Selasa, 27 Mei 2025

Sayap-Sayap Mengepak

Sebutir telur dipeluk hangat oleh bulu-bulunya

Kedua matanya tampak mengkilat

Kembang kempis

Mematuk sesekali pada lehernya yang jenjang

Ia enggan keluar, menikmati betul peranannya

Mungkin ia manahan lapar

Rela mempertaruhkan nyawanya

Meski lehernya terkoyak gigitan musang

Meski tak sempat ia melihat kelopak

Sayap-sayap mengepak

Langkah-langkah gembira

Paruh-paruhnya yang mungil

Pola Pikir dan Pola Tindak

BABAK 63
Asal bunyi, begitulah orang bicara. Saat pikiran belum sampai diolah ia akan berujung pada penghakiman yang tak berkesudahan. Selanjutnya pola tindak yang tidak beralas pada pola pikir, bisa serampangan tanpa memikirkan efek selanjutnya. Meski begitu, ada banyak hal yang bisa dilatih untuk menemukan ritme berpikir dan bertindak sama kuatnya. Jika belum bisa, maka pertajamlah pikiran agar nantinya bisa menjawab pertanyaan yang mengandung propaganda pikiran juga. Ada pembelaan dengan pembelaan lain, yang nantinya berujung pada ketajaman intelektual. Untuk selanjutnya biar kami cari sendiri formula yang bisa dijadikan alas berpikir lebih kuat dan tajam.

Ada baiknya mari merenung kebanyakan dari manusia kuat dalam pikiran dan minim pola tindak. Pada tataran ini keterbukaan pada kenyataan kegiatan agar nantinya bisa menyudahi kemalasan yang datang bertubi-tubi. Kemalasan yang terstruktur lebih membahayakan dari pada mager kerena situasi yang menghampirinya.

Agar pola pikir mempertajam gerak dan pola tindak memperbagus karakter, maka pikir-pikir apa yang perlu disiapkan dan tindak-tindak apa yang kudu di jaga. Karena konsiten menjadi jawaban atas semua pola pikir dan pola tindak. Lalu bentengnya adalah ada keselarasan Doa dan Usaha, wilayah yang sering terdengar bahwa usaha tidak menghianti hasil, kelimat seperti itu agar tidak menjadi 'cacat' iman, perlu dibubuhi kalimat setelah tangan Allah, usaha tidak menghianti hasil. Itu salah duanya. Bagian ini menjadi paradigma posisi agar cermat menempatkan mana wilayah pola pikir dan pola tindak. Ada saatnya porsinya pada pola pikir saja, mengerem pola tindak untuk sejenak. Begitu juga sebaliknya. Cekap Semanten.

Saat Guru Bercerita (4)

BABAK 61

"Itu motor hilang sengaja dihilangkan atau benar-benar hilang," tanya Bedil pada pemilik motor yang telah percayakan padanya hilang. Ia mangkir dari pekerjaannya sebagai satpam parkiran. Ia malah menitipkan pada salah seorang tetanggta sekolah. Yang bukan tetangga aslinya.

"Maksud bapa apa!" Ucap suami sambil menaikkan alisnya tinggi.

Senin, 26 Mei 2025

Malu Belum Baca Buku Apa

BABAK 62
Malu belum baca buku apa adalah Life Style yang jadi pola prilaku umum sebagai guru dan bukan guru. Sinapsis kepalanya selalu ketagihan dan menagih buku apa yang belum dibaca. Tidak hanya buku pelajaran yang dibawa kemana-mana, setidaknya di meja kerjanya ada satu buku yang perlu dibaca bukan hanya sebagai hobi semata, mengisi senggang, klangenan, tetapi membaca buku adalah sebagai paradigma kultural yang hendaknya dijadikan pedoman ketika menjadi seorang pendidik, meski ia bukan seorang guru. Membaca buku apa hari ini mutlak diperlukan untuk semua orang yang merasa berbudaya dan beragama. Ahli bahasa, ahli cerpenis, dan seterusnya. Membaca buku bukan sekadar ia lulusan sastra, tetapi ada persoalan yang lebih serius yaitu menguji nalar kritis seorang pendidik.

