Mahasiswi yang tak pernah ku lupakan ternyata namanya Dewi. Senior gelarnya. Sudah beberapa pertemuan dengan Dosen Filsafat Hukum, gayanya sungguh perlente. Tapi agak pendiam, sesekali beradu argumen dengan Dosen Filasafat Hukum, lugas kata-katanya. Seperti membayar tagihan telelphone dengan cara berhutang. Hari ini dia berkaca mata. Celana Army longgar tak pernah lekang dari kesehariannya. Sudah beberapa kali di beri Surat Peringatan agar tak memakai celana Army ke kampus, tetapi selalu melanggar. Fasih sekali bicara hukum, dia sendiri yang menebas sampai geleng-geleng kepala.
Selesai kuliah, aku langsung mengambil waktu kerja. Sebagai penjaga Wartel disiplin adalah salah satu bukti kesungguhan. Ada yang aneh dari Pimpi mahasisiwi junior, yang bekerja di wartel Mawar tempat ku bekeja, selain sebagai rekan kerja, Pimpi juga adik kelas. Baru semester 4.
" Kau kenepa pi."
" Ada yang ngutang lagi kak?"
" Siapa, tidak perlu menangis."
" Yang kakak ceritakan tadi malam."
" Dewi, anak hukum yang nggak lulus-lulus itu."
" Iya kak."
" Nanti malam kita berdua ke kosannya dia, seberapa tangguhnya dia."
" Berdua kak."
" Iya berdua, kau keberatan."
" Nggak. Jam berapa kak, pimpi ada presentasi besok"
" Jam delapan, kakak jemput ya. Pakai sepeda "pendiam"
Pimpi pulang wajahnya cerah. Dia mengaku sebagai outlander. Orang asing di negeri sendiri. Kedua matanya sipit. Giginya rata dan putih. Kutu buku soal sejarah.
Kami berdua menyusuri jalanan. Tampak sepi, karena gerimis turun sisa dari hujan lebat tadi. aku agak ragu, tapi sikap ksatria di hadapan pimpi menjadi penyemangat. Sepanjang jalan menuju kosan Dewi, di temani dengan pohon sedap malam yang banyak tumbuh tanpa kenal musim. Setelah beberapa kali bertanya akhirnya kami menemukan kosan yang kami tuju.
Kami kaget, setelah melewati gang buntu. Aku dan Pimpi berjalan beriringan sampai di depan kosannya, kami berdua tercengang. Tenggorakan kering seperti baru berjalan di tengah terik matahari. Di depan kami tumpukan barang bekas yang bisa di daur ulang. Dewi masih fokus membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel pada botol plastik dan yang sejenisnya.
Wajah kami beradu, kedua mata kami saling menatap. Wajah Dewi santai, tak syok, rupanya dia sudah sering kepergok oleh temannya ketika sedang mulung, atau membawa barang bekas ke pengepul. Dia berdiri dan melepaskan sarung tangan. "
" Ada apa kalian ke sini. Saya tak punya uang untuk kalian tagih."