Minggu, 14 Mei 2023

Fase Anak

"Pindah sekolah belum tentu bisa menyelesaikan masalah,"Ucap sang ayah menenangkan.

"Nggak!, pokoknya pindah, kenapa nggak ia naik kelas empat saja." Pekik sang anak.

"Kalau kamu nggak nyaman bicara saja."

"Nggak, ia penginya ngajak ribut terus, malas banget yah,"

Perdebatan itu membuktikan bahwa dunia anak tak sebanding dengan apa-apa yang bisa kalian tebak secara mudah. Mereka cenderung menghadapi persoalan dengan bekal dari rumah. Bila ia dibesarkan dengan cercaan fisik maka ia sedang mengembangkan diri dengan bahasa tubuh yang berisi intimidasi. Terutama pada anak-anak yang bisa ia kendalikan dengan remote controlnya. Ia memegang kendali penuh atas apa-apa yang berlalu di bawah usianya. Ia sendiri belum bisa membawa diri dalam peraasaan-perasaan tabu yang seyogyanya dimiliki. Seperti kasih sayang atau semacamnya.

Ia sendiri menangis sesenggukan: "Kamu senang, jika teman-teman menyayangimu" ucap salah seorang dewasa. Anak yang sering di labeli sebagai pembully di sekolahnya, seperti vampire yang mencoba menantang pikuk. Ia sibuk menggigiti jarinya (mungkin untuk menangkan kekalutannya). Rupanya ia punya mimpi-mimpi buruk yang tak bisa ia halangi. Ia mungkin bisa menghindari, tetapi dengan cara apa. Ia masih teramat kecil untuk memikul tanggug jawab besar, seperti anak-anak pada umumnya.

Ia mungkin ingin bercanda sewajarnya, tapi ia tak mengetahui atau belum mengetahui bagaimana memulai sebuah pembicaraan. Ia mungkin kebingungan sendiri mengenai tata letak pertemanan dan bagaimana membuka sebuah pembicaraan. Ia mungkin baru satu cara yaitu yaitu kontak fisik dengan tipe yang sama dengannya. Masalahnya pesannya tak terbaca dengan baik. Ia sendiri mungkin masih bingung cara berekspresi, karena dirumahnya ekspresi adalah aib yang mesti dijauhi, seperti koreng.

Ini menyedihkan tetapi ada hal yang bisa kalian nikmati sebagai para ayah. Kalian bisa menikmati dari sudut pandang yang lain. Meski kadang jangkauan itu terlalu jauh, hingga sulit untuk mengenali jenis pendekatan apa yang sedang mereka pakai. Mereka seolah punya komunikasi yang enggan diketahui oleh orang dewasa. Bahkan diantara mereka yang menjadi korban bully seringkali sulit untuk berkomunikasi dengan selayaknya, tak coba untuk menyelaraskan apa yang ada dalam kepala lalu diverbalkan secara berurutan. Setidaknya seperti harapan orang dewasa di sekitar, tetapi masih jauh dari kenyataan. Ia mesti diajak dialog dari hati-hati (kata agamawan) agar semua unek-unek tentang ketidaknyamanan dengan teman sebangku menjadi cair dan hangat.

Beri ruang pada mereka agar apa-apa yang luput bisa kalian dekati secara wajar. Bukan 'nasib' sang pembully yang sering kalian 'kutuki' sebagai anak antisosial dan yang dekat dengannya. Jangan lupa mereka masih anak-anak yang perlu pendampingan yang eduparenting. Dari sana mereka merasa mencintai dan tidak mencoba membunuh kehangatan dengan membully sebagai bentuk pelampiasan. Percayalah bahwa tidak ada anak yang ingin membully, mereka mungkin masih mencari bagaimana sebaiknya berkomunikasi. Soal nanti, ia bilang anak nakal, nggak bisa diatur, dan bla-bla-bla. Itu urusan nanti, yang penting keberadaannya mampu mengundang 'perhatian' orang dewasa. Apakah itu benar? atau ini bahasan lain.

