Minggu, 14 April 2019

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Lima menit kemudian, semua tawanan di buka topengnya. Aku terpana melihat leher mereka yang di hiasi Tato burung Gagak dan Rajawali. Aku melihat tawanan itu sampai yang terakhir. Mataku terbelakak melihat tawanan paling ujung, aku seperti mengenalinya. Kakiku cepat menghampiri orang yang ku kenal di masa lampau. Reaksiku membuat Polisi Saryo heran.

“ Marko ada apa.”

Aku tak menjawabnya. Setelah sampai di sana. Amarahku makin meluap. Tawanan paling ujung itu ternyata Arkon alias Narman. Teman dari masa lampau sekaligus musuh dalam selimut. Wajah Narman terlihat kacau. Aku tak bisa lagi menahan marah. “ Dasar Bajingan!.” Narman segera ku tonjok. Tetapi kulit Narman seperti badak yang keras dan kasar. Mukanya seperti di lapisi besi lunak hingga ketika ku pukul tak ada bekas lebamnya. Ilmu apa lagi yang ia punya.

“ Ha..., kasihan kau Marko.” Tawanya mengejek.

“ Marko hentikan.” Polisi Saryo menghentikan pukulanku berikutnya.

Menjemput Cinta

BAB
Empat Puluh Sembilan

Pick Up yang kami tumpangi keluar dari gerbang pintu penjara. Pick Up berjalan pelan menembus lautan manusia. Entah dari mana kabar kalau di dalam penjara Purbalingga ada Kastil indah itu rupanya telah bocor, beritanya sampai ke pelosok-pelosok kampung. Semua tukang becak, andong, penggali kubur, karyawan pabrik, pedagang asongan dan keliling, pedagang es, Ibu-Ibu Rumah Tangga, Lansia, Anak-Anak, Pelajar, Mahasiswa yang sedang pulang kampung, Pejabat, Guru, Petani, Supir, Wartawan, dan semua orang dari berbagai kelas dan profesi tumpah ruah memadati jalan-jalan. Mereka ingin sekali masuk ke dalam kastil.

Titik keramaian ada di Alun-Alun Purbalingga. Musium untuk sejenak sepi dari pengunjung. Manusia itu ingin segera mungkin dapat masuk melihat Kastil di tengah padang safana luas. Saat ini meraka masih tertahan di luar penjara sambil terus penasaran. Lautan manusia itu hingga di tertibkan dengan rentetan peluru yang di tembakan ke atas. Sontak mereka yang jarang mendengar bunyi letusan peluru. Pelan-pelan mundur kebelakang membentuk barisan seperti upacara senin pagi. Sopir Pick Up pun kewalahan menghadapai lautan manusaia itu, hingga ia beteriak lewat micrphone untuk meminta bantuan. Beberapa menit kemudian sepuluh pasukan bersenjta meneritbkan lautan manusia itu agar bisa di lewati oleh Pick Up yang sedang kami tumpangi. Tak ketinggalan dari beberapa wartawan mengambil gambir kami yang sedang duduk di belakang. Kilatan cahaya berpendar-pendar menyilaukan. Kamera yang di pakai oleh wartawan itu seperti ada antena parabola berukuran kecil.

Mobil Pick Up terus membelah. Semua mata memandangi kami berdua. Bahkan diantara mereka ada yang mengenali kami berdua. Mereka melambaikan tangan. Aku dan Nara membalasanya. Ada kebanggaan di wajahnya. Bahkan beberpa detik kemudian aku dan Nara di kejutkan oleh suara keras yang kompak menggelegar dari lautan manusia itu. “ Hidup Nara Marko!.” Berkali-kali entah apa maksudnya. Aku sampai merinding mendengarnya. Mungkin Nara merasakannya. Pick Up berjalan lancar setelah melewati jembatan Kali Klawing, gegap gempita mulai memudar. Aku tak menyangka masyarakat Purbalingga dan sekitarnya begitu antusis menyambut kami berdua. Aku dan Nara di anggap telah membuka rahasia penjara Pubalingga.

Sampai di rumah Nara, semuanya sedang berkumpul. Mereka sangat terkejut melihat kedatangan kami berdua yang di antar dengan menggunakan mobil Pick Up keren. Para tetangga Nara heboh, dan sebagian malah ke takutan. Mungkin trauma masa lalu ketika para tentara jepang membawa anak lelakinya dengan Pick Up untuk kerja Rodi. Ku peluk Ibuku dan Ibu Mertua. Tiky dan Wiro terlihat senang sampai menitikkan air mata. Nara terlihat memeluk ibunya sampai berkali-kali. Lalu pecahlah adegan rindu, cemas, bercampur takut kehilangan menjadi sebuah isak tangis yang menyesakkan dada. Supir yang juga seorang parjurit pilihan ikut meneteskan air mata. Para warga satu persatu mulai mendatangi rumah Nara.

