Kamis, 06 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 7
Kapal Di Buat Untuk Menghajar Gelombang

Ia hanya lelaki ceking, suaranya tidak jelas, tetapi kalian begitu repot-repot mengirim berbagai jenis telik sandi untuk meringkusnya. Membungkam kata-katanya. Kalian sendiri yang menggembar-gemborkan agar demokrasi dijunjung sampai ke langit, tetapi suara keras dari akar rumput kalian pangkas sampai habis. Menyisakan satu duka sampai ke anak cucu. Kehadiran kalian tidak membawa pesan apapun. Bahkan nyalak binantang lebih kusukai dari pada pidato kalian yang disusun mendadak oleh ajudan yang bangun terkantuk-kantuk, setalah kalian repotkan seharian.

Ia pernah tergopoh-gopoh mengetuk pintu rumah di pagi yang buta. Wajahnya cemas tetapi matanya ia teguhkan maksimal. Aku mafhum ia dalam pelarian, menghindari serdadu yang mondar-mandir main kucing-kucingan. Tetapi ia bukan sembarang kucing, ia jenis kucing hutan (bob cat) yang memiliki telinga tajam. Kalian akan sulit meringkusnya, mungkin sampai ketika lebaran gajahpun kalian tak sanggup menangkapnya, apalagi menjebloskan ke penjara. Kalain hanya bisa mengurungnya dalam sel sempit penuh tikus got dan muntahan kucing. Tetapi tidak bisa mengurung isi kepalanya yang berkobar-kobar melawan ide kalian yang tak memihak kepada rakyat kecil. Gagasan yang kalian tawarkan seringkali mentah dan mementahkan persepsi sederhana dari sebuah kesejahteraan jasmani dan olahraga.

Pagi itu, kusuguhkan sepiring nasi dengan lauk telor dadar yang tampak gosong, sebab aku tidak bermimpi apa-apa semalam. Karena kalian membuatku lelah sepanjang siang berteriak menentang kata-kata kalian. Ucapan kalian sungguh keterlalun membuat bulu kudukku cepat-cepat meremang. Aku jadi sangsi apakah kalian betul-betul manusia, atau jangan-jangan kalian mahluk jadi-jadian yang seringkali berubah seenak perut. Sikap kalian sulit ditebak dari hari ke hari. Kusarankan kalian agar membaca karya Pak Mahbub Djunaidi. Bila kalian berat atau enggan menghabiskan seluruh halaman, maka bacalah barang lima sampai sepuluh halaman. Jika masih berat, maka renungkanlah testimoni dari para pengarang tentang buku itu.

Ia menandaskan seluruh nasi dan telor dalam waktu yang mengagumkan. Sudah berapa harikah ia tak mandi, rambutnya semakin menggibal. Bau badannya masih sama, tetapi lebih sangit dari yang pernah kucium. Juga apakah makanan terakhir yang sudah menyambangi lambungnya yang mungkin makin menciut akhir-akhir ini.

Mata kirinya yang memerah permanen melototiku. Ia celingak-celinguk mirip monyet kena tulup. Aku ingin tertawa, tapi urung kulakukan. Akan jadi dosa besar menertawai seorang pejuang yang kebebasannya makin dipangkas tiap detik. Padahal kata-katanya sama sekali tak berbahaya, setiap kata yang meluncur adalah pengingat bagi kalian yang seringkali amnesia selepas duduk di kursi yang mampu menyembunyikan setiap penyakit, sebut saja ambeyen. Ia ingin membebaskan makna dari kata-kata yang seringkali kalian pidatokan dengan urutan yang melelahkan. Bila kalian tak kunjung paham, ia sebenarnya ia ingin membebaskan kata dari segala keterbatasn makna. Karena pidato kalian sering hilang di ujung kalimat. Telinga-telinga di luar sana membutuhkan suara yang jelas, bukan dengungan tak karuan.

Kuputuskan untuk lenyap dari hadapannya. Hinggap di dapur dan menyiapkan segelas teh hangat di mug bening bergagang. Ia tersenyum lalu menenggak habis hingga jakunnya naik turun. Lehernya mengkilat kehitam-hitaman.

Sudah berapa lama ia berjalan melawan matahari yang sudah sekian jam menyetrikanya. Ia masih memakai topi yang pernah kuberikan ketika pertama kali bertemu dalam riuh rendah dan teriakan para demonstran. Ketika itu ia masih menggenggam secarik kertas lusuh yang tiba-tiba diremasnya kuat-kuat, lalu melemparkannya ke arahku ketika gas air mata memorak-morandakan seluruh barisan. Aku menangkapnya sambil terpejam, gas air mata itu sangat menyebalkan. Mereka menganggap kami musuh nyata yang mesti dimusnahkan dari bumi pertiwi. Ada ketidakpedulian manakala genangan darah memerahkan sepatu mereka, mungkin dianggap sebagai pencuci dari dosa yang mereka lakukan sebelumnya. Semacam penebusan kesalahan, bila salah satu dari kami benar-benar tertangkap dengan bidikan yang tepat.

Ia pamit karena tak fasih berbasa-basi. Ia bilang tak ingin merepotkan siapapun. Ia membunkukkan badan melepas topi sebentar lalu pergi dengan tergesa-gesa. “Hati-hatinya ya mba,” bisiknya sebelum ia menutup pintu rumahku.

Aku tolak ketika ia ingin mencuci piring dan gelasnya. “Mba bisa kena loh, banyak sidik jariku di piring dan gelas,” ucapnya pelan. Sisa dari ruangan yang tengah ia gulirkan adalah kesenyapan yang membuatku tercengang. Seperti apakah pikirannya dan sebesar apakah kelapangan dadanya. Apakah ia bisa merasakan setiap detak jantung para serdadu. Hingga ia kerap kali berjalan dengan kecepatan berlari. Akupun memancangkan sebuah tekad: tak ingin ia menganggapku sebagi tikus. Jenis hewan itu sering membuatku gusar akhir-akhir ini, ditambah jam tidurku terganggu oleh tukang ronda yang semakin rajin memukuli tiang listrik setiap dua jam sebelum subuh.

Selama ia sarapan, aku hanya mendengarkan perkataannya. Mungkin semacam gerundelan yang kupikir bisa menghibur selama pelariannya. “Mba, rumahku digeledah, buku-buku kesayanganku dibakar. Bahkan buku hadiah dari mba juga ikut terbakar. Bahkan istriku juga dibawa kodim untuk dimintai keterangan. Senang sekali mereka meminta keterangan, padahal untuk administrasi saja mereka masih kacau. Mereka telah menggunting setiap jengkal langkah yang kutempuh. Kalau dihitung-hitung perjuangan ini untuk meringankan tugas mereka. Kenapa mereka begitu sensitif ya mba?” tanyanya. Aku hanya menjawab sepatah dua patah kata. Bagi orang seperti Elang, suaranya jelas lebih jernih dan menggetarakan. Kalian pasti takut dengan kata-katanya yang mampu membangkitkan rasa takut yang telah kalian coba kubur hidup-hidup. Entah kapan lagi aku bisa mendengar suaramu yang kuat dan kokoh.

Jarang sekali ia menerima uluran dari tanganku. Ia kerap menolak apapaun dariku. Kali ini ia menerima dengan kikuk. Ada gurat malu disana yang coba ia sembunyikan. Kali ini ia tak bisa menyembunyikan apapun dariku. Gerak-geriknya seperti pasukan yang mengalami kekalahan pada pertempuran pertama. Atau ia sedang memainkan peran, sebagaimana ia sering berkeliling untuk menerjemahkan gagasanya lewat pentas kemana-mana.

Dua pekan yang lalu kulihat di televisi namamu disebut oleh pembawa berita yang berparas aduhai. Menuruturkan secara ringan, ia hanya memindahkan ulang dari tulisan pada kata-kata lancar tanpa beban apapun. Bahkan sesekali pembawa berita itu mengibaskan rambutnya yang sebahu tanpa peduli akan keruwetan yang ia sebabkan barusan.

Serdadu yang bertabur emblem itu memaki-maki dirimu dan mengabaikan prokes yang sepatutnya dijalankan semestinya. Serdadu terus saja marah-marah. Berbagai macam alasan ia ungkapkan. Alasan yang sering diulang-ulang dalam tiap kesempatan akan mempertegas kesalahannya. Bagi seorang sepertimu Rok, pertanyaan yang bodoh adalah pertanyaan yang diutarakan. Tampaknya perjuanganmu akan meletihkan, tidak hanya pada dirimu tapi akan menyulitkan oaring-orang seperti kami.

Serdadu belum beremblem bintang bahkan memukul meja liputan. Suasana mendadak hening. Pembawa acara yang aduhaipun ikut pucat pasi mendengar orang yang ditakuti sedang muntab. Pembawa berita itu tak berani mengibaskan rambut berkali-kali. Ia terdiam sambil menatapi jemari tangan yang kukunya dicat warna-warni.

Sebuah pemandangan masgul, pemerintahan sampeyan rupanya menghakimi hakim yang memperoleh senjata lebih mudah, dari pada hakim-hakim yang lain. Aku tak habis pikir kenapa mereka begitu lincah untuk mengumpulkan segala respek yang tak tahu ukuran dan kualitas. Kemana sekarang sahabatku yang asik masyuk mencatat sekaligus berteriak kesetanan ketika kedua kakinya berdiri di panggung. Apalagi dalam keadaan berkostum jalanan, kamu bagaikan singa terluka yang ingin mengaum untuk terakhir kalinya.

Pagi itu, aku ingin mengingatnya terus. Mungkin perlu kuulang tentang sepiring nasi dan telor dadar telah menjadi api. Keringatmu mungkin sekarang lebih mengucur dibanding perjalanan sebelumnya. Kerongkonganmu tak mudah untuk haus seperti perjalanan pertamamu. Kuharap kau bisa menakar segala jenis pertarungan yang sebentar lagi akan kau hadapi. Meski tanganmu kosong, di pinggangmu tak terselip revolver apalagi belati pendek senjata mematikan jarak pendek. Kau punya mata tajam yang bisa membuat frustasi dan kalah sebelum tanganmu terborgol besi dingin stainlees.