Yang dikuatkan lagi-lagi adalah objeknya (korban). Agar ia bisa berbicara pada subjek (pembully) bahwa apa yang dilakukan tidak memberikan rasa aman, mungkin saja berbahaya. Soal diterima atau tidak, itu urusan waktu. Biarlah waktu yang mendewasakannya, setidaknya itu, jika kalian belum/tidak menyepakati. Ketika dipikir-pikir, keduanya harus dikuatkan. Bahwa keyakinan untuk memulai yang baik adalah sebuah keniscayaan. Keduanya yang masih anak-anak, yang menakjubkan dan perjalanan masa depan masih jauh. Pendampingan yang tepat adalah salah satu keniscayaan. Bagi mereka yang jadi pembully dan korban bully.

Fase adalah lumbung mental yang mereka mesti lewati. Jika Fase itu terlewati, mereka bisa menjadi sahabat yang baik. Karena mereka mudah untuk berkomunikasi setelah sekian lama tersendat. Satu lebih hati-hati, sementara yang lain terlalu agresif tanpa pernah bisa mengerem tindakannya.

Bisa jadi mereka mengambil katering kelas bersama sambil ngobrol ringan, setelah mereka beradu argumen masing-masing. Setelah beberapa puluh menit yang lalu mengambil peran sebagai pembully dan korban, tanpa pernah mereka maui. Orang dewasa memberikan arah agar mereka jalan tanpa gelap, dan tetap memperhatikan eduparenting yang seluas-luasnya. Mestiah kalian sering-sering membersihkan kacamata agar pandangan kalian tetap jernih dan tan menebak-nebak arah mata angin.

Fase memang penting dalam kehidupan si anak. Ia bisa memberikan dampak yang baik atau buruk. Baik, jika ananda bisa menerimanya sebagai peralihan dari sebuah kanak-kanak. Artinya ia akan cepat lupa terhadap apa yang diterima dan dirasakan. Dan kemudian si anak bisa menjadi lebih mawas diri, tumbuh regulasi emosi, atau lebih kuat mental. Buruk, jika ia trauma dengan apa yang diterima atau dirasakan. Dampaknya si anak akan 'melampiaskan' rasa tertekan pada orang-orang terdekat. Yang lain misalnya, si anak tak mudah menerima kawan baru. Bahkan cenderung melakukan perlawananan terhadap lingkungan yang ada (keluarga). Kira-kira begitu sobat parenting.

Jumat, 12 Mei 2023

Air Mata Terakhir

mata yang sembab beroleh kesedihan

oleh cara-cara alam sosial mengunggahnya
kesedihan yang mendarah-darah oleh amarah
meski hanya tatapan sesaat

kata yang kuat perkasa
meski lari sekuat tenaga
jalan lari loncat tak pernah tahu
yang jantan betina luluh lantak

terbujur sudah tak bernyawa
meninggalkan sejuta kenang
walau habis gelap berkesudahan
jalan tertutup tuk sementara waktu

Frans Chu-Eng

Frans Chu-Eng adalah salah satu murid SMU Negeri Harapan, Jakarta. Hoby naik kuda delman, umur 17 tahun, sedang mondar-mandir tak karuan di tepi jalan sendirian mirip Tom yang kesel sama Jery. Bentar-bentar ia ngliat jam di hape yang nada deringnya ayam betina sedang berkokok. Sudah jam 06: 45 tapi ia belum juga dapat menyetop bus ataupun angkot yang lewat di depannya. Ia  mondar –mandir  kaya mandor nungguin gajian dari bos yang pelit.

Frans bukan berangkat kesiangan tapi sengaja nungguin ke tiga sahabat karibnya yang biasa naik bus atau angkutan umum bareng-bareng. Frans sudah sampai di halte jam 6 pagi. Rambutnya sudah klimis mirip para pejabat bermobil mewah. Tas cangklongnya mirip tukang kridit  tahun 70-an. Frans anti dengan minyak rambut modern yang bermerk. Sebelum berangkat ke sekolah rambut tebalnya ia olesi dengan air dari bonggol pisang yang ia kumpulkan semalam. Frans ingin hidup dengan cara-cara yang alami. Kebiasaan ini sering mendapat tegoran dari teman-temannya, tapi frans menganggap teguran itu sebagai bahan ujian. Frans mungkin salah asuh mengenai konsep Go Green.