Tak lama kemudian Prajurit pilihan yang di tugaskan menjadi supir kami minta pamit. Aku dan Nara mengucapkan banyak terimakasih. Ini kado terindah yang akan menjadi kenang-kenangan seumur hidup. Ibuku, dan Ibu Mertua tak lupa menyalami prajurit itu, di susul dengan Tiky dan Wiro yang masih setengah tidak percaya dengan apa yang sedang di lihatnya. Wiro sendiri mungkin sedang terkagum-kagum dengan senjata yang di bawa oleh prajurit itu.

Deru mesin mobil Pick Up segera membelah kebahagiaan atas kedatangan Aku dan Nara kembali ke desa Kaligondang dengan selamat. Menjemput cinta berupa orang-orang yang kita cintai. Tahun awal pernikhan kami di lalui di bawah senapan dan peluru. Keluargaku mungkin mengira kami tak akan kembali ke Desa dengan selamat. Yang tidak tahu permasalahan akan mengira kalau Aku dan Nara telah di culik. Maka ketika Aku dan Nara kembali dengan selamat Kami tidak di culik tetapi kami memang sudah menjadi bagian dari rahasia besar yang terjadi di Kota kecil Purbalingga. Aku dan Nara dapat bernafas sejenak sebelum menjemput siklus pagi yang cerah.

Esok paginya terdengar kabar dari radio kalau kereta bawah tanah akan di jadikan alat transportasi bagi masyarakat di Purbalingga dan juga para penduduk keturunan Cina dan Belanda, entah dalam waktu dekat atau beberapa tahun kedepannya. Sementara Kastil dalam beberapa bulan kedepan menurut siaran radio akan di gunakan sebagai tempat musium bersejarah. Kini Purbalingga menjadi lebih indah sarat dengan musium peradaban bawah tanah, kereta, dan kastil yang menjulang.

Selesai mendengarkan berita pagi, Aku, Nara dan Qaeser menikmati Jalan pagi di sebuah perkampungan yang sangat tenang. Penduduk ramah dan sopan. Sepanjang jalan hamparan sawah terbentang luas dan di batasi oleh gunung-gunung yang indah. Hutan pinus kelihatan kecil di sana. Kami berdua meneteskan air mata. Ada bahagia juga kelegaan yang luar biasa setelah melalui semua ini. Menjadi bagian dari sebuah operasi prajurit adalah beban sendiri bagi aku dan Nara.

Aku dan Nara kembali hidup Normal. Pagi yang berbahaya sudah kami lalui dengan darah dan keringat. Kami berdua kembali Menatap pagi dengan senang. Mengisi rongga dada dengan udara pagi yang sejuk. Hidup itu seperti sekolah: mencatat, mengulang dan memahami. Aku menyadari kalau semua kejadian ini hanyalah episode dari tiap bab dalam buku kehidupan. Karena ketika membuka mata di pagi buta, maka setiap manusia akan di sambut dengan sejuta peristiwa. Baik peristiwa baik atau buruk. Semua manusia pasti mengalaminya.


TAMAT 



Deplu 21 Juli 2013


Penulis akan mengedit tiap babnya dalam rentang waktu yang berbeda. Mohon maaf kepada pengunjung apabila ada kesalahan ketik dan masih bertele-tele novel ini. Tujuan memposting ini adalah untuk merekam jejak novel agar tidak hilang. Insyaallah penulis bisa menyelesaikan perbaikan hingga novel ini "enak" dibaca.

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku dan Nara berpandangan senang. Kami berdua bersyukur dapat melalui semua ini dengan selamat. Kami berpelukan layaknya ABG ketika baru nikah.

Tak lama kemudian sebagian pasukan elit turun kebawah. Memeriksa keadaan. Dalam hitungan jam, para aparat kepolisian begitu terpukul dan kaget. Khususnya Polisi yang tak percaya kalau di dalam kastil bawah tanah ada penyimpanan narkoba dalam jumlah fantastis. Mereka shock di tempat yang seharusnya menjadi benteng perbaikan mental malah menjadi sarang nomor wahid penghacuran moral dan peradaban.

