Rabu, 27 Maret 2019

PUTU WIJAYA

Bagian 1

Putu Wijaya adalah tegangan yang tak pernah berhenti. Selama lebih dari empat dasawarsa karirnya, ia terus-menerus menantang khazanah sastra Indonesia maupun dirinya-tepatnya, kepenulisannya-sendiri. Ia bisa berdiri di titik avant garde, seraya gemar menyerap budaya massa; ia berlaku sebagai pembaharu, tapi kerap bergerak ke belakang, menggali-gali warisan moyang; ia berkubang di lingkaran sastra untuk membuktikan bahwa sastra selalu tak memadai. Ia menggunakan tulisan untuk menangkap kelisanan. Ia adalah pengarang dalam arti sebenar-benarnya: setiap saat ia mengarang, membuat segala (kalau bukan semua) hal ikhwal di dunia ini menjadi cerita, seakan tiada lagi beda antara yang nyata dan yang tiada.

Kompleks kekaryaan Putu Wijaya-tak kurang dari 20 novel, 27 naskah sandiwara, 11 kumpulan cerita pendek, juga ratusan esai dan ulasan-menyatakan bukan hanya produktivitas yang tinggi dan tak tertandingi, namun juga semacam mekanika penulisan. Bila setiap benda tersentuh Raja Midas menjadi emas, maka taka da peristiwa di dunia ini yang tak menjadi fiksi di tangan Putu Wijaya. Dengan spontanitas sebagai semacam metode, Putu seakan membiarkan diri dikerjai bahasa, dan demikianlah ia selalu mampu meragukan apa yang telanjur bernama realitas. Melalui Putu, fiksi adalah alternative terhadap gambaran dunia yang telah lelah oleh birokrasi dan komunikasi massa.

Dengan novelnya seperti Telegram (1973) dan Stasiun (1977), Putu membuktikan bahwa sastra kita sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam realism. Dengan melecehkan alur penokohan, ia memotret jiwa atau ke (tidak) sadaran pada si pelaku. Pemandangan yang terlihat adalah campur baur antara kenyataan objektif dan imajinasi pelaku, dan hampir-hampir kita tidak mamu membedakan keduanya. Demikian kesatuan cerita dihancurkan: peristiwa tidak terpapar dalam hubungan sebab akibat. Perjalanan tokoh utama hanya diikat oleh motif yang menjadi judul buku, yakni terlegram dan stasiun. Jika fragmen-fragmen bergerak terlalu liar, pengarah segera meredamnya ke suasana yang mirip puisi; atau kika pelukisan terasa kelam memberatkan, Ia memberi memberikan lanturan atau sema, ironi.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007 

Awal Pagi

BAB
Empat Puluh Dua 


Aku dan Nara mengawali pagi dengan tenang. Bila tidak hujan kami berdua sering berjalan menembus kabut tipis pagi yang turun mencium tanah di tengah pematang sawah. Setahun rasanya sudah kami lalui bersama Nara. Akhirnya pernikahan kami berdua bisa berlangsung dengan sahdu. Semua mata yang hadir dalam pernihakan kami berdua menitikkan air mata. Cobaan besar sudah kami lalui menjelang pernikahan. Polisi Saryo juga hadir dalam pernikahan. Luka tertembus peluru di pahanya sudah sembuh.

Bondan di beri keringan hukuman. Setelah menjadi saksi atas kejahatan Farah dan Arkon juga bos besarnya Polisi Marno. Ketiganya kini sedang mendekam dalam jeruji penjara. Dan Nara di nyatakan tidak bersalah, namanya di bersihkan dari catatan kewarganegaraan. Kedua adikku sekarang bertambah dewasa. Ibuku lebih memilih untuk tinggal di rumah. Rupanya racun yang bersemayam di tubuhnya mulai menggerogoti ketahanan tubuhnya. Aku dan kedua adikku bertekad untuk menjaganya sampai helaian nafas terakhir. Walaupun begitu Ibuku tetap melakukan aktivitas jarak pendek setiap hari.