Proyek membaca bukan sekadar ranah linguistik, tetapi ia menjadi hidup dikepala setiap saat, dan pendidik seyogyanya menyadari. Tidak ada kata terlambat. Semuanya bisa memulai dari awal. Karena kadang kala karya bukan karena bentuk dan isi semata, tetapi situasi lah yang kadang membuat buku tersebut menjadi melegenda. 

Kidung 'Cinta' Para Pembalap

Dari Prancis Hingga Inggris.
Setelah Zarco bisa backlips di kampung sendiri dengan gaya tinggi di tambah senyumnya yang lebar, Zarco berhasil menyudahi paceklik ratusan hari tanpa podium. Dengan hampir 20 detik meninggalkan para pembalap lainnya, Zarci seolah menyatakan bahwa eranya masih berlaku, tidak perlu selalu terpusat pada Ducati, si merah yang selalu 'menyebalkan' ketika di lintasan lurus. Bagiku ini lebih banyang perang mesin, memang untuk mengebuli pembalap lain dibutuhkan skill rata-rata. Bagi saya, penonton, yang mulai mendengar nama pembalap Valentino Rossi dari seorang teman yang siarannya bisa nyampe, saat itu untuk melihat Rossi membalap, mungkin membutuhkan parabola. Lalu pernah sayup-sayup melihat para pembalap di satu koran olaharaga yang dibawakan seorang teman yang punya uang saku berlebih. Perkenalan saya dengan mereka bisa dibilang cukup lama, mungkin di tahun (94-95) saat saya duduk dibangku MI sambil rebahan di antara dua kakinya. Bukan nonton pembalap Motogp, tetapi nonton Motor Tril yang bisa terbang sana terbang sini.

Kembali ke Zarco, ia berhasil mempercundangi ducati lantara insting yang ciamik, berdasarkan pengamatan anak kampung sendiri, ia berhasil mengamati satu tanda cuaca. Iapun memutuskan untuk ban setingan hujan, keputusannya tepat, ia pun berhasil menjadi juara 1 dan meninggalkan pembalap lainnya yang sibuk untuk mengganti bannya. Sebuah intuisi cemerlang berkata latihan dan kerendahan hati.

Setelah Zarco mengukir jalan ceritanya, kini giliran Bezzecchi yang memahat namanya di podium satu, race inggris. Ia pun berhasil mengebuli ducati dengan caranya sendiri. Setelah puasa gelar, selama lebih dari 600 hari, ia pun menggeber motornya setelah tahu bahwa pembalap yamaha mengalami 'masala' dan bannya ngerem sendiri. Tararo pun mojok di satu satu sirkuit sambil dimotivasi oleh 'rekannya' yang paling penting murid-muridnya berhasil mengimbangi ducati dengan caranya, meski sama-sama membela ducati, saya pikir mereka punya misi pribadi yang tidak ingin diceritakan, setidaknya sekarang.

Saat Guru Bercerita (3)

BABAK 61

Sebuah cara adalah cara itu sendiri. Fikir itu adalah tindakan yang tak pernah terselesaikan. Apapun alasannya, alasan adalah cara terbaik untuk menyembunyikan keburukan dirinya sendiri, seperti gajah koma di akhir pekan karena tidak bisa mengenali ekor dan jejaknya sendiri.

Ia ingin menyapa sahabat pena, ada di nun jauh disana. Cara apa yang bisa sampai. Jika sayap bisa dibeli di toko, maka ia akan berencana membeli selusin sayap agar bisa berganti secara berkala. Lalu terbang melintasi udara luas, kotak-kotak kubus berasap, yang sesekali menggigil ketakutan karena pemerintah lupa memberi kupon sembako.

Ia berdiri dan menatap tusuk konde yang melingkar tegap tinggi sampai matahari tak leluasa untuk menyinari hamparan pasir panas.

"Kau kenapa Gaza, kota ini memang seperti tak ada harapan. Apakau kau setuju."

Suatu siang ia mendapati suara yang terdengar dari balik bebatuan hitam yang sering disinggahi singa pada malam hari.

"Sahabat penamu, bagaimana?"

Suara lain muncul dari arah angin yang menampar-nampar.

Mereka sibuk dengan apa yang mereka cari. Janganlah kalian mempermasalahkan sesuatu yang sudah disepakati.

