Rabu, 22 Januari 2025

Hari-Hari Bersama Percakapan Kosong

hari-hari ini percakapan kosong tengah berlangsung memenuhi gelanggang hingga petang

kadang mulutnya yang lancang bagai pedang menebas lawan ataupun kawan

buih-buihnya berhamburan meleleh dari bibir yang rawan
menebar janji-janji  tak berkesudahan


hari-hari bersama percakapan kosong

menyusun rencana tuk menyesatkan
dari garis-garis pedoman yang ditetapkan
sejak kalian masih dalam buaian


hari-hari bersama percakapan kosong

berjalan tanpa cahaya seperti orang buta pembohong
hanya harap pada pundi-pundi uang
janji-janji berhenti di atas kertas putih bertanda tangan

hari-hari bersama percakapan kosong
mengecam sana-sani untuk merendahkan
menjual parodi-parodi lalu dimatikan pelan-pelan
kemana nurani yang kalian edarkan pada pamflet-pamflet berjalan


O dunia...

kemarin, hari, dan esok bersama percakapan kosong berganti bacot
tumbuh bersama cerdik cendikiawan yang terlambat minum obat
lalu menjelma sebagai psikopat yang muncul dari balik kerumunan
tak jelas siapa lawan siapa kawan


kemana ajaran orang tua kalian

hari ini banyak sekali percakapan kosong yang ditontonkan
berulang-ulang tanpa bosan seperti iklan
dari balik jutawan yang menumbalkan nuraninya pada kesesatan


yang pintar seringkali keblinger-blinger

mengocok perut 
yang benar diikat kuat katebelece
laju jalan pun hanya berpuatar-putar


apakah kalian akan menunggu kemarahan dari kolong langit!

cukup sudah percakapan kosong yang kalian kemas dan gigit!
sampai lepas dan berdarah...
padahal waktu terus membunuh!

 

Senin, 20 Januari 2025

MENUNGGU IBU PULANG


sekali berucap tiba-tiba senyap
pada waktu yang sepi
pada lelap yang menghantui
lalu buka sudah lelap

dua anak terbaring lesu
setelah lama menjahit mimpi
sementara mentari meninggalkan kelu
lanjut esok pagi

kalian sudah ditunggu Ibu
cepat-cepat memasak
sampai rasa membencimu
untuk rindu mendesak

rampas semua lelah
sampai lelah membecimu
menjauh untuk mendekat
lalu peluk ibu erat-erat

 

NENEK PEMBAWA JERAMI


 Padanya asa menjawab semua hal 
 Melawan papa sebab derita
 Sepasang kaki tua mengaspal siang
 Dibawah terkaman sinar menyetrika raga 
 Menjereng sepanjang jalan pulang 

 Sepasang mata muda yang telah lama mengeriput 
 Dimakan waktu dibakar kelelahan menunggu pulang 
 Membawa sepanggul jerami-jerami dari sudut belukar yang tertingal 
 Pagi gelap menggigil selimuti juang 
 Untuk sapi-sapi idul kurban

Kamis, 16 Januari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

Kado Pengantin Untuk Istri

Elang berjalan menuju sebuah pasar. Ia Ingin membeli sebuah kado pengantin, ia ingin menyenangkan layaknya suami pada umumnya. Tempat yang dirindukan, meski beraroma tai bebek. Meski begitu, pasar rakyat ibarat surga yang menyenangkan, mungkin tak penipuan disana. Apa yang mesti ditupu, jika dulu semasa kecil, ia bersama dengan teman-temannya mengais cabe-cabe tak layak jual untuk dikumpulkan dan dijadikan bahan sambel untuk makan malam. Ia tak ingin dejavu seperti yang biasa terjadi jika mental sedang melankolia. Justru dengan ingatan jelas tentang sebuah masa, ia ingin memperjelas kenangan menjadi sebuah kekuatan.

