Sabtu, 02 Maret 2019

Geng Fark

BAB 
Dua Puluh Sembilan 


Malam semakin larut. Farah tengah tertawa sambil membagi-bagikan sejumlah uang kepada orang yang telah membantunya menyelesaikan dendamnya. Hingga Marko dan Nara berada dalam penderitaan yang mendalam. Dendam dan sakit hatinya kini telah terbayar juga.

Farah menyalakan radio butut dan mencari sinyal untuk saluran lagu-lagu keroncong, bila bosan tinggal memindahkan lagu-lagu dangdut yang menyajikakan suara emas bukan liukan tubuh yang tak sadarkan diri. Farah dan kelompoknya sedang melintasi sebuah masa yang telah menjungkirbalikan sebuah peradaban dalam batas yang tidak biasa.

Sebuah kasta-kasta mulai berdengung hinggap di permukaan hati yang di bakar rasa cemburu, Farah yang berkasta Brahmana mulai melampiaskan ke Brahmananya itu kedalam wujud sifat licik, picik, keras kepala, mau menang sendiri, dan segala sesuatu harus sesuai dengan kemauannya. Bila tidak, wujud iblis akan hadir dalam paras cantiknya itu.

Sudah dua jam Farah dan kelompoknya menghabiskan tawa-tawa penuh laknat itu. Beberapa minuman bergambar Topi Miring tergelatak kosong di atas meja kecil di temani kopi pahit bergelas-gelas. Mereka sedang di tanah lapang yang diapit oleh dua buah sungai besar yang sekelilingnya terdapat banyak pohon beringin dan Kamboja. Sebuah tempat yang di anggap angker dan jauh dari pemukiman warga. Sungai besar itu berkelok-kelok mengelilingi desa Kesamen.

Penjara

BAB 
Dua Puluh Delapan 


Pak Lurah tak bisa berbuat banyak karena akses kepenjara Purbalingga amatlah sulit. Sepertinya pejabat di daerahku tak bisa untuk di andalkan. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri, dalihnya bermacam-macam. Hukum telah di beli dengan uang. Siapa yang punya duit banyak maka kekuasaan ada dalam genggamannya.

Pagi ini dengan susah payah. Aku, Ibu, kedua adikku, serta Ibu Baroroh melobi sipir penjara agar mau mempertemukanku dengan Nara. Keberadaanku di Lembaga Pemasyarakatan ini sama sekali tak melibatkan aparatur pemerintahan. Ibuku membawa makanan dalam balutan kain batik warna hitam, sepintas terlihat mirip perbekalan para pendekar yang hendak melalang buana menembus dunia fana. Lewat bantuan Polisi Saryo kami sedikit di permudah bertemu dengan Nara. Selanjutnya biar kami menunggu kedatangan Nara. Birokrasi semacam ini sudah menjadi hal lama yang sulit di hilangkan.

Kulihat Ibu Baroroh sudah beberapa kali bolak-balik ke WC untuk buang air besar. Depresi yang terus menerus melanda pikirannya membuat Ibu Baroroh sering terkena penyakit diare dan demam tinggi. Kasihan Ibu Baroroh dalam kehidupannya yang sendiri tanpa suami Ia harus menanggung beban cobaan sendirian. Ku lihat dari wajahnya ada ketegaran yang terpancar dari wajahnya.

Topeng

BAB 
Dua Puluh Tujuh


Esok pagi aku sudah menyambangi temanku yang kena sabetan golok bersama dengan teman-teman. Aku melihat Narman sendirian sedang menikmati secangkir kopi hangat di warung. Aku mengira dia sedang mabuk dan sejak kapan dia mulia menggilai kebiasaan tak sehat itu.

“Apa Kabar Man?.”

“ Baik.” Cuek dan tanpa melihatku.

“ Mar aku kasihan sama kamu, tahu nggak?, gadis yang kamu bela mati-matian mungkin saja sedang bermesraan dengan lelaki lain sesama penghuni penjara, sudahlah... lupakan Nara. Hadapilah kenyataan yang ada.” Aku terkejut. Narman mengatakan hal yang menyakitkan itu. walau bagaimanapun aku tetap bersabar menghadapinya. Mungkin di hadapannya aku terlihat seperti laki-laki bodoh yang mudah di permainkan. “ Aku percaya Man pada Nara, Ia tak mungkin melakukan apa yang engkau tuduhkan itu.”

