Minggu, 20 Januari 2019

Ikan Gabus dan Ikan Sepat

" Bus, air sekarang rasanya semakin aneh ya. Mungkin cucu kita tidak akan bisa menikmati jernihnya air. Bahkan saudara-saudaraku yang tinggal di sungai kecil pinggir sawah selalu merasakan rasa air semakin membahayakan. Banyak saudaraku yang korengan akibat pencemaran yang dilakukan oleh mahluk yang hidup di atas tanah.

" Tak usah mengeluh Pat, memang kalau kita mengeluh mahluk besar diatas tanah yang punya dua kaki, akan mengerti keluhan kita, sebagian dari sangat rakus dan tak punya kesadaran tentang lingkungan."

" Kita jalan-jalan dulu yuk, siapa tahu ada cacing yang jatuh atau serangga yang terjebak, akhir-akhir ini mencari sarapan makin susah."

" Banyak yang membuang cairan tak ramah lingkungan di pinggiran sawah itu."

" Hei Pat, lihat ada cacing yang..., lho kok bentuk nya aneh, Seperti termutilasi." Teriak Ikan Gabus sambil berenang mendekati cacing yang bergerak kesakitan."

" Hehhh Abang Ikan Gabus cepat makan aku, tubuhku rasanya sakit sekali, Manusia itu memainkan ku terlebih dahulu sebelum memotong, baru kali ini aku disiksa seperti ini."

" Sebentar Bus jangan kau tolong dia, coba lihat badanya melengkung kaku, seperti terikat lem, Aku pernah ingin menolong tapi rasanya sakit sekali hampir saja aku menjadi santapan manusia tak ramah lingkungan itu." Ikan Sepat mengingatkan. Trauma telah memberinya kepekaan pada dirinya.

" Oh ya, coba aku lihat, ya kau benar ikan Sepat, terimakasih sudah mengingatkan. Maaf Cing kami berdua tak bisa menolongmu. Kita jalan dulun ya."



Pelajaran
Hormati Alam Kita.

Sabtu, 19 Januari 2019

Sisi Lain

Ku pacu kendaraanku mengikis jalanan ibu kota jakarta, biasanya macet, tidak seperti jalanan kampungku yang lengang pada jam 8 pagi. Tapi kawan, lain di kampung lain di jakarta. Di jakarta  semua terasa begitu padat, kadang-kadang  panik, saling memaki antar pengemudi kendaraan. Tak belas kasihan dengan para  pejalan kaki, pengendara sepeda, juga pada tukang becak. Kalau realistis sih boleh-boleh saja, tukang becak "ngribetin" jalan, tapi kawan, kalau mau idealis tukang becak juga punya anak istri yang harus di beri nafkah.

Pagi biasnya di pinggiran jalan kota jakarta, para ahli bangunan dan asisten profesionalnya sedang kongkow di warteg sambil ngopi dan sarapan, menunggu gerbang proyek untuk dibukakan kuncinya. aku lebih seneng menyebut tukang bangungan sebagai ahli bangunan, dan kuli sebagai asisten profesioanal. Karena  orang biasanya menyebut mereka dengan kuli dan tukang. Tetapi mereka bukan sekedar tukang, mereka sangat mahir dibidangnya.

PERJALANAN

Ya, Muhammad sungguh Indah Hidupmu
Hiasan Ahlak pada Perilakumu
Ketika Jibril  Membelah dadamu
Di sucikannya dengan Zam-Zam
            Bejana Emas berisi Hikmat dan Iman
            Di Tuangkan ke Dadamu
            Di Tautkannya Kembali
            Untuk Perjalanan Suci
Menembus Langit Dunia
Hikmah Berjumpa Para Nabi
Melihat Penduduk Syurga dan Neraka.
Pelajaran Bagi Umat Manusia
            Sampailah ke tempat yang tertinggi
            Hingga terdengar Goretan Pena
            Perintah Allah di Titahkan
            Pada Umat Muhammad Saw
Turun Muhammad setelah Menerima Titah
Berjumpa dengan Musa
Dialog manis Terjadi
Umatmu Takkan Sanggup
            Muhammad Menghadap Rabb
            Di kuranginya sebagian Titah itu
            Kembali Bertemu Musa
            Umatmu Takkan Sanggup
Muhammad kembali Menghadap
Titah itu di kurangi
Dialog Cinta Bersama Musa
Umatmu Takkan Sanggup
            5 sebanding dengan 50
            Itulah Firman Allah Swt
            Putusannya tak bisa berubah
            Muhammad menerima
Dialog Indah dengan Musa
Muhammad merasa malu
Malu Aku pada Tuhanku
Tuhan Yang Maha Bijak
            Sidratul Muntaha
            Tempat terindah mata memandang
            Beraneka ragam warna
            Jibril Membawa Muhammad ke syurga
Didalamnya
Mutiara tersusun Indah
Bumi di sana, bagaikan Kasturi
Berakhirlah perjalanan Suci

Di sarikan dari Kitab Shohih Bukhari. 

