkai lalu memutuskannya. Rambutan jatuh ke tanah dengan pasrah. Beberapa rambutan tampak terkelupas, codot telah mencicipinya, tapi tak menghabiskannya.

"Hati-hati Ra, banyak semut merah, konon bisa mengubah warna kulit menjadi semerah darah."

"Mitos itu?"

Aku tersenyum, ia pun ikut tersenyum.

Senja makin kentara. Naura dan Bu Mona pamit pulang. Kami bawakan beberapa ikat buah rambutan yang telah masak. Mereka berdua jalan bersisian. Aku masih menatap punggung mereka sebanyak yang bisa kulihat. Kucoba praktekkan hal menarik yang sering ku lihat di film-film. Naura akan menoleh atau tidak. Tampak konyol, tapi menantang untuk dijadikan eksperimen.

Kuhitung sampai sepuluh. Dalam hitungan ke delepan, Naura masih tetap tak menoleh ke belakang. Bahkan sampai hitungan ke sembilan. Memasuki hitungan ke sepuluh, sebuah keajaiban mengejutkanku. Ketika kubuka mata pada hitungan ke sepuluh, Bu Monalah yang justru menoleh ke belakang sambil tersenyum. Lalu mereka tampak tertawa tanpa basa-basi. Mungkin Naura telah bersepakat dengan ibunya untuk mengerjaiku. Sampai sekarang, aku merasa tak mengalami kemajuan apapun dalam soal perasaan. Masih adakah waktu mengurai rasa yang primitif, amatir, sekaligus menyedihkan. Dalam posisi seperti ini kadang kekosongan yang seringkali hinggap, menyerbu pikiranku.

Kulihat ke arah senja, ia malah tersenyum. Tidak apa, tak apalah.

Sabtu, 15 Februari 2025

13. Merawat Ibu

Ibu Mona menutup restorannya lebih awal. Ia tersenyum pada Naura, Putrinya. Kami duduk di ruang istirahat, ada terasa di belakang restoran. Naura memeluk celengan besar berbentuk ayam jago. Ia membantingnya kuat-kuat ke atas lantai. Terkuak tumpukan uang kertas dan koin yang tak beraturan. "Kau bisa bantu saya Sel," pinta Naura. Kiera mengangkat jempolnya melampaui kepalanya. Aku ikut membantu mereka berdua.

"Akan kukembalikan nanti?" ucapku.

"Saya tak meminta," kata Naura.

"Kak, terimalah, walau nggak banyak." Kiera ikut memberikan amplop merah gendut.

Aku reflek menatap mereka berdua. Apakah mereka sedang bersaing, rasanya tidak mungkin. Kuucapkan terimakasih kepada mereka berdua sebelum pamit pulang. Mereka memberiku senyuman di sore hari. Mimipi apa semalam?

Dari balik kaca tembus pandang, Ibu Mona mengacungkan dua jempolnya melampau kepalanya. Aroma keyakinan muncul begitu saja. Kegelapan seolah meredup berganti pelita.

Tabib yang diceritakan bang Zoro keluar dari ruang prakteknya. Ia tampak terjaga dengan balutan jilbab panjang dan gamis longgar merah marun. Separuh wajahnya tertutup cadar, menyisakan dua bola mata yang tajam. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kami mendengarkan seksama dalam tempo yang lama.

Ia kembali ke ruang praktek dan memapah ibu ke ruang tamu. Kami menanti cemas tentang terapi apa yang ia berikan.

"Nama Ibu siapa,"

kata tabib bercadar. Ia memberi pertanyaan ketika sudah duduk diantara kami. Persis yang dilakukan oleh kak Egi beberapa waktu yang lalu.

"Hah, apa," Ibuku meminta pengulangan.

"Nama Ibu siapa." Tanya tabib bercadar.

"Gina." Ibu menjawab dengan suara gagap. Ia kesulitan mengingat namanya sendiri.

"Di depan ibu siapa?" Kali ini aku yang tegang.

Ibu diam dan memandangku dengan ragu. Tetapi tidak mengerikan seperti malam-malam yang lalu.

"Emm, siapa ya." Aku makin tegang, ibuku masih belum ingat juga.

"Coba diingat lagi," ungkap sang tabib.

"Nggak tahu," jawab ibu. Kepalanya di gelengkan beberapa kali.

Tatapan ibu tidak sekosong dan menyeramkan seperti sebelumnya. Benturan keras di kepalanya membuat syaraf-syarafnya terganggu. Syukurlah bukan mengarah Skizofrenia." ucap tabib. Ia menjelaskan kalau gejala paling khas dari skizofrenia paranoid yang sering mengalami delusi (waham) dan halusinasi. Penderita skizofrenia paranoid cenderung mendengar suara-suara di dalam pikiran mereka dan melihat sesuatu yang tidak nyata.

Tabib bercadar lalu memeriksa bagian benturan. "Kau lihat ini, bagian kulit kepala yang terbentur terlihat gembur. Ini sumber masalahnya. Mulai malam nanti kau oleskan zambuk di area jatuh, saya sudah cukur rambutnya, itu memudahkan kau mengoles. Ketika mengoleskan zambuk kau harus hati-hati. Saraf lain bisa terkena. Ingat tiga jam sekali. Obat ini mudah didapatkan." Tuturnya.

Keluar dari pintu rumah tabib. Ibuku masih menggeram seperti menahan beban. Meracau tidak jelas. Susunan katanya kabur. Wajahnya masih memucat. Tetapi ekspresinya mulai bersahabat.

Jumat, 14 Februari 2025

12. Hasil CT Scan

Seorang perawat memanggil ayah. Aku bersama paman Erik dan bang Zoro. Mereka menguntit ayah dari belakang. Hasil CT Scan menyebutkan ada pendarahan di bagian kepalanya sebanyak 40 cc, mendengar informasi itu lututku seperti terkena peluru nyasar. Paman menepuk-nepuk bahuku. Ayah berkali-kali mengelap wajahnya yang tak berkeringat.

Biaya untuk CT Scan cukup mahal. Pihak rumah sakit berkenan memberi tenggang waktu. Kuanggap sebagai mukjizat, di saat kondisi keuangan ayah dan paman sedang tidak baik.

Aku duduk termenung di halte Kaligondang. Lima menit kemudian Bus bergambar samurai berhenti. Aku duduk di samping bang Zoro. "Gimana kabar ibumu," tanya bang Zoro.

"Masih sama bang."

Jalanan masih terlalu sepi. Samurai kotak berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku tak keberatan, ini masih setengah enam pagi.

"Soal kalung yang pernah abang berikan padaku, ternyata benda yang mengerikan."

"Mengerikan bagaimana." Ujar bang Zoro, alisnya yang hitam hampir bertemu.

"Kalung itu namanya kalabubu, hadiah bagi prajurit muda yang berhasil membawa kepala manusia yang dibunuh dengan tangannya sendiri," begitu bang.

"Bang, kok malah bengong?"

