Minggu, 13 April 2025

Kebanggan Seorang Ayah

BABAK 34

Satu malam jelang tidur.

"Kenapa tak silat lagi Mas," tanya si Ayah. Tangannya yang kukuh memeluk pinggangnya yang masih ramping.

"Naik sabuknya lama yah," katanya. Tangannya yang mungil meraih tangan ayahnya, lalu mengencangkan lebih erat lagi.

Lalu...

Ayah mendengarkan gerak bibirnya. Ada gurat sedih sempat terlintas. Ada wajah yang ingin berontak, tetapi ia sendiri tak tahu atau belum tahu soal apa yang harus dilakukan. Mungkin berhenti dari latihan adalah bagian dari jawaban.

Ia tak pamit pada pelatih, juga pada ayahnya. Pada pelatih ia seperti ingin melakukan demo atas keberpihakan yang salah. Ini agak lucu, bocah delapan tahun ingin menjungkirbalikan sebuah keadaan. Mesti mungkin saja terjadi, tetapi hal itu adalah awal dari ia mengerti tentang pencapaian.

Ayah mengangguk bukan untuk membenarkan, tetapi telinga ini setiap saat siap mendengarkan keluh kesahmu. Menjawab setiap pertanyaan. Jika ayah tak bisa menjawab, maka Ayah akan menangguhkan beberapa saat, setidaknya bisa mengintip buku, atau kalau tak sempat bisa melayang ke dunia mbah. Yang jelas, kau akan tumbuh seiring dengan waktu yang kau simpulkan sendiri. Maaf jika ayah tak sabar, tetapi paling tidak ayah bisa merobohkan ego yang kerap menunggangi semua hal. Bahkan kebaikan yang kau tawarkan, bisa menjadi petaka bagi Ayah. Bila ayah tak pintar mengolah Ego. Ego akan tetap bercokol meski kelak berpisah pada saat yang memungkinkan

Nama pelatihmu sama dengan nama ayah. Kadang kau menertawakan dan meledek soal nama ayah. Kau tak pernah menggerutu soal nama, adikmu yang kerap mengejek, maksudnya bercanda soal-soal nama, jika ayah kena 'mental' kalian akan tertawa keras. Lalu kembali pada tempat semula.

Soal nama pelatihmu, ayah kira bisa menangkis hujan air mata yang mulai kau tampilkan pada saat-saat tertentu. Itu kemampuan yang mesti kau rawat. Tak apa lelaki juga bisa menangis, jika itu menenangkan. Soal sabuk, ayah tahu kapan kau menitikkan air mata, kaupun tak bertanya. Ayah mulai menandai, air mata yang kau keluarkan diam-diam, meski hanya berkaca-kaca itu adalah simbol kau akan mengakhiri sesuatu. Begitu simpel, tetapi cukup tegas. Ayah simpati, kau mulai memustuskan sesuatu tanpa campur tangan ayah bunda.

Kau akan tumbuh terus Nak?, tetaplah kuat.

Sabtu, 12 April 2025

Sekolah Bukan Pabrik Robot

BABAK 33

"Kamu begitu saja nggak bisa, itu kan soal mudah!" Ucap ibunya sambil membereskan buku-buku yang berantakan, pelajaran seni sedang berlangsung secara daring.

"Lain kali harus lebih fokus," tambahnya.

Adi yang merasa kesulitan, merasa keyakinan untuk memantapkan hati karya pupus. Perasaan terdalam seperti tak ada, ia kehilangan pijakan untuk menyambung perasaan yang setengah hidup sejak bangun pagi , agar bisa nyaman menghadapi guru seni itu.

Ajaib, ia kehilangan fokus di beberapa bagian, sementara momen terus saja berjalan. Ibunya yang sedang sibuk dengan kegiatan pribadinya merasa terganggu. Inilah momen yang mungkin Adi hindari, ia ingin menyelesaikan sendiri, tetapi ia belum sanggup untuk multitasking dalam soal-soal tertentu.