Setiap selesai Sholat Shubuh aku sudah membocengkan Nara dengan sepedaku untuk berdagang ke pasar. Sementara ibu mertuaku menghabiskan masa-masa tuanya di rumah tercintanya. Berkebun, menumbuk padi, menyapu halaman. Bahkan kalau lagi musim panen padi, Ibu mertuaku bersikeras untuk ikut memotong padi dengan ani-ani. Kondisi kesehatannya memang membaik. Tetapi penyakit akibat usia gampang menerpanya bila badan teralalu di paksa untuk bekerja. Kami berdua sering kewalahan menghadapi niatnya.

Pertempuran

BAB 
Empat Puluh Satu 


Kami sedang menunggu Polisi Saryo untuk meminta bantuan. Kami berhasil menemukan terowongan yang menuju ke Alun-alun Purbalingga. Kami bersusah payah memasuki lorong lorong tersebut selama 2 jam. Kami tidak lagi memusingkan makanan apa yang kami makan. Masalah yang akan di hadapi jauh lebih berat dari pada urusan perut.

Tak lama kemudian Polisi Saryo sudah datang dengan bala bantuan lengkap dengan senjatanya. Aku sendiri ngeri melihat senjata-senjata itu, mereka semuanya menggunakan Topeng. Pasukan elit itu berjumlah 10 orang. Mereka adalah prajurit tempur yang sudah terlatih bertahun-tahun di medan sulit sekalipun. Aku tak berani menatapnya lama-lama. Rasanya baru kali ini aku berhadapan dengan prajurit yang gagah berani.

Aku di kagetkan dengan suara senjata yang di kokang cepat dan serempak. Pak Saryo mendekati kami. “Kita berangkat sekarang, dan siapkan mental kalian.” Kulihat wajah Nara yang tegang tapi tidak sepucat wajah Anis. Kalau Bondan sudah keren memegang senjata. Kalau aku sedikit gemetaran. Kami langsung menuju ketempat rahasia seperti yang di ceritakan oleh Nara.

Dua hari kemudian.

Jumat, 22 Maret 2019

Cinta Butuh Uji Nyali

BAB
Empat Puluh


Aku, Pak Saryo dan Bondan pergi mencari jejak kereta yang terus membelah terowongan dan menghilang dalam kegelapan. Aku setengah berlari menelusuri terowongan yang seperti ular berkelak-kelok. Aku menyimpulkan kalau terowongan ini adalah bekas persembunyian bagi tentara jepang. Juga ada beberapa gua kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Gua kecil itu ada pembatas berupa jeruji. Inilah sisi lain dari kekejaman bangsa Jepang ke bumi pertiwi.

Di selingi dengan istirahat dan makan seadanya berupa jangkrik dan beberapa telur burung. Kami bertiga sudah berjalan dua hari dua malam. Cara berjalan kami mirip tentara kaveleri yang ingin mendahului musuh untuk kemudian menyergapnya. Terowongan yang kami lalui makin lama makin gelap. Aku memanfaatkan pemandangan tajamku yang ku latih sejak dari kecil untuk berjalan. Juga dari cahaya senter yang di bawa oleh Polisi Saryo. Kami bertiga tidak siap dengan perbekalan berupa makanan dan minuman. Jangkrik dan telur burung semakin susah di temukan. Kami makan memanfaatkan binatang yang ada. Sepanjang perjalanan menuju terowongan ini kami bertiga hanya minum dari air yang menetes dari atas terowongan. Kami terpaksa memakan bayi-bayi tikus yang masih merah. Senjata yang aku bawa hanya pentungan dari kayu keras. Sedangkan Pak Saryo dan Bondan membawa senjata laras pendek. Bondan yang dulunya mantan penjahat tak kesulitan untuk menggunakan senjata api tersebut.