Bukan hanya panik karena merasa akan telat sampai sekolah,  Frans ternyata pagi ini begitu tidak beruntung. Sejak dari jam 6 pagi ia nungguin ke tiga sahabat yang begitu lucu-lucu dan sedikit norak. Tahu-tahu ketiga sahabatnya lewat di depannya dengan nebeng motor temannya masing-masing. Frans jadi pusing sendirian kaya gangsing mau kalah. Ke tiga sahabatnya bukannya pasang wajah melas tapi malah meledeknya dengan dada-dada alas artis Hollywood. Lalu menjulurkan lidahnya masing-masing. Frans yang mau marah kembali senyum. Daya imajinasinya langsung keluar ke tiganya mirip sepupunya serigala yang kelaparan.

Ketiga sahabatnya yang bernama Baim, Bama, dan Mona sudah berlalu dari harapannya. Frans masih suka tak peda kalau naik angkot atau bus sendirian. Baginya kaya sapi hendak di sembelih di idul Adha. Pernah Frans di pelototin gadis di depannya. Frans langsung ciut nyalinya. Kaya bocah SD kehilangan duit Gopean. Bahkan Frans pernah nyasar jauh dari sekolahan karena bengong naik bus sendirian.  

Berapa kali angkutan umum, atau bus langganannya ia cuekin. Frans tak habis pikir kenapa ke tiga sahabatnya itu pergi meninggalkan dirinya sendirian. Frans merasa bersalah karena menggagap mereka bertiga sudah mulai bosan dengan dirinya. Frans meras ada yang salah dengan penampilannya, ia memelototi dari ujung sepatu hingga mengusap-usap rambutnya sendiri. “Jangan-jangan karena minyak rambut gue nie...”. ucap   Frans lirih.  

Hape di sakunya bergetar, sementara jarum jam menunjukkan jam 7 kurang 10 menit.  
  “ Sory Frans gue duluan ya..., lue belum mandi ya..., kok tampangya kucel banget. Mandi sana pake kembang 7 rupa. Terus pake tanah jangan lupa. Hati-hati jangan sampai salah pilih tanah, ntar ada kembang pasirnya. He-he-he.” 

Laptopku Sayang Laptopku Melayang

Jari-jemari ku sudah gape untuk memencet keyped pada handphone yang terlampau tidak masa kini. Keyped terasa begitu keras. Hingga perlu di tekan agak keras. Bila ingin memencet satu persatu huruf yang di inginkan.

Sudah lebih dari 10 orang temenku yang sudah ku kirim SMS dengan nada yang sama. Hanya nama dan julukan yang berbeda.

Assalamualikum. Mohon maaf Budi. Saya hendak menjual laptop. Saya lagi kepepet. Harganya murah Cuma 2 juta. Harga Aslinya 4 Juta. Kondisinya masih bagus. Terimakasih. 

Begitu salah satu nada SMS-nya.

Aku menunggu sejenak. Apakah ada respon yang membuat pikiranku agak tenang. Karena sudah hampir 3 bulan cicilan motor SupraX-ku belum kunjung di cicil. Beberapa penagih sudah beberapa kali menyambangi kos-kosanku yang masih berlantai plur alias tanpa keramik. Masalah lain adalah ibuku di kampung sedang membutuhkan bantuan. Profesiku sebagai tenaga pengajar pada sebuah lembaga yang bergerak dalam Bimbingan belajar. Pas-pasan saja. Pas dibutuhkan tidak ada.

Beberapa penagih secara bergantian yang datang kekosanku kemarin. Sudah memberikan intonasi “mengancam” akan “membawa” motorku yang putih merah warnanya. Bila motorku di sita maka langkah kakiku akan terasa pincang jalannya. Karena setiap hari aku gunakan untuk mengajar.