"Seram juga ya."

Kotak samurai berhenti di Pasar Badhog Center. Aku turun dan berjalan kaki di sepanjang trotoar menuju sekolah. Trotoar masih ramah bagi pejalan kaki. Udara masih menyengat tulang. Ku kenakan sweater pemberian Naura. Nafasku mengepulkan asap.

Jari-jari sepede terdengar mengiringi langkahku. Sepagi ini siapa yang rajin bersepeda. Aku tak menoleh ke samping. Tak ingin cari masalah. Terdengar bunyi lonceng sepeda. Seperti memberi kode.

"Ben, kemana saja kau." Ku toleh ke samping. Naura tersenyum. Kedua kakinya mengayuh sepeda Evergreen-Citybike coklat muda dengan keranjang diatas roda depannya. Ia berhenti dan menepikan sepedanya. Menurunkan standar satu.

"Ibuku kena stroke, jatuh di kamar mandi."

Kami terdiam sejenak. Suasana masih lengang, kami berbicara sambil mengeluarkan asap dari dalam mulut. Wajah Naura terlihat memucat menahan dingin.

"Bareng Yuks"

"Dulun Ra."

Naura tersenyum geli melihat tingkahku yang kacau. Ia membaca jelas gerak-gerikku yang tampak kikuk. Ia duduk diboncengan dan memegang erat besi yang ada di bawah sadel. Kucoba seimbangkan sepeda, kapan terakhir aku naik sepeda.

"Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Biarkan mereka iri melihat kita. Junior Italia itu yang membuatmu tak enak hati kan."

"Bukan."

"Lantas."

Aku diam.

"Atau kau tak nyaman memboncengkan gadis seperti saya."

"Bukan itu, aku tak ingin membingungkan malaikat."

"Tak ada sejarahnya malaikat gamang mencatat. Mahluk ciptaan dari cahaya tak pernah mangkir dari tugas mulianya. Tak pernah melenceng, backstreet, atau bersikap acuh, kau ada-ada saja Ben."

"Siapa tahu, kita nggak pernah tahu, aku hanya membayangkan, apakah malaikat tersenyum atau bermuram durja. Ketika ada seorang laki-laki memboncengkan seorang putri titanium dari klan bidadari."

"Kalau kau tak ingin membuat malaikat gamang menulis, halalin saja. Kau tak takut nikah muda kan?"

Aku kembali tersudut. Enteng sekali Naura berucap, ia serius atau hanya iseng saja. Memainkan sebuah perasaan saja, ia tak peduli kata-katanya meneror atau tidak. Kata-katanya barusan masih mendengung-dengung: "Kau tak takut nikah muda kan?" kalimat ini begitu menikam mentalku. Apakah malaikat tersenyum atau tidak, aku tidak tahu.

Sekilas mungkin aku berhasil mengacaukan pedekate yang dilakukan oleh sebagian anak-anak lelaki. Walau hanya memboncengkan Naura dengan sepeda Evergreen-Citybike miliknya sendiri sampai halaman sekolah. Tapi cara ini seperti membuat gledek siang bolong. Mengejutkan sekaligus meruntuhkan anak-anak MAN Idolaku yang tekun untuk mendekatinya.

Kucoba menghindari aura buruk yang mulai gentanyangan. Semua mata tampak awas melihat kami berdua masuk halaman sekolah. Melenggang kangkung anggun menuju parkiran sepeda.

Terdengar teriakan, suara meja yang dipukul keras, sebagian malah bertepuk tangan. Aku tak berani menengok dan menebak suara itu. Iblis di pagi hari sedang memuntahkan sarapannya. Siapa tahu?

Di pintu gerbang tadi aku berpapasan dengan Pak Taro. Berhenti sebentar dan memberi tanda hormat. Menaikkan tangan setinggi telinga. Naura tetap anggun duduk di boncengan. Tatapan Pak Taro lebih hangat. Keberhasilan misi kami mengantarkan undangan Pensi ke Ponpes Cendrawasih membuat hubungan kami dengan Pak Taro terlihat harmonis.

Aku masuk kelas dan menghampiri kursi yang kurindukan. Mereka tampak kaget melihatku tampangku yang makin tirus. Ares tak kelihatan batang lehernya. Mungkin ia sedang berjingkrak-jingkrank melihat tim basket favoritnya menang telak. Naura menawarkan segelas jus tomat yang di belinya dari kantin Pak Badrun. Aku tak bisa menolak soal jus, atau menolak pemberiannya. Aku kadang agak sulit membedakan.

Bel listrik melengking panjang sebanyak tiga kali lengkingan. Kami berkemas-kemas dan bergegas pulang. Ruangan kelas kembali berdengung seperti kerumunan lebah. Mereka mengeluarkan isi kepala dan rencana-rencana setelah pulang sekolah.

Aku selalu memberi jarak pada diriku sendiri. Hingga tak ingin terbawa euphoria teman-teman setelah pulang sekolah. Lagi pula aku tak begitu suka keramaian. Kuputuskan duduk sentimental di pinggir trotoar menemani pohon waru yang banyak tumbuh di sepanjang trotoar.

"Bengong terus, para bidadari pada nangis nanti?"

Aku terdiam.

"Kau kenapa?"

"Besok sore terakhir untuk melunasi pembayaran CT Scan Ibuku, jadi aku harus mencari tambahan uang."

"Kau sedang tak buru-buru kan?"

"Ya, kenapa."

"Kemana saja kau kak, seperti di telan bumi." Tanya Kiera.

Kamis, 13 Februari 2025

11. Ibu Jatuh Sakit

Usai bel pulang sekolah aku dilanda kekosongan, hampa, dan tubuh terasa ringan. Perubahan perasaan yang jarang terjadi. Aku tak pandai menafsirkan sebagai gejala apa. Seperti kehilangan orientasi. Kepalaku berdengung panjang untuk beberapa saat.

"Ben ada Pamanmu!, ucap bang Zoro. Bus berhenti, aku melangkah keluar, mendekati Paman yang nampak murung.

"Saya mencemaskan keadaan ibumu Ben," Kata Paman.

Kotak samurai berjalan.

"Ibuku kenapa Paman?"

"Jatuh di kamar mandi." Mendengar jawabannya. Tubuhku seperti melayang.

Sampai di rumah, ku dapati Ibu terbaring lemah di kamarnya. Aroma pesing menyeruak berbaur uap tinja. Tangan kananku memegang segelas air putih hangat. Ibuku menunjuk gelas yang ku bawa. Aku menyerahkannya hati-hati. Aku mulai curiga, ibu minum dengan tangan kiri, tangan kanannya lemas dan jari-jemarinya terlihat kaku.

"Lho... kok nangis, ada apa." Ibu bertanya, wajahnya sedatar piringan hitam. Ku beranikan memeriksa. Ya Allah, kakinya mulai tak solid, kaki kanan tampak mulai tak bertenaga. Aku menangis bombai, karena ia tak merespon tangisanku. Kupeluk erat tubuhnya, abai dengan semua aroma yang bikin mual.