“ Kamu disini sudah seperti orang gila yang di mabuk cinta, padahal disana Nara yang kamu puja-puja itu sedang bercinta dengan lelaki lain di dalam sel.” Narman mengejek sekali lagi, temanku yang lain semua menatap wajah Narman seolah-olah tak percaya apa yang baru saja di ucapkannya. Kata-katanya tak lagi menampar pipiku, tetapi sudah mencoba meruntuhkan harkat dan martabatku.

Pencuri Bertato

BAB 
Dua Puluh Enam 


Di bawah cahaya rembulan, aku berlari ke tengah sawah lalu memanjat bekas runtuhan bangunan Rel Kereta peninggalan Belanda, setelah itu aku berteriak kencang agar beban di pikiranku sedikit berkurang. Aku sempat menghujat takdir yang sedemkian kejam karena tak berpihak padaku.

Suasana sekitar hening. Gemericik ari dari sungai kecil terdengar jelas. Suara kodok saling bersahutan. Di atas reruntuhan bangunan rel kereta api zaman Belanda aku berpikir keras bagaimana bisa Nara di penjara. Kedua tanganku menengadah ke atas. Aku mohon pertolongan kepada Allah Swt atas cobaan ini. Dadaku naik turun menahan kesedihan yang terpendam. Selain di Musholla aku sering mengadukan kesedihanku kepada Allah diatas bekas bangunan rel kereta Api yang terdapat di tengah-tengah sawah. Aku teringat dengan satu nama, “Polisi Marno.” Nama Polisi itu terasa sangat menganggu pikiranku selama ini.

Aku turun dari bangunan bekas rel kereta api zaman Belanda. Aku melangkah menyusuri pematang sawah sendirian dan hanya di temani dengan cahaya bulan. Beberapa kali aku melihat burung semak terlihat terkantuk-kantuk terkena cahaya bulan. Ular yang beroperasi malam juga sudah mulai mencari binatang pengerat. Dari kejauhan tampak cahaya petromaks yang tampak mengecil, para pemburu sedang mencari belut-belut yang akan di jual ke pasar, atau memenuhi pesanan beberapa tetangga.

Mimpi Akhir Malam

BAB 
Dua Puluh Lima 


Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Tuduhan itu benar-benar sudah membuat Nara terdampar dalam penjara yang dingin dan gelap. Belum lagi aku dapat kabar dari Polisi Saryo kalau Polisi Marno punya ambisi untuk berbuat yang tidak senonoh dengan Nara. Aku tak mengira sudah satu tahun Nara di penjara. setiap malam aku seperti di cekam ketakutan karena sosok wajah polisi Marno yang pernah di tunjukkan kepadaku kerap hadir dalam tidur malamku.

Suatu malam aku bermimpi Nara di kejar-kejar oleh Polisi Marno di safana yang sepi dan para penjaga berada di titik yang sangat jauh dari jangkauan Nara untuk minta Tolong. Aku melihat wajah Polisi Marno sangat bernafsu untuk menjamah tubuh Nara yang sudah lelah berlari ketakutan menghindar darinya. Dalam mimpiku itu, entah kenapa aku hanya melihat Nara ketakutan minta tolong. Sementara kedua kakiki seperti tertancap kayu yang kuat. Kedua kakiku seperti terserap energi setiap aku berusaha melepaskannya. Aku hanya berteriak menyumpah serapah pada Polisi Marno dari kejauhan. Polisi bejat itu menengok ke arahku dengan tatapan kemenagan.

Polisi Marno sesekali menghampiriku secepat kilat. Lalu terbang bagai burung Elang. Ia tertawa keras, mulutnya terbuka. Aku mencium bau Alkohol dari minuman Topi miring. Aku mengetahuinya ketika Ia balik badan hendak berburu Nara yang semakin lemah karena terkuras tenaganya. Di saku belakangnya terselip botol minuman tak waras dengan simbol Topi Miring. Ia mungkin tahu aku memperhatikan botol minuman memabukkan itu, secara sengaja ia mengambil botol itu dan menenggaknya sambil berjalan. Lalu berlari secepat kilat mengejar Nara di titik kejauhan.

Jumat, 01 Maret 2019

GELAP

Gelap adalah persepsi terang yang sudah termakan sampai ke dasar akar hingga sulit membedakan antara siluet dengan cahaya. Meski matahari sudah menyengat pelupuk mata, tapi justru yang terlihat hanya pekat karena tak mampu menahan terangnya cahaya. Maka jika kita terbiasa dengan warna terang, sulit sekali untuk beralih ke warna gelap. Tak selamanya gelap, adalah pahit, semu, dan buntu. Dan tak selamanya terang adalah ceria, gembira, dan asik. Semuanya punya sisi sudut pandang. 