Janganlah dicari-cari kesalahan. Masalah kita bukanlah yang itu-itu saja, darah kita lebih berharga dari apa yang mereka kira. Tak perlulah kita membuat semuanya lemah. Inilah yang membuat Tuhan mempecayakan tanah kepada kita semua.

Janganlah membuat kecewa.

Gaza mengangguk. Ia pergi menggendong tas mulai mengukur tembok raksasa, mencari jalan tembus peluru menghadang. Ia sibuk mengira-mengira, apakah mereka tak pernah takut tentang hari penghisaban.

Minggu, 25 Mei 2025

Saat Guru Bercerita (2)

BABAK 60

Anak perempuan itu terus saja menempelkan wajahnya ke atas meja, dari pelajaran pertama kimia. Pelajaran yang menyebalkan itu. Kau pasti sepakat kan?, jangan munafik. Ingin saja keluar dari pelajaran itu ketika sepatunya yang sering dipakai tentara terdengar lebih keras dari sering dipakai. Guru Kimia itu sengajakah. Sekarang bukan saatnya membahasa tentang Guru Kimia, yang rambutnya bergelombang, senyumnya meradang. Lebih baik, mari dengarkan anak perempuan yang menunduk kelas, seakan ia ditinggal kenangan keras itu. Anak lelaki pada waktu itu masih tabu untuk menanyakan apakah ia baik-baik saja, bukan tak mau. Kami tak cukup kosa kata untuk memulai percakapan, atau hanya ini perasaan Gaza saja.

Pelajaran kedua juga tak kalah menyebalkan, Fisika. Hari senin memang neraka bagi Gaza. Ini salah siapa, tak perlu mengira-ngira. Ini kenyataan yang Gaza harus hadapi. Jam kedua ini sedikit melegakan, pengampunya wali kelas Gaza sendiri, seperti anak ayam di ampu Elang. Serem juga sih.

"Kau kenapa Bita, sakitkah?" Tanya Ibu Wali Kelas. Ia beranjak dari tempat duduk setelah selesai mengabsen.

Ia mendekati Bita yang kepalanya masih lengket dengan meja. Ia mengelus kepalanya seperti putrinya sendiri, apakah ia betul-betul melakukannya. Mungkin Gaza hanya kusut masai saja, hingga ia tak sempat membaca perubahan wali kelas akhir-akhir ini.

Ia mengangguk seperti dokter. Ia memberikan ultimatum. Pelan-pelan ada semacam gelembung di dada ini entah apa rasanya. Segera kalian akan tahu, perasaan macam itu. Dan perempuan macam apa yang akan saksikan nantinya.

"Yang dekat dengan rumahnya," Tanya Wali Kelas.

Tema-teman mulai mendengung seperti truk slender, entah apa yang mereka rencanakan.

"Gaza bu, ia dekat rumahnya dengannya," salah satu temannya mengusulkan. Di susul teman-teman yang lain. Ini mulai mengusik ketenangan di pagi hari. Tetapi menyenangkan, bisa mengantar gadis semanis itu. Walaupun bau keteknya cukup memusingkan kepala, Ups itu dulu ketika di MI, mungkin sekarang ia agak berbeda. Gaza tak pernah lagi mencium bau tubuhnya, atau tak ingin melakukannya.

Takdir seolah berkata; kau harus mengantarkan gadis itu. Meski itu bukan pilihan yang mudah, tetapi mungkin kau menginginkannya. Aduh, kok bisa begini.

Huuuuu, gemuruh suara itu mengadukan perihal-perihal picik sebenarnya, dan Gaza tak berani melirik barang sejenak pada teman-teman perempuan, apakah itu semacam pengampunan dan Gaza juga tak peduli pada urusan-urusan mereka.

Eng mengekor di belakang ketika mulai keluar dari kelas, Wali Kelas itu tersenyum. Ini hadiah terbaik dari seorang Wali Kelas, apakah Gaza dapat menangkapnya. Mungkin ini hanya kebetulan, kebetulan di hari selasa pukul 9.14 pagi 2000, ah mestinya tak perlu mengingat-ngingat dengan jelas.

Sepanjang Jalan keduanya terlibat adu mulut hangat, maksudnya pembicaraan. Mereka mesam-mesem pada saat tertentu. Lalu saling pandang beberapa detik, ini menjengkal. Tetapi menyenangkan.