Paman disampingku terlihat gelisah. Mental kuruntuh melihat pisang emas yang ku berikan jatuh ke lantai. Jemari ibu mulai tak merespon, mungkin ada saraf yang tidak berfungsi.

Kami berdua menatap wajah ibu yang mulai tak presisi. Tatapannya kosong, seperti kebon pisang. Ibuku yang kuat dan tegar kini mulai kehilangan kekuatan. Terbaring tak berdaya di atas pembaringan. Mungkinkah malaikat sudah menyapanya lebih dini.

"Beni sudah pulang, kok lama banget." Kata Ibuku. Aku yang sedang duduk di dekatnya tak dianggap sama sekali.

"Ini Beni Bu?" ucapaku gemetar, saat yang sama ibuku menatap jauh, pandangannya menembus mataku.

"Lah itu siapa, saya kok ibu nggak kenal." Aku berpikir keras agar logika waras tetap ada.

"Ini Paman Erik Bu?"

Ibu tertawa sepenuh kerongkongan. Tampak mengerikan seperti mahluk yang berbeda. Ia seperti di tempat yang jauh. Tatapannya seganjil penyembah tempat-tempat purba. Tempat paling mistis yang didiami Jin mungkar. Tangannya seperti menggapai sesuatu yang jauh dan kesulitan meraihnya.

"Paman susul ayahmu di pasar."

Aku mengangguk.

Lima belas menit kemudian. Paman pulang bersama ayah. Kaos oblongnya tampak lepek. Ini mengingatkanku pada peristiwa serangan lebah yang membuatku babak belur. Sambil menggendongku paman berlari menuruni bukit menuju ke puskesmas sambil mengutuki lebah-lebah sialan itu.

Para tetangga mulai berdatangan menjenguk.

"Ben, tolong kau ke rumah Kak Egi, minta ia memeriksanya."

"Baik Yah."

"Ibumu jatuh di kamar mandi!" ucap kak Egi, tangan kanannya mengusap keningnya yang tak berkeringat.

"Iya kak."

"Baik, tunggu sebentar." Ia masuk ke kamar dan keluar dengan celana bahan lebar, kemeja longgar, dan menyelusupkan gagang kacamata di balik kerudung hitamnya.

"Ma!, saya ke rumah bapak Marko, istriya sakit."

Tak lama seorang ibu datang dari dalam. Di belakangnya ada Kekey. Gadis SMP yang pernah menggegerkan seluruh kampung. Mengejar kelinci peliharaannya yang lepas sampai masuk ke dalam hutan sabuk. Hutan yang terlarang bagi kami, anak remaja yang masih grasak-grusuk tak sabaran. Dua hari kemudian, ditemukan oleh Paman Erik sedang duduk manis di dalam gubuk reot, sambil menggendong kelinci kesayangannya. Sejak saat itu ia mampu bercerita tentang hal-hal yang di luar nalar.

"Tunggu," kata Kekey.

Suaranya membuat langkah kami terhenti. "Kak saya punya sesuatu buat kakak." Ia mengulurkan dua batang coklat silverqueen.

"Satu untuk Uncle Erik, satu untuk kak Ben."

"Terimakasih Key."

"Sama-sama."

Kekey mengangguk lucu. Mencoba memperdaya kakaknya. Tatapan kak Egi lebih dominan. Kekey mundur teratur dan masuk ke dalam rumah. Tertawanya terdengar sampai luar. Kami bergegas kembali ke rumah melalui jalanan setapak. Rumah kak Egi berada di lembah kecil yang banyak di tumbuhi pepohonan. Satu tempat yang cukup nyaman untuk berkontemplasi.

Suara gemuruh terdengar di kejauhan. Atap-atap rumah yang terbuat dari seng terdengar berisik. Hujan mulai mendekat, kak Egi mengeluarkan payung besar. Aku berlindung satu payung dengannya. Tak tercium aroma apapun dari balik tubunya. Hanya udara siang yang berhasil ku endus. Bukan pula aroma menyengat bawang merah yang pernah di miliki oleh perempuan yang berhasil mencuri banyak perhatian para lelaki, kecuali aku. Anak bau kencur dilarang keras ikut-ikutan perkara orang dewasa. Aku, tepatnya kami hanya melihatnya dari jauh. Itu saja sudah cukup, sebagai modal untuk tak norak berseragam putih abu-abu.

Butiran-butiran hujan seperti kecepatan peluru yang sudah memiliki alamat. Mengguyur deras si kaya atau si miskin. Hujan juga mampu memanipulasi situasi, tepatnya perasaan. Ia kerap mengingatkanku pada Kiera dan Naura yang jujur mengartikan pertemanan. Ia bisa jadi senjata untuk membunuh kenangan tentang Intan, sahabat sewaktu SMP. Jiwanya sedang di rundung trauma tak berujung.

"Coba julurkan lidahnya?" kak Egi memberi instruksi.

Serbuk putih menghujam ke bawah lidahnya. "Tensi ibu kamu tinggi sekali, saya beri obat untuk menurunkan tensinya."

Aku sedikit lega, ibu masih memahami instruksi dari kak Egi, meski perlu berungkali. Paman Erik duduk disamping Ayah.

"Nama Ibu siapa." Kak Egi mencoba memanggil ingatannya. Setelah beberapa menit berlalu, kak Egi mengulangi.

"Nama saya." Ibu diam sebentar, dan mengucapkan sesuatu yang sulit kami pahami.

"Ibu Gina." Kak Egi membantu ingatannya.

"Kalau ini siapa," kak Egi menunjuk ke arahku. Aku ingin melihat reaksinya. Rasa takutku makin memuncak ketika bola mata ibu masih memandang tembus ke arahku. Tak terasa air mata ku meleleh. Ayah dan Paman memegang erat bahuku.

"Saya lupa," jawab Ibu, senyumnya tampak ganjil. Rasa nyeri menerkam dada. Kak Egi belum menyerah, bertanya tentang Ayah, Paman, tetangga yang di kenal, serta peristiwa penting lainnya. Hasilnya mengecewakan.

"Ibu Gina amnesia," Ucap Kak Egi. "Kalian bersabar ya."

Ini mimpikah, tapi aku bisa merasakan hembusan nafas, jantung yang berdegup, serta aroma tubuh ayah dan paman. Logika sehat menakar sekaligus menalar sebuah kenyataan. Ajaran guru ngaji agar memandang satu hal dengan dua sudut pandang yang berbeda, agar logika terbalik mencapai sasaran. Rasanya sulit kuterima dalam kondisi sepert ini.

"Pak Marko, sebaiknya Bu Gina di bawa ke Rumah Sakit, mungkin perlu di lakukan CT scan agar kita tahu apa ada yang terluka."

Ayah mengangguk.

"Yah, aku ke rumah Ares dulu ya."