Berjalan di bawah nyala obor hanya menerangi sebagian langkah, langkah-langkah yang terbuang di belakang menyisakan jejak gelap yang tak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang gelap akan terasa terang bila lilin kepercayaan terus bergema sampai ruang gelap tergerus arus cahaya. Muncul ke permukaan sebagai tongkat estafeta intuisi yang terus memupuk paradigma.

Waktu terus mendefinisikan kalau pekat sama dengan hitam, manampakkkan sisi gelap dari warna kegelapan. Yang terus abadi, mungkin sudut pandang yang bisa mengubah pola tertentu agar lebih berwarna. Hidup adalah perpaduan warna, agar warna gelap tak lagi menjadi kegelapan. Dan terang tak selamanya menyilaukan dan menenggelamkan kilauan perbendaharaan kata tentang gelap.

NOVEL FRANS MAKI

Bab 10

Berburu Jangkrik


Ini malam minggu, di belahan waktu lain mungkin kawula muda sedang mengadakan kontes tentang dunia eksplorasi laki-laki. Yang paling sederhana misalnya duduk-duduk di pinggir jalan raya sepi hanya untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Bintang di langit kerlipnya mampu menyihir para pengabdi sajak hingga lahirlah sebuah puisi yang ketika dibacakan akan menimbulkan daya kejut ribuan volt. Seorang Frans juga sedang terhipnotis tentang kemegahan angkasa lengkap dengan sejuta misterinya.

Pulang dari mengaji Frans harus memutar logikanya agar ajakan Jidon dan Hari yang amat menarik dapat dipenuhinya dengan langkah mantap tanpa menghianati kepercayaan seorang ibu. Frans mencium punggung tangan ibunya setelah sampai di rumah. Ibunya yang sedang serius mendengarkan sandiwara radio di 94.7 FM SBS radionya Purbalingga, membuat Frans urung untuk pergi berburu jangkrik malam-malam. Cukup berisiko sekaligus menantang. Berburu pada saat itu adalah bukti seorang laki-laki. Stigma itu cukup membuat Frans frustasi.

" Kau tak makan Frans, kalau kau tak suka nasi, ada bubur kacang hijau di panci." Sang Ibu memberikan pilihan.

MATAHARI TERBIT DARI BARAT-5

Kawan, sungguh menakjubkan manakala ketika kita menengadahkan tangan kita ke angkasa, bergemuruhlah dada kita akan ada penguasa yang Maha Kekal tak pernah tersentuh kematian. Tetap abadi meski nanti matahari terbit dari barat. Dia yang akan menghakimi tentang perkara-perkara manusia bumi, apa yang telah dikerjakan selama menjadi mahluk bumi. Rakuskah, hingga tega menganiaya lingkungan sekehendaknya. Menyulap tempat menyuap mulut dengan nasi organik menjadi lahan putih berbentuk kotak. Lalu dengan dalih entah berantah menjerat pemasukan dengan langkah yang dianggap amat milenial, menghianati kemanusiaan.

Kawan, sungguh memilukan pekerjaan yang kita idam-idamkan dan bangga-banggakan lenyap ketika jaminan keduniawian sudah selesai kontraknya. Melalaikan kewajiban kepada Tuhan dengan dalih kesibukan yang meninabobokan semangat tempur muhasabah, hingga terpuruk dalam penghianatan iman. Iman tak lagi menjadi perisai dari segala hingar bingar cinta dunia, ya tak munafik kita memang masih di dunia tapi sedikitlah berpikir tentang rasa pengharapan akan keberkahan menyelimuti setiap jengkal langkah kita, lalu endingnya adalah mampu tersenyum di akhir kematian.