Kabarnya kau tahu, teman-temanmu ada yang kembali dengan utuh. Mungkin mereka ada yang sedikit berbeda dari penampilan sebelumnya. Mungkin salah satu teriakannya telah menghancurkan gendang telinganya. Bisa saja salah satu dari mereka mengungkapkan sebuah rahasia karena siksaan yang begitu memayahkan mental mereka. Aku penasaran, apa yang akan kau jawab nantinya. Apakah kau akan membalas seperti biasa; Lawan.

Ini memang membosankan, tetapi pembaca sekalian. Perjalanan menjadi buron idealnya harus dibekali dengan hal-hal yang menakjubkan. Tetapi temanku, hanya membawa kekuatan dari dalam. Yang bisa menghempaskan segala pernik kesombongan yang tengah menghantui seluruh kota. Tak ada pahlawan manusia kelelawar yang datang dengan baju besi dan mudah bergerak, selincah monyet kelaparan. Yang ada hanyalah seremonial tiap pagi yang dipertontonkan setiap waktu, dari orang-orang yang menggadaikan idealismenya begitu murah, atau pandanganku yang masih kabur melihat segala sesuatu melalui kacamata renang. Bukan teropong milik james bon, alis jaga masjid sama kebon. Pandangan mereka bisa menembus batin, hasil dari jiwa yang terlatih menaklukkan segala kesenangan duniawi.

Pemegang tampuk kemimpinan segera menjelma dan mengambil alih tugas dari para centeng penjaga kebun. Tak hanya itu mereka juga mengambil segala jenis buah, meski buah itu memiliki rasa pahit tiada kira. Tak terkira mengambilnya. Meski masih muda buah itu tetap dipetik, mereka beralasan terbawa buah masak. Pandanganya telah kabur, mungkin mereka perlu obat tetes mata. Mungkin yang berbahan dasar madu agar segala ciloh menetes deras meraba seluruh pipi yang tak pernah disetrika matahari.

Satu waktu kuajukan nama Elang sebagai seorang sastrawan kepada salah satu penguasa di negeri tercinta. Pikir-pikir tindakan ini untuk meringankan beban istrinya, meski tak perlu ada yang diringankan.

Seluruh syarat kucukupkan agar keluarga Elang mendapatkan satu imbalan, atas nama perjuangan dan persahabatan. Mungkin ia agak kesal dengan yang kulakukan. Paling tidak ia akan mengirimkan berlembar-lembar puisi yang akan memenuhi kotak pos di depan rumah. Tetapi itu bagus setidaknya aku bisa menuliskan rekam jejaknya, entah sampai di mana ia dapat memberi jarak pada serdadu yang tak pernah berhenti mengejarnya. Atau ia sedang menikmati secangkir kopi di warung pinggir jalan dan bercengkrama dengan orang-orang disekitarnya yang ia kira sebagai pengunjung biasa. Yang kudapatkan ketika permintaanku dibalas oleh surat dari penguasa. Ada banyak nama yang mendapatkan tunjangan di hari tua, tetapi nama Elang justru menjadi bulan-bulanan dari pihak penyelenggara. Mungkin ia bukan bagian dari sastrawan negara. Menyusul pertanyaan kemudian adalah apakah sastrwan bukan bagian dari kepentingan negara. Lalu yang ada hanyalah kalimat; sastrawan tidak berbahaya, tetapi dibenci oleh penguasa. Inilah bagian yang kuanggap sebagai perlakuan yang berbeda.

Setelah engkau renggut masa depan anak dan istri, sekarang kau mulai mempendek jarak perjalanannya. Membatasai perkataan dan teriakannya. Sebabnya ia kemudian menjadi pelarian pontang-panting mempertahankan idealismenya. Sampai kapan ia akan berstatus sebagai buron, ketika anak-anaknya dewasa apakah ia bisa menghadiri pengambilan raport tiap semester, berdiri tegak ketika anaknya lulus sebagai anak bangsa. Aku tak habis pikir, kenapa semua ini bisa terjadi. Keadilan memang tidak dikolong langit tanpa seseorang melakukan apapun. Ia akan hadir bersamaan dengan keadilan lain yang kalian anggap sebagai kesengsaraan. Tuhan tak pernah tidur barang sekejapun, camkan itu baik-baik, soalnya kalian sering lupa jika sudah menikamti gulali dan silap memandangi kapal yang tertambat di dermaga.

Rabu, 05 Februari 2025

6. Mimpi Buruk


Teriakan itu makin menggores akal sehatku. Suaranya menggema seperti srigala yang terluka. Pilu mencekam. Kedua kakiku kenapa tak mau diajak berkompromi, mana tenaga yang biasa kupacu ketika berlari menyapu setapak dan jalanan berundak-undak. Aku berjalan terhuyung-huyung menghampiri suara itu.

Di ujung jalan setapak menuju hutan terlarang sabuk, Intan tengah memeluk kakaknya yang bersimbah darah. Ia melepaskan pelukannya dan bangkit mendekatiku dengan tubuh gemetar, sorot matanya membuatku semakin gelisah.

"Plak!" pipiku terasa panas. Di susul tamparan kedua dan ketiga. "Kakakku mati!, kenapa kau lama sekali!" katanya sambil menyeka air mata dan darah secara bersamaan. Ia diam mematung, sementara darah terus saja mengucur dari balik batok kepala kakaknya.

"Pergi!" katanya lantang, kedua matanya membesar. Dadanya naik turun. Wajahnya memucat, matanya memutih, senyumnya amat ganjil, dan tiba-tiba ia menyeringai dengan ganas. Tanpa memberiku waktu yang cukup untuk mencerna semua hal, ia sudah menerkamku dan mulai mencabik-cabik batang leherku dengan giginya yang runcing. Ia mulai sesak nafas dan pandangan semakin kabur. Apakah aku akan mati dengan cara seperti ini?

Lalu gelap menyergapku untuk beberapa saat.

"Ben." Suara itu memantul-mantul di telinga. Tubuhku terasa kaku dan seolah ditarik oleh kekuatan yang melimpah dari kejadian yang mengerikan.

"Ben!" Suara itu kukenal, ia terus memanggil namaku berkali-kali.

Cepat sekali mataku terbuka, mungkin jantungku berdenyut terlalu cepat. "Kau mimpi buruk lagi" kata Ibu pelan dan akrab. Sentuhan tangan Ibuku telah menyelamatkan mimpi buruk yang kerap kali menyiksa.

"Semakin buruk Bu," ucapku lelah.

"Minumlah."

Kutandaskan segelas air putih dari mug di bawah tatapan lampu lima wat. Setiap mimpi buruk tubuhku selalu banjir keringat dan perasaan aneh.

"Mungkin kau perlu menjenguk sahabat lama," ucap Ibu.

Pintu garasi berderit pelan dan melangkah masuk menyusuri halaman panti. Kubetulkan sweter merah marun. Kulihat sebuah bangunan kecil yang cerobong asapnya sedang bekerja keras. Aroma kue rangi menebar sepanjang halaman panti.

Langkahku terhenti oleh laku seorang gadis yang tengah memetik bunga Rosela ditemani oleh Suster yang telah kukenal, suter Mari. Ia telah mendampingi Intan sejak ia masuk ke panti rehabilitasi ini.

Aku memberi isyarat pada Suster Mari.

"Terimakasih suster Mari,"

Intan masih tekun memetik bunga Rosela sampai ia menoleh ke belakang dan memekik keras. Ia bertepuk tangan sambil melompat-lompat sebentar dan memeluk keranjangnya erat. Ia tersenyum selebar papan kayu, matanya juga membesar.

"Apa kabar Tan," sapaku tepat di depan wajahnya yang semakin dekat. Baru beberapa detik di depannya. Matanya sudah berkaca-kaca, mengikilat tak terbendung lagi.

Hidungnya mengendus-endus, nafasnya terasa hangat ketika menyentuh permukaan wajahku. Aku tak menghindar, ia justru mencari tatapan mataku yang sekarang masih menyisakan misteri baginya.

Ujung jarinya menarik-narik sweter yang ia kenakan. Ia sibuk berputar mengelilingiku sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Kau sudah sarapan?" tanyaku lagi.

Intan membalas dengan deretan gigi-giginya yang putih. Aku merasa lega.

Kuberi isyarat pada suster Mari agar menggantikan peranku selanjutnya. Aku berjalan menuju toilet dan keluar dengan wajah basah. Ada kegembiraan sekaligus sisa-sasa yang mengerikan. Kuharap ia bertahan, entah sampai kapan. Sampai waktu yang bicara.

"Ini bunga kesukaanmu, kau ingat?" Tanyaku pelan. Kutunggu reaksi yang mungkin bisa berbeda dari pertemuan yang telah beberapa kali terjadi. Sampai kapan, aku juga tak tahu.

Intan tersenyum membentuk palung pada pipinya. Bentuknya agak dalam, lalu kembali seperti semula ketika sibuk mengangguk-anggukan kepala. Kedua kakinya mengais-ngais

Intan menerima bunga mawar itu dan mulai melucuti satu persatu kelopaknya sampai tak tersisa. Lalu ia memasukan kelopak-kelopak itu dalam stoples tembus pandang. Aku tersentak ketika kepalaku ditaburi oleh ratusan kelopak yang keluar dari stoples. Intan tertawa lepas dan berpaling pada kursi goyang. Tanpa menunggu waktu yang lama ia sudah berubah dingin dan memandangku seperti mahluk asing yang harus kujauhi. Bibirnya mengatup rapat membentuk sebarisan benteng yang kokoh. Ia menggumankan sesuatu seperti sebuah nyanyian atau ratapan. Aku merasa ia tampak wajar dan normal.

"Pergi!, Dasar pecundang!, Banci!, Modal bacot doang!" katanya. Sumpah serapah selanjutnya adalah kesedihan dari bulir-bulir air matanya. Intan memeluk boneka kayu. Dan lari menangis sepanjang lorong panti. "Beni Banci...!" teriaknya. Disusul tawa mengikiki layaknya 'binatang' malam.

Mungkin yang dibutuhkan sekarang adalah memberinya jeda agar keberanian itu terus ada. Lalu ia bisa menghapus mimpi buruk yang kerap datang.

Aku duduk di kursi kayu trembesi, dipayungi dahan waru. Tempat dimana Intan selalu merajuk untuk dibuatkan layangan dari duan ini. Setelah berhasil menerbangkannya, Ia akan bersiul-siul sepanjang waktu. Dan selalu menyempatkan diri mengetuk pintu jendela, mengucapkan terimakasih. Ketika kubuka jendala ia telah lenyap sambil meledekku; pangeran kesiangan. Aku rindu itu.