Hujan menyisakan gerimis. Jalan raya tampak sepi, orang malas keluar setelah hujan deras turun. Pertanyaan-pertanyaan tentang CT scan mulai mengangguku. Apakah ibu bisa sembuh kembali?. Bayangan hal buruk berkelebat memenuhi pikiran. Aku tak mau Ibu berkeliling desa tanpa sehelai baju ditubuhnya.

Sepeda kukayuh cepat-cepat. Menghantam genangan air dan menerobos udara dingin. Sepedaku sempat oleng, kuseimbangkan cepat-cepat. Seekor ular menegakkan kepalanya diam-diam. Ia mungkin marah, ingin menyebrang jalan tapi terhalang oleh laju sepedaku.

Sampai di rumah Ares, ku jumpai ia sedang bermain basket di lapangan samping rumahnya. Angkot antik yang keren tampak terpakir gagah dibawah pohon mangga. Ares rupanya tampak berusaha keras untuk menguras lemak yang menggelayut manja pada lingkaran tubuhnya. Bola basket yang didriblennya berkali-kali membuat suara gaduh.

Ku tunggu sampai ia selesai berolahraga. Ada banyak kursi-kursi malas terbuat dari akar bangkotan terpaku di tepi lapangan. Ku sapa kedua orang tuanya. Mereka sedang duduk santai menikmati siswa waktu siang.

"Wajahmu seperti remah-remah, ada apa?"

"Ibuku sakit, kau bisa antar untuk berobat."

"Sakit?."

"Ibu jatuh di kamar mandi."

Ares terdiam. Ia beranjak kedalam rumah, berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya. Lalu keluar tergopoh-gopoh. "Ben ayo berangkat," ucap Ares. Aku berpamitan pulang. Mereka melambaikan tangan. Ares membawa angkot kesetanan. Ia tidak ingat kalau membawa seorang teman yang sedang panik. Remnya tak ia injak secara penuh, bahkan ia melakukan drift ketika di tikungan tajam.

"Kau naik ke atas kap angkot!, kita terbang lagi!"

"Kau sudah gila ya!" protesku.

"Justru aku tak mau kau gila, ayo cepat!" Ia memerintah lagi.

"Kenapa tak lewat jalan biasa saja?"

"Sudah, jangan protes?"

Ares telah jadi korban sains. Atau sains telah menemukan bakatnya. Ku tekan kuat-kuat tombol kuning. Parasut keluar dan mengembang secara cepat. Membumbung ke tinggi melewati pepohonan. Aku kembali duduk di samping Ares. Ia mengemudikan paramobil dengan tuas otomatis yang ada di dekat setir.

Langit sore tampak indah, matahari berwarna keemasan. Angkot terbang jadi pusat perhatian di sore hari. Para petani dan warga yang sempat melihatnya berteriak. Antara takut dan senang. Mereka berungkali melambaikan tangannya. Kami mengudara selama lima belas menit di atas kota Purbalingga.

Kami sampai di sebuah Rumah Sakit yang mentereng. Lantai licin memantulkan cahaya. Bersih dan nyaman. Ada satu hal yang mungkin kami ragukan, rumah sakit ini terlalu mewah bagi kami. Ruang penerima tamu saja dikerumuni karyawan dengan baju tanpa lipatan, berdasi dan tampak bersih.

Ayah melangkah tegap, dada membusung, dan kepala tegak menghampiri meja informasi. Aku menguntitnya di belakang, memandang punggungnya yang mulai bungkuk. Aroma teh rosela selalu melekat menyatu dengan keringatnya. Aku cemas pada mimik pegawai yang terlampau ramah.

"Bapak ada uang deposit lima juta?" Ucap salah karyawan RS itu. Wajahnya memang menarik tapi tak kompromi soal kemiskinan.

"Maaf Pak, kami belum ada, permisi kalau begitu," kata ayah.

Ayah membungkuk sedikit, memberi hormat pada mereka. Sambil berlalu ayah membelai kumis dan jenggotnya yang lebat. Menimbang, memeriksa, dan memutuskan sesuatu.

"Ben kita pulang, tak perlu berkecil hati, pasti ada jalan."

Aku mengangguk. Sudut mataku mulai berair.

Rabu, 12 Februari 2025

10. Petualangan

Aku terkejut ketika Naura mengeluarkan Crossbow Barnet Ghost 350 dan anak panah dari tas ransel yang terlihat sesak melebihi kepala. Ia mulai menyiapkan dengan caranya sendiri, terlihat mengagumkan.

Menjelang senja Ponpes Cendrawasi belum juga kami temukan. Suasana sunyi, sepi, dan mencekam. Lampu kepala (head lamp) mulai kami pasang. Sinar dari head lamp menerangi jalan setapak yang mulai burem. Ini mirip jalan menuju rumah para pemburu yang mengerikan.

Kami memasuki hutan pinus yang lebat.

Selimut gelap mulai menyelubungi suasana sekitar.

Malam makin pekat. Serba hitam dan gelap. Tubuh kami menuntut haknya. Tapi tidak sekarang. Bukan saat yang tepat untuk rebahan di tengah kegelapan.

"Ben suara apa itu," bisik Ares.

"Anjing hutan," jawab Naura. Kami berjalan bergegas. Mencoba membuat jarak dengan gonggongan Anjing. Suara Anjing itu makin menimbulkan efek provokasi. Kami terkepung dengan nyalak anjing yang merusak konsentrasi kami dalam waktu singkat.

"Ben, kau lihat di balik semak-semak itu," bisik Naura.

"Mata para Anjing itu kah,"

"Ya."

Kawanan para anjing itu menatap kami galak. Mereka keluar dari semak-semak sembari menyalak satu persatu. Diantaranya melolong seperti melihat mahluk astral. Kami berempat di anggap buruan segar. Anjing paling besar maju terlebih dahulu. Seringainya menyeramkan. Terlihat ingin mengatakan sesuatu. Kalian semua benar-benar bodoh.

"Jangan ada yang bergerak," pintanya tiba-tiba. Anjing-anjing itu mulai berjalan pelan mendekati kami yang saling berdekatan. Aku terasa ingin pipis di celana, tapi apa kata dunia.

Seperti di Film favorit, Naura melesatkan satu persatu anak panah dengan kecepatan yang sulit kuceritakan. Kawanan Anjing itu melengking keras ketika kepalanya tertembus anak panah satu persatu. Mereka terkapar sebelum taringnya mengoyak kulit kami. Di antara mereka ada yang melarikan diri sebelum tiada.

Kami berjalan lebih cepat. Tubuh Ares yang gembul kelihatan lucu. Di depan sana, ada jalan setapak yang bebas dari semak.

"Anjing-Anjing itu makin dekat." Kiera panik. Kawanan anjing lainnya, mengejar dan mengendus langkah kami.

"Anak panah masih ada Ra," bisikku.

"Tinggal satu."