Proses Kreatif Menulis TERE LIYE

Bagian 2

Selain BANYAK MEMBACA, yang perlu dilakukan oleh seorang penulis adalah BANYAK MELAKUKAN PERJALANAN. Dalam perjalanan atau petualangan ada begitu sisi positif untuk mengumpulkan informasi visual atau non visual, yang nantinya akan menjadi amunisi untuk memperkaya pengetahuan tentang novel yang ingin ditulis.

Selain itu seorang penulis juga perlu MENDENGAR ORANG-ORANG BIJAK di sekitar kita. Kata-kata bijak tidak mesti diperoleh dari seorang Profesor, Guru Besar, atau yang lainnya. Tetapi kita bertanya dari salah seorang bapak penjual bakso misalnya yang telah menjual baksonya selama 45 tahun. Tentang kecintaan terhadap dunia bakso. Itu menakjubkan. 

3. KALIMAT PERTAMA MUDAH, GAYA BAHASA ADALAH KEBIASAAN, MENYELESAIKAN LEBIH MUDAH LAGI.

Bang Tere pernah bercerita tentang solusi kepada seorang mahasiswi dari Jogja yang menempuh perjalanan ke Purwokerto (UNSUD) beberapa jam lamanya. Mahasiswa itu bertanya: " Bang Tere, saya sudah menyelesaikan tiga bab dalam penulisan novel, namun saya kesulitan untuk menyelesaikan bab terakhir alias bab 4. Bagaimana caranya."

" Solusinya gampang sekali, mau tahu?."

Tentu mahasiswi itu berbinar-binar wajahnya.

" Tuliskan kata TAMAT, mudah sekali bukan?

Untuk meredam kekecewaan mahasiswi itu, Bang Tere bercerita kalau Novel Hafalan Sholat Delisa adalah novel yang "kebingungan" untuk saya selesaikan. Dari pada bingung tidak jelas, maka saya tuliskan kata TAMAT saja. Novel itu ternyata Best Seller dan difilmkan dengan penonton membludak. "Artinya selesaikan novel dengan cara yang terbaik."

4. LATIHAN, LATIHAN, DAN LATIHAN.

Maka anda akan menjadi penulis yang baik, enak dibaca, dan mahir dalam penokohan.

Kamis, 21 Maret 2019

NEWZEALAND SHOOTOUT

Kemana nurani mu hingga "tega" melakukan tugas malaikat maut, mencabut nyawa begitu mudah. Seperti mencabut rumput. Rasa bencimu kepada satu golongan membuatmu 'membunuh' rasa kemanusiaan yang Tuhan berikan. Bahkan seekor Singa punya rasa welas asih.

Janganlah rasa bencimu membuatmu kehilangan akal sehat. Hingga nyawa begitu mudah kau tukar dengan peluru-peluru pembunuh. Cobalah untuk bertanya kepada nurani, agar langkahmu tak hilang kendali. Peperangan hanya akan menimbulkan kebencian dan dendam berkepanjangan. Tentu kau tidak mau itu terjadi, jika rasa kemanusiaanmu masih ada walau samar-samar.

Mungkin bumi akan berteriak, karena darah manusia mudah sekali ditumpahkan. Tak bosan-bosannya bumi menyerap genangan darah yang membuat nyeri ulu hati. Memang kematian adalah bagian dari takdir Tuhan, tapi dimatikan dengan paksaan luar adalah hal yang disesalkan. Sekali lagi, Tuhan punya rencana. Manusia hanya menjalani.

Ketika teriakan penuh iba tak lagi kau pedulikan, sudahkah? Mati rasa kemanusiaanmu? kamu himpit dan bius perasaan hingga kau berjalan tanpa hati dan pikiran. Mempropagandakan segala takdir yang kau jalankan, hingga teriakan kemanusiaan di penjuru dunia kau abaikan. Janganlah perasaan bencimu kepada satu kaum hingga kau timbang murah keadilan, tanpa merasa berdosa.