Ibunya kehilangan momen ketika Adi berhasi mencuci piringnya sendiri, pekerjaan di toilet, bahkan bisa menjaga adiknya yang masih kecil, mengajak bermain dan seterusnya.

Sekolah tidak dirancang untuk membuat anak didiknya menjadi robot dan menguasai banyak tanpa kesalahan, dan Adi bukan robot yang gampang distel tanpa kendala apapun. Ia adalah perangkat kompleks yang unik dan tentu saja ciptaan Tuhan. Hingga memperlakukan atas dasar-dasar tertentu dan program-program tertentu yang sesuai dengan perkembangan anak. Mari sudahi prasangka seperti itu.

Jumat, 11 April 2025

Cerita Anak Kepada Ayahnya

BABAK 32
"Aku udah tahu ayah, kalau ada yang marah mereka akan mengajak satu gang untuk musuhi aku yah, udah kebaca!" kata si anak pada Ayah pada satu sore.

Ayah berharap pada waktu yang bisa memberi kesempatan padamu agar kuat untuk mengucapkan sebuah alasan. Maaf jika ayah memakai seharusnya, kalau kamu memberi kepercayaan diri pada kekuatanmu maka hal ini tidak akan terjadi. Barang mainan itu, yang tempo hari temenmu titipkan. Berkurang jumlahnya, seharusnya kamu bisa mengucapkan hal-hal yang semestinya. Tanpa bermaksud untuk menggurui, ayah hanya belajar pada banyak kesalahan, kau mestinya juga demikian.

Ini sejarah yang kau cipatkan sendiri, kami melayani kepercayaan yang sudah demikian rupa untuk kami percayai, memang agak muter, tetapi dengan cara inilah sesuatu bisa dapat dibicarakan dengan selayalaknya.

Kami memercayai dengan kata dan sikap, akan halnya demikian roda yang kau putar sendiri. Jawabanmu mencoba menentramkan sedemikian rupa bentuk kekhawatiran yang kau baca dengan mudah melekat pada ayah.

"Masih banyak teman lain yah, di gang 3 dan 4, jadi aku tak begitu peduli."

Bila demikian perjalanan akan sedikit menenangkan ayah. Tetaplah kuat, dan menangis bukan berarti lemah, kau sudah berusaha dengan baik. Tangisan adalah senjata terbaik jika memang bisa meredam segala kekuatan yang tak bisa kau tangkis sekarang ini, di usiamu yang genap 8 tahun. Jadi berusahalah...

Agar ayah tahu kau mudah beradaptasi pada situasi yang paling buruk yang kini satu persatu mampir pada hidupmu.

Kamis, 10 April 2025

Skema Pembelajaran

BABAK 32
Ia membiarkan putranya untuk merasakan sebuah kenyataan hidup. Bahwa ada hal-hal di sekitarnya yang tak melulu soal kenyamanan. Di luar sana ada banyak ketidaknyamanan jika kamu enggan untuk berdamai, minimal pada perasaanmu sendiri.

Ia melihat putranya berpindah dari satu titik ke titik yang lainnya. Rupanya hari itu ia tak mendapatkan "nasi box" yang rutin disediakan oleh masjid dekat rumahnya. Ada kesedihan dalam hatinya. Ia ingin putranya belajar tentang kesiapan untuk menerima hal yang sesuai dengannya, dan kesiapan untuk menerima hal yang tidak di sukainya.

"Ada hari lain, jika kamu menginginkan"

Putranya masih diam tak menjawab sepatah kata.

"Bukan rezeki kamu, lain kali ada kesempatan lain," tambah ayahnya.

Rabu, 09 April 2025

"Ayah Nggak Kaya! Ayah Miskin!"