Makanya malam ini. Sambil terus menunggu respon dari teman-teman. Aku sengaja pulang lebih telat di banding teman-teman lain sesama pengajar. Di lembaga bimbingan belajar dengan nama Iltizam. Di tempat inilah aku sekarang terpekur sendirian menatap kursi-kursi kosong, di tinggalkan murid-murid beberapa jam yang lalu. Suasana riang dan ceria beberapa jam yang lalu, berganti dengan kesunyian yang membosankan. Di tambah tidak lagi tidak ada kawan yang bisa di ajak bincang-bincang. Semuanya sudah pada pulang, meneruskan aktivitasnya masing-masing.

Aku duduk sendiri diatas kursi-kursi tempat biasa anak-anak mendengar dan menyimak para kakak-kakak yang sedang memberikan pelajarannya. Sengaja aku matikan lampu ruangan. Sehingga ruangan tampak remang-remang. Hanya ada sinar dari lampu dari ruangan sebelah yang dibiarkan terus menyala sampai pagi. Aku yang memegang kunci sendiri, memungkinkanku bisa lama-lama duduk berdiam diri diantara kursi-kursi itu.

Lebih dari lima menit aku tunggu respon dari teman-teman yang sudah aku SMS. Tapi nada penerima pesan dari handphone tidak masa kini tak besuara sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam kurang 15 menit. Menunggu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi kesabaran.

Pikiranku sudah mulai buntu. Kepada siapa lagi aku harus minta bantuan. Pikiranku mulai tersentak. Beberapa wali murid yang cukup dekat denganku, mungkin bisa membantu. Aku berharap beberapa dari ibu-ibu yang aku SMS dapat tersentuh dan tergerak hatinya. Mau berempati dengan kesulitan yang kuhadapi. Jari jemari mulai mengatur ulang isi SMS yang hendak ku kirim. Tinggal ganti nama dan sedikit penambahan.

Kamis, 11 Mei 2023

GUGUR PAHLAWAN TUK NAMA

anak muda berperangai lembut berbibir tebal hitam jelaga

memagut bendera merah putih terseok-seok sepanjang jalan

ditinggalkannya adipati sulanjari tengah sibuk menghalau serdadu-serdadu belanda

berdagang menjadi menjajah entah sampai kapan menahan rintik rintih

 

kedua lututnya bergetar hebat melawan limbung sejak siang mendera

menggigit bibir sendiri hingga sunyi menyembunyikan dari kejaran langkah-langkah marah

sementara darah dari terus mengucur dari balik leher

 

sementara siang masih gagah ia limbung mata mengunang

serdadu belanda meninggalkan sebatang bayonet dalam-dalam

 

tusukan dalam pada leher menyisakan kemudian kaligondang

darah tertumpah memenuhi celah tanah berongga meninggalkan tanah sempor

pun darah itu mendidih gemercek mewariskan brecek

pada titik yang gelap ia gugur mulia di tepi sungai klawing  

 

Sabtu, 06 Mei 2023

Kakek Sakti dan Jagung Marning

Rumah terakhir yang ia ingin jadikan target pencurian berikutnya adalah rumah kakek ompong, pemilik sepeda ontel zaman Belanda. Bunyi jeruji yang khas membuat sang pencuri tak sabar menunggu malam. Sunyi adalah makanan terbaik, sekaligus ketegangan yang luar biasa. Ia sudah membayangkan bagaimana laba yang diperoleh jika berhasil mencurinya. Bibirnya sudah tersenyum sejak sore hari. Tas kecil berisi pakaian serba hitam jelaga sudah dipersiapkan maksimal. Dan ia tak memerlukan perkakas apapun, toh hanya kakek renta, ompong lagi. Sekarang ia tertawa sendiri, terbahak-bahak. Isi kepalanya sudah mengira betapa mudahnya mengelabui sang kakek.

Setalah isya, ia langsung tidur. Weker pun dipasang. Tepat pukul dua dini hari ia akan bangun. Sebuah ember besar berisi air yang sudah disiapkan sebagai weker terakhir, jika terlalu dalam tidurnya alias molor. Ember itu layaknya robot yang bisa menyiram tuannya, apabila dua menit setelah pukul dua dini hari tidak bangun. Menakjubkan bukan.