Polisi Saryo dan para prajurit elit menyalami kami berdua. Ada raut simpati yang mereka tunjukan kepada kami berdua. Mereka mengucapkan banyak terimkasih. Aku dan Nara naik ketas dengan tangga darurat yang di sediakan. Sampai diatas aku dan Nara kagum pada bangunan ini. Selain padang safanan yang maha indah, di kota kecil seperti ini ada kastil yang maha indah tetapi beraura menyeramkan.

Polisi Saryo sudah mendekat kepada kami berdua. Ia tersenyum kerja kerasnya menghasil temuan yang heboh. Ia menyalami kami berdua sekali lagi. Kali ini genggamannya lebih erat.

Pertempuran

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan

Aku mengusap-usap lubang kotak itu, tetapi tidak ada respon. Aku kehilangan ide. Ku lihat Nara yang sedang meneliti di temani dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper.

“ Na, coba kau kesini sebentar. Ada sesutu di sini.” Nara menghampiriku di susul dengan Polisi Saryo dan Seorang Sniper. Sebagian pasukan yang ikut berjaga-jaga di belakang.

“ Aku menemukan lubang kotak ini, Na!.” Aku berteriak senang.

Ku lihat Nara diam sesaat. Wajahnya yang ikut terkena bias cahaya senter menyiratkan kalau ia sedang berpikir. Mimik dan gerak-geriknya kini memang berbeda setelah keluar dari penjara, sebenarnya apa yang dilakukan selama di penjara sana.

Nara kelihatan ingin menyerah. Sejenak ia seperti teringat sesuatu. Buru-buru ia mengeluarkan kotak itu dari tas cangklongnya yang di beri dari Polisi saryo. Nara mengamati kotak tersebut dengan cermat.

“ Apa yang akan kau lakukan dengan kotak itu.” Tanyaku penasaran.

“ Entahlah, sepertinya aku...”. Tiba-tiba Nara semangat.

“ Betapa bodohnya aku.” Nara memukul jidatnya sendiri.

“ Kau menemukan sesuatu.” Tanya Polisi Saryo, diikuti Seorang Sniper.

“ Sepertinya iya.” Nara kemudian mengambil kotak tersebut dan menempelkan bagian bawahnya ke lubang yang ada di dinding tersebut.

“ Lihat kotak ini pas sekali dengan lubang persegi empat ini.” Nara begitu senang. Tetapi kemudian tak terjadi apa-apa. Kotak itu menyisakan sebagian dan menonjol ke luar.

Jumat, 12 April 2019

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan
Lanjutan


Polisi Saryo hendak merangkak menuju ke titik persembunyian Sniper. Desingan peluru terus berseliweran di atas kami. Dalam waktu yang singkat Polisi Saryo sudah sampai di belakang Sniper. Tembakan perlindungan mulai di letuskan.

“ Marko kau merangkak ke Nara. Dia butuh perlindunganmu!.” Perintah Polisi Saryo.

“ Baik!.”

Sekuat tenaga ku merangkak ke arah Nara. Jaraknya memang dekat, tetapi di bawah desingan peluru jarak sedekat itu terasa jauh. Ku lihat Nara merundukkan kepala lebih dalam, manakala sebuah rentetan peluru berdesingan di atas kepala. Gundukan tanah ini benar-benar pertahanan yang bagus. Sampai di sana ku tepuk bahu Nara. Tidak ku jumpai wajah tegang seperti ku lihat ketika di kejar oleh laki-laki bertopeng sepulang dari pasar. Mungkin dia merasa sudah lebih siap, Ia tersenyum melihat kedatanganku.

“ Apa kabar Mas!.” Teriak Nara sambil tersenyum.

“ Baik.” Aku menggelengkan kepala, melihat Nara. Dalam situsai begini ia masih bisa bercanda. Mungkin tekanan di penjara selama 4 tahun membuatnya semakin terbiasa dengan situasi mencekam seperti ini.

“ Mas bisa merobohkan dua orang yang sedang menembaki kita itu!.” Tantang Nara.

“ Tidak tahu, kita coba saja!.”

Hari Yang Aneh

BAB
Empat Puluh Delapan


Menjelang Fajar. Mesin pick Up di matikan. Kami turun dari mobil tua itu. Polisi Saryo meneropong keadaan sekitar. Alat canggih itu bisa melihat di kegelapan. Sesaat alisnya mengkerut. Dari penjelasannya kalau Pasukan elit yang di tempatkan sebelumnya untuk menjaga kastil dari serangan musuh kini terkapar di beberapa titik. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah Polisi Marno. Rupanya seorang sniper yang datang jauh-jauh dari Jayapura sudah menembak mereka semua. Syukurlah Polisi Saryo tidak lewat jalan utama, dia memotong jalan lewat bukit-bukit rahasia. Aku merasakan kalau aku akan melewati sebuah pagi yang berbahaya bersama Nara.