Jalan yang aman dari para mata-mata penguasa hanyalah sebuah gang sempit yang sempat ditutup. Tak ada yang berani melintas meski pintu gang telah menganga lebar. Ingatanya juga melayang pada gang yang sedang dilewatinya, sebuah gang yang mengerikan, dimana telah terjadi pembunuhan yang mengerikan. Tubuh korban dimutilasi dan potongannya disusun menjadi sebuah kata. “PUAS” sebuah kata yang sampai sekarang tak ada yang bisa menerjemakan, meski para ahli bahasa sekalipun.

Gang yang sempit hanya bisa dilewai oleh dua orang berjajar, kedua sisinya diapit oleh tembok-tembok dari gedung perkantoran dan pusat berbelanjaan. Ingatannya tanpa dipanggil lebih dalam, tiba-tiba saja muncul seperti bisul. Sebelum ditembok, gang ini adalah lapangan bola luas yang bisa menampung seluruh anak-anak kecil sekampung, termasuk Lukman. Tempat mengadu laying-layang, pertandingan tarkam yang selalu ribut menjelang maghrib, atau melihat layar tancap dimalam hari dengan mulut sibuk mengunyah kacang rebus.

Kini semuanya serba kaku dan membisu, jalan-jalan tak lagi aman dan menyenangkan, anak-anak bingung mencari tempat bermain.

Selain sempit, gang ini juga selalu dipenuhi air semata kaki. Entah air dari mana, tak peduli hujan atau tidak. Gang ini sangat menjengkelkan sekaligus mengerikan. Orang-orang lebih memutar dari pada harus melewati gang ini, ketika berangkat ke pasar. Elangtak melakukannya.

Ia berjalan sambil melihat tulisan yang banyak menghiasi tembok sepanjang gang. Isinya macam-macam, ada yang mengutuk, mengumpat, ataupun memaki.

Tulisan itu seperti: Tumpas, tebas, korupsi sampai habis. Lalu ada yang menambahka pada tembok lain, korupsi, kolusi, nephotisme, biang kerok. Dan seterusnya, seperti tak ada tempat penghisap darah.

Mata yang terlatih itu terus menyerap semua tulisan dari tangan-tangan berminyak yang kebanyakan kerja hanya mengandalkan tenaga. Bisa saja mereka menuliskan sambil tersedu-sedu, karena terus saja memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia setelah ia tiada. Di gantikan oleh anak cucu yang mengais rempah-rempah keadilan dengan cucuran peneyelasan.

Penamaan pengantin dan mencari kado setelah usai resepsi pernikahan agaknya ganjil. Tetapi tidak bagi Lukman, ia justru ingin menghadiahi istrinya dengan kado setelah menikah, entah apa kadonya. Uang tebal juga tak ia genggam, hanya bunyi kepingan uang yang saling beradu pada kantong bajunya. Ia ingin duduk santai di tepi ranjang, sambil menatap punggung istrinya yang sedang menyisir rambutnya yang basah, padahal subuh tadi terlalu dingin.

Sampai di mulut gang, ia melihat tulisan mural yang membuatnya tampak nyaman. “Tulisan itu hasil residu dari bahasa lisan.” Di bawahnya tersemat sebuah nama: Sapardi Djoko Damono. Ia melangkah sambil tersenyum menyebrang jalan raya. Ia menurunkan tudung kepala sampai menyentuh kedua alisnya. Matanya menyisir cepat, siapa tahu ada para serdadu yang tingkahnya aneh. Menyamar sebagai pedagang yang aroma tubuhnya sama sekali berbeda.

Elang melipat baju dan memasukannya kedalam kantong plastik. Tak berkado, juga tak elegan. Hanya sepasang baju yang dibelinya dengan perasaan bercabang.

“Kau belum tidur,”

“Mana mungkin aku bisa tidur, ini hari yang bahagia, tetapi serdadu itu terus saja membuatmu kecut.”

“Maaf, mungkin ini membuat perasaanmu ringan.” Elangmengulurkan baju yang dibelinya di pasar tadi pagi.

“Uang dari mana.” Tanya istrinya.

“Seperti biasa, aku memposisikan diri sebagai konsultan hukum.”