Deplu Tengah, 30 Mei 2013         

Jumat, 18 Januari 2019

Novel Frans Maki

Bab 7
Burung Puyuh
Lanjutan Cerita


Di benak kami sedang dilanda badai kecemasan. Tama terseret arus sungai kecil yang menguap. Hari dan Jidon berlari di belakang Frans dan bang Aris. " Bertahanlah Tama!, kami akan menolong!." Suara Frans menggema. Hari dan Jidon bergumam tak jelas. Mungkin saling menyalahkan, saat ini begini tak baik saling beradu siapa yang benar dan salah. Langkah besar bang Aris sedikit mengendurkan urat ketegangan. Hari yang badannya paling gemuk makin tertinggal jauh, Jidon mulai kelelahan. Hobinya bukan berlari, setiap menjelang tidur di malam hari, setelah mengerjakan PR, Jidon membantu orang tuanya membungkus ratusan "kacang bandung" kedalam plastik. Lalu diantarkan ketika liburan.

" Kenapa kamu berhenti bang!." Frans bertanya cemas.

" Lihat, Tama mulai kehabisan tenaga, abang akan mencegat di tengah arus. Di ujung sana ada tikungan, nah sekarang bantu abang." Bang Aris lari lebih cepat kearah tikungan setelah dialog singkat. Kami mengikutinya susah payah. Galah dari rotan yang panjangnya hampir lima meter ia ulurkan ke kami. Sementara ia sendiri memegang ujungnya dan melompat menceburkan tubuh jangkungnya kedalam sungai kecil yang berarus deras. Kami panik ketika bang Aris oleng tubuhnya, tapi kami sigap menarik galah yang terhubung dengan tangan bang Aris, ia pun cepat menyeimbangkan tubuhnya. Pada saat begini kami sepakat untuk melepaskan kebencian yang kami sematkan pada bang Aris bila moodynya kambuh.

Kenapa Harus Doa

" Mau bermain sepeda, tidur, kamar mandi, makan, belajar, kenapa harus berdoa." Tanya Eza menjelang tidur."

" Karena setiap melakukan kegiatan, berdoa ada keberkahan di sana." Jawab ayah.
" Doa itu apa yah." Eza bertanya."

" Doa itu seperti perisai untuk melindungi dari hal-hal yang buruk."

" Seperti pelindung ya yah". Eza menyimpulkan.

" Ya."

Sementara Qq menyimak sambil menatap kami tak berkedip, memastikan diskusi kami tak terlewat. Dia akan menggunakan kosa kata yang dia pahami untuk menjawab peristiwa mendadak."

Ketika bunda pulang jam sebelas malam. Lampu di hidupkan, Qq terbangun sejenak. Dia teringat kalau ada kain yang menutup sebagian klambu.

" Oh ya, ada pelindung, jadi nggak silau." Qq menggunakan kosa kata yang didengarkan dari diskusi sebelum tidur.

Ayah mendengarkan lalu tertidur kembali. Ada kenyamanan yang tak terbayarkan oleh apapun.

Rabu, 16 Januari 2019

Novel Frans Maki

BAB 7
Burung Puyuh 
Lanjutan cerita

" Nama teman kamu siapa." Bang Aris bertanya sambil memasukan ketapel kedalam belakang celana, seperti gerakan memasukan keris kedalam warangkanya. Kalau dirunut dari jejak persahabatan kami dengan bang Aris tak begitu baik, kami seperti terjebak dalam dunia bang Aris, dia seperti punya daya magis agar kami para anggota kopi anjing selalu mau menjadi "temannya". Hanya pada saat ini dia menjadi tulang punggung pencarian teman kami yang menghilang. Satu yang kami tidak begitu menyukainya adalah bang Aris selalu berubah-ubah emosi, kadang sulit sekali mengontrol keadaan dirinya, satu saat dia bisa menjadi teman yang baik, saat yang lain di suka marah tak jelas, kadang juga salah satu dari kami pernah di bully entah apa alasannya. Esok harinya dia akan meminta maaf secara laki-laki.