BABAK 31
Ramai lapangan komplek suatu perumahan. Anak-anak dan orang dewasa dari ibu-ibu sampai bapak-bapak, semua ada di sana. Semua penasaran atas kegiatan yang baru muncul di komplek itu. Mereka ingin melihat para pendekar silat yang nantinya unjuk kebolehan dan akan melatih para putra putri mereka.

Pembukaan dan pertunjukan silat tradisional pun di mulai. Para pendekar silat itu berpakaian hitam-hitam dengan ikat pinggang beragam. Mulai dari hitam, biru, dan juga putih. Hanya saja para pendekar berikat pinggang putih itu sikapnya lebih tenang. Usut punya usut lelaki ber-ikat pinggang putih adalah ketua pelatihnya.

Mereka berkumpul di tengah lapangan setelah nama-nama mereka dipanggil. Anak-anak itu berlari pemanasan dengan suasana meriah dan semangat, maklum ini baru pembukaan pertama.

Tampak satu anak yang berwajah sendu menatapi anak-anak yang lain riang ikut latihan. "kau ingin ikut, baru pembukaan tidak apa," tanya ayahnya.

"Nggak ah, sudah terlambat," ucap si anakdengan kesal.

"Kenapa kamu ngasih tahunya mendadak, ayah bisa siapin uang. Sekarang ayah tak pegang uang," jawab si ayah.

Si ayah mencuri pandang wajah anaknya. Punggung si anak terlihat sibuk untuk menghapus jejak air mata yang tiba-tiba melelah.

"Ayah nggak kaya! ayah miskin!" ucap si anak yang makin sibuk menghentikan air mata yang tak diiringi dengan isakan.

Si ayah terdiam mencoba mencerna perasaan yang sedang dialami oleh anaknya. Ada sayatan kecil yang cukup memerihkan hatinya.

"Nanti belajar sama ayah saja, gulat."

"Nggak mau sendiri, maunya sama temen-temen."

Para pendekar itu melakukan pemanasan lima meter dari tempat duduknya. Matanya sibuk megawasi sekitar. Si anak juga tampak awas melihat para pendekar-pendekar itu.

"Ayah kenapa orang itu cuma pakai tangan satu."

sang ayah tampak mengawasi orang yang telah di teliti sang anak.

"Tangan sebelahnya sedang sakit," ucap sang ayah.

Selasa, 08 April 2025

INTRAPERSONAL

BABAK 30
Ia menangis sesenggukan dipelukan bundanya, kedua matanya basah. "Abang penjual es krim tak perlu dipanggil ke rumah, jika tidak memungkinkan. Cukup kamu bawa uang dan beli di tempatnya saja," kata ayahnya. Nasihatnya dicerna sebelum ia berubah sedih dan menangis. Ia lupa atau belum ada intruksi. Ayah harap kamu tak perlu menunggu intruksi, sebaiknya kamu belajar berinisiatif.

Mungkin penolakan tak sengaja yang dilakukan oleh penjual eskrim mona seribu-seribu membuatnya terluka. Ia mencoba mengejar dari rumah dengan pikiran positif dapat memanggil penjual es krim itu agar dapat berkunjung sejenak di depan rumahnya.

Ketika ia menangis ayah dan bundanya memberikan kesempatan meluapkan 'emosi' yang tak bisa ia bendung dengan logikanya yang mungkin masih terbatas. Atau ia mungkin merasa bersalah pada kesimpulan yang tak begitu tepat di mata orang dewasa. Ia mencoba untuk tak merepotkan orang terdekatnya dengan berlari menyusuri jalanan komplek rumahnya dengan hasil di luar dugaannya.

"Beli es krim di warung kak Syifa saja ya, ditemani ayah," kata bunda setelah lima menit tangisannya mereda.

"Ayo ayah temenin," katanya merajuk, kedua matanya masih berkaca-kaca.

"Yuk," ungkap ayahnya.

Sampai halaman rumah wajahnya berubah cerah. "Yah, itu abang es krim mona ada di sana," katanya cepat-cepat.

Adiknya menyusul dengan mata mengantuk. "Kau mau," tanya ayahnya.