Suster manghampiri seperti biasa. Ia melambaikan tangannya. Tangan kanannya menjinjing tas kertas. Pisang goreng yang dihidangkan telah tandas kedalam perut besar ditelan teh tawar panas.

"Ini buatan Intan, katanya ini hadiah ulah tahun buat 'kakaknya'" ungkapnya sambil tersenyum meledek.

"Sudah lewat satu minggu." kataku.

"Ia membuat sampai larut malam."

Kuterima hadiah ulang tahun. Suster Marni pamit setengah berlari. Ia melambangkan tangan dalam jarak tertentu. Aku pulang menutup gerbang putih dan menyelot sendiri. Kulihat lantai atas. Sebuah horden terbuka, Intan menatapku kosong. Kulambaikan tangan. Ia tak membalas. Aku balik kanan.





Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 6

Cara Menghilangkan Perbedaan adalah Melenyapkan Tanpa Jejak 

Ini kesikian kali Elang melarikan diri dari kejaran serdadu yang bermata garang dan berhidung tajam. Berita tentang para koruptor yang disebut sebagai penyintas membuatnya tampak uring-uringan. Seolah ingin bersembunyi di balik tumpukan uang yang dijeratnya susah payah. Bila terus memikirkannya, mungkin Elang akan kehilangan selera hidup. Mau panjang atau pendek. KKN purwarupa prodak lama, tetapi ia masih efektif untuk mengubah wajah kalian jadi oren. Hanya senyum kalian seperti srigala yang berhasil menjebak musang dari buang hajat ditepi kali kumuh, pikirnya.

Ia keluar dari pondok tua milik orang yang telah berbaik hati mendermakan waktu dan tempatnya. Di depannya embun-embun menari riang menyambut pagi yang dinging. Bukit-bukit di kejauhan tumpah tindih dengan gugusan awan halimun.

Duduk mencangkung di bawah hangatnya mentari. Sinarnya bagus untuk kulit sekaligus menghalau virus yang sekarang melanda negeri ini.

“Negara kita memang butuh sekolah lagi,” ucap pemilik pondok.

“Meraka seperti perempuan datang bulan, cepat marah dan sensitif.”

“Aku malu pada orang-orang seperti Hoegeng, para penggali sumur lubang buaya, dan yang tersembunyikan. Mereka seharusnya dapat bintang pahlawan dan layak mendapatkan santunan setiap bulan. Di bawah tatapan sangar senjata teracung mereka tetap menggali dan menggali. Kehidupannya berhenti pada cara mereka mengeruk sampah dan ditarik kereka sederhana. Sejarah seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Ketulusan mereka menjadi penyebab sebuah keadilan seringkali salah sasaran.”

“Sementara aku malu pada diri sendiri,” ucap ELang.

“Kau tak perlu mengenalku, tetapi aku mengenalmu dengan baik, ketenaranmu sebagai buron telah menyulitkan para birokrat untuk tidur siang. Mereka terpaksa menelan puluhan obat tidur untuk mengistirahatkan sebagai anggota tubuhhnya, sebagain lain tetap memberontak menuntuk keadilan.” Pemilik pondok berpamitan meninggalkan sepiring pisang goreng dan segelas kopi hitam. Elang menatapi punggung yang mulai bungkuk, ia penasaran pada ‘malaikat’ yang telah repot-repot melawan kantuk menghidangkan makanan lezat di pagi hari.

Apakah cukup hanya dengan rasa penasaran. Kebaikan hatinya membuat sejenak melupakan pelariannya yang melelahkan. Ia mendengar sekelebat bahwa pemilik pondok itu seorang dosen yang mengajar para professor atau bahkan menguji para profesor.

Tadi malam sebelum tidur Elang mengenang perbincangan yang menggetarkan pikirannya. Bagaimana tidak, menurut pemilik pondok, “deklarasi PBB 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan itu sifatnya berkelanjutan, atau tidak mengenal kedaluwarsa. Artinya kasus itu akan terus dibuka selama belum diungkap, dan pelakunya belum diusut dan dipidanakan.” Aku hanya membacanya ulang, agar kau tak terlalu risau dengan aneka penyudutanmu yang menyesakkan. Kata; lawan yang kau gaungkan membuatku malu atas pencapaianku selama ini. Semua seperti tak artinya. Aku terlalu pengecut untuk sekedar membunyikan gendang, agar mereka terjaga.”

Elang menulis sesuatu diatas kertas kerja pemilik pondok. Lalu melangkah keluar mencangklong tas slempangnya. Udara masih terlalu dingin, meski matahari sudah mulai menghangatkan kulit. Ia tidak melibatkan siapapun dalam pelariannya. Membolehkan tinggal sementara adalah cara mereka beterimakasih atas perjuangannya. Mungkin.

Titip Anak dan Istri
Salam Demokrasi

Ia meletakan pensil diatas kertas. 

Sekelompok perempuan pemetik daun teh begitu akrab dengan kegiatannya. Menarikan jari untuk mengelus dan memetik daun teh dengan kejelian seorang pianis yang lembut menekan tuts nada secara simultan. Tak peduli dengan matahari yang mulai memanaskan ubun-ubun.

Untuk siapa mereka berjuang. Begitu slogan yang menempel pada bak truk pengangkut kopra. Ia pun tidur di atas kopra dan menyerahkan sepenuhnya pada supir truk yang akan membawanya pada tempat-tempat yang terduga.

Pandangannya jatuh pada jilatan matahari yang membasuh keheningan diri sendiri. Di kanan kiri batang-batang pohon besar beserta cabangnya menari indah melakukan gerakan pantomime yang tersusun secara rumit. Mereka sedang berdoa pada seorang yang jauh dan berlari sendirian agar jaraknya bernafas setidaknya lebih lama. Ia tersenyum pada diri sendiri. Menemani udara pagi yang masuk pada sela-sela gigi yang makin jarang tersikap dengan baik. Ingatannya teruji pada perjuangan teman-teman yang lebih dulu kena ringkus dan mungkin sekarang sedang menerima ‘sarapan’ yang tidak hanya mengenyangkan tetapi juga mengurangi ingatan pada masa kanak-kanak.

Ia hanya membayangkan pada negeri yang indah ini, andai lepas dari taring-taring tirani yang selalu bersembunyi pada senyuman, lipatan baju tersetrika, harum semerbak minya wangi impor, dan kaos kutang yang tak pernah kuning barang sedikit. Ia hanya mengecap-ngecap lidahnya sendiri yang gamang untuk menyatakan bahwa negeri ini sedang dilanda wabah tirani, busung kepercayaan, dan miskin administrasi. Kacau balau yang terkonsep pada mata pelajaran sekolah, meski pakai pembuka halaman, pelantang suara, mereka tetap saja gegabah untuk memastikan sesuatu yang benar-benar benar. Modul tirani hanya perpindahan rezim agar tampak santun dan berwibawa di mata dunia internasional. Lalu menganggap pertumpahan darah adalah hal wajar bagi sebuah perjuangan, apakah perjuangan mesti disandingkan dengan darah yang mesti dikucurkan.

Di warung kopi pinggir jalan. Suasana hangat seketika berubah beku. Radio itu memancarkan suara yang menghilangkan kerinduan untuk pulang kampung. Jejak harus diperlebar, agar perjuangan bisa dilanjutkan dengan waktu yang semakin menipis. Bulu kuduk meremang meski hanya langkah anak kambing yang menginjak ranting kering. Ini sudah keterlalua, tetapi perjalanan harus ditempuh meski tak berujung. Yang paling mengerikan perjalanan itu mesti pupus ditengah pelarian. Borgol itu akan membuat ngilu atau senapan panjang yang melukai tiap rusuk demi rusuk.

Kali ini ia benar-benar merasakan kecemasan di atas rata-rata. Radio mini menguarkan suara rezim hitam pekat arang. Suara itu mulai bercerita meski kecil seperti hantu tetapi tetap terdengar. Suaranya seperti sang Jendral yang telah pernah marah-marah di televisi. Penyiar mengatakan hanya mirip. “Aku ditangkap bersama tujuh teman lainnya, di sekap dalam rumah yang seluruh dinding ruangnya telah dilapisi oleh kawat-kawat kuat. Di sudut dapur yang cukup luas juga di sekap seorang ibu beserta anak-anaknya. Ketika malam kami terbangun karena mendengar teriakan dari para tahanan yang disiksa begitu rupa. Kami hanya menebak-nebak saja, saking keras lolongan itu membuat anak-anak kecil yang juga tersekap bangun sambil mengucek-ngucek kedua matanya. Ia kira ayah minta tolong untuk dibukaka pintu. Seorang dari pimpinan kami juga ikut ditangkap dan ia menawarkan diri untuk jadi tumbal asal anak buahnya tak disentuh barang sedikitpun. Lalu ia membuka baju, kami terkesima melihat sekujur tubuhnya penuh bekas luka. Seorang serdadu yang melihatnya disiksa bercerita padaku; pemimpin kamu kuat sekali ketika distrum pun hanya menggigil, bahkan ketika pukulan ekor buaya berkali-kali menerpa tubuhnya. Ia tak bergeming, mengaduhpun tidak. Tak ada kesenangan bagi kami, ketika menyiksa para tahanan tak terdengar lolongan minta ampun, kesakitan, dan beraduh-aduh sampai berbuih.”

Penyiar radio brengsek itu terus saja memintanya bercerita. Ini soal kemanusiaan atau kebutuhan rating semata. Tragedi kemanusiaan dijadikan tontonan yang bisa mendatangkan banyak uang. “Matikan radio itu” kata Elang. Dan ia mulai menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. Asapnya membentuk timbangan yang didekatnya ada orang yang kedua matanya ditutup.

“Kau kenal Bung dengan orang itu barusan,” tanya Pak Supir yang tengah sibuk mengunyah gemblong.

“Aku tak mengenalnya, aku hanya membenci ceritanya. Ia mungkin sedang menjual ceritanya untuk hal-hal buruk atau semacamnya. Aku tak ingin dia dijebak dalam ruang dengung yang menggema memantul-mantulkan ketidakpercayaan pada kebenaran yang tengah digaungkan oleh kaum miskin papa.” Papar Elang.