Pukul 02.30 ia terbangun. Bajunya telah basah. Ia bangun karena kedingingan. Setelah berganti pakaian serba hitam ia melesat menuju ke rumah kakek. Sepanjang perjalanan ia mengumpat karena bangun lebih telat dari pada yang ia kira. Padahal ia perlu ritual-ritual tertentu agar misi berjalan mulus. Seperti kentut yang panjang mirip peluit atau senam nafas kembang kempis secara bersamaan tidak saling menunggu.

Ia membenci bunyi kokok ayam jantan. Ia menyukai dengkuran, dan orang-orang yang terlihat putus asa ketika terlelap tidur.

Ia berhenti di halaman rumah kakek. Matanya awas melihat sekitar. Hanya kamar yang masih tersisa lampu temaram. Ia mendekati kamarnya dan melihat kakek masih meringkuk pulas. Ia pun mempercepat langkah menuju tempat dimana sepeda ontel terparkir. Pada saat yang sama kakek bangun dan mulai memulai ritualnya. Kencing dan kembali ke kamar dan duduk mengambil sesuatu untuk dikunyah sambil menunggu fajar.  

Pencuri itu berhasil membuka slot pintu dengan mudah. Ia mendekati sepeda ontel zaman Belanda. Tangannnya gemeter ketika memegang stang sepeda. Kedua kakinya juga entah kenapa tiba-tiba terasa dingin. Tubuhnya gemeter hebat ketika sebuah suara mengagetkan ketika mulai menuntun sepeda ontel sepelan mungkin, sambil menghindari kursi dan meja.

“Ayo mau kemana, susah banget, kiri ya?” ucap sang kakek dari dalam kamar.

Mendengar ucapan kakek yang membuat tubuhnya agak limbung. Ia pun melangkah ke arah kanan.

Bandel amat, sekarang kamu ke kanan, silahkan saya ikuti kemana saja kamu pergi,” Kata kakek lagi.

Pencuri pun melangkah ke arah kiri melewati kursi.

“Kiri lagi ya, hehe,” ungkap sambil tertawa.

Pencuri pun ke arah kanan menghindari meja.

“Kamu mau kemana sih, sekarang ke kanan lagi,” tutur sang kakek.

Begitu seterusnya. Pencuri pun makin limbung dan terjatuh ke lantai. Ia pun bangkit dan lari lintang pukang. Sambil memaki dirinya sendiri. “Kakek itu memang sakti, bisa menebak langkahku, sial!” tuturnya sambil berlari menghindari malam yang sebentar lagi pagi.

Kakek yang sedang makan marning, tak punya gigi. Marning yang keras itu selalu ke kanan dan kiri di mulutnya. Dan ia berbicara sendiri sambil mencari jagung itu ke arah geraham ompong kanan dan kiri. Kejadian berulang sampai para maling mengira ketahuan, padahal tidak.

Hantu Sumur

Jeritan keras terdengar dan suara debur air kencang seperti benturan ombak. Teman-temannya yang sedang duduk-duduk istirahat mengenali suara itu. Mereka langsung berlari ke bibir sumur melongok ke dalam. Diteriakannya namanya berulang kali. Jawabannya hanya bergolak-golak sumur dalam beberapa saat.

“Bagaimana ini, Febri kecemplung sumur!” tanya seorang panik.

“Sumur ini berhantu!” Jawab yang lain.

Salah seorang dari mereka memanggil ibunya. Ia sedang di rumah salah seorang tetangga. Menjenguk tetangga yang baru selesai operasi wasir. Konon kabarnya, penyakit wasir bisa menurunkan harkat dan martabat.

Ibunya memanggil-manggil nama anaknya. Ia melolong seperti srigala. Suaranya memecahkan gendang telinga. Kami menjauh darinya untuk sementara waktu. Febri memang terlihat sering tak akur dengan ibunya. Tetapi kehilangan anaknya mungkin akan membuatnya mati berdiri.

Ia mendekati kami yang masih linglung karena suaranya.

“Cepat cari tangga, saya ingin masuk kedalam sumur!” ucap ibunya.