"Nggak mau," katanya beberapa kali. Setelah ayahnya menawarkannya keempat kalinya ia memegang kerucut es krim.

"Ya udah," katanya, agak cemberut.

Ketika pulang ia disapa oleh anak perempuan kelas 5. Ayahnya yang menjawab dengan mengembalikan sapaannya. Kedua anak itu berjalan ke rumah. Adiknya berhenti untuk menyapa temannya.

"Kenapa tak menjawab sapaan kakak itu," kata ayahnya penasaran.

"Aku jawab yah, ayah saja nggak dengar."

Beberapa menit yang lalu ia bercerita kalau ada kakak yang merasa tak nyaman dengan nyanyiannya. Padahal ia tak bermaksud untuk menyindirinya. Ia terlihat ingin memperbaiki 'kesalahan' yang mungkin bukan kesalahan. "Aku kan cuma nyanyi-nyanyi yah, eh mereka marah," katanya sambil menghentakkan kaki kanannya. Sang ayah mencari sebuah jawaban, tampak ia berpikir. Kedua alisnya mengkerut. "Mungkin suaramu terlalu tinggi, atau mungkin kamu perlu menjaga sikap," kata sang ayah agak ragu-ragu menjawab.

"Nggak yah, ayah mah begitu, kan aku cuman nyanyi yah." Sekali lagi ia berusaha untuk membenarkan sikapnya. Ayahnya juga belum mengetahui isi lagu itu langsung memberikan kesimpulan.

"Kakak itu kenapa menyapa, kamu tahu alasannya."

"Nggak yah."

"Kakak itu sedang meminta maaf dengan cara lain."

Ia berhenti dan menatap ayahnya, seperti mencari-cari kebenaran yang tersembunyi.

Senin, 07 April 2025

Peniru Ulung

BABAK 29
"Silahkan kamu keluar, hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga, keluar!" kata sang anak menerikun intruksi sang ayah bila sedang marah. Nadanya persis sama, dengan jari telunjuk yang menunjuk ke atas.

Ayah terdiam, tepatnya terpukul KO (Knock Out) beberapa detik melebur mencerna kata-kata putranya yang baru saja terucap persis seperti yang ia semburkan jika menemukan hal-hal yang tidak tepat menurut pikirannya. Ia baru menyadari bahwa anaknya sekarang menjadi peniru ulung tanpa sangka.

Suasana tegang menjadi cair, mendengar ungkapan anaknya yang tepat sekali memilih diksi sama yang sering ia gunakan. Ayah beserta kedua anaknya tertawa keras (ngakak besar). Kejujuran anaknya telah mengubah beberap hal yang sering ia anggap benar.

Ayah beranjak dari tempat tidur lalu menuju ke kantor pribadinya. Merenung barang sejenak, mungkin ia akan lebih berhati-hati ketika sedang marah. Anaknya bukan lagi bayi yang tak bisa melawan ucapannya. Ia sedang dalam masa "pemberontakan" hingga sering merepotkannya.

Mungkin juga sang ayah menganggap kebenaran hanya milik orang-orang dewasa. Tanpa memberikan ruang cukup bagi anak tujuh tahun untuk mengekpresikan kekuatan ucapannya. Berikanlah sedikit ruang padanya, atau kalau ayah mau berbagi cerita dengan sang anak, maka akan sangat bahagia. Jika ayah bisa merasakannya.

Sang anak sudah beranjak menjadi peniru yang lebih kritis dari pada sang ayah. Pandai menyimpan semua kata-kata sang ayah, hingga suatu saat bisa menggunakan untuk "menyerangnya dan menentangnya."

Ayah makin lama makin berubah menjadi anak kecil yang kehilangan mainannya. Justru kalian yang semakin dewasa melebihi usia dan fisik. Jarang sang ayah beranjak dari kenyamanan berpikir ke pikiran yang lebih jernih. Lalu memandang segala sesuatu pada sang anak memang sesuai kebutuhan dan perkembangan sang anak.