“Ia hanya bercerita, mungkin tak ada yang terganggu ketika mendengar cerita. Bahkan orang gilapun menyukai orang bercerita, semacam rehatlah. Kau setuju Bung.”

“Tak tahulah, tapi mungkin agak memaksakan. Orang itu mengatakan agar orang tua kita harus menjadi pemberani. Kalau ayah kalian pergi dan teman-temanmu bertanya kenapa ayahmu selalu berjalan tergesa-gesa, dan selalu blingsatan ketika langkah serdadu itu masih belum terdengar. Ya karena ayahku seorang pemberani. Kalau ibu kalian dan teman-temanmu bertanya tentang ibumu yang menutupi sebagian wajah dengan jarit lusuh padahal langkah serdadu itu masih berhenti di warung rokok. Ya karena ibuku pandai bersandiwara dengan tangisan pilu meluluh lantakan persendian hingga mengira ada pencuri yang masuk ke rumah. Dan membuat tetanggamu terjaga dari tidur nyenyak barang sejenak.” Tutur Elang.

Keneknya hanya diam. Ia tak berhenti untuk mengunyah kuaci. Bungkus-bungkusnya berserakan di depannya. Elang menatap ke bawah kaki kenek itu. Tak dipakainya sepatu serdadu seperti yang maklum ditemuinya ketika tak di sangka tak di nanya seorang pedagang escendol begitu rapi jali lupa bagaimana mestinya berbaur. Ia juga khawatir karena membuka pembicaraan terlalu banyak. Seorang pelarian tak semestinya berbicara terlalu banyak, tuturnya hampir tak terdengar. Apakah menjadi penting jika harus baku hantam soal menyembunyikan identitas atau blak-blakan saja.

“Langit masih menjadi atap, angin masih menjadi dinding, aku tak khawatir untuk sendirian. Terimakasih untuk tumpangannya.”

Mungkin hanya perasaan saja, apakah hembusan angin juga memberi tahu serdadu itu tentang perjalanan Elang. Mungkin pembaca tahu?

Elang berjalan menyelurusi rel kereta api. Sayup-sayup terdengar lenguhan lemah, tepatnya rintihan. Bulu kuduknya merinding, apakah ada yang tenang di alam sana. Ini saat-saat yang membuat bimbang. Semua mungkin merasakan jika sedang dalam kesendirian, melewati masa-masa sulit. Perutnya tiba-tiba merasa mual. Mungkin ia teringat dengan para koruptor yang punya lebel baru para koruptor: penyintas?

Bagi Elang ini perjalanan yang terasa menyebalkan. Penulis cerita ini mungkin agak berlebihan, atau ia sedang terkantuk-kantuk setelah bekerja seharian, sebuah alasan yang amat klise. Ia berhenti pada rumah penginapan yang sepi, teramat sepi. Mungkin pengunjungnya sudah terlelap memeluk bantal.

Ia menyapa penjaga penginapan yang terkantuk-kantuk. Televisi hitam putih sedang menyiarkan laporan khusus edisi khusus. Presiden yang punya senyuman bagus itu sedang memimpin klompen capir, satu edisi yang bagus pada zamannya. Tetapi tidak bagi sebagian lain, ada orang-orang yang tak sabar untuk menonton film malam. Mungkin Rhoma Irama, Barry Prima, atau Jackie Chan sebagai bintang film yang telah lama ditunggu-tunggu.

“Ini koncinya,” jawab penjaga sambil mengerjapkan matanya.

“Ada pintu lain nggak, selain pintu-pintu kamar.”

“Kau bisa bisa lewat jendela.” Tuturnya lirih.

Elang membeli sebuah Topi di pasar malam. Ia memilih warna gelap dengan ujung yang lebar. Tak puas ia juga membeli Topi Koboi seharga nanas muda yang banyak di pesan sebagai rujakan. Ia langsung memakainya, mungkin karena merasa merinding malam ketika melihat serdadu yang sedang membeli cimol. Tak tanggung-tanggung serdadu itu memborong seluruh cimol yang ada. Penjual terlihat gembira, tetapi ia harus sabar melayani berbagai macam pertanyaan.

Sambil menikmati semangkuk bakso, Elang menguping pembicaraan serdadu dan penjual cimol itu.

“Kau kenal orang ini,” tanya serdadu. Tangan kanannya menyodorkan sebuah foto.

“Tidak tahu Pak,” jawabnya.

“Kalau kau ketemu, Cimolmu akan laris manis,” Tuturnya. Ia menyelipkan foto itu ke saku belakang. Lengan yang kekar itu membawa sekantung penuh cimol. Ia berhenti sejenak, melihat ke arah penjual cimol yang sibuk berkemas. Tanpa basa-basi Serdadu itu memberikan Cimol kepada pengemis yang sedang duduk melamun. Pengemis itu memandang kaku dan mulai menikmati cimol yang tak bisa ia makan sendiri. Ia melambai kepada handai tolan yang tengah memandanginya sambil menelan air liur.

Elang lekas menghabiskan satu mangkuk bakso tanpa penjiwaan bahkan komentar konyol tentang daging atau kuahnya. Malamnya yang larut adalah perhentian yang abadi tentang nafas dan rasa lelah. Elang merapatkan jaketnya, angina malam seringkali menjadi kambing hitam atas kelemahan yang direkayasa banyak orang. Langkahnya tak goyah meratapi jalanan. Tak peduli pada persangkaan orang, sekarang adalah waktu yang nyata untuk merenungkan semua hal.

Jalan atau berhenti. Dua-duanya adalah perjalanan informasi tentang kebendaan yang akan mengungkung kreatifitas terdalam atau mungkin paling sakral. Para penguasa itu seringkali lebih buruk dari pada keledai; ia binatang yang menjadi simbol agar kesalahan tak lagi berulang. Mungkin saja telinganya berguna untuk mendengar, tetapi seringkali bisikan kanan kiri menggoyahkan apa yang sudah diintuisikan sejak lama. Mungkin sejak lama, sejak pencalonannya menjadi orang dengan banyak kepala. Sehingga kepalanya sendiri sering pening berdenyut-denyut, meski obat penenang telah melampuai tenggorokannya sejak lampu kamar dimatikan.

Elang tersenyum manakala sandal jepitnya menginjak Tai Anjing yang sering kali berak tak sopan. Jenis binatang ini perlu belajar etika pada seekor kucing. Kawan lamanya. Atau mungkin ada rasa cemburu berlebihan pada binatang ini, hingga ia merasa tak perlu mengajari apapun pada Anjing. Meski salah satu “bangsanya” telah didapuk menjadi penghuni surga.

“Siapa,” tanya istrinya bersuara malas.

“Ini aku Elang,” ungkapnya sambil celingukan menatap gelap. Meski ia menyukai kelam, tetapi mereka tak jujur ketika benderang menghampiri. “Apakah kamu hantu, suamiku sedang ditempat yang jauh. Itu bukan suara suamiku. Jangan ganggu aku,” tuturnya. “Ini aku ELang,” tuturnya sekali lagi. Dadaku mengembang penuh. Kutengok anakku yang terlelap tidur. Suara yang kedua itu telah membangungkan suara keraguan. Keyakinan itu menguap kuat. Kumatikan lampu kamar dan pelan-pelan kubuka jendela kamar perlahan-lahan. Sebuah kepala muncul dari bawah, ia menatapku dengan cara yang sama. Bau keringatnya juga belum berubah bahkan lebih asam.

“Sekarang aku boleh masuk,” tanya Elang.

“Ini rumahmu tak ada yang melarang,” jawabku gemetar, lelehan air mata begitu saja keluar tanpa aba-aba. Rasa tak lagi hangat. Ia dingin, apakah ini perpisahan yang akan menyulitkan. Tentu saja tidak, bila kalian mengizinkan. Aku jenis perempuan yang tidak begitu berani menghadapi kenyataan, mungki karena anakku masih kecil. Atau bayangan orang-orang yang telah berada di bawah tanah mengikis keberanian perlahan-lahan. Apakah itu salah, mungkin peguasa itu merasa akan aman di bawah tanah nantinya. Tak ada lagi riswah, yang ada hanyalah kemampuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan.

“Kau tahu aku ini aktor, kukeluarkan suara sesuka hati. Mau dari perut, rongga dada, leher, atau ubun-ubun,” jawab ELang.

“Panggungmu telah dirampas,” jawabku pelan.

Aku melihatnya masuk, mungkin beberapa hari ia tak sabun dan pencuci rambut. Aku pernah mencium aroma pekerja aspal yang baru berhenti ketika senja. Aroma tubuhnya sama dengan aroma suamiku, asem bercampur tengik. Tetapi ia lelaki yang tengik plus bajingan. Itu hanya terjadi pasa film-film pendekar. Aku pernah menonton film kependakaran itu dalam dekapan suami yang masih beraroma bayi.

Kunyalakan lilin setelah ia memberikan korek gas. Aku tahu ia tersenyum, giginya lebih putih ketika dalam kegelapan. Syukurlah ia masih satu suku denganku. Sehingga masalah gigi tak jadi soal yang menakutkan, ini hanyalah masalah sudut pandang.

“Selama ini kau kemana, kukira kau sudah di Jakarta,” bisikku ditelinganya.

“Maaf, aku masih di sekitar sini. Aku ingin melihat lomba agustusan, kau keberatan.” Bisiknya pelan, suaranya terasa hangat ditelingaku. Ia memang benar suamiku.

Mungkin hanya alasannya saja, aku tak ingin mendebatnya. Ia sudah pulang tak perlu mengintrograsi dengan ragam pertanyaan. Kata orang bijak; salah satu penyebab suami tak betah di rumah. Tangannya yang ringkih itu tengah mengelus-elus anaknya. Tak jelas menggumam apa pada anak yang tak sempat di lihatnya pada pertama kali. Aku tak ingin mencegahnya untuk sekedar cuci tangan. Ini masa di mana orang-orang harus “terlihat” bersih dari segala aspek. Tujuannya agar suaranya lebih jelas dan mudah menarik masa.

“Masih ada makanan,” tanya Elang.

“Sebentar kusiapkan.”