Aku melihat sebuah glondongan kayu besar teronggok menyerupai peti kemas. Tengahnya berlubang dengan diameter kira-kira tiga meter. Suara-suara anjing itu makin memecahkan akal sehat kami.

"Teman-teman cepat masuk!" Ares membentangkan sebuah kain kamuflase, untuk menutupi lubang pintu masuk. Kutaburkan bubuk kopi di atas kain itu. Aku tak tahu pasti, taburan kopi itu berfungsi atau tidak.

"Ben!, cepat!" Pinta Ares

Aku masuk dan bersembunyi di dalam terowongan kayu glondongan bersama ketiga temanku yang sama-sama terpaku.

Anjing-Anjing hampir saja menemukan kami, mereka sibuk mengendus-ngendus kain penutup lobang. Berkeliling sepanjang glondongan kayu purba. Mereka tak berhasil mencium keberadaan kami. Langkah-langkah kakinya terdengar sibuk. Kemampuannya menghidu betul-betul mereka gunakan.

Mereka tetap mondar-mandir seperti satpam sekitar sebelas menit. Berikutnya langkah mereka lenyap berganti dengan desauan air terjun yang terdengar sayup di kejauhan.

Di dalam terowongan kayu, Kiera dan Naura tak mengeluarkan sepatah kata. Ia duduk sambil memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 miliknya. Ia seperti sedang mengumpulkan cakra.

Untuk beberapa saat kami berempat hanya diam membisu. Bahkan Kiera sudah tertidur, kasihan sekali. Kunyalakan glow stick yang sempat ku bawa. Hadiah dari Paman Erik. Kata Paman Erik nyala lampunya bisa bertahan sampai delapan jam. Satu persatu dari kami tumbang tertidur pulas. Aku masih terjaga untuk sesaat. Lalu gelap muncul kemudian, entah mendengkur atau tidak. Gelap itu kami perlukan dalam kondisi seperti ini.

Baru terlelap sebentar, Aku dan Ares terbangun. Kusempatkan untuk menyemprotkan minyak wangi pengusir serangga dan hewan melata lainnya. Tak lama, Ares mendengkur membentuk melodi yang rancak. Di sertai batuk, bersin, dan mengigau. Ku sinari wajah Naura dan Kiera bergantian. Naura terlihat damai memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 dan mimpinya. Sementara Kiera tidur menyender di bahu Naura sambil tersenyum.

Senin pagi yang lembab. Kami melewati sebuah sungai dangkal berbatu. Airnya jernih dan menyejukkan. Naura dan Kiera membasuh mukanya. Ares nyebur tak peduli dengan jaket yang ia pakai. Bunyi kecipak seperti buaya kawin. Aku asik mengisi botol minuman pada salah satu sudut mata air. Setelah tubuh segar dan penatpun hilang, kami melanjutkan perjalanan.

Hujan turun dengan deras. Naura kembali siap dengan Crossbow Barnet Ghost 350 nya bersama anak panah yang telah kembali. Lebatnya hujan telah mengurangi jarak pandang kami. Sulit membedakan langkah hewan dan langkah kaki sendiri. Serangan seekor Harimau lapar dapat melumpuhkan salah satu dari kami.Perlahan hujan mulai reda. Tetesannya tak lagi mencemaskan. Ketakutan tentang terkaman harimau begitu menghantuiku. Di tambah tatapan monyet besar yang sedang menyender pada bahu sang jantan

Perjalanan kami terhenti. Seorang pemuda bertubuh kekar, penuh rajah, rambut di kepang dua, dan menggenggam tombak pendek. Tangan lain memegang busur. Pisau berburu terselip diantara ikat pinggangnya. Mungkin saja ia memiliki senjata rahasia yang disembunyikan rapat-rapat. Jaraknya kami dengannya hanya dua depa orang dewasa.

"Kalian mau kemana." Suaranya terdengar dingin, angkuh, dan terlatih seperti salesmen.

"Desa Candi Nata," jawabku

"Kalian mata-mata ya!" katanya. Matanya semakin tajam. Untung saja tidak putih semua.

Kami menggeleng. Jakun Ares sudah naik turun.

"Saya bisa dapat hadiah besar, bila bisa memenggal kepala kalian!" katanya tegas. Giginya menyeringai dan senyumnya kecut asam manis.

Posisi kami terpojok. Aku terkejut ketika Naura malah merentangkan busur Crossbow Barnet Ghost 350 dengan anak panah terakhir. Kepanikan segera menyergap.

Pemuda berkepang itu mendengus kesal. Kiera secara tak terduga mengeluarkan pisau lemparnya. Sebenarnya mereka siapa?. Celanaku masih kering. Jangan sampai ngompol di celana.

"Tunggu!, ku coba mengulur waktu. Lutut kananku bergetar.

"Sedikit kalian bergerak!, salah satu dari kalian akan tewas!" ancamnya.


"Begitu juga kau!" tegas Naura

"Dasar amatir!" Jawabnya.

"Jangan kau anggap kami anak kecil," seringai Kiera.

"Iya!" Ares memberi kejelasan siapa kami. Ia
berkata sambil mengacungkan ranting kayu yang di ambil acak. Lubang hidungnya berubah-ubah. Kedua kakinya bergetar, bibirnya gemeter. Ketegangan makin memuncak.

"Tunggu!"

"Apa!, Intonasinya makin tak nyaman di telinga.

Kuberikan kalung pemberian bang Zoro.

"Kau dapat dari mana hah!, pemuda berambut kepang bereaksi takut. Matanya membelakak. Bibirnya berkedut. Ia seperti melihat hantu.

"Hadiah dari teman," ucapku.

"Dasar bodoh!, seharusnya kau harus lebih hormat pada kalabubu ini." Tampak ragu-ragu ia menerimanya. Tangannya seperti orang terkena stroke, lututnya juga ikut bergoyang, entah apa maknanya. Naura menurunkan busurnya yang terentang beserta anak panahnya

"Mati kau!, teriak Kiera sambil melempar pisau yang terselip diantara jemarinya. Pemuda berkepang itu menangkis dengan tombak kecil dan menghempaskan pisau kecil itu ke tanah. Ia kemudian menyembunyikan tombak kecil di balik bahunya.

"Sompret!" ku arahkan tinju kananku ke arah dagu pemuda berkepang itu. tapi, meleset beberapa inchi. Nafasku memburu. Kemungkinan kecil untuk mengalahkannya.

"Amatir," kata-katanya mengejek. Ia mengeluarkan parang panjang dari balik punggungnya yang liat. Kalung yang ku berikan juga masih digenggamnya erat.

"Licik."

"Kau yang bodoh." Katanya.

"Kepalamu bisa dijadikan mahar untuk calon istri saya." Ia tersenyum lebar, giginya merah.

Suasana makin genting. Tiba-tiba sebuah boomerang melesat cepat tepat mengenai pergelangan tangan pemuda berambut kepang. Ia melenguh kesakitan. Busur dan anak panahnya terlempar ke semak. Kalungnya juga ikut terjatuh. Kupikir dia sakti mandra guna. Ia bergerak cepat lari kedalam hutan pinus, dan menuju pepohonan yang rapat. Gerakan begitu cepat seperti siamang.

