Kamis, 22 Oktober 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan "ke-3"

Anak itu menggapnya aneh. Ia mungkin terlalu percaya pada pengamatan sehari-hari, ayahnya sendiri sering dibilang "aneh" menurut versinya. Dikepalanya terbayang satu susunan kata yang terpantik jika suasana atau tekanan menerpa dirinya. Bahkan ia bisa mengklamufase setiap tindakan yang dianggapnya aneh, menurut ayahnya. Beberapa peristiwa menyebabkan ayahnya kehilangan kecepatan untuk mengatasi setiap letupannya.

Ia kadang berteriak untuk mengekspresikan sesuatu. Simbol yang kerap diterima oleh ayahnya sebagai suara yang berisik. Ia berdalih membangunkan orang yang sedang beristirahat, atau suasana hatinya saja yang belum ajeg. Bahkan cara anaknya berkomunikasi sudah di level yang menggembirakan. Ia mungkin masih meraba.

"Bunda tertawa girang." salah satu contoh yang ia ucapkan, terdengar tanpa terencana. Ia mengganti kata 'riang' menjadi girang yang kelewat dewasa, mungkin saja. Entah dari mana ia mendapatkan kosa kata itu. Yang jelas alam sudah menyediakan secara melimpah. Entah ia akan menerima dengan saringan atau telan bulat-bulat.

"Ora jelas ayah." adiknya mengganti kata 'nggak' atau 'tidak' dengan kata 'ora' yang ia dengar dengan tingkatpengulangan yang memadai. Ini sungguh menakjubkan. Ayahnya sendiri tak kuasa menahan "tawa" yang menguras emosi, mental, dan meruntuhkan seluruh atau sebagian padanan kata.

Ya, mungkin ia butuh momen hingga bisa menguasai seluruh medan atau wilayah kepribadiannya hingga menjadi benteng kokoh untuk bersikap dan ber-mandiri. Atau merutinkan kemandirian, dengan rajin gosok gigi, bangun lebih pagi, dan merutinkan berbagi. Maksimal kepada dirinya sendiri atau minimal kepada orang lain.

Kemungkinan lain adalah ruang. Ia simbol yang membuatnya cakap dalam menentukan sikap dan ketekunannya menyakini sesuatu. Anak itu kelihatan baik-baik saja ketika tak ada waktu yang mengizinkannya bermain dengan teman sebaya. Ia dengan mudah mengajak ayahnya bermain, entah itu taplak gunung, kotak pos belum diisi, bola, lempar bola, atau ia bisa menemukan jenis permainannya sendiri secara mengagumkan.

Buku-buku yang bergeletakan di atas meja, tak bersusun menjadi sasarannya. Apa saja yang ia temui dan indrai secara selintas. Ia akan berdiri atau diam beberapa saat untuk merampungkan proses membacanya yang sakral. Ia berhasil atau cukup berhasil bisa melampaui satu tahap yang teman sebayanya lalui dengan rutin.

Ia tak lagi mengucurkan air mata, jika yang sakit adalah fisiknya. Luka ringan, terparut karena lari kejar-kejaran adalah salah dua bentukan yang sering ayahnya lihat pada masa-masa sekarang. Ia makin kokoh dengan caranya sendiri bukan sentuhan orang yang terdekat. Mungkin memperolehnya semacam coaching saja. Ia bisa tertawa sangat mirip dengan sosok yang sedang ia dekati, secara masa. Bisa berkelit dengan cara yang mumpuni. Berargumen dengan mimik, kata-kata yang menohok pikiran dan perasaan. Ia seperti kelapa muda yang beberapa pekan lagi siap panen menjadi serutan kelapa untuk campuran es kelapa. Atau menjadi padat hingga menjadi kelapa tua yang siap menghasilkan minyak kelapa yang lezat.

0 Comments:

Posting Komentar