"Maafkan ayah ya?" kata itu yang terucap dalam-dalam. Mungkin kalian tak akan mendengar. Itu suara lubuk nak, jadi kalian tak bisa mendengar. Mungkin kalian akan melihat perubahan meski harus tertatih-tatih.

"Maaf, kalian harus terlahir dengan ayah terburuk." kata itu juga tak mungkin kalian dengar. Mungkin kalian akan bisa sedikit merasakan perbedaan dari hari ke hari.

Agar kalian tak merekam jejak buruk dalam ingatan yang terus terpasung dalam. Ayah tak ingin menjadi pemberi ruang untuk kalian agar menjadi peniru ulung dalam segala perbuatan "buruk" sang ayah.

Mungkin ayah perlu mengungkapkan satu hal. "Kemustahilan bukan suatu fakta, melainkan hanya sebuah pendapat." Muhammad Ali. Jika kalian tak keberatan mendengarnya dan menjalaninya. Sebuah prinsip hidup yang amat terang benderang.

Atau jika kalian punya waktu sejenak. Ayah berusaha untuk menutup pintu hal-hal buruk agar terbuka lebar pintu-pintu kebaikan. Jika tidak, ayah akan lupa membuka pintu-pintu kebaikan karena mengunci rapat-rapat pintu keburukan dan ayah terlena di sana.

Dua kalimat terakhir tak perlu diambil hati jika kalian belum siap.

Tulisan ini di produksi 04 Mei 2021

Minggu, 06 April 2025

Seperti Harimau

BABAK 28
"Aku mau mengulang pelajaran sama ayah saja ya," ungkap si anak.

"Kenapa?" selidik ayahnya.

"Bunda kalau ngajarin galak banget seperti harimau," kata si anak.

Ayahnya tersenyum mendengar ungkapan anaknya yang mulai mengerti letak kenyamanan. Tentang kesiapan memilih dengan siapa ia akan belajar.

"Kasih tahu donk yah, jangan galak-galak kau ngajarin," tambahnya.

Ayahnya mengangguk pelan. "Ya, nanti akan ayah kasih tahu." Ungkap si ayah.

Malam itu sang ayah rupanya banyak belajar tentang ungkapan jujur dari sang anak yang mulai memahami tentang perasaannya sendiri.

Untuk mengungkapkan sebuah perasaan, orang dewasa saja mungkin butuh kesiapan mental agar tak salah ungkap.

Ayahnya menyadari betapa daya ungkap seperti membalik gunung yang begitu kuat. Membutuhkan daya ledak agar semua rasa sedih dan senang bisa dirasakan pada orang-orang yang dekat.

Mari rengkuh dan peluk mereka ketika menjelang tidur. Jika kalian punya sedikit tenaga untuk berbagi kisah dengan si anak, maka lakukanlah.

Mungkin sedikit ciuman pada pipi si anak membuatnya terlelap dan terbawa sampai mimpi. Mungkin saja bisa bertahan atau mengalahkan ketika ia sedang mimpi buruk sekalipun.

Anak-anak semakin tumbuh besar, dan kita besar dengan mereka. Mungkin sang ayah belum layak menjadi kandidat ayah terbaik, setidaknya bisa mengurai tenaga menjadi waktu-waktu yang kalian butuhkan.

Semoga.

Sabtu, 05 April 2025

RAKSASAN KERDIL DAN PARA BADUT DARI LORONG GELAP KOTA

Sebuah kumpulan cerpen yang bergerak meluas membentuk segmen-segmen kekuatan kota, pengaruh politik, tumpah tindih sosial, 'kekejaman sejarah', dan semua turunananya. Sejenak kita kenali terlebih dahulu judul-judulnya.

