Senin, 16 Februari 2015

GADIS MERAH SAGA

22


Polisi Saryo masuk kedalam ruangan dan mendapati Nara yang dalam duduk diatas kursi kayu tua. Ia tegang dan terlihat waspada. Ia segera menata diri agar tidak jadi bulan-bulanan. Polisi Saryo mengambil duduk di sisi lain menjauh dari Nara, Ia berharap cara duduknya seperti ini akan membuat rasa tenang pada Nara.

“Mba, namanya siapa?.” Polisi Saryo membuka percakapan dengan hangat.

“ Saya Nara Wina Pak.”

“ Asalnya dari Desa mana?.”

“ Dari Desa Kaligondang Pak.”

“ Apakah kamu benar-benar mengedarkan Uang palsu seperti yang di sampaikan oleh beberapa masyarakat.”

“ Saya tidak tahu uang palsu itu, tapi saya masih ingat wajah orang yang membeli waktu itu, berjaket hitam dan berkumis tebal. Dan wajahnya terdapat banyak titik bekas cacar.” Jawab Nara antusias. Sebuah introgasi membosankan, ia selalu di tanya dengan pertanyaan yang sama. Tetapi melihat wajah Polisi Saryo, Nara melihat ada harapan.



Terlihat Polisi Saryo langsung mencatat keterangan yang di berikan oleh Nara yang masih di liputi oleh ketakutan.

“ Lalu kenapa di balik rinjing itu terdapat banyak lembaran uang palsu.” Selidik Polisi Saryo.

“ Saya tidak tahu Pak, kalau ada uang di rinjing saya.” Nara mulai menitikkan air mata.

“Seorang saksi mata mengaku kalau kamu pernah belanja dengan Uang palsu itu.”

“ Memang saya pernah di tuduh seperti itu, tetapi saya dapatkan uang itu dari seorang pembeli juga. Bapak tahukan maksud saya.”

“ Baiklah kalau begitu, saya yakin bila kamu tidak bersalah maka saya akan membela kamu sekuat tenaga tetapi jika kamu terbukti bersalah, maka hukuman berat akan menimpa pada kamu..” Polisi Saryo memberi ketegasan.

“Aku faham, tapi gimana kalau temen Bapak masuk keruangan ini, saya khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa saya Pak.”

“ Akan ada seorang penjaga yang akan menjaga ruangan ini. Dan Polisi Marno tidak mendapat izin untuk mengintrograsi dirimu, saya jamin itu.”
“ Kamu harus kuat Mba Nara, karena bukti uang palsu itu benar-benar akan membawa hukuman kamu akan lebih berat. Kamu harus rajin berdoa karena kebenaran kelak akan bersinar dengan terang.” Polisi Saryo memberi Nasihat.

Nara berusaha keras untuk bisa menenangkan diri dari kecemasan yang sedang melandanya. Di samping itu pernikahan tinggal harapan saja. Tetangga mungkin sedang menertawakannya. Nara sudah membayangkan akan rencananya yang mengundang kerabat dekatanya terasa seperti bayang-bayang saja. Mengingat dirinya yang sekarang berada dalam ruangan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Semua itu terasa serba membosankan dan menggelisahkan. Ia menatap minuman yang di bawa oleh Polisi baik itu. Ia percaya kalau kebaikan akan selalu menemukan jalan keluar meski harus melalui serangkaian kesulitan yang menyesakkan dada. Nara meminum air dari gelas tersebut dan mencoba berpikir positif walaupun itu sulit.

Adzan Ashar sudah berkumandang. Polisi Saryo pergi setelah melakukan intograsi yang singkat itu. Nara mencoba berbicara pada penjaga pintu itu untuk memberikan sedikit waktu untuk berwudhu dan sholat. Sang penjaga penjara membuka ventilasi pintu dengan menggesernya.

“ Ada Apa!,” tanya sipir penjara dari balik lobang. Matanya yang tajam pintu terlihat di lobang tersebut.

“ Saya Ingin Sholat Pak!.” Jawab Nara mantap. Ia berkata lantang khawatir sang sipir tidak mendengarnya.

Sejenak kemudian terdengar bunyi pintu di buka dari luar. Nara lalu melangkah keluar di iringi tatapan waspada dari sang sipir. Sang sipir kemudian memberikan arah di mana Nara dapat mengambil Wudhu. Nara manfaatkan untuk melihat kondisi di luar sana. Tampak di luar halaman mobil Pick Up sedang terparkir dan beberapa Polisi sedang mengobrol ringan. Tembok menjulang tinggi dan diatasnya di pasangi kawat berduri tajam. Diantara tembok berduri itu terdapat menara tinggi yang di isi oleh bebarapa penjaga. Sedangkan untuk lalu lintas masuk kedalam, ada pintu dari besi yang di susun renggang. Ini memungkinkan Nara dapat sedikit melihar kehidupan di luar sana.

Nara merasa lega karena dapat kesempatan melihat di luar ruangan. Ia cepat-cepat untuk mengambil Wudhu dengan di dampingi oleh sang sipir pendiam itu. Keberadaan dirinya di tempat seperti ini mengundang beberapa polisi untuk lama-lama menatapnya. Sebuah tatapan laki-laki brengsek. Selesai berwudu ia mendongak keatas. Pohon beringin besar dan tinggi terlihat hanya pucuk-pucuknya saja. Tembok penjara ini terlalu tinggi untuk ukuran penjara daerah.

0 Comments:

Posting Komentar