“Ibu nggak takut kalau nanti didalam ibu ketemu hantu sumur?” tanya salah seorang anak.

“Hussh, nggak ada hantu dalam sumur, itu hanya karangan orang-orang dengki saja.” Jawabnya.

Teman-teman mencari tangga panjang. Bertanya ke tiap-tiap rumah. Hasilnya nihil.

“Tak ada macam tangga panjang yang Ibu mau,” kata seorang anak berambut keriting.

“Apa perlu ke desa sebelah pinjam sama tukang gali kubur.” Ucap seorang anak yang hidungnya masih umbelan.

“Gali sumur bocil...?” kata seorang anak yang gendut.

“Ngga usah!, sekarang ke rumah Pak Nasir, kasih tahu kalau Ibu pengin nyemplung sumur dengan naik ember, nanti kalian bantu turunin Ibu ya?” ungkapnya.

 Pak Nasir adalah kakak kandungnya. Ia ingin meminta bantuannya.

“Apa!, Ia pengin bunuh diri!” Teriak Pak Nasir.

“Ia ingin menolong anaknya yang kecemplung sumur, cepetan ke sana Pak!” kata seorang anak utusan Bu Febri.

“Tuh Pak, sumur itu memang ada penghuninya,” kata Istri Pak Nasir.

“Sudah Bu, nggak ada hantu, bapak yang ikut nggali, bapak pamit dulu mau ikut nyemplung sumur?” jawab Pak Nasir.

“Lho Pak, kalau bapak nyemplung sumur hantu itu, ibu sama siapa?” tuturnya.

“Sama guling dan bantal, sudah bu, saya mau jadi superhero,” sewot Pak Nasir.

Sampai di bibir sumur keadaan makin rungsing. Ia Ngotot minta di turunkan kedalam sumur menggunakan katrol dengan ember. Sementara Pak Nasir melarang, karena sangat berbahaya. Begitu alasannya. Keadaan makin genting sampai beberapa tetangga datang, juga Pak RT. Siapa yang memberi tahu perihal kejadian itu.

“Ada apa ini!” Tanya Pak RT.

“Anak saya kecempulung sumur ini Pak!” jawab ibunya sambil menangis.

“Kita lapor polisi saja,” perintah Pak RT.

“Jangan....!!!” sebuah suara muncul dari arah kamar mandi.

Febri muncul dari kamar mandi. Tertawa dan langsung berlari ke arah hutan. Menghindari pukulan teman-teman dan tentu saja omelan sekaligus hukuman. 

Kamis, 13 April 2023

Bonding


Chapter 1

"Kalau tidak bisa ikuti aturan rumah, silakan cari rumah lain!" teriak ayah. 

Ananda lalu berhenti menangis. Sementara ayah berpindah ke ruang tamu. Mengatur nafasnya yang memburu.

Tiga menit yang lalu sebelum ayah memarahi anandanya. Bunda dan ananda terlibat perselisihan. Adu argumen. Ananda marah karena HPnya tidak dicharger. Lalu pada detik-detik berikutnya. Ananandanya memaki ibunya. 

"Bacot lu, dasar Anjing!" pungkas ananda. Sambil memonyongkan kedua bibirnya. 

Ayahnya mlipir menuju ruang tamu. Ia seperti membutuhkan ruang untuk bernegosiasi dengan batang otaknya. Atau setidaknya ia bisa bermonolog mencari seribu satu alasan agar ia mendahulukan nafsunya dari pada ada pikiran yang dingin lagi jernih.  

TV dimatikan, maksudnya dimatikan dalam pengertian orang indonesia. Seperti kata "tolong NYALAKAN air ya, atau MASAK air ya, dan seterusnya. Ini tentunya membutuhkan tempat tersendiri untuk menjelaskan hal tersebut. Setelah TV dimatikan, sang ayah mendengar bunyi kemas mengemas. Sesuatu dimasukan ke dalam tas, ananda mengambil handuk di luar, lalu kemudian berkemas lagi. 