“Orang-orang itu masih percaya.”

“Mungkin tidak ada pilihan lagi.”

Elang meninggalkan istrinya setelah tengah malam. Melepaskan diri dari pelukannya. Menyibak selimut kain hadiah dari seorang teman yang mengaku diriya sebagai pejuang HAM. Seorang teman yang mata kirinya telah dibuat buta oleh hantu menguntitnya sejak lama. Naasnya setelah kejadian itu, temannya dituding sebagai orang bergaya modern, tiap hari dituding sebagai mata lensa.

Kakinya melantur kemana-mana sampai ia berhenti pada warung 24 jam. Penjualnya sedang menikmati secangkir kopi, menyesapya pelan-pelan. Ia menoleh ke arah Elang.

“Hei penyair duduklah, kubuatkan kau segelas kopi.”

“Andai masih ada Wiro Sableng, mungkin aku bisa taya sesuatu padanya.”

“Kau mau tanya apa Lang?”

“Mungkin beliau bisa kuajak untuk demontrasi sambil ia mengacungkan kapak naga geni 212. Atau jurus matahari yang bisa menyilaukan para serdadu, hingga kami bebas bersuara. Setelah itu aku akan bertanya tentang arti kemerdekaan, apakah termasuk dalam jenis hantu.”

“Aku punya bukunya, kau ingin baca.”

“Aku sudah membaca semuanya.”

“Mungkin ini belum.”

Elang tercengang melihat serial novel yang belum pernah dibacanya. Digengamnya erat-erat dan sebuah teriakan serigala menjalar ke segala arah. Ia mulai membaca halaman demi halaman pertama sambil menikmati gelas-gelas kopi lainnya. Sementara penjualnya sudah mendengkur memimpikan kapak yang sering di idam-idamkannya.

Teriakan serigala berubah menjadi kokok ayam yang saling sahut menyahut. Elangmenuntaskan setengah novel Wiro sableng. Dan ia memutusan untuk kembali ke rumah sambil merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Untuk sejenak ia seperti terlupakan oleh serdadu yang selalu bernafsu untuk meringkus dirinya.

Elang terbangun ketika hidungnya mencium aroma kopi seperti yang ada di televisi. Ia berharap istrinya yang membuatkan segelas kopi, bukan mertua seperti yang sudah-sudah.

Ia mengintip dari lubang kunci, halaman rumahnya kini ramai oleh anak-anak yang sedang menonton aksi topeng monyet diiringi musik penuh bulian. Ia tersentak manakala bertubrukan dengan mata si monyet. Si monyet mogok untuk melakukan aksinya. Sang pawang terus saja membentak-bentak si monyet. Tanpa di sadari, ia melihat monyet itu lari lintang pukang meninggalkan pawang yang terengah-engah mengejarnya.

Sore hari Elang mandi di sungai. Ia menyelam sampai ke dasar sungai. Ikan-ikan kecil kocar-kacir dibuatnya. Ia senang karena salah satu temannya menepati janji agar tak membuang limbah ke sungai. Tapi, apakah janji itu akan diturunkan kepada orang yang akan menggantikannya nanti. Malam hari ia kembali ke warung 24 jam. Tak lama ia duduk-duduk di warung. Telinganya seperti mendapati langkah-langkah sepatu yang ia kenal. Sepasang sepatu yang bisa mematahkan jemari kalian. Sepasang sepatu yang tak berbau meski telah berlumuran darah.

Rabu, 15 Januari 2025

BAKO

Satu Malam

“Kek kenapa tubuhku bongkok?” tanya Bako satu malam.

Kakek komar menatapnya.

“Sabar ya,” jawab kakek.

“Yang lain tidak bongkok kek,” cecar Bako.

Kakek komar berhenti mengunyah tape. Meneguk air hangat dari gelas pemberian anaknya yang sudah almarhum.

“Karena Allah sayang sama kamu.” Ucap kakek.

“Allah nggak sayang sama aku kek, tubuku bongkok, dan teman-teman sering meledek.” Pungkas Bako.