“Kalian harus berhati-hati. Dan maafkan saya sudah melibatkan urusan negara ini pada kalian. Kastil ini kembali di jaga ketat, mereka belum kapok temannya terkapar peluru. Kalian harus hati-hati.”

Aku mengangguk bersama dengan Nara.

“Bukan waktunya untuk minta maaf, lebaran masih jauh. Inilah takdir kami yang kini sedang ku hadapi.”

Polisi Saryo tersenyum. Polisi Saryo yang kini sudah naik pangkat. Lebih menyukai dengan panggilan Polisi Saryo, tak masalah menurutku itu lebih membumi.

Minggu, 07 April 2019

Datang dan Pergi

BAB
Empat Puluh Tujuh


Semua manusia yang menghuni mayapada ini tidak bisa terlepas dari himpitan masalah. Masalah kecil sampai yang besar begitu mudahnya hinggap pada kehidupan manusia. Kepergiannya juga tak bisa di pertahankan barang 1 menit saja. Masalah hidup seakan menguap bila sudah terpecahkan. Maka sungguh benar kesulitan itu akan tergantikan dengan kemudahan yang datang begitu cepat.

Cobaan itu datang kembali. Aku dan Nara di jemput pagi buta oleh sekelompok pasukan yang bersenjata lengkap. Mereka adalah anak buah Polisi Saryo. Tak ku dengar Mobil Pick Up yang biasa di gunakan mereka ketika menjemputku dan Nara di rumah. Setelah berpamitan dengan Ibu Mertua dan titip Qaiser. Aku dan Nara bergegas mengikuti langkah mereka yang tidak terdengar. Satu sisi tentara bisa jadi monster pembunuh bila salah langkah dan salah komando. Di sisi lain bisa menjadi pahlawan kebajikan seperti yang ku lihat pada gerak langkahnya. Aku bisa menyimpulkan ketika penyerbuan ke ruang bawah tanah. Sampai di pinggir jalan raya, mobil pick sudah menunggu, tepat di bawah pohon Jambu Monyet yang rindang berdekatan dengan Gardu Pos.

PUTU WIJAYA

Bagian 2


Namun hanya pengarang yang sudah mahir dengan realisme belaka mampu melakukan akrobatika semacam itu. Demikianlah Putu Wijaya. Novelnya Bila Malam Bertambah Malam (yang ditulisnya pada usia 19 tahun, namun baru terbit 1971, dan kelak dijadikannya pula naskah drama) adalah kisah tentang keluarga bangsawan Bali dengan alur yang lurus dan penokohan yang kokoh serta latar belakang yang gamblang. Ketegangan yang terbina dengan baik sepanjang kisah menyembunyikan solusi tak terduga di bagian akhir. Adapun Pabrik (ditulis 1967, terbit 1975) adalah realisme dengan sturuktur yang longgar, dan kelonggaran inilah yang membuat semua peserta konflik menampilkan diri bergantian dengan kejutan masing-masing. Seperti mengejek sikap berpihak yang biasa diamalkan kaum sastrawan kita, Putu mengungkai sisi gelap kaum buruh seraya menelanjangi kaum majikan. Dengan gaya pencitraan yang patah-patah, staccato, justru berhasil menjaga kelancaran cerita.

Naskah drama Putu Wijaya, yang mendasari pentas teaternya, bersitumpu pada situasi dramatik murni, di mana bahasa selalu tak memadai sebagai alat percakapan. Seakan terbangun oleh Improvisasi, naskah drama Putu adalah tarik-menarik antara lisan dan tulisan. Kalimat-kalimat tak berujung pangkal dalam Dag-Dig-Dug (1974) adalah tanda kepikunan suami istri berusia lanjut dengan segenap kesulitan mereka berkomunikasi dengan sekeliling maupun riwayat mereka sendiri. Tokoh-tokoh dalam Aduh (1973) yang hanya disebut "salah seorang", "salah satu" atau "entah siapa" juga menguar tanpa tujuan, hanya supaya peristiwa terselenggara di pentas. Anu (1974) mempermainkan tokoh-tokohnya sendiri, yang pada dasarnya tak mampu menyatakan diri, dengan kata "anu" di sepanjang naskah untuk menyampaikan apa yang terungkapkan. Adapun Edan (1976) adalah penghadap-hadapan dua kelompok yang tak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam
Lanjutan