Ia tak dapat melihatku meneteskan mata, tepatnya mengucurkan air mata. Jika kalian menganggapku berlebihan, mungkin kalian harus belajar untuk bersimpati. Suami kalian dalam keadaan baik-baik saja, tak dikejar-kejar penguasa, bahkan bisa berdekatan sekaligus bersenda gurau secara akrab. Baru satu kali tarikan nafas ia sudah mendendangkan sebuah lagu pengantar tidur yang sudah lama kudengar. Baik sebelum atau sesudah aku tertidur. Kuharap ini akan berlanjut sampai tua renta, setidaknya ini doa dari istri dari suami yang jadi buron sekarang.

Menjelang Subuh bayi itu menangis. Elang terjaga, memijit tengkuknya. Ia tertidur di dekat anakya. Tak jauh dari jangkaunnya sepiring nasi dengan lauk telur dadar berisi cabe dan bawang merah telah lama membisu. Ia bangkit menyantap makanan itu pelan-pelan. Ia tak ingin membangunkan siapapun karena suara kecapan yang terus menerus.

Istrinya tidur sambil memeluk bantal dan membiarkan bayinya tidur dengan nyaman. Bayi yang nyenyak seringkali menggemaskan. Ia ingin mengelus kulitnya, tetapi tangannya terlalalu kotor dan berdebu. Sendok yang digunakan sama dinginnya dengan nasi yang tengah dikunyah.

Elang menyambar handuk yang dijemur diatas pintu kamar. Ia menciumnya berungkali dan beberapa kali mengecap kagum pada daya ciumnya yang masih berfungsi dengan baik.

Aku terbangun mendengar air yang ditumpah-tumpahkan secara tak teratur. Awalnya aku kaget, kukira ada hantu yang sedang mandi terlalu pagi. Pikiranku agak tenang setelah ingatan jangka pendek mengkonfirmasi ulang tentang kepulanga suamiku. Kekagetanku agak konyol, kesendirianku akhir-akhir ini menyulitkanku untuk mengingat sesuatu secara permanen.

Mentari pagi masih sehangat kuku. Anak-anak sudah berlarian kesana kemari memutuskan untuk mengikuti upacara HUT kemerdekaan RI yang ke-51. Mereka sudah berseragam merah putih, sepatu hitam berkaos kaki putih, dan topi merah lengkap dengan logo nasionalisme.

Melalui lubang kunci Elang menelan ludah berkali-kali. Matanya memerah melihat orang-orang dewasa dibantu anak-anak memasang bendera menyembut 17 Agustusan. Momen sakral yang tak bisa terlewatkan. Pengerakan bendera merah putih sekaligus penurunan bendera pada waktu yang telah disepakati. Sang saka merah putih itu akan disimpan di tempat terbaik untuk kemudian akan dikerek kembali pada tahun-tahun mendatang.

Dikeja-kejar penguasa rasanya nano-nano. Puluhan hari Elang berteman dengan atap-atap malam. Pandangannya serasa tak tepat sasaran. Yang terdengar dari lubang kunci itu hanyalah deru tawa anak-anak dan orang-orang dewasa yang sedang mempersiapkan beragam jenis lomba. Semuanya tampak larut dalam kegembiraan. Mungkin taka dan hari esok baginnya. Kesilapan seringkali menghabiskan seluruh kemewahan pada saat yang sama.

Yang terlihat dari mereka adalah suara yang jelas, mengambang, atau salah satu dari mereka adalah penyamar yang sedang menjalankan tugusnya dari pengusa tanpa sepatu biasanya. Salah satu dari mereka betul-betul mungkin meyamar memakaki kostum pendekar.

Seorang bisa mengatakan bawa ayah hanya menitipkan rezekinya masing-masing pada anaknya. Rezeki anak sudah ada masing sesua dengan keindahan hati yang memilikinya. Bahwa penjara adalah satu-satunya tempat terbaik untuk menjungkalka semua kesombongan yang telah bercokol pada sarangnya masing-masing.

Sudah puluhan malam hanya menatap gelap yang ditingkahi bau nafas tikus-tikus tanah. Bagaimana detak jantungnya sendiri dirasakan begitu teratur dan indah. Ketika langkah serdadu bercelana pendek berbaju petani mencari Elang yang tengah melipat tubuh seumpama trenggiling. Elang abai dengan bau bacin yang menyergap seluruh pernafasannya. Kotak kayu telah memenjarakan sejenak dalam pelariannya menyambut Agustusan. Meski retak seluruh badannya, ia menyeringai ketika melihat serdadu berbaju petani itu tengah memaki tak karuan. Ilmu menyamar dan bersembunyi membuatnya berjarak dengan para serdadu.

Sekarang gelak tawa dari anak-anak remaja yang sedang bergumul dengan pohon pinang hitam yang licin. Melalui lubang kunci wujud dan wajah yang sulit tergambar ketika didalam petika ikan asin kini terlihat lebih jernih. Bahkan wajah para jendral yang marah-marah pada dirinya pun kalah ceria dan tampan. Wajah para jendral itu tak menyisakan lagi wajah kanak-kanak. Sama sekali tak berbekas. Yang terlihat kerutan tegas yang diperoleh dari ketegasan-ketegasan sebelum ia dilantik dan disumpah pada perkara kemanusiaan. Jendral yang marah-marah di televisi baru menyadari betapi licinnya belut meski sudah di atas tanah coklat.

Meski sudah sampai di rumahnya sendiri. Tak ada tanda-tanda pintu rumahnya dibuka. Elang tinggal sendiri di rumah menemani putrinya yang masih terelap meski matahari tak tak lagi terasa hangat. Ia bergegas ke kamar manakala saah satu anak remaja berhasi membetot ember besar. “Kamu lapar ya, sebentar ayah akan buatkan sesuatu untuk perutmu yang keroncongan,” tutur Elang jenaka pada bayinya yang tampak tak peduli dengan bujukannya. Mungkin susu lezat yang lebih penting dari bujuk rayu omong kosong.

Ia kembali dari dapur dengan botol susu yang sesekali dikocok dengan tangan kiri. Lalu meneteskan air susu itu ke punggung tangannya.

Elang mengangguk tiga kali memastikan semuanya aga berjalan normal.

“Ini susunya, minum dan tumbuhlah menjadi besar. Seorang yang pemberani. Tak pengecut menggendong tangan dibelakang. Seorang yang teguh melawan ombak meski hanya riaknya saja,” tutur Elang sambil menepuk pelan kaki anaknya.

Istrinya pulang menenteng payung. Hujan tak terdengar menjerit diatas genteng. Wajahnya terlalu serius di hari di mana orang-orang sedangmerayakan 17 agustus secara sadar.

“Kau tak keluarkan pagi tadi,” ucap istri Elang.

“Tidak, aku hanya mengintip anak-anak lomba dari lubang kunci, kenapa.”

“Meraka ada di semua sudut jalan, apakah kau tak takut.”

“Tentu saja aku takut, tetapi akalku mampu mentralisir itu semua.”

“Aku takut, anakmu tak sempat melihatmu ketika besar nanti.”

Elang menyelesaikan suapan terakhir. Ia mengelap mulutnya dari serbet kotak-kotak yang dibeli istrinya beberapa hari menjelang kepulangannya. Masih ada sisa bau baru yang sempat terhidu. Sayur sawi putih dengan ikan asin sebagai penggugah seleranya, tak ada kudapan ataupun makanan penutup. Yang ada segeles teh yang masih berasap pada gelas belang bertangkai.

Bayinya menggeliat mencari sensasi, mungkin ia perlu peregangan. Ia akan terus tumbuh menyongsong sekelumit cerita tentang hidup yang makin menua, makin jelas letak sebuah kesalahan. Manusia seringkali lebih berbahaya dari gejolak alam paling menyeramkan sekalipun.

“Aku takut…, suatu saat mesti ada akhirnya. Tak terkecuali sebuah pelarian. Mungkin semakin hari semakin banyak mata yang mengawasimu,” ucap istrinya.

“Justru pertanyaanmu membuatku semakin genah untuk melakukan hal ini; bersuara melawan rezim pembungkam, kugunakan semua perangkat yang nantinya bisa membebaskan, setidaknya bisa dikenang sebagai orang yang pernah melawan. Bila nanti aku ditahan maka ada kebanggan di sana, sebab penjara tak bisa melemahkan apa-apa. Jika nanti aku disel maka ada keromantisan di sana, sebab bui tak bisa mengucurkan apa-apa. Kau aka tahu nanti bahwa hidup sehari-hari yang sudah dijalani puluhan tahun oleh orang-orang yang selalu menajamkan mata pisaunya adalah penjara yang paling nyata.”

“Bagaimana aku menceritakan ini semua pada anak-anak nanti?”

“Ceritakanlah setelah semuanya terang, agar anak-anak kita bisa bersikap. Setidaknya untuk mereka sendiri. Jalan mereka haruslah diperpanjang sampai anak-anak kita tahu betul bagaimana menjaga semangat bapaknya yang pemberani. Apakah kau menyesal?”

“Kenapa perjuangan selalu menuntut tumbal pengorbanan. Maksud mereka apa. Apakah sekedar memperlihatkan taring mereka yang sengaja dipanjangkan. Apakah mereka ingin menunjukkan baju pulkadot baru beraroma kanji?”

Negeri ini semakin sendu oleh tingkah polah badut yang tak pernah merias wajahnya. Apalagi untuk meletakan setengah bulatan bola merah pada hidung mereka yang selalu mancung setelah berhasil menggunting dalam lipatan. Menyulap angka-angka menjadi lebih seimbang dari grafik yang sulit dimengerti kaum intelektul sekalipun.

Menjelang senja Elang keluar dari rumah. Ia menoleh sebentar pada jendela kamar. Istrinya menyibak sepotong penutup kamar. Elang terhenti sejenak, mata istrinya memerah. Mata yang dimiliki oleh orang-orang yang sedang emosional. Tetapi untuk apa, ia sedang menimang bayi yang selalu terlelap menjelang senja sampai tengah malam. Setelanya ia akan bergadang sampai kokok ayam berteriak memanggil manusia agar bangun.

Ketika azan maghrib berkumandang, langkah Elang  sudah semakin jauh dari rumah. Bau tubuh istri belum hilang dari ingatannya. Apalagi mulut bayi anaknya yang berbau mulia. Satu ciri bahwa bayi itu masih terlindungi dari dosa-dosa sampai ia terbebani oleh tanggung jawabnya sendiri. Bisa mengecam yang terlihat buruk dan bisa mencecap semua jenis kebaikan.