“Pasti sayang,” jawab kakek lembut.

“Nggak!” Teriak Bako. Ia masuk kamar dan menangis.

Bako kembali membuka pintu, kakek Komar lega.

“Allah jahat!” ucapnya. Bako menutup pintu kembali.

Kakek Komar menghela nafas.

Tak lama kakek Komar menghampirinya dan mengelus-elus punggungnya. Sang kakek memberinya cerita. Bako tersenyum. Ia memeluk tubuhnya. Mereka berdua terlelap.

Satu Sore

“Kek, ada lomba, aku boleh ikut nggak?” tanya Bako semangat.

“Tentu saja boleh, semua lomba boleh kamu ikuti,” tutur kakek.

Bako senang. Ia lompat-lompat. Melupakan tubuhnya yang bongkok. Ia masuk ke rumah. Dan keluar dengan baju santai.

“Kek, tolong tancapkan tongkat kuat-kuat ke dalam tanah.”

“Buat apa.”

“Latihan, nanti lombanya mencabut tongkat.”

“Dengan senang hati cucuku.”

Tiap pulang sekolah Bako latihan. Tidak kenal lelah. Ditemani kakek Bako terus mencabut tongkat berkali-kali.

Puncak Lomba

“Dari perwakilan kampung dukuh silahkan,” ucap pembawa acara.

Muncul dari kerumunan seorang bertubuh tinggi lagi kekar.

“Kau sudah siap!” ucap pembawa acara.

“Siap!” ucapnya melengking. Penonton terdiam. Dari balik tubuhnya yang tinggi keluar suara cempreng yang membuat sakit telinga. Penonton tertawa.

Si tubuh tinggi lagi berotot mulai mencoba mencabut tongkat. Percobaan pertama gagal. Ia pun terkejut. Tongkat seperti menempel kuat di dalam tanah. Ia pun mencoba lagi. Gagal. Percobaan terakhirpun gagal. Ia sampai terjengkang kebelakang. Penonton tertawa dan ia kembali lagi kelompoknya.

“Peserta selanjutnya dari perwakilan kampung rambutan, beri tepuk tangan.”

Para penonton bersorak-sorai. Gembira dan senang. Anak kecilpun ikut bahagia melompat-lompat.

“Kau siap!”

“Siap Pak!” teriak si tubuh tinggi namun kurus sekali. Suaranya besar dan menggelegar. Membuat penonton terdiam. Hanya sejenak. Mereka kembali tertawa dan bertepuk tangan. Makin meriah suasana.

Si tubuh tinggi lagi kurus langsung mencabut tongkat itu. Wajahnya menegang. Otot-otot lehernya keluar. Terdengar suara kentut yang besar. Hanya ia yang mendengar. Penonton makin histeris dan bertepuk tangan tiada henti. Ia mencoba lagi walau tubuhnya sudah bercucuran keringat. Ia tidak menyerah.

Sampai pembawa acara menghentikan usahanya. Waktunya sudah habis. Ia pun kembali ke kelompoknya. Ia menangis keras. Gagal membawa hadiah untuk anaknya.

“Peserta berikutnya!, dari kampung Manggis!” lantang pembawa acara memanggilnya. Sontak penonton senang.

Lelaki pendek tampak kuat. Tak beralas kaki. Kakinya lebar dan jemarinya besar-besar. Ia seperti pejalan kaki yang ulung. Tak ada yang menyemangatinya.

“Kau sudah siap anak muda!” teriak pembawa acara.

Ia hanya mengangguk cepat. Ia berlari sambil memakai ikatan di kepala. Penonton memberinya semangat.

Ia mulai mencabut. Semangat sekali usahanya. Berkali-kali ia berhenti untuk mengambil kekuatan. Sampai batas yang di tentukan lelaki itu tak berhasil mencabut tongkat. Ia pun gagal dan berlari menjauhi arena.