Ketika mobil angkot oren berhenti dan mereka ingin sama-sama naik. Muncul seorang lelaki berseragam sama dengan yang mereka pakai, mengendarai motor. Ia kakak kelas begitu. Gaza sulit mencari kata-kata yang tepat untuk kejadian itu.

Angkot sudah berhenti. Bita beralih ke kakak kelas dan naik motornya. Meninggalkan Gaza yang amat apa ya, sebentar mungkin Cengo, atau apalah.

Perpisahan yang merobek keakraban mereka sebentar. Lalu Gaza naik angkot duduk dipojok, memandangi Bita yang tersenyum lebih merekah dari pada perjalanan tadi. Sejak saat itu, Gaza menyebut gadis sebagai penjelmaan Kirik Busik, dan itu sejarah panjang kehidupannya.

Sebuah penipuan yang terencana.

Dan itu menjijikan...Cuih....

Saat Guru Bercerita (1)

BABAK 59

Seorang Presiden yang kedengaran lebih seniman. Duta kebudayaan lebih tepatnya. Pernah mendapat rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi dari tukang obat pinggir jalan. Konon katanya tukang obat itu ketika mencari barang belanjaan harus menyarter pesawat ulang-alik, karena ada barang yang laku keras tak terdapat di bumi. Melainkan pada tempat dimana syetan-syetan pernah dilempar dengan bintang ketika ingin mencuri berita langit. Ada yang percaya ada yang tidak. Dia hanya tukang obat, dari mana mendapat uang sebanyak itu.

Tukang obat tak menghiraukan omongan pedas dari para netizen. Mereka mungkin sering-sering mengkonsumsi es mambo rasa rujak dengan isian mangga muda asam. Sebaik-baik melawannya dengan membuat bukti yang nyata, katanya. Ia bilang; "senyata-nyataya. Kalau bisa buat mereka terdiam dengan kata-katanya sendiri. Mungkin mereka perlu belajar pada burung Nuri yang mengucapkan kata seperlunya saja, kadang tindakan mereka lebih pelit dari ucapan yang berbuih-buih itu, buih lautan itu rasanya lebih guruh," tuturnya pada satu waktu ketika seorang pengunjung tampak arogan.

Hari itu benar-benar hari yang cerah. Seorang presiden datang secara tak terduga menunggang seekor rajawali. Maaf, maksudnya pesawat pribadai bergambar rajawali, o bukan itu benar-benar pesawat berdesain seekor rajawali lengkap dengan suaranya yang melegenda. Pada paruhnya seekor pitonoba tengah terkulai lemas. Tukang manggut-manggut ketika merasa ular itu masih hidup selamat dari terbarkarnya hutan. Sebuah hutan yang kata-kata dari ketua adat telah diingkari sedemian rupa. Manusia kadang lebih buas dari hewan pengerat sekalipun.

"Bagaimana penjualanmu hari ini," tanya Presiden sambil menggulung lengan bajunya yang bersih, dan menarik hidunnya karena ia tengah dilanda flu yang berat. Ajudan dan orang yang menyertainya mencegahnya ketika ingin blusukan ke pelosok-pelosok desa. Mereka terbungkam ketika mendegar ujaran; "Aku tak makan gaji buta, karena aku bermimpi tadi malam leherku dijerat oleh trilunan uang yang terus berteriak dan mengancam," Tuturnya di satu pagi sebelum kepergiaannya blusukan mengunjungi rakyatnya. "Ini kedengaran wagu, tapi apa boleh, hari yang mendebarkan itu segara menyerbu, kalian paham maksudku," tambahnya sambil tersenyum. Mata yang agak sipit tampak berwibawa, hanya itu kewibawaannya. Selain itu tampak seperti kanak-kanak berlari-berlari mengejar layangan petel.

"Tikus-Tikus itu telah mencuri obat mujarab yang menjadi bahan dasar dari semua obat yang kujual." Jawab tukang obat.

"Mustahil, mereka sudah kenyang."

"Tidak, bahkan mereka sudah mengusai lumbung-lumbuh tidakkah bapak perhatikan. Tapi, aku heran sebagian dari mereka tetap tampil dengan bulu-bulunya, sebagian lain begitu subur dengan kuku-kuku yang terawat.