Elang berhenti di emperan mushola. Ia melanjutkan pelariannya setelah sang imam mushola menyelesaikan zikir setelah sholat. Menghitung puluhan sandal jepit, bakyak, slop, dan sandal aroma terapi.

Di depan mushola terdapat sebuah gazebo. Ia meluruskan kedua kakinya, sejak tadi terasa kaku. Patung kayu saja banyak mengalami perubahan yang terkadang menggunakan per untuk melenturkan beberapa titik agar bisa semakin cakap menilai siapa yang benar dan salah. Memang terlalu klise tetapi kehidupan ini menyajikan beragam kisah yang menuntu pembaca agar pandai-pandai memilih suatu bacaan. Agar berguna di masa depan.

“Orang baik di saat yang baik, itu sudah biasa. Tetapi orang baik di saat tidak baik, itu baru luar biasa. Maka jamaah yang di muliakan Allah, pilihan selalu di tangan kalian.” Tutur kyai yang sedang memberi santapan rohani kepada jamaah selepas maghrib. Penggalan kalimat yang berhasil mengusik rebahan Lukman. Ia duduk dan mulai menyimak kembali apa yang akan diucapkan oleh kyai itu. "Manusia itu tak perlu sombong, jika dia seorang ayah maka dia sedang “numpang” makan pada anak-anaknya. Karena sejatinya rezeki yang paling banyak “milik” anak-anak yang sedang dititipkan. Jika dia seorang Ibu yang melahirkan, maka berilah tempat bagi seorang ayah agar memiliki juga surga di telapak kaki ayah.” Elang tersenyum mendengar kyai itu menuturkan petuah kalimat demi kalimat.

Malam menunaikan tugasnya. Elang tertidur di Gazebo, dengkuran sampai terdengar sampai ke ruang marbot. Satu sebelumnya ia makan malam bersama sejumlah jamaah dan para marbot, hingga sulit beranjak. Segala jenis kudapan ia paksa telan serta habiskan. Suasana sejenak hangat, tak ada satupun dari mereka yang mengorek apa keyakinannya. Elang pun menikmati betul suguhan dari orang-orang tulus.

Ia ingin mengatakan pada para serdadu itu bahwa meraka tak bisa mencegat makanannya agar tak melewati kerongkongan. Mereka salah, kesalahan ada pada mereka, terlalu sensitife, praduga bersalah, tangkap dulu baru intograsi. Mereka melayani semua jenis permintaan yang tak masuk akal, melacurkan janji setia dan menjual harga diri secara grosir. Pedang pora menjadi lebih tumpul lebih awal, perang juga belum mulai tetapi mata pedangnya telah mengikis secara simultan.

Serdadu itu terus saja memenuhi permintaan tugasnya. Janji yang mulia; hanya menjalanka kewajiban. Mungkin mereka lebih logis dari pada orang awan (sipil) dengan mengataka; “istri dan anaknya sedang menunggu di rumah”, sebagian dari mereka mempertaruhkan nyawa agar nyawa-nyawa lain masih kembali setelah tidur malam panjang. Tuhan masih memberikan waktu agar manusia itu lekas-lekas kembali. Tidak hanya fisik tetapi juga mental. Serdadu itu mungkin perlu rehat atas semua yang telah terjadi. Atau jangan-jangan mereka perlu teman sekadar diskusi setelah hari yang berat. Siapa tahu jarinya semakin gemetar ketika ingin membidik sasaran dari darah yang sama. Cepat-cepat menyadari kesalahan lalu kembali pada sang pencipta.

Elang terbangun tengah malam ketika bentol-bentol sebesar kedelai hitam menerpa kulitnya. Nyamuk-nyamuk itu tak perlu etika untuk menjalankan tugasnya sebagai dasar agar kita memliki ruang yang lebih luas. Ruang etika dizaman sekarang semakin mahal, manusia adalah mahluk paling buas di antara singa paling abg sekalian alam. Ia mencari warung yang masih buka, sekadar untuk membeli obat nyamuk bakar dan sebungkus dua bungkus kuaci. Ia kembali tidur dan mengabaikan tatapan nanar serdadu yang ditempat lain sedang melangkah mengukur jalanan. Tak bosankah ia menderu dan mendesak segala keberanian untuk meringkus lelaki ringkih bersuara burung nuri, berbetis kurus, dan bermata tak berpengharapan. Tak relakah mereka membiarkannya melenggang kankung di pematang sawah seharian, biarkan.

Selasa, 04 Februari 2025

KAKEK DALANG

Siti melotot melihat kakek Dalang datang menghampiri Ibunya yang sedang mengangkat jemuran di halaman rumah. Senja mulai turun merayap. Mungkin Ibu lupa, tadi siang ia membantu kendurian di rumah Pak Nasir. Dan buru-buru ia pulang menggandengku melipir sebentar dari hiruk pikuk hajatan sang empu rumah.

“Kenapa Ti?” tanya Ibunya.

Siti Menggeleng, ia cepat-cepat bersembunyi dibelakang Ibunya. Tanganya mencengkram lengan ibu kuat-kuat.

“Aduh sakit Ti, kau kenapa?”

“Eh, kek Dalang ada apa?”

“Pete ini tak habis kumakan, ini ada sisanya, untuk Siti?” kata Kek Dalang. Ia menyodorkan dua keris pete yang sudah berwarna hitam.

“Siti,” tutur Ibunya.

“Nggak mau, buat Ibu saja,” kataku. Kusembunyikan wajahku dibelakang punggung Ibu. Badanku terasa berat, aku ingin lari, tapi seperti ada tangan kekar yang mencengkram kedua kakiku.

“Nduk?” bujuk ibuku.

Aku diam saja. Kupejamkan mataku erat-erat melihat Kek Dalang.

“Emm” kututup Hidungku kuat-kuat.

“Siti,” ucap ibu, tangannya yang masih beraroma lodeh menyentuh tanganku.

Aroma busuk tiba-tiba menguar kemana-mana. Tetapi kulihat ia tetap tenang saja, tanpa pernah memencet hidungnya sendiri.

“Apakah hanya aku yang bisa merasakannya,” batinku.

“Dikasih pete malah merem, ora ilok-nggak sopan!” ketus Kek Dalang. Ia memberikannya pada Ibu. Tangan Ibu seperti kena lumpuh-akibat stroke ringan-menerima dua keris pete. Nurut saja. Kek Dalang pamit pulang ke rumah, jaraknya dari rumahku hanya tujuh kali kedipan mata. Tangan kanannya memagangi tongkat sebagai panduan berjalan.

Kubuka mata dan mengintip dari belakang Ibu. Cepat-cepat kupejamkan mata untuk kesekian kali. Punggung Kek Dalang ada lelehan darah mirip caramel, apakah itu benar caramel?

“Siti, kau kenapa, aduh sakit Ti, ayo lepaskan Ibu?”

Kulepas pelukanku. Ibu jongkok menatapku. Gigiku saling beradu. Mataku beradu dengan mata indah milik ibu.

“Wajahmu pucat Nduk, ada apa, Istighfar nduk!” aku langsung digendong oleh Ibu, meski ibu agak sempoyongan. Aku makin berisi dan tinggiku hampir sampir sama dengannya.

“Kek Dalang Bu?” kataku lemas.

“Kenapa Kek Dalang, ia baik kok, kasih pete?” jawab Ibu sambil mengacungkan dua keris pete yang agak loyo ke depan wajaku.

“Kek Dalang tadi nggak ada kepalanya, kayak ada ususnya, dan baju belakangnya banyak darah Bu?” ucapku pelan sekali. Dan tiba-tiba pandanganku gelap.

Dua keris pete yang makin loyo jatuh mencium tanah.

“Oalah gusti pangeran (Ya Allah)! Innalillah...” Begitu kata-kata ibu yang sempat kudengar dan pelukannya makin erat. Bersamaan itu pula gema azan maghrib berkumandang dari Mushola Baitul Mustaqim.

Senin, 03 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

Babak 5

'Menyapa' Gentong Babi
Untuk pulang ke rumah bukan perkara mudah. Sekarang betul-betul gawat. Tinggal menunggu dijemput saja. Elang masih duduk di pal, sampai kepala desa hilang dari pandangan. Sisanya kesunyian yang kembali memberi ruang pada angin, sejak dari tadi ia berhenti berhembus.

Pikir Elang bisa menggetarkan suara, udara, ataupun pita suara sendiri. Ia hanya menekuri gulali yang menggunung di kedua telapak tangannya. Mau diapakan gulali sebanyak itu, ia harus menghemat odol, agar giginya tetap awet sepanjang pelarian. Mengantongi dalam tas bekas terigu adalah perkara yang benar, pikirnya.

Cepat-cepat ia meninggalkan pal, tempat ia duduk. Orang di depan sana dari tadi menyapu jalanan yang tak ada daun berserakan. Mungkin ia tanda bagi para serdadu yang sudah menandai buronannya. Bergegas ia naik angkot menuju kota, tempat terbaik untuk bersembunyi. Orang berlagak jadi tukang sapu itu blingsatan. Ini angkot terakhir dari desa menuju kota. Elang mengepalkan tangannya. Orang itu membanting keras sapunya dan berlari ke satu arah.

Di kota ia mengganti rambut palsunya dengan model yang baru. Tak perlu kau tanya dari ia mendapatkannya. Berikanlah kesempatan padanya untuk mengembangkan ceritanya sendiri. Sekuat dan semampunya.

Ia bergabung dengan orang-orang kuat yang sedang berada di selokan. Rakyat biasa yang tenaganya luar biasa. Membuat gorong-gorong atau menggali tanah untuk kabel-kabel aneka rupa itu.

Dari siang mereka membangun, begitu juga malamnya. Layaknya robot, mungkin akan tumbang menjelang dini hari. Tanpa sempat bersih-bersih, apalagi mandi, menyikat gigi, atau berendam air hangat. Esok hari mereka terjebak pada rutinitas yang mereka pilih, atau terpaksa memilih.

Simsalabim, pikir Elang. Berdirilah gedung-gedung berotot, halaman jalan yang terhampar mewah, mobil-mobil saling beradu kecepatan, diselipi makian ala Firaun. Tak pelak ratusan hari bersama peluh, ikut menggali ditimbuni bebatuan. Lalu aspal-aspal jalanan menghegomoni seluruh ekosistem, tak perduli suara kodok menjerit, kijang lintang pukang, burung-burung menangis, dan semut-semut bermigrasi. Musuh bersama itu menghela nafas sambil menaikan kaki pada kaki lain, lalu tertawa keras berbantal uang berlipat-lipat.