Kamis, 28 Februari 2019

Menghapus GAME

Ajaib, ayah ucapkan Alhamdulillah. Keputusan yang diambil Eza membuat ayah lebih percaya bahwa kamu dapat mengambil keputusan sendiri tanpa perlu mengkonfirmasi ulang lagi. Apalagi keputusan itu berkaitan dengan hal-hal yang kamu senangi. Ayah hanya coba mengarahkan bahwa kecanduan game adalah hal lain yang mungkin kurang tepat untuk usiamu saat ini. Di belahan dunia sana ada beberapa orang yang memiliki profesi sebagai gamer, pembuat game, dan yang sejenisnya. Mereka tak perlu repot-repot untuk bekerja di luar rumah, mereka memiliki waktu luang untuk bekerja di dalam rumah. Tapi level itu butuh perjuangan. Ada hal lain yang harus kamu kerjakan: Sekolah itu penting, walau untuk menjadi "genius" beberapa orang yang nyaris tak menyentuh bangku sekolah. Soal ini butuh ruang lebih untuk diskusi, semoga kamu mengerti kawan.  

Ayah hitung game yang kamu download sendiri berjumlah hingga lebih dari 30, rasanya di usia lima tahun delapan bulan tak bijak bila mata terbuka di pagi hari kamu sudah menggenggam erat HP LG K 10 sambil mengucek mata membuang kantuk. Untuk bermain game, kalau hal ini menjadi alasan kamu "tak sudi untuk sekolah." Maka ayah bunda menjaga jarak Hp denganmu. Serius Eza, kenapa kamu tersenyum. 

TV Hitam Putih

Tanjung Pinang, 3 Januari 2002
Menjumpai Anakku Sutarmi
di Tempat


Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum Warahamatullahi Wabarakaatuh


Bareng layang iki ora liya Bapa aweh kabar dene Bapa saikine kanti sehat-sehat bae, ora ana alangan sewiji apa, semena uga Sutarmi Bapa daoakan semoga demikian hendaknya. O ya Mi, Bapa tembe sempat gawe surat soale nek bengi kadang Bapa wis lelah, ya dadi ora sempat lan kesel, ya kepriwe maning. O ya Mi, Bapa kayane bulan Pebruari urung bisa blayar maring Kaligondang soale Bapa terus terang bae asih duwe utang karo tokene, ya ora akeh mung 5 atus ewu, Insyaallah bae ana umur panjang sekitar bulan Maret Bapa semoga bisa blayar maring Purbalingga Kaligondang.

Semoga bisa kumpul, ya kepriwe maning Mi nek Bapa utange karo Tokene urung lunas urung lega pikirane, Bapa kejaba saka kuwi mengenai kuliahmu lan karo ngajar yang sing ati-ati Mi Bapa doakan semoga sing tabah dan sabar. Bapa ora bisa mbantu apa-apa bisane mendoakan bisah terlaksana apa sing dadi cita-citamu, ilmu dicari tak ada habisnya lan kanti dibarengi kesabaran dan ketabahan hati dan berdoa kepada Allah SWT semoga dikabulkan doanya.

Selasa, 26 Februari 2019

Tentang Umar

6. Weselpos


Seorang tukang pos datang dengan honda bebek berwarna oren lengkap dengan ransel besar yang tergantung dua buah dijok belakang. ketukan pintu terdengar, Gina membukakan pintu. Kedua anaknya membututi dari belakang, seolah dunia ajaib sedang berlangsung. Pak Pos berkumis mirip bintang film masuk kedalam rumah setelah Gina memberikan izin. Pak Pos berkumis duduk diatas kursi yang terbuat dari kayu Nangka dengan rambang plastik sebagai bantalannya.

Selembar kertas berwarna coklat lalu diberikan kepada Gina, setelah basa-basi sebentar Pak Pos berkumis undur pamit dan pergi dengan honda bebek berwarna oren. Wajah Gina sumringah, Umar yang bulan lalu pergi merantau ke Tanjung Pinang, menanti kabar tiada kunjung tiba. Setelah mendapatkan kiriman wesel dari Umar, hati Gina yang kebat-kebit kini lebih mantap menata hidup.

Gina bercerita kepada anaknya kalau ayahnya sudah bekerja di sebuah peternakan ayam. Soal kebutuhan sehari-hari tak jadi soal, karena sang bos memberi pelayanan yang manusiawi. Kedua anaknya tersenyum, sementara kedua anak yang lain tengah berjibaku untuk merubah nasibnya.

Weselpos berwarna coklat telah mengubah kekusutan wajah Gina, ada seberkas harapan membumbung tinggi berharap takdirnya bisa berubah. Setelah memeluk kedua anaknya, lalu mengajaknya ke toko beras dan membeli kebutuhan lain. Roda kembali berjalan. Sementara Umar di Tanjung Pinang sedang beristirahat di gubuk sederhana lengkap dengan makan siangnya. Masak sendiri dan tidur sendiri.