Aku tak bisa berpikir lama-lama karena Nara sudah dalam keadaan yang membahayakan. Dia terpojok di antara lumpur-lumpur sawah. Aku berlari kearahnya dan menerkam tubuh orang itu kuat-kuat. Keberanianku muncul bila sudah terpojok begini. Ku tonjok mukanya, tetapi ia tidak bergeming, mungkin pukulanku terlalu lemah atau dianya yang sudah terlatih. Ia malah mencengkram leherku kuat-kuat, aku tak berkutik, nafasku sesak. Sorot matanya merah bernafsu ingin membunuhku. Ku lihat Tato yang sama bergambar burung Rajawali yang pernah ku lihat ketika berkelahi dengan salah seorang maling. Mungkinkan orang yang sama. Dalam sesak nafas yang berat ku lihat orang yang satunya lagi sudah kembali berdiri. Ku lirik Nara sibuk mencari-cari sesuatu. Apa yang sedang ia lakukan.

Pandanganku mulai berkunang-kunang. Tiba-tiba dengan cepat tangan kanan Nara menghantan kepala orang yang sedang mencengkram leherku dengan batu di tangan kanannya, darah segar meluncur dari keningnya. Cengkaramnya mulai lunak dan aku membebaskan diri dari tangan kekarnya. Orang itu ingin bangkit kembali, tetapi Nara sudah menendang orang itu kebelakang. Syukurlah Nara masih waras tak menghantam kembali dengan batu di tangannya. Temannya kaget melihatnya tersungkur kebelakang. Ia terkapar, sementara darah mengucur dari keningnya. Nafasnya tersengak-sengal. Ia tak lagi memegang pentungan. Mungkin terlempar dan hanyut di sungai kecil.

Pak Tua Penjaga Bengkel

BAB
Empat Puluh Enam

Bengkel sepeda tampak sepi. Aku ngeri melihat tampang penjaga yang pernah menyembelih kucing itu ketika ku pulang kerja. Aku memperhatikan ban depan, aku senang tidak kurang angin. Hujan atau tidak aku selalu membawa payung. Aku tidak ingin melihat istriku Nara basah kuyup.

Seorang penjaga menjajari laju sepeda, wajahnya tampak tegang.

“Mas Marko bisa kau kayuh sepeda lebih cepat lagi!.” Seorang penjaga memberi intruksi.”

“ Ada apa Pak!.” Aku cemas.

“ Lihat di belakangmu!.”

Aku dan Nara menengok kebelakang 3 detik. Gerombolan orang berjumlah 6 orang tengah membuntuti kami. Mereka semua bertopeng. Jaraknya masih 15 meter. Mereka membawa pentungan yang terselip punggung lewat kaos dalamnya. Ku kayuh sepeda secepat-cepatnya melewati jembatan kali klawing. Aku beradu cepat dengan mereka, aku heran kemana Para Polisi yang biasa jaga di perampatan. Toko-toko rata sepi tak di buka. Skenario apalagi yang akan kuhadapi. Hal mengerikan apalagi yang harus aku dan Nara hadapi.

Jumat, 05 April 2019

Sang Penjaga

BAB
Empat Puluh Lima


Sejak ayam jantan berkokok, aku dan Nara sudah bangun pagi buta. Menggelar sajadah untuk sujud panjang-panjang. Agar awal pagi bisa di lalui dengan lancar. Mungkin para anak buah penjaga kastil yang pernah melihat Alm. Anis berkomunikasi dengan Nara bisa menyebabkan Nara celaka. Atau setidaknya ada gejala kearah sana, begitulah kesimpulan awal yang berani ku terka-terka.

Selesai Sholat Shubuh, aku biasa mengantarkan Nara berdagang dengan sepeda Onta. Keluar dari gang rumah, orang-orang yang dikirim oleh Polisi Saryo sudah tiba di desa Kaligondang. Aku tahu ketika Nara membisikkan ke telingaku tentang orang-orang misterius itu. Nara hafal betul satu-persatu penduduk Desa Kaligondang. Kalaupun tak hafal nama, dia akan mengenali wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju kepasar. Dua orang bersepeda mengikuti kami berdua. Sepedanya terlalu bagus untuk ukuran seorang petani. Aku dan Nara memutuskan untuk bicara dengan mereka. Rupanya Polisi Saryo benar-benar melakukan apa yang di ucapkan.