" Faisal." Kata Frans.

Kami ingin menjauhinya, tetapi pada saat yang lain kami tak bisa lepas dari sepak terjangnya. Seperti minyak dan air. Tak pernah akrab, tetapi tak bisa dipisahkan.

Hutan Tepi sawah masih seperti biasa. Letaknya mudah untuk dicapai, kalau sudah masuk kedalam seperti melewati jembatan purba walau sekilas sama situasinya. Kami mulai masuk kedalam mencari jejak Faisal yang sudah satu pekan tak pernah kesekolah, kami mulai bergerilya mencari jejak sekecil apapaun.

Kami di di bagi dua kelompok, kelompok pertama bang Aris dan Frans, sementara kelompok dua Hari, Tama, dan Jidon. Frans dan bang Aris menyurusuri hutan tebu dan melihat rumah pohon yang pernah kami buat susah payah. Hari, Tama, dan Jidon menyisir kawasan hutan kelapa, Sengon dan Alba.

Satu jam kami bertemu kembali. Kami tercenung tak ada gerakan yang mencurigakan. " Frans, kau sudah kunjungi rumah pohon yang kita bangun di seberang sungai kecil di balik hutan tebu." Tanya Jidon.

Selasa, 15 Januari 2019

Akal Sehat

Akal sehat mampu meregangkan memori untuk berbuat kebaikan, bersama orang yang kalian sayangi, butuhkan, berada di kondisi apapun, tidak bermuka dua, tulus, dan tetap proporsional.

Menjawab semua keraguan tentang kehidupan dan peri kehidupan, menyelusup sampai ke pangkal harmonisasi yang tinggi harapan terhadap mimpi dan cita-cita.

Membedakan diantara perbedaan yang samar, selalu mengedepankan logika sehat dan tak menyalahkan sentimentil. Orang yang mampu membedakan antara yang tersembunyi, dibalik yang tersulit.

Menentramkan sekaligus perisai kewaspadaan sebagai wujud rasa waspada, bukan mendikte, wujud menormalkan pergantian perisai, agar yang lama tetap kuat, yang baru tidak diduakan, endingnya pikiran positif terpasang.

Akal adalah bentuk prosa yang paling sempurna, menjawab semua keraguan tentang anti klimaks, paradoks, kejujuran, dan semua akal sehat.

Minggu, 13 Januari 2019

Novel Frans Maki

BAB 7
Burung Puyuh

" Saya belum dapat laporan dari orang tuanya tentang teman kalian yang katanya menghilang, mungkin sedang ke rumah nenek, atau sedang pergi ke luar kota." Jawab Pak Polisi, cepat sekali menyimpulkan sesuatu. Tangan kanannya mengambil gelas, dan menyeruput kopi hitam yang mengepulkan asap. Hari Ahad kami sudah "menyatroni" Polsek Kaligondang. Dari kami bertujuh. Frans, Hari, Jidon, Tama, Nur dan Aro, jelas bang Aris yang punya potensi suaranya lebih di dengar. Fisiknya yang menjulang tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya.

"Tapi teman kami sudah seminggu tak masuk sekolah, tak ada surat dari rumah. Wali kelas juga kebingungan mengenai anak didiknya yang "menghilang" tak meninggalkan jejek." Sambung bang Aris, kata-katanya mirip kepala sekolah berusia sepuh".

" Bapak atau Ibu guru kalian sudah menjenguk kerumah." Tanya Pak Polisi.

" Sudah Pak, kami sendiri yang ke sana di temani sama ibu guru." Jawab Frans.

" Lalu."

" Ada ayahnya di rumah. Yang aneh bapaknya malah seperti orang gila kalau ditanya perihal anaknya kemana." Jawab bang Aris.

" Aneh, betul yang kalian laporkan." Pak Polisi mulai menganggap serius laporan kami.

" Betul." Jawab kami kompak."

" Sebutkan alamatnya. Nanti ada tim dari kepolisian yang akan memeriksa." Pak Polisi mencatat alamat yang kami berikan. Tanpa dosa, Pak Polisi memberi instruksi kepada kami untuk segera meninggalkan ruangannya. Pak Polisi yang berkumis tebal, tahi lalat besar diatas bibirnya menghela nafas, mungkin baru kali ada kejadian aneh di desa Kaligondang. Salah satu desa yang aman."

" Pak Kami boleh ikut." Bang Aris begitu semangat, heran biasanya agak cuek.