Kawan, merenunglah barang sejenak di tempat gelap, ketika orang-orang tidur terlelap. Gerakan kembali tanganmu ketika kau pernah aniaya kepada orang yang tak pernah mengganggumu bahkan mereka pun tak kenal siapa kamu. Cobalah untuk jujur kepada hatimu yang pernah membohongi nuranimu akibat kau gunakan selimut kebencian. Sekarang belum terlambat, jeruji besi hanya pembatas bukan pemutus akhir kehidupan. Masih banyak kesempatan untuk kau perbaiki segala jenis kebencian yang kau pupuk terus menerus, lalu seiring waktu kau keluar dengan wajah baru, pemikiran, dan keyakinan yang lurus. Semoga.

Jumat, 08 Maret 2019

Pertolongan

BAB 
Tiga Puluh Sembilan 



Ketika beristirahat Nara dan Anis di kejutkan oleh Sipir tak bermoral. Suasana menjadi tegang. Sipir pendiam sedang mencari hewan yang bisa di makan tanpa susah untuk memasaknya terlebih dahulu. Pelarian mereka bertiga dapat diendus oleh dua orang Sipir penjara yang berhidung belang.

“Dasar manusia tak bermoral!.” Nara mengumpat dan memukul para sipir penjara yang hendak menciumnya. Entah bagaimana caranya kedua sipir itu menemukan Nara dan Anis di tengah lorong.

Sementara Anis sudah tak sadarkan diri akibat di pukul tengkuknya oleh salah seorang sipir. Tangan kanannya sudah mulai memegang tangan Anis dengan Nafsu. Peristiwa yang mengerikan akan terjadi sebentar lagi. Nara berteriak dalam hati meminta pertolonga dari Allah SWT.

Nara sudah dalam jangkauan sipir itu. Tangannya hendak menjamah tubuh Nara yang tengah terdesak dan nafas tersengal-sengal. Karena kelelahan berkelahi dengan sipir. Beberapa kali Nara mendapatkan tamparan di kedua pipinya. Rasa sakit tak ia pedulikan asal kehormatan dirinya bisa terjaga. Dalam keadaan terdesak Nara melesatkan sebuah pukulan keras ke perutnya ketika bibir najis sipir itu hendak mencium pipinya. Sipir itu mengaduh dengan keras. Sipir itu mengamuk. Keadaan Anis sudah sedemikian genting. Ia sudah tersudut dalam keadaan yang memilukan. Tangan najis sipir itu mulai menggrayangi tubuh Anis. Nara makin marah, tetapi ia juga harus menghadapi sipir najis itu.

Kamis, 07 Maret 2019

Mengingtai Aksi Geng Fark

BAB
Tiga Puluh Delapan 


Kereta 084 melaju menembus hutan jauh dari mata penduduk. Kereta ini seperti siluman membelah terowongan panjang berkelok-kelok. Farah dan Arkon hanya memandang dengan gerak mata yang sulit di artikan bagi mata awam soal kumpul kebo. Farah adalah lulusan Aliyah. Tetapi rupanya pelajaran agama tak nampak di batang hidungnya yang mbangir. Untaian kalimat bijak ketika belajar dulu menguap seiring lunturnya moral akibat terjarahnya kepribadian yang kropos dimakan maksiat. Sedangkan Narman adalah lulusan SD yang pintar ngaji dan sholat. Mahluk apa yang merasuki kedua raga cucu adam itu hingga bak Ular Anaconda yang siap melilit para pelaku kebaikan dan menelannya bulat-bulat dalam tembolok berbau busuk.