“Ini menyedihkan,” kata Elang. Para pelayan setia diam, ketika namanya tak disebut-sebut pahlawan oleh kaki tangan “Firaun”. Tetap membisu, meski usus-usut melilit menelan indomi setengah matang tanpa telor dan cesin. Mereka hanya melolong dalam gelap, melenguh seperti sapi perah, lalu lupa waktu, seperti kuda pedati yang berjalan seharian.

“Kita mudah lupa, tak pandai merawat ingatan.” Seloroh pelayan setia (salah satu rakyat di negeri ini)

“Sekali waktu makan ikan peda, jangan oncom mulu?” timpal yang lain.

“Bukan main katamu, bongkrek kau makan tiap hari.” Sanggah pelayan setia.

“Sesama pemakam ampas jangan saling bertengkar.” Ucap Elang. Ia pikir akan ada yang tertawa minimal tersenyum. Mereka hanya berlalu dari kuruman dan berdengun seperti lebah.

Mereka sedang mencipatkan surga versi sendiri, tanpa dibebani kata-kata yang sulit, seperti barusan. Itu mungkin terlalu klise, tetapi mereka cepat sekali tersinggung. Mungkin perut mereka teramat melilit, tak sanggup memikirkan hal-hal rumit. Kenyang adalah puncak kemewahan, diantara derai tawa anak-anak berbaju komik. Surga yang telah ada tak satupun dari mereka dapat mencicipi seperti buah mangga tepi jalan. Mereka (titisan “Firaun”) menjilati tiap hari tanpa menyisakan sedikitpun kenangan. Panasanya jilatan mereka (kaum vampir) membuat hutan-hutan terbakar. Dari jilatan apinya muncul kastil putih dengan penghuni berdasi dan senyum meremehkan.

Pelayan setia membuka pintu dengan gembira, meski perut tak tersentuh bongkasan nasi. Bekerja dengan bahagia, dan membuka mata di pagi hari dengan dalih melunsi hutan piutang. Sementara kalian menelan api, berselimut api, kudapan pagi api, dan hidup kalian dikelilingi monyet-monyet rakus dan pendendam.

Mestinya kalian belajar untuk berkata tidak, meski itu sulit. Pada mereka yang suka mengulur waktu, bikin alasan, pembenaran. Baik di kampus, rumah, panggung, peluh-peluh mereka terasa wangi. Bahkan teramat wangi, mungkin mereka sedang membungkus kebusukan dengan wewangian dari toko parfum. Semua ini terasa menjengkelkan, ungkap Elang.

“Pilar-pilar datang!” teriak salah seorang pelayan setia.

“Dimana!” Tanya Elang.

“Pasar!” jawabnya, orang itu berlalu sambil berlari senang. Sikapnya membuat Elang tergerak. Sebagai ucapan terimakasih saja. Ia berjalan menuju pasar. Setidaknya menelan gembus di awal pagi bisa terhindar dari penghilatan yang berkunang-kunang. Ia mencoba menyelinap di antara kerumunan orang. Tubuhnya yang ceking seperti cacing yang elastis diantara tubuh-tubuh yang ada. Tiga pilar itu sedang duduk ramah sambil menyingkap jasnya. Ada kesan egaliter mungkin. Salah satunya berdiri, dan langsung menunjuk batang hidung Elang.

“Kamu!, ya kamu, lelaki bertas tepung terigu.”

Elang mengarahkan jari telunjuknya tepat dihidungnya. Bukan cara yang biasa, tetapi Elang sepertinya spontan melakukannya. Ia pun melangkah kedepan. Tiga pilar itu menatapnya.

“Nama kamu siapa,” tanya salah seorang berpeci, mungkin termuda dari tiga pilar itu.

“Elang.”

“Panggil aku, Ki,”

“Bacakanlah pidato ini, senangkan mereka dengan pesan-pesan menggelegar,” perintah orang tertinggi di tiga pilar dengan kulit terang. Elang menerima secarik kertas, di tulis dengan tangan yang disusun indah. Ia mengucapkan lantang

Nanti kita akan mendatangi, atau kita kedatangan satu kaum yang memeluk dunia kabur ini dengan perasaan yang kabur sambil memotong daun telinga. Saudara-saudara yang merindukan kemerdekaan, kita akan merayakan ulang tahun perkawinan dan merayakan kemiskinan besar-besaran, lalu mengiris pilu pada tiap tarikan nafas. Meluapkan sesaat akan kemiskinan yang terus menyergap adalah cara terbaik agar manusia menjadi lebih kuat dan siap, dan kita semua yang hadir itu adalah perpaduan itu semua.

Anak-anak kita yang akan lahir kemudian adalah anak semua zaman, kita akan terkaget-kaget melihat cara mereka menikmati hidup. Selayaknya orang-orang dewasa seperti kita dapat memetik barang sedetik. Bagaimana berbagai kenyamanan akan menerpa pada jejak langkahnya.

Ini soal generasi kawan, kelak anak-anak kita akan menyusul datang dan menyapa setiap membuka mata. Sebagian dari mereka duduk diatas singgasana hasil dari magang sebagai BONEKA OLIGHARKI. Pahit getir, susah ke tulang-tulang hingga generasi lupa atau tidak mengenali berbagai kemungkinan kehidupan selain dari kemlaratan, gelangandangan di negeri sendiri, rumahnya telah disomasi tanpa pernah mengetuk pintu pemilik rumah, itulah arogansi korporasi yang sedang dipertontonkan.

Elang menyeka peluh yang tiba-tiba mengucur seperti ASI yang tak lama disusui. Ia pun melanjutkan pidatonya. Pilar-pilar itu menganguk-angguk. Bahkan pemilik kumis mbaplang itu terus saja memperlihatkan deretan giginya yang putih.

Kepada para kekasih yang tengah menunggu cemas berpekan-pekan. Tetaplah tangkupkan kedua tangan telapak tangan ke atas langit, agar kemiskinan hanya sempat mampir di pojok-pojok rumah hanya dalam beberapa helaian nafas. Tanpa perlu menjerat pemiliknya hingga busung lapar menewaskannya. Ambil bagian dari hal mestilah mutlak keharusan, agar para kekasih bisa meraih dan memeluk lengan pujaannya. Terlelap dalam buaian, dan menghempaskan penderitaan sebanyak-banyaknya sekaligus sejauh-sejauhnya.

Elang mendekati para pilar dan menyerahkan kembali secarik kertas. Tangannya agak gemetar ketika berjabat tangan dengan pilar berpeci. “Kami tak menyangka ada mawar sedap ditengah bangkai-bangkai, baguslah itu pidatomu, kalau begitu…” pilar berpeci meraih secarik kertas dan menyerahkan pada Elang. “Aku ingin kau bacakan, kami bersabar menunggu di sini.” Tambahnya.

Elang kembali membaca sekali lagi.

Lucuti semuanya, hingga perkara-perkara tak jelas menjadi benderang. Karena kalian, kami selalu sembunyi dibalik ketakutan hingga membenarkan apa apa yang telah rusak. Kami yang meniti jembatan, lalu kalian menikmati setiap kepulan “nasi hangat” tiap bangun pagi. Meski ada sejuta alibi yang kami siapkan untuk melepaskan topeng-topeng dari wajah kalian, itu juga tak pernah kami lakukan. Bagaimana dengan anak-anak kami, kelangsungan hidup mereka. Apa kalian berani menanggung.

Mungkin jika leher sudah tenggelem, kalian akan teriak tak ada pahlawan yang muncul sepanjang tahun. Lalu membiarkan kami terlunta-lunta dinegeri orang tanpa pernah kalian berpikir bagaimana kami makan, tidur, BAB, dan seterusnya. Nurani kalian telah membiru kekurangan oksigen, hingga kalian menjualnya di pasar gelap, tempat menyelundupkan ginjal, hati, empedu, kepada lintah darat yang gemuk itu.

Tanpa permisi kalian membangun gedung-gedung pencakar langit. Membenarkannya dalam rapat-rapat elit, disertai kerlingan para gadis yang telah hilang akal. Taruhannya mahal, adalah diam sebagai pola perilaku yang akhir-akhir ini jadi senjata mematikan untuk membiarkan korban-korban gentayangan tanpa pernah kenal lagi jalan pulang. Meraka hanya melihat sejenak, lalu sibuk menikmati semangkuk bubur ayam yang dibelinya dipinggir jalan. Itu juga sebagai senjata untuk berlindung.

Cuci tangan adalah hobi kalian bila terdesak dari pertempuran keji yang kalian mulai. Imbalannya berupa puja-puji, pangkat, jabatan, harta, dan juga wanita. Wanita kadang kalian jadikan sebagai pelengkap penderita saja. Mustahil kalian bisa setia pada satu cinta. Tak ada penghargaan apalagi pemuliaan bagi seorang wanita.

Bongkar sampai akar-akarnya. Bakar semua tikus-tikus gemuk. Bongkar setengah gedung itu, agar kalian tahu bahwa pemimpin kalian adalah kecoak dan tikus-tikus kudis yang jarang berobat, meski mereka gemuk ada banyak kematian yang siap menjerat kapan saja.

Tanya! meski kalian harus ditanya! kemana saja kalian selama ini, bergaul seperti monyet. Monyet sesungguhnya rela berkorban menjadi monyet jalanan dengan topeng, payung kecil, motor, dan tas jinjingan: Sarimin pergi ke pasar. Mereka para sirkus jalanan akan menangis manakala melihat majikan bertengkar karena istri minta uang makan.Sementara kami telah dimatikan sejak kami singgah.

Tanya!, Tanya!, untuk apa kita punya mulut.

Elang mengakhiri pembacaan pidato dengan tepukan tangan oleh ketiga pilar. Penonton yang kebanyakan pengunjung pasar dan para pengangguran terselubung ikutan tepuk tangan. Tepuk tangan yang terlambat.

“Kau mau ikut mengembara barang beberapa saat,” tanya salah seorang pilar.

“Aku seorang buron, tak ingin menyusahkan tuan-tuan yang terhormat ini, hidup tuan bisa pelik dan bermasalah.”