Kini tiba saatnya Bako maju ke depan. Penonton sejenak terdiam. Melihat seorang anak maju ke tengah arena. Tetapi hanya sebentar. Mereka langsung tertawa. Bako terlihat tenang. Ia menatap sang kakek. Si kakek mengangguk memberinya semangat.

Percobaan pertama gagal. Penonton teriak meminta untuk pulang saja. Begitu juga usaha kedua. Anak-anak ikutan mengejek. Ia mengambil nafas dan mencobanya sekali lagi.

Bako mencabut tongkat itu keras-keras. Tubuhnya berkeringat. Beberapa kali bergetar. Sejenak penonton terdiam melihat usaha Bako. Bako terjungkal kebelakang. Tubuhnya mencium tanah. Dan kedua tangannya memegangi tongkat. Penonton bersorak gembira. “Pemenangnya dari kampung Jambu Monyet!” teriak pembawa acara. Semua penonton bertepuk tangan.

Di rumah.

“Ternyata Allah ngga jahat ya kek,” ucap Bako.

“Tentu saja tidak. Allah Maha penyayang,” jawab kakek.

Keduanya tampak senang melihat sepeda baru berdiri di dalam rumahnya.

Siluman Rumah Gedongan

Jam tiga pagi aku terbangun. Suara Bronto, kambing peliharaan keluarga tak berhenti mengembik, suaranya seperti menahan sesuatu. Kubangunkan Anggoro, kakakku yang mendengkur keras. Tak berhasil, malah omelen yang kuterima.

Aku keluar dari kamar. Hujan tadi malam menyisakan gerimis yang tak putus-putus. Berjalan pelan menuju kandang kambing yang bersatu dengan dapur rumah. Di batasi oleh dinding anyaman bambu dan sebuah jendela jeruji kayu sengon.

Kunyalakan senter, kuarahkan pada kandang kambing. Kudapati mahluk berwajah seram sedang mengunyah daging Bronto, kambing kesayangan kami semua, kecuali Anggoro, ia pembenci kambing.

“Mau kumakan juga kau!” ucapnya, ia tertawa. Membuatku ketakutan. Aku berlari menuju kamar ayah dan Ibu. Ayah mendengkur keras. Putus asa membangunkannya. Terpakasa kucabut salah satu bulu ketiaknya, dan ia tersentak terbatuk-batuk, kaget. Ia menoleh kesal kepadaku.

“Bronto diserang Yah!”

Ayah langsung bangun. Membangunkan Ibu. Ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengucek matanya berkali-kali.

“Bronto diserang Bu, coba bangunkan Anggoro!” perintah ayah.

Tak lama Anggoro bangun. Masih memakai sarung kesayangannya. Ia berjalan bersama ibu menuju dapur. Rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak marah.

“Ada apa sih lagi tidur enak-enak dibangunin!”

“Bantu ayah, bawa Alu, Bronto diserang!” perintah ayah.

The Recruitment

Barkah berdiri tegang. Jalan raya sepi. Di sampingnya seorang ketua geng motor tengah memberi arahan. Barkah anggota baru yang baru bergabung dalam club yang dipimpinnya. Barkah menoleh ke arah ketua.

“Sekarang saatnya kau buktikan kalau kau benar-benar bagian dari kami, geng motor landak ireng!” ujar sang ketua. Asap rokok mengepul tepat di wajah Barkah. Ia terbatuk-batuk. Sang ketua menyeringai, dan bola matanya seperti ingin loncat. Barkah menjadi gugup, keringat dingin tiba-tiba saja merembes di area tengkuknya dan menjalar keseluruh tubuh.

“Apa tak ada cara lain bang, selain membunuh?” tanya Barkah. Lututnya tiba-tiba gemetar setelah mengatakan yang menurutnya tak perlu disampaikan.

“Tak ada, hanya itu satu-satunya, kalau kau mundur, kepalamu yang akan aku penggal!” ucap ketua geng yang membuat Barkah tak bisa mundur.

Barkah melihat jam tangan hadiah dari ayahnya. Sekarang pukul 2 pagi lewat 17 menit. Ia rindu pada bantal guling yang selalu dipeluknya erat-erat.