Sabtu, 12 Januari 2019

HUJAN

Hujan sore deras. Ada kabut tipis yang turun menyelimuti desa Rawakalong. Eza dan Qq sudah mengendarai sepedanya untuk membelah hujan deras. Senyumnya mengembang seperti menemukan dunianya. Jarang sekali menolak hujan lebat. Kedua anak ini sudah terlibat dalam cengkraman hujan yang memukul-mukul tubuh kecilnya. Ada genangan air yang cukup untuk menenggelamkan sebagian roda-rodanya. Justru itulah tantangan sebenarnya. Mengenali hujan sampai hujan deras mampu membuat tubuhnya menciut kedinginan. Bibirnya bergetar baru mereka selesai menuntaskan hajatnya dengan hujan deras.

" Ayah!, Hujannya banyak, ngga berhenti-henti."

" Masih kuat." Tanya Ayah.

" Masih ayah."

Mereka kemudian menyambut kembali hujan deras dengan kekuatan penuh, semakin deras hujannya, maka dapat izin dari ayah semakin besar, daripada 'berperang' dengan gerimis. Negosiasinya akan cukup lama, bahkan adu argumen dengan Eza Qq akan terjadi. Lalu ujungnya, Ayahnya akan diberi label sesuai mereka, ayah 'nakal', ayah 'gitu'. Artinya mungkin ayah ngga asik, atau ngga bisa diajak kerjasama.

Hujan deras memangkas jarak dengan rasa takut untuk melanjutkan petualangan dengan hujan. Semoga menjadi putra-putri penakluk hujan. Yang dapat menggenggam hujan menjadi kepercayaan diri saat kemarau mental diuji. Hujan bagi Qq dan Eza adalah ruh bersepeda, jiwanya sangat terhibur, air pun menjadi hiburan ketika jiwanya mulai bosan. Atau mungkin bosan dengan ayahnya. Semoga tidak seperti itu. Ayah tetap berusaha menjadi teman dan sahabat, meski hujan bagimu adalah sebaik-baik sahabat.

Jumat, 11 Januari 2019

Sepeda

Awal yang baik. Eza mau belajar tentang keberanian, dan kemampuan untuk mengendalikan rasa takut. Eza sedikit ragu untuk mengayuh pertama kalinya tanpa menggunakan roda bantuan. Kedua alisnya naik keatas dan membentuk formasi menguasai diri, setiap Eza berpikir keras untuk melakukan sesuatu hal baru, perubahan pertama adalah Alis terangkat, bola mata agak melebar, bibir terkatup, ada keseriusan tertangkap pada wajahnya.

" Ayah aku masih takut." Kata Eza pelan.
" Kamu bisa nak, seimbangkan badan, santai saja,lihat jalan, dan jangan lupa rem." Kata Ayah. Bagi Ayah dan Eza mereka terbiasa dengan beberapa pijakan ketika melakukan sesuatu.

Sepeda meluncur. Ayah tahu kamu bisa membunuh rasa takut. Meredam keraguan. Dan memeluk keberanian. Sepeda meluncur dengan kecepatan sedang. Permulaan yang baik. Ayah lupa kalau di depan rumah ada saluran air (got) setinggi betis orang dewasa. Dengan kondisi sebagian tertutup oleh rumput liar. Eza sudah berada dalam kondisi khusus, ayah tak ingin mengubah konsentrasi. Tangan kecil kamu belum seimbang, tak mengurangi kecepatan, dan masih kaku, Eza terjerembab dengan posisi jatuh yang tidak berbahaya. Dia gunakan kakinya untuk menginjak rumput. Lalu di keluar got dengan wajah tegang.

Tetes Air Mata

Sebuah cerita tentang ketergesa-gesaan. Sebuah keputusan yang berakibat pada harga iri yang terinjak-injak. Sebuah palu norma kesantunan, hingga berujung pada sebuah tetesan air mata yang begitu deras tak terbendung lagi. Kepribadian cacat tak utuh lagi, hanya kenangan buruk yang sering manjadi hantu, dan mengucapkan terimakasih kepada mulut yang mengatakan tidak pada sebuah rasa serta tentang kebusukan di balik jubah kepribadian.

Sikapku membuatmu tak banyak cakap
Sebuah rona nggak enak ada di mimikmu
Membuatku semakin bersalah
Ada kata-kata yang mengusik relung hatimu

Agustus yang ketus
Ada sikapku yang memelas
Pada rasa palsu yang terbatas
Pada hampa sebuah cemistry

Angkuh, Sok pede pada putusan rasa
Hinggap di daerah jantung
Hinggap pada iman yang lemah
Diriku tak serendah cita-citaku