1. Raksasa kerdil dan para Badut Dari lorong gelap kota

2. Sepiring nasi dan sayur kopi hitam

3. Ular Kobra dan jejak kreasinya

4. Vespa dan Sekotak Donat

5. Kolot-Kolotok dan sejarak Bakiak

6. Beruang Menaiki Seekor Kambing

7. Humor-Humor Iklan dari Iklan Alat Cukur

8. Bau Mulut dari Tukang Sunat

9. Seorang anak kecil di tubuh orang dewasa

10. Angin Yang segar untuk badan yang merepotkan

11. Buku Kuning dan Petuah yang merepotkan

12. Minyak Wangi untuk sebuah bangkai yang perutnya membesar

13. Cangkang Keras Yang Mengkerut Isi Dagingnya

14. Empat Huruf Dan Hal-Hal Yang Merepotkan

15. Tukang Kibul dan Teknologi Yang Bikin Geleng-Geleng

16. Menjual Buih Untuk Pamrih ke Yang Lain

17. Melihat Luar untuk memotong Yang Dalam

18. Aroma dan Kebencian dari Bibir para cerdik pandai

19. Lingkaran yang membunuh dan bagaimana belajar menjadi penjilat

20. Bagaimana gonggongan itu melumpuhkan genggaman

21. Bagaimana membangun kota mati dan menghancurkannya sekali lagi

22. Bagaimana siput menjalani latihan untuk mengalahkan kancil

23. Makan siang jengkol, lalu jengkel, dan jungkelan

24. Pencuri Sepeda dan Penyuka Jagung marning

25. Malam dan cerita tentang seorang Ninja

26. Helikopter dan perasaan seekor kambing jantan

27. Bahasa Tubuh dan Pecahnya sebuah peperangan

28. Lagu Kemarau dan adu mulut para Ibu

29. Sejarah Kata Untuk memberikan kata yang lain

30. Percayalah hal-hal yang menyenangkan itu tidak ada

31. Seorang Guru yang Memaki murid-muridnya

32. Kelinci Yang Mati oleh Gigitan Anjing

Rawakalong,Juni, 2022

SURAT DARI JIM TRELEASE

BABAK 47
Dari kliping yang kubuat dalam bundelan berisi beragam topik, ku temukan satu tulisan yang membuat terpaku (membaca kembali). Surat dari Jim Trelease begitu judulnya. Yang diterbitkan oleh komunitas Read Aloud Indonesia-Reading Bugs. Satu tema yang sesekali aku selipkan dalam diskusi bersama guru-guru di SMP.  Dari 2004-sekarang aku masih menjadi bagian dari guru pendidik. Metode membaca nyaring begitu saja muncul ketika obrolan mengenai perkembangan siswa, ternyata itu ada akarnya. Akarnya itu adalah endapan informasi yang kuperoleh dari tulisan Jim Trelease di tahun 2008, tahun dimana aku masih 'bingung' bagaimana menyelesaikan naskah skripsi. Kira-kira 17 tahun kemudian informasi mengendap dan tetap bisa dipanggil kembali manakala dibutuhkan dalam konteks diskusi yang relevan. 

Informasi read aloud hadir otomatis keluar lewat sinapsis yang terhubung dengan kemampuan verbal. 

Neuroplastisitas rupanya bekerja dalam situasi yang dibutuhkan. Karena sifatnya yang mudah beradaptasi secara tidak didaktik.

Apa yang dikatakan oleh Prof Bambang Sugiharto benarlah adanya. Saat ini ia mengajar di Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan gunung Gunungjati (Bandung).  Menurutnya membaca itu  bukan sekadar hobi tetapi sebagai kultur budaya. Ia menjawab mengapa perlunya disiplin membaca buku secara tekun dan secermat mungkin. Selain sebagai gudang informasi membaca buku juga bisa membentuk nalar analitik dan sintetik. 