“Bang Baron mau kemana?”

“Kencing, awas!, jangan kabur kau?”

Barkah melirik jam yang ada di tangan kanannya. Waktu pembuktian tinggal tiga menit lagi. Tepat di pukul 02.20 Barkah harus menghunus pedang dan mencari mangsa pertama. Apapun yang terjadi aku harus menemukan mangsa dan tanpa ragu, aku akan tebas batang lehernya, urusan penjara nanti saja. Ucapnya pelan.

Seorang pengendara lewat, sorot lampunya terang dari jauh. Kecepatannya sedang. Barkah membuka sarung klewang yang panjang menyeramkan. “Pokoknya aku harus masuk geng ini,” bisiknya.

Pengendara motor agak oleng ketika Barkah tiba-tiba menghadangnya. Barkah mengayunkan klewangnya, tetapi pengendara motor berhasil menghindar, kepalanya selamat dari klewang itu, tetapi lengannya terkena sabetan, darah segera mengucur merembes melewati bajunya.

Barkah mendekati motor itu ingin menuntaskan tugas sebagi ujian masuk geng. Matanya membelalak, lututnya gemeter, ketika pengendara motor itu membuka kaca helemnya.

“Ampun Pak, ampun...saya masih punya anak di rumah?”ucapnya memelas.

“Ayah...” bisiknya. Barkah melempar klewang jauh ke semak-semak dan lari meninggalkan pengendera motor yang juga gugup tergesa-gesa mengendari motor meninggalkan tempat mengerikan itu.

Bukan Apalah Arti Sebuah Nama

Siapa bilang kalau nama hanya nama, tak punya pengaruh apapun pada kehidupan seseorang. Tidak bagiku. Namaku Sugeng Priyanto. Biasa dipanggil Sugeng. Teman-teman dekat memberiku nama Tude: Untu Gede. Yang kenal belakangan memanggilku Sugeng, guru-guru, dan kebanyakan teman-teman jauh. Hanya Ibuku yang memanggilku Eng, itupun ketika sudah masuk Aliyah dan Kuliah. Selebihnya sama sampai sekarang.

Saat MI-SMP nama Sugeng tak punya pengaruh apa-apa, ada banyak nama yang sama di kelasku. Waktu di Aliyah mulai menggerogoti mentalku. Di sekolah ini nama Sugeng mulai jarang. Seingatku dari 855 siswa, hanya ada 4 nama Sugeng di sekolah Aliyah. Yang lain ada Slamet dan Lujeng. Sisanya nama-nama yang umum yang disematkan pada orang jawa. Sutoyo, Partono, dan seterusnya.

Bukan bermaksud untuk tidak bersukur pada pemberian nama yang mungkin susah payah diberikan oleh orangtuaku. Meski agak filosofis, nama Sugeng sekadar tambahan untuk melengkapi nama Priyanto saja. Menurut Ayah, nama Sugeng dapat meredakan penyakit yang kerap menghantuiku, hingga dapat memutus dan tak lagi menyerang. Aku terima itu, sebagai alasan terbaik, versi ayah.

Selesai Aliyah nama Sugeng menerima ujian pertama. Namaku lolos, masuk ujian perguruan tinggi yang keren di Jakarta. Menginjak di kota keras seperti kota Jakarta adalah prestasi lain. Ujian pertama sebagai perantau adalah menaklukkan kota Jakarta, katanya.

Ketika namaku muncul pada papan pengumuman hasil ujian kampus. Yang kupersiapkan bukan baju atau sepatu atau yang lain. Adalah mental health nantinya ketika mereka mulai mengetahui namaku, mungkin akan dipanggil nantinya sesuai urut absen. Sudah kupersiapkan sebuah nama yaitu Apri atau Anto, kupikir itu cukup keren. Kuharap ayah tak marah. Ibuku mungkin tak banyak komentar. Yang kuingat nama Sugeng dari Ayah, Priyanto dari Ibu.