“Para penguasa seringkali membungkam suara memakai cara-cara yang kita sadari, bukan metode yang baru. Mereka hanya memakai cara lama dengan alat-alat baru. Para cenayang yang tahu kapan dan dimana kita makan dan minum, bahkan ketika kita berak,” Ucap salah seorang pilar yang kelak di zaman modern lebih dikenal dengan Ki.

Elang diam tak menjawab sepatah kata.

Ia seperti mencari peluang dalam ruang yang semakin lama semakin tak mengizinkan dirinya berdiri bebas mengucapkan apapun tentang penguasa itu. Sebuah penguasa yang ia sukai jika mereka masih percaya pada cerita-cerita rakyat, dongeng, fabel, dan humor sebagai salah satu cara pendekatan humanis.

Langkah-langkahnya memang masih lebar, tetapi ‘cahaya’ itu tetap meneropong sampai hal-hal sepele. Sama persis yang tadi dikatakan oleh Ki. Hal-hal yang ia sadari sebagai kelaziman, sebuah tradisi lisan yang turun temurun mulai diusik sebagai sesuatu yang mesti dikubur hidup-hidup. Dan itu sangat menjijikan.

Elang seperti tak ingin mendengar lebih jauh tentang tiga pilar itu, tetapi nampaknya nasib telah menemukannya.

Dan perjalanan makin jauh, ia rindu pada anak dan istrinya. Air mata juga nampak malu-malu tumpah. Ia hanya senyum sedikit ketika ketiga pilar itu selalu menggodanya, malulah jika ia menangis. Padahal mereka sedang melakukan perjalanan untuk dibuang oleh pemerintahnya sendiri. Sebuah pemerintah yang kerap mual pada kata-kata mentah seperti ibu muda menginginkan sesuatu. Sehingga makin jelas, kutukan itu benar-benar nyata. Kepalanya telah disetubuhi penyakit ganas bernama tamak, rakus, sombong, kikir, dan tentu saja pengagum firaun.

Ia membuat garis-garis lurus di sekitar jendela kereta, sebuah peta perjalanan yang tampak jelas, dan ia sendiri yang menghitung jaraknya. Ia tersenyum kecut, jika ia pulang orang-orang itu akan pulang membawa petaka karena tak dapat pangkat. Mestinya mereka dapat mengikat tangannya lalu berkoar pada surat kabar buruannya telah tertangkap sedang ngopi di pinggir rel kereta bersama para penghuni de gull yang sedang istirahat. Kereta berhenti, Elang turun. Ketiga pilar menjulurkan kepala, seperti bocah SD yang sedang membeli kuaci dari pedagang tua.

“Kenapa,” tanya seorang pilar berwajah putih. Ia lelaki keturunan dari negeri jauh. Sebuah negeri yang dipimpin seorang raja.

“Kita punya kehidupan yang berbeda, aku tak ingin mengusik akhir cerita kalian. Selamat tinggal,” ujar Elang.

Kereta pelan-pelan berangkat.

“Kita bisa bicara banyak di alam baka, tentang penyakit menular para pejabat!” teriak seorang pilar memakai blangkon.

Elang mengepalkan tangan. Membusungkan dada. Berteriak lantang.

“Merdeka!” teriaknya.

Berkali-kali mereka saling memekik dan mengepalkan tangan.

Sore hari ia duduk di pematang sawah mengagumi sawah setelah panen. Angin sangat bersahabat. Burung bul-bul ramai berpindah-pindah mengais sisa padi. Ia menerima bisono rebus dari seorang yang menggendong jerami untuk pakan ternaknya.

“Gubuk itu ada penghuninya,” tanya Elang.

“Kosong Den, setelah panen gubuk itu akan ditinggalkan sampai roboh dan para petani akan membangun yang baru ketika padi punya banyak musuh,” jawabnya.

“Terimakasih.”

Setelah jauh, pemikul jerami sesekali menoleh ke arah Elang yang tetap duduk manis di pematang sawah. Mungkin dianggapnya sebagai dedemit yang muncul menjelang senja. Ia seperti mengutuki sepanjang perjalanan. Ia meludah ke kanan kiri sebagai bentuk tolak bala. Bentuk kedunguan yang mengakar bahar, sulit sekali mengikisnya.

Senja telah membuatnya semakin muram. Ia menanggalkan bajunya. Menceburkan pada belik setinggi ketiaknya, airnya terus saja meluber. Menenggelamkan kepalanya, ia tak ingin muncul-muncul. Biarlah ia ditemukan mati dalam belik dalam badan yang telanjang. Tetapi ia muncul, suara adzan yang sering ia dengar selalu mengusiknya dan kadang lebih banyak menenangkan.

Ia mentas dan berdiri di depan belik. Memakai baju yang sama, tetapi ia membukanya dan mencelupkan berkali-kali membanting-banting tak karuan. Belik itu sekali lagi dibuat kocar-kacir airnya. Burung kuntul yang ingin minum sebelum pulang ke peraduan pun enggan turun. Memilh terbang lagi dan mengencingi kepala Elang dengan kotorannya. Elang terbahak-bahak. Orang-orang yang mendengar sayup ketawanya menciptakan tokoh hantu baru diantara banyak nama-nama hantu. Elang akan menerimanya begitu saja, seperti sajak baru yang sering digubahnya menjelang tidur. Malam harinya setelah memakai baju yang masih basah. Ia mengamati langit yang bersih. Ia tak memedulikan rayuan kodok, jangkrik, bahkan suara aneh dari seberang hutan bambu. Matanya tak berkedip, karena langit begitu indah ketika jarinya berusaha melukis dengan cat yang berbeda. Ia tersenyum kecut, menertawakan angan-angannya. Matanya beradu pada dinding bambu yang banyak angin disana. Sekali lagi ia ingin mengubah susunan benda yang hidup di kepalanya. Meski itu sulit, karena penguasa selalu saja buruk sangka padanya. Padahal ia hanya ia meluruskan, agar mereka selamat dalam panggang neraka.

Dini hari ia terbangun. Meski ia tak sempat tidur panjang. Jantungnya berdegup lebih kencang. Suara-suara itu membuatnya cemas. Ia merasa lega, lalu melangkah keluar dan mendapati para pengobor malam. Diantara mereka membawa kandang jinjing, banyak sekali burung puyuh yang terlihat cemas akan nasib anak-anaknya yang masih kecil.

Ia kembali ke gubuk setelah para pengobor itu kocar-kacir menanggapi satu pertanyaan dari Elang.

Berbaring diantara bale kecil dan suara pengobor itu mulai berubah menjadi derap-derap yang teratur, ia mulai gundah dan menekan kelopak matanya lebih dalam. Bukan pada satu kelemahan, tetapi lebih kepada kekuatan yang nantinya dapat ia gunakan sewaktu-waktu. Ia ingin merasakan gelap lebih lama agar terang dapat ia reguk selama mungkin. Meski hanya membuka sesaat setelah semua kemarahan itu meluap serta mendarat.

Derap kaki itu perlahan memudar. Elang tampak tenang, ia mulai menyadari sesuatu itu pelan-pelan menghampirinya dalam jarak yang tak terduga. Telapak kakinya kini lebih peka terhadap bunyi-bunyi, bahkan kebijakan semu itu kerap terasa lebih pedas dari yang dibayangkan. Bahkan punggung dan jemarinya selalu saja mengajaknya waspada dari mata-mata dengki yang kata-katanya selalu saja menyengsarakan kehidupan.

Ketika malam pekat, Ia terbaring memunggungi gelapnya sawah. Hanya desir angin yang bisa dirasakannya. Mengimbangi detak jantung, tulang belulang, dan hembusan nafas diantara banyak dengkuran. Suara kodok, jangkrik, belalang kerik sedang berada dipihaknya.

Ia harus pergi dari kesunyian itu, meski kodok, burung malam memberinya semangat agar tetap saja nyenyak. Penguasa itu telah merenggut sebagian kehidupan nyaman, meski rumpang masih Roky sukai. Ini semacam latihan, karena penguasa itu lambat laun akan merenggutnya kejam.

Minggu, 02 Februari 2025

SUJUDMU KUNANTI

Semenjak kutinggalkan rumah sore itu, kau gendong cucu pertama sambil melambai tangan 
Sewaktu rambutmu yang masih hitam tergerai setelah lolos dari ikatan 
Sementara ayah tersenyum lepas sepulang kerja menuntun sepeda 
Lalu waktu menggilas roda putar hingga masa lekas sekali senja 

Anakmu telah melepas lelah di bangku kuliah, tak seiris tanah milikmu yang dimakan tuan tanah 
Kukira lelah itu menjadi ladang yang barokah berlimpah-limpah 
Sejak saat senyum itu mulai berubah tuntutan mengurai kepercayaan diri 
Pada jejak kata semasa adu mulut pertahankan kalimat pada dosen ingin menang sendiri 

Kututup lembaran-lembaran, pada kata ibu penyelamat hidup anak lelakinya 
Lalu mengubah perasaan luka menjadi harap penantian mulia 
Melihat keningmu sujud penuh cita di depan ka’bah yang dijaga 
Oleh langit dan bumi, juga doa-doa ikhlas dari mulut-mulut yang lapang dadanya 

Pada umur yang singkat ada harap panjang agar sujud panjangmu tak goyah 
Hinggap bertahun juga tak apa, asal bersih modal serta jalan berisi rido 
Pada doa berjalin taut berlipat-lipat, agar lengkap menurunkan jumawa 
Air mata tumpah pada sujud-sujud panjang yang lama dinanti, pada ka’bah yang jauh

Sabtu, 01 Februari 2025

LEWAT FM RADIO

Kirim salam sapa pada orang jauh sana
Juga lagu, pada ribuan kali putar
Pendengar di sisi sana tersipu malu
Pada pesan sendiri yang buat kau kuat melangkah

Menghitung sisa umur
Semenjak kau pulang terlampau dini
Pita kaset diputar mengecap rindu
Jalan ucap yang menyembunyikan wajah

Lega mendengar santun menjawab peluk tanpa tubuh 
Kau disana seperti apa wajahnya sekarang
Sudah berkerutkah? 
Di meja makan mungkin kau sedang tersenyum pilu

Kekasih yang telah lama tiada
Hanya bertuliskan nama pada batu nisan
Setiap sore kau tak jemu menunggu
Menitip kata kenang pada penyiar lewat FM radio

 Curug, 10 Juni 2023/ 03.19