Kamis, 02 September 2021

Aku dan Dea Anugrah

Mungkin persamaanku dengan Dea Anugrah, hanya satu hal saja. Ia pernah meminum air galon selama dua hari untuk mempertahankan "kehidupannya" selama kuliah. Maaf, ini terdengar sok tahu. Karena aku hanya melihat Dea Anugrah bercuap-cuap di You Tube yang kutonton berjam-jam. Entah kenapa pemuda ini menyedot isi pikiranku untuk mendengarkan kata-kata yang menurutku amat jenius, jika ini tidak berlebihan. Aku hanya melihat dari jauh, mungkin suatu saat bisa bertemu, dan bertanya banyak hal padanya. Tulisan ini kubuat, untuk mengabarkan pada khalayak. inilah caraku berterima kasih padanya.

Aku lebih tragis darinya sekaligu iri, ia "hanya" meminum air galon selama dua hari, sementara aku harus menyiksa perutku selama tiga hari dengan air galon yang kubeli Rp 3000 rupiah. Satu kali gratis membeli air galon, jika berhasil mengumpulkan tujuh kali bukti pembelian. Kuanggap diriku sebagai penyintas dari ketidakberdayaan melawan kelaparan yang 'kugauli' selama kuliah di Ciputat. Ia begitu lentur bercerita soal pengalaman intelektual di Yogyakarta, berfilsaf di UGM dan lebih sering nongkrong dengan anak UNY.


Ini sebentuk kekaguman saja pada cara menuangkan ide dan tulisan, sekali lagi aku mengenalinya lewat tulisan dan media sosial. Setelah selesai tertawa sempurna biasanya ada hal memikat yang bisa keluar dari mulutnya. Misalnya ia mengatakan "setiap tulisan akan menemukan bentuknya sendiri" kurang lebih seperti itu. Bagiku ini jenius, aku yang masih gagap mempresentasikan sebuah cerita menjadi puisi, cerpen, atau novel seperti mendapat uluran tali ketika hendak jatuh ke jurang.

Bagiku yang awam berfilsafat mendengar cara pikirnya tentang dunia filsafat. Ia mengatakan tanpa Georg Wilhelm Friedrich Hegel tidak ada Karl Marx, ia seperti ingin melipat 'keruwetan' dalam dunia filsafat menjadi lebih sederhana. Itu yang kurasakan.

Entah kenapa 'mereka' yang dari filsafat sanggup membuat tulisan yang mencengangkan. Ada juga yang dari lulusan sastra yang bisa melahirkan konsep dan cara berpikir yang cerdas. Sebut saja Mahfud Ikhwan, yang usianya terpaut empat tahun saja denganku. Dan mungkin banyak lain yang belum kuketahui. Kita kembali ke pemuda ini, ia mengatakan kalau penulis itu dibentuk dari buku-buku yang dibaca, dan tidak ada kausal dengan latar belakang pendidikannya. Dasar pemikiran itu membuatku menjadi semakin menggebu untuk menyelesaikan tulisanku. "

Cerpen Dea yang menarik salah satunya, Kisah Sedih Kontemporer. Kalian sudah baca, kalau belum itu masalah kalian sendiri.

0 Comments:

Posting Komentar