Hari pertama Propesa semua mahasiswa baru di kumpulkan di lantai bawah (basement) Fakultas Hukum. Ratusan mahasiswa/i hadir, beberapa dari mereka masih menggunakan seragam Aliyah atau SMA, begitu juga denganku. Meski hanya bagian celana saja, atasannya kupakai kemeja, sesuai intruksi orang rumah. Bukan kerena kemeja ini yang membuatku gerah, tetapi jantungku sudah berdegup kencang, dag-dig-dug bila nanti nama Sugeng tiba-tiba saja dipanggil keras lewat pelantang yang sedang dicengkram Senior.

Senior sudah memberi beberapa instruksi yang harus kami jalankan sebagai Mahasiswa baru (MABA). Mulai dari seragam, benda-benda apa yang saja yang nanti kami, dan seterusnya. Itu masih bisa melegakan, kupikir itu semua bisa kupenuhi.

“Sekarang pembagian kelompok sekaligus mentornya, dengarkan baik-baik kawan!” ucap sang senior. Kata mentor masih baru bagi telingaku, tetapi pembagian kelompok berarti berkaitan dengan nama. Kumulai gelisah, apalagi tak ada satupun wajah-wajah yang kukenal sebanyak itu.

Riuh hanya sebentar, MABA punya cara sendiri agar tak kena bully dari para kakak seniornya. Kini hening menerpa, aku harus fokus siapa saja teman-teman baruku nanti.

Kumulai gelisah. Kupandangi kartu namaku.

“Kelompok Pertama dengan Kak Dendi, anggotanya satu!, Lantang kakak senior bicara.

Kami tenang, tepatnya diam.

“SLAMET LAHIR BATIN!” ucap senior lantang memecah keheningan. Sejurus kemudian, disusul ledakan tawa yang membahana.

“Emang mau lebaran!” teriak sang senior gembira.

Tertawa lagi.

Jantungku berdenyut. Ada kelegaan. Rupanya ada nama yang lebih “parah” dariku. Mulai detik ini, kumenyadari nama harus apa, bukan apalah arti sebuah nama.

FOTO DALAM BALIHO

Mandi di kampung adalah aktivitas yang sangat menyenangkan setelah liburan kuliah di kota. Meski hanya dibatasi oleh dinding-dinding anyaman bambu yang dibuat oleh ayahku. Sekarang ayah sedang pergi merantau ke Tanjung Pinang.

Kulihat bak mandi kosong, adikku tidak menyisakan air barang segayungpun. Tak jadi kulepaskan handuk yang melilit pinggang, kukencangkan lagi dan mulai menimba sepuluh sampai lima belas ember. Kusisakan bagi siapapun yang ingin memakainya.

Pada ember yang ke lima belas keringat mulai muncul dari balik pori-pori. Ukuran ember sekarang agak besar dibanding sebelumnya. Hingga otot-otot lengan cepat sekali bereaksi, apalagi tanpa pemanasan sebelumnya.

Kulepaskan handuk yang melilit pinggang. Menyisakan kolor yang biasa kupakai ketika mandi. Aku harus menyesuaikan lagi jika mandi tanpa sehelai baju yang menempel, apalagi tak ada atap yang menutupi.

Dingin menyergap seluruh tubuh ketika guyuran air berkali-kali mengenai kulit. Aktivitas selanjutnya adalah membersihkan tubuh dengan sabun, gosok-gosok seluruh tubuh.

Pada detik berikutnya kudisergap rasa takut. Dipojok sana sepasang wajah tengah tersenyum mengintipku yang sedang mandi. Serentak kuambil segayung air dan melemparkan ke arah wajah yang sembrono itu.

“Hei jangan ngintip!, saru!” teriakku, kususul dengan lemparan sendal jepit, bekas pasta gigi, dan segayung ember lagi.

Wajah tersenyum itu masih disana, alih-alih pergi malah memasang wajah tengil yang menyebalkan. Sejak pulang kampung banyak perubahan tentang area kamar mandi yang tak lagi ada privasi. Orang-orang semakin mudah mengintip, salah satunya sekarang yang sedang menimpaku.