“ Kita akan membawa ke bawah tanah. Tepat di bawah penjara Purbalingga. Seluruh penduduk Purbalingga memang goblok dan dungu tak tahu tempat yang menghasilkan banyak uang.” Perintah Farah

“ Lalu barang bawaan kita bagaimana.” Jawab Arkon 

“ Mayat-mayat berharga itu akan kita antarkan sesuai dengan arahan paman Marno.” Usul Farah. 

“ Mayat saja di jaga begini?.” Celetuk Arkon.

“ Dasar bodoh!, mayat itu bukan mayat sembarangan!. Kampung kita mungkin akan di jadikan Musium terbesar di dunia yang akan mendatangkan banyak uang. Pantas saja seorang Bondan saja tak bisa kau bunuh. Kau hanya becus membunuh seorang pelacur!.” Ketus Farah.

Bertemu Geng Fark

BAB 
Tiga Puluh Tujuh


Aku semakin khawatir keberadaan keluarga Nara dan keluargaku sendiri. beberapa tahun belakang kelompok Farah dan Arkon masih menteror dengan berbagai macam tekanan kepada keluarga Nara juga keluargaku. Syukurlah Allah masih melindunginya. Beberapa Polisi yang menyamar sebagai penduduk desa kerap menggagalkan aksi-aksi mereka. Adikku, Wiro hampir saja menjadi bulan-bulanan kelompok Farah dan Arkon kalau saja Polisi yang menyamar sebagai warga tidak menolongnya. Cerita itu aku dengar dari Polisi Saryo yang baik hati.

Aku membaca koran yang diantarkan sengaja oleh Polisi Saryo tempo hari. Di halaman depan terdapat tulisan besar yang membuat bulu kudukku merinding. TEROR DI DESA KALIGONDANG. Ratusan Polisi menjaga perbatasan desa Kaligondang. Kejahatan Farah dan Arkon meluas ke seluruh warga desa Kaligondang. Mereka kerap kali melukai fisik untuk mendapatkan harta yang diinginkan.

Selasa, 05 Maret 2019

Dunia Lain

BAB 
Tiga Puluh Enam 

Sudah setengah jam mereka ngobrol. Nara dan Anis memutuskan meninggalkan pengawal yang tergeletak pingsan oleh pukulan Nara. Sepanjang pembicaraan hidung Anis selalu di pencet karena tak tahan dengan bau bangkai.

“ Na, tadi tempat apa, baunya seperti bangkai.”

“ Tempat itu gudang mayat bekas kecelakaan, bunuh diri, dan peluru nyasar. Belum lama tempat itu di kosongkan tetapi tetap saja bau bangkai.”

Nara bergidik dan merinding.

“ Dasar kau Na. Ngga bilang-bilang.”

“ Ini penjara Nis, segala sesuatu bisa saja terjadi.”

“ Katanya di penjara ada hotelnya Na, benar ngga.”

MASA

Setiap waktu memiliki masa tersendiri, karena masa bisa disejajarkan dengan waktu, bahkan masa adalah waktu itu sendiri. Masa menjungkirbalikkan keyakinan yang telah lama dipahat dalam-dalam sanubari. Lalu masa itu mengikis hingga berubah menjadi awal yang tidak sejalan dengan keyakinan awal. Mungkin hati kecilnya memberontak membentuk sudut baru dalam arah dan langkah, tetapi tidak terbesitkah nurani ketika masa-masa indah waktu kecil. (Untuk alm Bibi Gemak).

Mungkinkah masa menenggelamkan sebagian wajah kedalam topeng hingga tak berani menampakkan kejujuran nuraninya. Entah sampai kapan masa berlapang dada agar bisa menjawab teka-teki kehidupan yang semakin gersang kepribadian. Ibu, Maafkan saya yang belum mampu menyelimuti dengan kehangatan pertemuan.

Masa akan mengerti ketika ujung hati mulai terluka akibat jarak yang tak bisa dihitung dalam hitungan jam, mungkin puluhan jam. Masa hanya mencoba untuk mengulur kecemasan yang selalu terbayar ketika bangun pagi.