Dalam pembentukan nalar auditori, kehadiran membaca nyaring juga membentuk sinapsis agar otak terus memperbaharui dirinya sendiri. Menyimpan kekuatan kosa kata dan menabungnya menjadi pergulatan dialektika adalah bentuk persiapan sedini mungkin bagaimana menyerap kosa kata yang akan di keluarkan suatu saat nanti, itu salah dua keberadaan membaca nyaring.

Mari simak surat dari Jim Trelease secara tekun.

Ketika mendengar bahwa buku saya diterjemahkan lagi kedalam bahasa yang berbeda dari belahan bumi lainnya, hatiku tersentuh--bukan karena kebanggaan personal tetapi lebih kepada menyadari bahwa karya terbaik kedua orangtuaku telah mencapai ujung bumi lainnya.

Ketika saya masih kecil, keluarga kami tidak memiliki kemewahan di dalam rumah. Selama itu kami tidak memiliki kesadaran pribadi dan tinggal di rumah susun. Tetapi dalam kondisi yang berbeda, orangtua saya telah melimpahi kekayaan dengan cara yang berbeda.

Kami tinggal selama 12 tahun di rumah susun sewa yang dipenuhi oleh lembaran kertas. Koran (kadang kala sampai dua penerbitan) secara rutin hadir di rumah kami setiap hari. Ibu juga berlangganan begitu banyak majalah, sampai suatu hari sang loper mengatakan kepada ayah, bahwa kalau semua pelanggan di jalurnya berlangganan sebanyak yang dilakukan Ibu, maka tentu ia akan mati kelelahan. Kami ke-empat putra Ibu, sewaktu kecil tidak pernah mengerti masalah perbedaan gender yang sering membagi majalah menjadi pria dan untuk wanita. Yang kami semua tahu dan pedulikan hanyalah bahwa semua terkirim ke dalam kotak pos dan semua memiliki gambar yang indah di dalamnya. Kami tidak menyadari bahwa seseorang menjadi melek gambar sebelum melek huruf. Jika kamu belum pernah melihat seekor gajah atau bahkan dalam gambarnya, maka ketika tiba masa membaca kata "g a j a h", bagaimana kamu dapat memahami arti dan maknanya?

Saya adalah gambaran anak yang ingin tahu segala, dimana ibu akan melimpahkan saya kepada ayah ketika ia pulang dari kantor seraya mengatakan,"bawa dia", sebelum akhirnya ibu tumbang kelelahan. Ayahlah yang pertama kali menyadari bahwa ketika ia membacakan cerita, maka hal itu akan menenangkan dan membuat saya fokus. Andai saja dia tahu bahwa membacakan cerita-yang dilakukannya hingga saya besar-juga berarti menambah perbendaharaan kata dan pengetahuan dasarku, memperluas rasa keingin-tahuanku, dan menstimulasi keinginanku atas bacaan. Untuk dia rasanya itulah yang paling bisa dilakukannya dengan benar. Jadi ketika ayah duduk membacakanku buku dari perpustakaan, majalah, dan koran harian setiap malam, sesungguhnya dia telah memperkenalkan pada saya kenikmatan membaca. Hal ini seperti yang selalu dikatakannya, "ini adalah semua tempat yang bisa kamu kunjungi untuk bersenang-senang jika kamu mengerjakan pekerjaan sekolah dan belajar membaca."

Karena saya bersekolah di SD yang sangat ramai (94 anak), maka sangat sedikit waktu yang menyenangkan di kelas membaca. Hampir seluruh waktu yang ada ditujukan untuk latihan mengeja dan dikte. Kalau saja saya di rumah tidak mengalami hal menyenangkan dalam membaca, mungkin saya akan beranggapan bahwa kegiatan membaca itu memang tidak menyenangkan dan akan membencinya, seperti yang kami lakukan di sekolah. Tapi sebaliknya, saya justru berpikir, "membaca memang bukan pesta, namun jika hal ini bisa memberiku kegembiraan yang sama seperti yang dulu dilakukan oleh orang tuaku dengan lembaran-lembaran kertas, maka saya akan bisa mengatasi kejemuan dalam hidup." Dan hal ini memang terbukti.