Pemuda lain muncul dari balik semak-semak yang rapat. Wajahnya tertutup riasan gelap. Badannya kekar dan berpostur tinggi. Di punggungnya menggelayut sebuah tas ransel.

Aku duduk diatas akar pohon besar. Debar jantungku masih cepat. Ares menggelosorkan tubuhnya ke atas tanah seperti ular terpotong kepalanya. Kiera menyelipkan kembali pisau kecilnya yang luput sasaran. Pemuda berias gelap itu mendekatiku. Aku menjaga jarak dengannya. Kami mungkin selamat dari mulut macan, malah masuk mulut singa.

"Ben, kau tak apa." Ia tersenyum, barisan giginya kukenal. Tetapi dimana ya. Tak kusangka, ia lantas menjewer kupingku kuat-kuat. "Aduh sakit tahu!" ku coba untuk menepis tangannya tetapi gagal. "Kau mau jadi jagoan ya?" Ia menyebut namaku kembali. Aku mencoba mengingat dimana gigi itu ku lihat. Telingaku terasa panas.

Pemuda itu menghapus riasannyanya dengan kain. Aku terkejut riang. Seorang yang sangat ku kenal dari kecil.

"Paman Erik!, dari mana paman tahu?"

Malam berikutnya. Kami sampai di jembatan gantung yang cukup panjang, tepat ketika malam telah meruntuhkan cahaya. Di ujung jembatan, ribuan kunang-kunang menyambut kami. Mengusir penat dan lelah. Naura dan Kiera lari-lari kecil untuk bermain dengan kunang-kunang itu. Karpet safana terpampang megah. Langit terlalu cerah untuk diabaikan. Kami makin dekat dengan pintu utama Ponpes Cendrawasih yang berdiri gagah di tengah Padang Safana.

Seorang santri menyambut kami. Ia mempersilahkan kami untuk duduk di salah satu saung beratap daun Aren. Tak lama, beraneka macam makanan ditampilkan. Delapan cangkir teh rosela panas siap untuk diseruput. Ponpes ini dikelilingi tembok tinggi yang kokoh. Sebuah konstruksi bangunan yang baik dari serangan hewan buas, atau manusia tak bermoral. Terdengar pekikan langit saling bersahutan. Terdengar dzikir setelah sholat maghrib.

Tiga orang datang menuju saung kami duduki. Diakah pimpinan pondak yang terkenal itu?

"Kyai, apa kabar." Paman Erik membuka percakapan.

"Alhamdulillah, Erik, sudah lama tak bertemu. Rupanya takdir berkehendak. Saya dapat informasi kalau ada sekelompok remaja pemberani yang datang mengantarkan surat undangan pensi ke sini, ternyata kau bersama mereka."

"Benar Kyai, keempatnya siswa dari MAN Idolaku. Salah satu dari mereka adalah keponakan saya."

"Mana?" ucapnya senang.

Ku acungkan tangan. Aku pun menyerahkan undangan pensi ke tangan Kyai itu. Ia menerimanya sambil tersenyum, mata menenangkan.

"Berikan ucapan terimakasih kepada kepala sekolah. Bila Tuhan berkehendak kami akan datang ke sekolah kalian. Menginaplah malam ini, tubuh kalian butuh istirahat. Santri sudah mempersiapkan kamar terbaik."

Selasa, 11 Februari 2025

9. Tersesat


Satu siang yang panas.

Usai bel sekolah, bang Zoro sudah menjemput di depan sekolah. Aku dan Naura diantarkan bang Zoro menuju lokasi yang kami tuju. Tak lama sebuah mobil jeep hitam arang datang. Naura berdiri memastikan siapa yang muncul. Pintu mobil terbuka, turun seorang gadis memakai baju army, syal melilit di lehernya, dan tas ransel menggelayut di punggungnya.

"Kiera!" Seru Naura. Ia menghambur dan keduanya berpelukan.

"Kakak tidak senang saya datang," kata Kiera.

"Dari mana kau tahu perjalanan ini."

"Sumber yang terpercaya."

"Kau tidak suka dikawal oleh dua putri titanium dari klan bidadari ya," tukas Naura.

"Bukan?"

"Lalu."

"Kalian hampir 'membunuhku' kemarin, keterlaluan sekali, aku tak mau misi ini gagal."

"Kau masih marah." Tanya Naura.

"Kami berdua hanya mengukur seberapa besar kepedulianmu pada kami."

"Aku tak mengerti jalan pikiran kalian."

"Terimakasih ya Ben."

"Jangan lakukan lagi, bahaya tahu."

"Jadi kakak udah nggak marah nih." Ledek Kiera.

Aku perlu memberi jarak pada pikiranku. Tak lama mereka menawariku berbagai cemilan. Kuambil cemilan dari mereka dan makan tak jauh dari mereka. Kelakuan mereka masih menyisakan rasa dongkol. Apakah semua gadis perlu sedemikian rupa dalam menguji sahabatnya sendiri.

Kami berjalan melintasai jalan beraspal yang di apit persawahan hijau. Kalau malam mungkin tampak menyeramkan. Kanan kiri jalan penerangan terbatas sekali. Kami beristirahat di bawah pohon dadap dan mulai menikmati bekal makan siang tanpa banyak bicara.

Sebuah angkot datang.

"Mau kemana kalian," ucap sang sopir. Ia menjulurkan kepalanya. Tubuhnya gempal dan suaranya yang ku kenal. Di mana ya?. Sopir itu menurunkan ujung topinya hingga menutupi setengah wajahnya.

"Ponpes Cendrawasih," kataku.

"Tempatnya jauh, kalian serius kesana."

"Kami harus ke sana."

Supir itu malah tertawa, tak ada yang lucu. Tubuh gempalnya goyang-goyang. Makin jelas sudah.

"Ares, kupikir kau nggak datang." Aku berseru gembira. Ia mahir juga menyamar.

"Itu bukan gaya saya Ben."

Satu jam telah berlalu.

"Jika normal, tinggal delapan kilometer lagi kita akan sampai di ponpes cendrawasih." Ares menyodorkan selembar peta ke arahku. Jalanan sangat lengang, seperti desa mati.

Kami berhenti di depan sebuah penginapan. Tak beruntung. Penginapan itu lebih mengerikan dari pada jalanan lengang yang barusan kami lewati. Halaman tak terawat dan banyak gulma tumbuh menjulang menghalangi pandangan. Kami melanjutkan perjalanan.

Kiera terlihat gugup. Naura mulai menghimpun ketenangan yang menurutku terlihat aneh. Pandangannya setajam silet. Bulu kudukku meremang. Kami melewati jalan beraspal hitam yang di jaga hutan lebat tak bertepi. Desau angin lebih menakutkan. Penginapan yang kami cari tak kunjung ketemu.