Lima menit kemudian ananda keluar dari rumah sambil menggendong tas di punggungnya. Ia berjalan tanpa menghiraukan panggilan ayahnya yang kaget. Tak menyangka ananda sudah memiliki kemampuan untuk memutuskan sesuatu. Meski keputusan barusan mempunyai resiko-resiko. 

"Mau kemana?" tanya sekali lagi. 

Ananda terus saja berjalan. 

Lalu sang ayah mengkonfirmasi kepada bundanya. "Kan ayah yang suruh cari rumah yang lain." pungkas bundanya. 

Tak lama ayah memutuskan untuk menyusulnya. Ia menemukan ananda sedang berjalan diantara pohon-pohon tinggi. Dan ia memelankan motornya. 

"Ayah nggak sayang sama aku!" ucap ananda. 

"Sayang, ayo pulang. Berjalan sendiri berbahaya." 

"Biarin, katanya suruh cari rumah lain." 

Ayah turun dari motornya. Memeluknya erat. Lalu menaikkannya di atas motor. Sementara ananda menangis sepanjang jalan.

Rabu, 12 April 2023

Perjalanan ini baru saja dimulai

Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di    hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa  ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Memasang wajah cemberut di kelas adalah salah satu jurus ampuh yang di pakai anak-anak ketika ia belum bisa meregulasi emosinya. Ia bahkan bisa menjadi super duper ganas pada beberapa kesempatan bila orang dewasa di sekitar terasa menyebalkan.

Cobalah untuk tidak menyapa terlebih dahulu pada anak-anak yang belum percaya pada orang dewasa di dekatnya, itu akan jadi perkara yang membuatnya menjadi lebih sulit untuk mengendalikan diri sendiri.

Perhatikan hari-hari berikutnya apakah tetap pada pendirian bahwa ruang kelas adalah kotak berbahaya yang harus ia hindari dan jangan lupa tengadahkan di penghujung malam pada pemilik alam semesta ini agar bisa mengubah perangai, lalu beralih pada pemahaman dasar tentang kepercayaan pada orang dewasa sekitar. Itu bisa jadi peluang padanya bahwa ada banyak orang dewasa yang bisa dijadikan panutan dan tempat untuk memberikan kepercayaan yang ia jaga selama ini. Dengan catatan semuanya bermuara pada edukasi dan pengoyoman bukan pada didaktis dan intervensi.



Sekolah TANPA Sekolahan

Sekolahan Yang Memanggil Kepekaan

Bagi jiwa yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya maka ketersediaan nilai kesadaran akan hubungan-Nya, semakin mengecil. Kemuliaan-kemuliaan yang melekat pada setiap jiwa akan mengkerut jika tak terdapat secuil kepekaan dalam pikiran juga dadanya. Ia membiarkan karat mengganggu perjalanan nuraninya. Ia juga tak cepat-cepat mengkoreksi coretan itu dengan lafal-lafal dari langit, melepaskan begitu kehendak yang sempat terbesit dalam pikiran jernih. Ia rela menuangkan segelas gelap yang membutakan langkah-langkahnya, bahkan tongkatpun tak juga memberinya jalan kemudahan. Ia malah mengeratkan ikatan yang telah lama mengungkungnya diam-diam, lalu tanpa disadari muncul benjolan yang menyerap terus menerus kelembutan hingga tak berbekas.


Ketaknormalan yang merajalela tak juga ditanggapi sebagai panggilan Tuhan agar ia lekas-lekas mengoreksi catatan keimanannya. Jika tak sanggup ada pilihan hati yang bisa menyokongnya menjadi detak-detak semangat dan inspirasi bagi manusia lain. Sebagai cipatan-Nya insan menyediakan secuil potensi agar gerak lisan dan jiwanya tak hitam jelaga. Sesekali tisu putih yang berubah menjadi krecek akan terasa nikmat, jika tak disadari keberadaannya.

Yang lain, penggerak roda pikiran menjadi lebih mulus ketika semua fungsi tubuh mengarahkan pada kebahagiaan yang hakiki. Insan menjadi lebih terpanggil pada kenyataan hidup di depan matanya, meski statusnya sebagai insan 'papa' menjadi incaran mulut-mulut yang miskin kasih sayang. Mereka juga butuh pertolongan, tinggal menunggu momen saja.