Kubergerak ke pojok kamar mandi. Kuguyur cepat-cepat agar bisa pergi sabun dari badanku. Dan berganti memakai shampo. Untunglah aku memakai celana pendek, sebagai basahan. Tetapi mengintip tetap perbuatan tercela, dan bisa kena tindak pidana asusila loh.

Selesai mengguyur kepala, kukeringkan badan. Berharap orang mengintip itu kapok dan malu karena ketahuan.

Pengintip itu masih ada di sana, masih memasang wajah tersenyum.

“Dasar otak mesum, pergi dari sini!” teriakku kembali. Kulemparkan sendal jepit satunya lagi. Tetapi orang itu tetap tak bergeming, tetap tersenyum.

“Kenapa teriak!?” tanya ibu dari dalam rumah.

“Ada orang yang ngintip Mak?!”

Ibu dan anggota keluargaku yang lain tertawa. Kesal. Sejenak kupandangi wajah itu yang masih dalam pose yang sama. Agak aneh sih?.

“Itu Foto Baliho Mba Risma, Caleg kita!, jangan Ge-Er deh!” timpal Emak dari dalam rumah.

Pocong Bantet

Badrun berjalan santai dijalan yang biasa dilalui sepulang mengaji di rumah Pak Salim yang pandai mengaji, meski bukan lulusan perguruan tinggi agama Islam. Gerimis belum berhenti sejak Badrun pergi dari rumah selepas Maghrib. Bila hujan turun deras sepanjang jalan yang ditemui hanya kesunyian. Apalagi masih menyisakan gerimis yang tak henti-hentinya.

Lampu didepan tiba-tiba mati. Badrun berhenti sebentar dan tolah-toleh siapa tahu seorang temannya tengah mengisenginya, seperti yang sering mereka lakukan.

“Jangan iseng deh, udah malam nih?” ucap Badrun. Ia menurunkan payung dan memeriksa teman-temanya yang sering bersembunyi di antara rimbun perdu, didekatnya pohon nangka tua.

“Wan, Jal, To!, awas kalau ketahuan ya!” teriaknya lagi. Yang ditemui Badrun hanya sepi lagi sunyi. Suara jangkrik bawang, yang menjawab panggilan Badrun.

Badrun berjalan melewati gardus pos ronda jantungnya sudah tak karuan. Tangannya juga sudah mulai memegangi kemaluan. Lampu gardu pos tiba-tiba mati.

“Wan, Jal, To!, jangan iseng! Teriak Badrun memecah jalan sunyi yang sudah lengang sejak hujan sore hari.

Badrun mempercepat langkahnya. Sampai di bawah pohon nangka. Badrun menjerit. “Pocong Bantet!” tubuhnya kaku, mematung sebentar, lalu terkulai pingsan.

Dari balik persembunyian muncul Iwan, Rijal, dan Toto. Wajahnya ikut-ikutan tegang. Mereka berlari mendekati Badrun yang masih tak bergerak.

“Kamu sih Wan kelewatan,” ucap Rijal.

“Mana Lampu kamu matiin lagi, dosa kamu” tambah Toto.

“Kenapa pada menyalahkan saya, ini ide kita semua, kalian mau lari dari tanggung jawab,” sergah Iwan.

Toto tolak pinggang tak mau terima. Sementara Rijal masih berusaha membangunkan Badrun.

“Nangka jatuh itu bukan ide saya, buah itu memang jatuh persis saat Badrun lewat!”

“Aku nggak ikutan, pokoknya kamu yang tanggug jawab ya!, jawab Toto cepat.

Badrun tak lama bangun. Badanya masih gemetar. “Ada pocong tadi...” ucap Badrun menggigil.

“Ini hanya nangka Drun,” kata Iwan sambil menjinjing Nangka yang dibrongsong kaos putih menjuntai.

“Po, Pocong Bantet..!” teriak Badrun. Matanya melotot. Ia pun kembali pingsan.

“Iwan!!!” Teriak Rijal dan Toto serempak.