"Aduh, gawat Ben!"

"Kenapa Res!"

"Kita tersesat!"

Kiera tiba-tiba berteriak. Wajah Naura menegang. Suara nyalak anjing buruk rupa mengejar angkot. Ukurannya tinggi besar dan wajahnya seperti bonek terbakar. Mereka berlima dalam kerumunan yang solid.

"Res kau bisa lebih cepat!, teriakku.

"Kita lihat saja!"

Tangan kanan Ares menekan sebuah tombol. Ares menyeringai ke arahku. Sebuah benda kecil muncul diantara kedua kakinya. Bertuliskan NOSE. Sebuah tulisan yang pernah ku lihat di film laga. Suara anjing menyalak galak tak bosan mengejar. Mereka makin beringas dan ganas. Mungkin kami telah mengganggu musim kawin meraka. Ares menekan tombol NOSE dengan jempol hobbitnya.

"Semua pegangan!" teriak Ares.

Jantungku berdenyut lebih kencang. Ares komat-kamit merapalkan sesuatu, terdengar kalimat langit yang dilafalkan tanpa intonasi. Angkot hitam kerbau melaju kencang. Anjing-anjing kelabu itu tertinggal jauh. Dalam hitungan menit anjing-anjing menyebalkan itu kembali mengejar. Seringainya makin memuakkan. Air liur berjatuhan di atas aspal. Lidahnya menjulur meledek. Matanya selegam arang sate. Manurut orang tua, Anjing itu diberi nasihat atau tidak, ia tetap saja menjulurkan lidah. Dasar Anjing.

"Kau bisa lakukan seperti yang tadi," tanya Kiera.

"Ada satu cara agar kita bisa kabur dari mereka!, sekarang kau naik ke kap. Ada tiga tombol warna!, warna merah, hijau, dan kuning. Warna merah untuk keluarin parasut!, cepat Ben!"

"Ya!"

Aku keluar melalui jendela. Susah payah naik ke atas kap mobil. Sejak kapan Ares melengkapi angkotnya dengan alat-alat canggih. Ia ternyata tidak hanya jago main basket. Kedua kakiku gemetar sibuk merangkak di atas angkot. Lajunya kencang tapi tetap terkejar oleh anjing-anjing itu. Seekor Anjing mulai mendekati bemper belakang mobil. Gonggongannya sukses membuatku merinding. Ku tekan tombol merah cepat-cepat. Bukan parasut, tetapi potongan-potongan daging berbentuk dadu meluncur cepat ke arah mereka. Sekarang mereka sibuk mengunyah daging gratis sambil mendengus rakus.

"Katanya terbang!, kau bohong ya!"

"Sorry!, lupa!, bukan merah!, tapi kuning!." Aku masih duduk di atas kap angkot. Semak-semak di kanan kiri makin rebah. Pohon-pohon besar dan rapat. Cahaya matahari tak sudi menyambangi ujung rerumputan. Suasana langka seperti ini patutnya untuk kontemplasi. Didampingi burung-burung berkicau bersahutan memadu kasih. Ditingkahi suara monyet besar yang sedang birahi. Memuncaki libido yang terkekang puluhan hari. Mereka mungkin sedang kawin, atau sedang bertengkar berebut makanan.

Anjing-anjing berwajah boneka terbakar itu memberi jeda barang sejenak. Di antara mereka mungkin sedang sakit gigi, atau tak boleh menyentuh daging untuk sementara waktu.

Padang safana menyambut kami setelah terjebak dalam hutan yang epik. Ilalang tampak selalu tinggi. Penginapan belum tampak juga. Rasa udara safana mengurangi ketegangan. Sambil duduk bersila, kupandangi safana yang beraroma jamur. Aku hampir terjungkal kebelakang, secara mendadak Ares sudah menekan gas mobil kuat-kuat.

"Ada apa lagi Res!"

"Harimau mengejar!, juga para Singa!"

Aku tak menyangka Harimau dan Singa bisa akur memburu kami. Apakah mereka sudah memiliki kesepakatan-kesepakatan.

"Apa salah kita Res!"

"Mungkin mereka sedang pedekate!"

"Ngaco!"

Hembusan angin menampar-nampar. Membuat mataku berair. Kupegangi kuat-kuat salah satu besi pegangan. Ares makin terobesesi dengan kecepatan mobilnya. Angkot mendatangi salah satu bukit yang cukup tinggi. Sampai di titik yang kritis. Angkot lompat dan meluncur tajam terseret gravitasi. Ku pukul tombol kuning. Seperti sulap, sebuah parasut keluar secara otomatis membentuk payung besar. Di antara roda belakang muncul baling-baling yang berputar cepat. Dalam detik yang menegangkan angkot berhasil terbang melayang. Ku lihat Harimau berhenti diam, mungkin takjub. Harimau manyun di tempat, mungkin tak jadi naik angkot. Aku berteriak senang sekaligus sedih. Selama hidup tak pernah kulihat hewan dengan mimik paling menyentuh.

Angkot terbang membumbung tinggi mengangkangi hutan, lembah, dan padang rumput. Dua puluh dua menit kami mengudara di atas hutan. Dari atas angkot ini, segala hal yang di bawah tampak lebih mudah. Kalian menyangka itu pasti mustahil, tetapi bagi orang yang berusaha keras dan kreatif tidak akan sulit untuk mengubah angkot biasa menjadi angkot terbang. Aku mesti menyanjung tinggi tentang kemampuan modifikasi kendaraan yang dimilikinya.

Aku terbelalak, merinding bulu roma. Duduk di atas angkot sambil 'menikmati' pemandangan. Sampai pada satu kesempatan, kulihat sebuah bangunan mirip kastil, berwarna biru, berdiri megah di atas padang yang luas. Dipeluk hutan-hutan yang rimbun dan asri. Terlihat orang-orang "aneh" yang tampak memanggul karung-karung besar dan kecil.

"Lihat!, ada bangunan biru di bawah!"

Naura dan Kiera menjulurkan kepalanya. Melihat ke bawah. "Wah!, keren!" Seru Kiera.

"Kita harus kesana kapan-kapan," usul Naura.

"Pasti," sambutku.

Lima berlalu, bangunan mirip kastil tak lagi terlihat. Hutan lebat telah menghilangkan keindahan kastil itu.

"Ada penginapan di bawah!"

"Kita turun Ben!" Teriak Ares sambil menjulurkan kepalanya.

Angkot mendarat. Kuharap semua ini hanya mimpi.

"Kau lama sekali di atas, kau tidak kencing di celana kan?" Komentar Ares.

"Aku tak selemah itu!"

Ares tertawa. Beberapa orang keluar dari penginapan. Melihat pemandangan yang langka. Kami seperti outlander. Beberapa dari mereka mengambil 'kodak' yang bersuara legend.