Malaikat turun ke bumi menyapa sang Nabi terakhir ingin menyampaikan mandat dari Tuhan-Nya. Ia mengatakan "Wahai Nabi tak jauh dari Anda ada seorang "Malang" yang nantinya akan masuk neraka." Setelah selesai ia melesat pergi dari hadapannya.

Lalu lewatlah seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang tak berhenti menangis sebab lapar yang menohok. Wanita "malang" yang bekerja di tengah lumpur kegelapan tengah menggigit sebagian kurmanya. Ia menghentikan gigitannya dan berjalan tergesa-gesa menyambangi si anak dan memberikannya. Malaikat turun dan menjalankan mandatnya bahwa si wanita "malang" itu akan menjadi penghuni surga.

Level keibaan wanita "malang" itu pada level yang membuatnya nasib si wanita berubah seketika, tidak perlu menunggu waktu lama agar takdir si wanita "malang" menjadi takdir yang mulia. Itulah definisi dari insan yang berfilantropi.

Jiwa yang keras jua menjadi titik gelap hingga ia tak bisa menyerap kejadian dari Tuhan. Bahkan Ahli kegiatan langit pun tak bisa membedakan sebuah peristiwa. Ketika banjir melanda dan air sudah menyentuh lututnya, menyentuh dadanya, bahkan ketika air sudah sampai loteng ahli kegiatan langit tetap menolak semua pertolongan manusia. Ketika ia protes dengan Tuhannya. "Mana pertolongan Mu" kata si ahli kegiatan langit. "Aku sudah memberi pertolongan kepadamu sebanyak tiga kali" kata Tuhannya. Hati yang keras telah membuatnya menolak semua kebenaran (pertolongan) dari para penolongnya. (Hanya Tuhan Yang Tahu).

Selasa, 27 Desember 2022

TENTANG UMAR

 7. Insiden Siang Hari

Kedua anak MI itu tampak cemas. Mereka medengar ayahnya kecelakaan. Seorang Ibu memberitahunya ketika mereka muncul di mulut gang.

Mereka bergegas. Ada banyak pertanyaan mengenai kecelakaan itu. Tetapi mereka akan tanya sendiri pada ayahnya.

Lapar yang mereka rasa pelan-pelan menjadi rasa yang tegang berlipat. 

Sampai di rumah tak di dapatinya ayah. "Ia mungkin ada di kebun," Kata sang adik.

"Yuk coba ke sana," ajak sang kakak

Mereka mendapati sang ayah sedang membelah bambu menjadi bilah-bilah. Ada luka di kedua sikutnya, merah, tapi tidak meneteskan darah, mungkin sudah diberi obat merah. 

Kami sudah dekat dengannya, ia masih fokus dengan bilah-bilah bambu. Ia akan membuat pagar kebun, pagar kamar mandi, atau jangan-jangan pesanan tetangga. 

"Yah," ucap sang kakak. 

Ia menoleh tanpa melepaskan golok dan bilah-bilah bambu. Tetapi matanya tak pernah melepaskan pandangannya pada kami. 

"Kalian sudah makan."

"Belum yah."

"Makanlah dulu, ayah tidak apa. Kalian tak perlu khawatir. Nanti ayah menyusul, tanggung dikit lagi."

Mereka kembali ke rumah. Membuka tutup saja, dan melupakan sejenak apa yang terjadi. Tetapi apakah itu mungkin?

***

"Ayah sedang menuruni jalanan aspal. Dari belakang sepeda motor menuburuk sepeda dan menyeret hingga kira-kira sepuluh meter. Ayah berteriak, seperti ingin memberi tahu, sudah cukup kau, tindakan itu membahayakan. Ayah mungkin meracau. Ayah lega, masih bisa berdiri dengan kaki kuat."

Setelah itu ayah kadang memanggil kakak adik. Mulai dari ditimbakan air, mengambil kayu bakar, membuka kaos, dan hal-hal kecil lainnya. 

Untuk saat ini ayah seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Merengek untuk dimanja. Sesekali meringkuk dalam selimut.