Berada dalam rumah dengan dikelilingi oleh bermacam lembaran kertas dan bacaan, dengan alunan suara huruf yang dieja bercampur semangat sebuah cerita, apakah mengherankan kalau saya kemudian menjadi seorang kutu buku sekaligus penulis? sebuah formula yang sangat kuat, sederhana, bukan formula rahasia yang dimiliki oleh perusahaan multinasional, dan dimiliki oleh setiap keluarga yang memang ingin membesarkan seorang pembaca-inilah inti buku Read Aloud.

Andai kedua orangtua saya masih hidup sekarang, mereka pasti akan sangat bangga menjadi bagian dari peluncuran edisi Indonesia kali ini. Sebagaimana yang saya rasakan. (12 November 2008 08:12).

Tulisan ini ku kliping begitu saja, tanpa mencantumkan 'sumbernya' dari mana, sumber dalam artian dari mana aku diberikan naskah ini, mungkin belasan tahun lalu ada yang mengajakku untuk gabung di komunitas ini, karena satu hal aku tak mengikutinya. Setelah kucoba cari lewat website resmi https://readaloudindonesia.com/about/ pun tak kunjung kutemukan. Sebagai bagian dari dokumen peradaban, maka ku beranikan diri untuk menuliskannya kembali di blog ini, sebagai perayaan ku atas penting dan nikmatnya. Semoga bermanfaat bagi anak-anaku kelak ketika membaca blogku ini, dan untuk semua guru di jaga raya bisa menularkan kepada para muridnya, dan yang tak kalah penting bisa bertemu dengan orang yang memberikan naskah ini. terimakasih. Salam Pak Pelita. Cekap Semanten.

Dongeng Sebelum Tidur

BABAK 27
Malam menjelang, agak larut dari seperti biasanya. Entah sedang riang suasana hatinya, entah kesadaran mulai nampak malu-malu.

Seorang ayah tanpa segan, penuh hormat pada kesempatan yang langka. Yakni menidurkan anaknya dengan pengantar dongeng. Mungkin hanya terjadi pada film-film.

Tapi, kita perlu menyakinkan diri sendiri tentang dongeng yang masih terdengar dari sudut-sudut kamar yang sederhana, gubuk yang tampak memprihatinkan, serta dari kolong-kolong jembatan. Kita harus percaya itu, walau hanya sebatas keajaiban.

Agaknya kita harus melipir sejenak pada anak muda yang membawakan lagu dongeng sebelum tidur, dalam naungan Wayang sebagai nama bandnya. Mereka membuat bekas yang manis pada setiap kepingan masa.

Ya dongeng menjadi semacam pelipur lara atas drama yang sedang direnda oleh setiap kepingan zaman.

"Yah, katanya ingin cerita," Tanya seorang anak lelakinya. Sang adik ikut jua berkomentar. Tentang seputar cerita.

Sebelum tidur sang ayah mulai mengenalkan tokoh utamanya, yakni seekor semut hitam yang mendiami sebuah lubang.

Ia kenalkan tentang sifat-sifat semut, hewan yang suka bertatap muka dan saling menyapa. Mereka suka bekerjasama, jika memperoleh buruan atau mangsa, dan saling menjaga bayi-bayi mereka.

Ada keriangan ketika selesai mendongeng untuk sang anak. Meski tak memperoleh imbalan yang "menyenangkan", setidaknya terbayar lunas jam-jam yang melelahkan.

Tawa yang meledak, sorot mata yang ceria, dan bibir-bibir yang tersenyum puas. Mereka menyimpulkan dengan caranya sendiri.

Sang ayah menemaninya sampai mereka tertidur. Ia berharap mereka bertemu dengan semut-semut perkasa yang sopan dan saling membantu. Lalu keesokan harinya, mulut mungilnya bercerita tentang mimpi-mimpinya yang berisi petualangan dahsyat.