Mereka saling berbisik satu sama lain. Ada yang mengangguk, menggeleng, dan menggumankan sesuatu. Mungkin kami dianggap mahluk aneh yang turun mendadak dari langit.

Seorang laki-laki dewasa berwajah X-Man menyambut kami. Mengklaim dirinya sebagai pemilik penginapan. Pak Ahmad namanya. Mengenakan pakaian cowboy lengkap dengan syal dan topi lebar. Di pinggangnya terselip sebuah senter panjang klasik.

"Ada yang bisa saya bantu anak muda."

"Ada kamar kosong Pak."

Kami berkemas membawa tas caril ke kamar masing-masing. Beberapa dari penghuni penginapan masih terlihat penasaran dengan angkot milik Ares. Secara tak terduga, parasut dan baling-baling kembali ke tempat yang tersembunyi. Ares terlihat senang dengan kerumunan orang-orang itu.

Para penghuni terlihat bersiap meninggalkan penginapan untuk berburu. Senapan angin dan alat perburuan lainnya tampak menempel pada tubuh mereka. Mereka pergi dengan berkelompok, lengkap dengan anjing-anjing pemburu. Mereka tampak lebih bersahabat.

Ku buka sebuah peta di atas meja panjang. Ketiga temanku langsung berkumpul.

"Ada yang tahu posisi kita dimana?" tanyaku.

"Banyak yang berubah sekarang Ben," jawab Ares.

"Kita tanya sama pemilik penginapan ini, siapa tahu?" usul Naura.

"Permisi Pak, bapak bisa membaca peta ini?" aku mengawali pembicaraan.

Ia diam sejenak mengawasi jalur dan simbol yang ada di dalam peta. Matanya menerawang jauh. Desahan nafas panjang terdengar. Ia berdiri menatap jauh kedepan.

"Kalian mau kemana."

"Ponpes Cendrawasih," jawabku.

Kami kembali ke penginapan. Diskusi dengan pemilik penginapan membuat kami semangat.

Aku duduk di serambi penginapan. Lampu neon panjang di kerubungi ratusan laron. Tokek dan cicak cukup menjulurkan lidahnya cepat-cepat. Para pemburu pulang dari perburuannya. Mereka mungkin sudah memiliki izin berburu. Seekor rusa jantan berwarna coklat di panggul melintang kaku. Ada bekas sayatan di lehernya.

Salah satu pemburu menganggukkan kepala ke arahku. Akupun membalasnya. Ia menggunakan masker burung hantu. Di lehernya menggelantung sebuah wolkman. Ketika membuka maskernya ada luka sayatan di pipinya. Badannya terlihat kencang, ototnya tampak menonjol. Ia berjalan mendekatiku. Ia mengamati kalung yang ku pakai. Matanya tajam tak berkedip seolah menemukan barang langka yang telah lama hilang. Dari jarak sedekat ini ia akan memukulku dengan mudah. Pisau pendek terselip diantara ikat pinggangnya. Tubuhnya beraroma pandan.

"Darimana kau dapatkan kalabubu itu." Ia menunjuk ke leherku.

"Oh, maksudmu kalung ini," tanyaku penasaran.

"Iya."

"Oh, ini dapat dari seorang teman, kenapa?"

"Dulu, kalung itu semacam kebanggaan setiap lelaki di Nias Selatan yang ingin jadi prajurit. Namanya kalabubu, kalung yang terbuat dari kayu istimewa. Hadiah "berdarah" bagi prajurit yang naik pangkat, dengan cara memburu kepala manusia, lalu tengkoraknya di gantung di osale sebagai hiasan. Setelah itu mereka mendapatkan kesempatan menikahi gadis pujaannya."

Aku terperanjat mendengar penjelasnnya.

"Osale itu apa," tanyaku.

"Mungkin semacam rumah panggung yang luas. Ujian lainnya setelah menjadi prajurit adalah melompati susunan batu setinggi 1,7 meter, itu bukan perkara mudah, karena prajurit Nias rata-rata bertubuh pendek. Kau bisa bayangkan itu." Jelasnya. Aku mengangguk-angguk saja, mencoba memahami.

Pemuda itu lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kaos dalamnya. "Kita punya kalung yang sama. Oh ya, nanti malam ada acara panggang daging rusa, kau dan teman-temanmu bergabunglah."

Ku anggukan kepala,dan membungkukkan badan sedikit.

Malam semakin larut. Burung hantu mulai bersuara. Aku masuk kamar mendapati Ares dalam dengkuran yang teratur. Kuputuskan untuk keluar untuk mencoba daging rusa panggang bersama pemuda tadi. Ku harap ia tidak basa-basi. Aku berpapasan dengan Naura setelah keluar dari kamar. Ia memakai sweter lengan panjang. Bersepatu kets hitam. Kedua telapak tangannya ia masukan ke dalam saku.

"Kau mau kemana Ben."

"Gabung sama anak-anak pemburu, mereka berhasil membawa pulang seekor rusa besar. Kalian juga di undang."

Ia menatapku dingin. Pandangan matanya betul-betul meruntuhkan. Khas seorang sekar kedaton.

Kami berjalan menuju tempat kongkow para pemburu yang sedang memanggang sebagain daging rusa. Bau gurih menyergap hidungku. Tajam dan menggugah selera. Pemilik penginapan juga hadir. Ia menjadi semacam penanda kemeriahan acara ini. Pemuda tadi menyambut kami ramah. Wolkman masih menggelayut manja di lehernya.

Lima setengah menit Ares datang. Keduanya matanya masih memerah. Rasa lapar telah membangungkan tidurnya. Kami mencoba akrab satu sama lain. Kiera datang dan menoleh ke berbagai sisi. Naura melambaikan tangan ke arahnya. Keramaian tiba-tiba senyap. Seperti orong-orong yang tiba-tiba berhenti bersuara karena kaget. Ia mengenakan baju hangat panjang, mirip seperti blazer. Bersepatu bot hingga nyaris menutupi lututnya.

"Kalian pemburu, bukan pria hidung belang. Kalau kalian menggunakan "pelana" bukan pada tempatnya. Lihat saja, istri atau ibu kalian akan membuat kalian mengggigil tidur di luar sepanjang musim salju." Ucap pemilik penginapan. Ia lantas duduk dan mengeluarkan pisau pendek, memotong apel merah yang tiba-tiba muncul.

Aku ingin tenang. Wedang jahe ku seruput pelan-pelan. Daging rusa panggang akhirnya dibagikan dalam nampan-nampan kecil. Kami mulai mengunyahnya pelan-pelan. Ini seperti makan daging kelinci yang empuk dan kenyal. Lengkap dengan sambel kecap berisi irisan cabe dan bawang merah.

Kiera bergabung setelah aku duduk di bale. Satu persatu tumbang diatas pembaringan. Ia menatapku, aku tak membalasnya. Hanya sudut mataku yang bisa menangkapnya. 

"Kau tuhu guru ekonomi itu?"

"Tentu saja." 

"Ia Pelakor, waspadalah."