"OK, nanti aku akan sidak. Bapak jangan khawatir. Sekarang bagaimana kau akan berjualan,"

"Boleh aku pinjam pesawat bapak, aku ingin pergi ke tempat lain. Semoga barang yang ada dan lebih terjangkau harganya."

"Boleh saja, dengan apa kau akan membayar."

"Mungkin aku bisa membawa sekepal dua kepal batu-batu langit. Mungkin bapak bisa ke pengepul batu akik, harganya kutaksir bisa membeli tempat orang-orang dirampas."

"Kau banyak omong, bawakan saja yang dipesan oleh-oleh yang layak. Mungkin kau dapat piagam atau semacamnya. Atau bisa saja kau akan dikenal sebagai pahlawan. Mungkin dan ada kemungkinan lain."

"Aku tak tertarik jadi pahlawan Pak."

"Dasar penjilat, namamu siapa."

"Gaza."

Pesawat mendarat mengangkut sang Presiden. Lalu sunyi kembali.

Aku kembali ke rumah. Kujampai kakak perempuanku sedang memasak. Aroma ikan menyebar ketika pintu berderit panjang. Minyak singer yang dibeli dari toko sedang dipinjam oleh tetangga. Seorang tukang jahit tempo hari datang kerumah meminjam ini itu termasuk singer. Layaknya ia punya, Apakah ia tidak malu dengan profesinya sebagai pembuat baju sekaligus vermak levis.

"Dari mana, gini hari baru pulang," tanya kakaknya.

"Pasar, disana aku bertemu dengan presiden. Mengobrol cukup banyak, kau irikan?"

"Kakak tak tertarik dengan presiden, sama sekali tidak, ingat yang gaji mereka adalah rakyat, jadi kamu jangan ikut-ikutan, mengelu-elukan mereka, biasa saja lah, keadilan yang kami mau?"

"Ih, kakak serius amat, nanti cepet tua lho?"

"Negara ini sudah cukup main-mainnya, nggak perlu banyak drama, jika tak ingin langit murka dan orang-orang yang tak berdosa akan kena imbasnya."

Sepiring nasi yang masih berasap dihidangkan, sayur tak lupa, serta lima ekor ikan gurame, lengkap dengan lalapan dan sambal terasi.

"Besok kakak mau turun ke jalan, dan mungkin pulangnya lama, kau jaga rumah ya?"

"Siap kak"

Sabtu, 24 Mei 2025

KOTA MATI

Hanya beberapa menit saja

Sudah ramai gegap g
empita

Memenuhi selera

Memuaskan semua keinginannya

Cara terbaik menghilangkan perbedaan

Tentu saja melenyapkan dari peredaran

Agar tak muncul lagi

Damai dalam sepi

Entahlah, keramaian itu hanya seperlunya saja

Seperti buang hajat saja

Setelah puas

Hanya lengang yang tersisa

Esoknya kembali merenda

Menjadi sosok yang berbeda

Dari waktu ke waktu

Agar kita tak mati waktu

MATAHARI TAK PERNAH MANGKIR

Manusia berjalan tanpa pernah melangkah

Melangkah dalam kegoncangan demi kegoncangan

Selangkah dalam selangkah

Permata jatuh ke pelimbahan

Isu sains muncul dalam kegelapan

Matahari tak pernah jera untuk mengulan


Titah yang tak pernah mangkir

Dalam terang yang tak pernah mangkir

Meski Cahaya tak pernah gelap

Meski Cahaya pudar

Lalu lambat laun menjelma bentuk

Dalam sebuah perundingan-perundingan

Anak Yang Menakutkan Gurunya

BABAK 58
Ia mengibaskan tangan gurunya yang sedang memelukanya. Kaki kecilnya mengejar langkah ibunya yang tergesa-gesa menaiki motor. Gurunya menghampirinya, tangisan dari mulut yang kecil pecah di awal sekolah. "Ibu, aku ingin sama ibu, temani aku bu." katanya keras-keras.

Ibunya berpaling mencoba tegar. "Ibu harus kerja nak, sama Ibu guru ya?" tuturnya. Ia menghapus air mata cepat-cepat. Memeluknya sekali lagi, melepaskan cengkraman tangan mungilnya dan meninggalkannya. Tangisan ananda membuncah. Air mata tumpah. Ia duduk di lantai sambil memanggil nama ibunya berkali-kali.