Senin, 16 Februari 2015

Lorong

BAB 
Dua Puluh Empat 


Lorong itu seperti jalanan rel kereta Api yang panjang dan berkelok-kelok. Entahlah seharusnya listrik sudah masuk ke alun-alun Purbalingga. Keluar dari lorong di sambut dengan jembatan panjang yang seakan tak berujung dan juga sebuah tangga menurun berkelok-kelok. Sipir pendiam menuruni tangga di susul Nara dari belakang. Nara makin heran selama ini tidak ada cerita tentang bagaimana sebenarnya isi sebuah penjara di Purbalingga. Dalam pikirannya hanya menggumpal sebuah bayangan kalau penjara tak lain adalah deretan ruangan bersekat yang lembab dan bau. Itu saja.

“Jembatan Apa itu Pak Sipir.?” Tanya Nara penasaran sementara kedua kakinya terus saja menuruni anak tetangga satu persatu.

“Jembatan menuju pulau Nusa Kambangan. Para tahanan yang kesalahannya terlalu berat maka akan di kirim kesana.” Sipir pendiam menjawab tanpa menoleh ke belakang.

“ Apa itu tidak terlalu mengerikan, di bawahnya ada sungai dan jurang yang berbahaya bila sampai jembatan itu putus tiba-tiba.” Nara berdalih.

“ Semula para tahanan yang di kirim ke pulau Nusa Kambangan itu dalam kondisis mata terbuka, tapi setelah tewasnya seorang sipir pengawal ketika mengantarkan para tahanan itu sekarang para tahanan yang di kirim di tutup kedua matanya terlebih dahulu.” Jawab sang sipir berhenti sebentar, lalu bergegas kembali menuruni anak tangga.

Nara mengikuti arah sipir itu berjalan. Kedua kakinya sudah kembali menapak ke atas tanah. Ia menghadap keatas tangga yang menjulang tinggi persis menuju ke awan. Di kedua sisi terdapat jalan setapak beberapa ratus meter dengan pembatas tembok. Di depannya terdapat sebuah pintu yang di tutupi oleh dahan yang merambat. Sekilas tidak ada pintu di depannya. Nara menyimpulkan kalau ini adalah jalan rahasia lain yang ingin di tunjukkan oleh sipir pendiam itu.



Setetelah pintu itu terbuka. Lagi-lagi Nara di hadapkan dengan sebuah anak tangga. Sipir pendiam berjalan paling depan dan menapaki anak tangga satu persatu, sementara Nara mengekor dari belakang. Ujung tangga itu ternyata buntu menyatu dengan atap. Nara berhenti dan memperhatikan tangan sang sipir yang ke lihatan sedang menggeser sebuah benda.

Setelah benda itu tergeser, sebuah pintu kecil terbuka. Sebuah cahaya yang masuk ke ruangan bawah tanah menjadi lebih terang dari beberapa sudut. Sipir pendiam memberi perintah kepada Nara agar mendekat ke arahnya. Nara mengikuti apa yang di perintahkan oleh Sipir pendiam itu. Nara kaget bukan main, ketika ia melongok lewat pintu kecil bawah tanah ia mendapati dirinya tengah berada di bawah ruangan tahanannya sendiri.

“ Mba Nara cepat masuk, sebentar lagi ada pemeriksaan rutin.” Sipir pendiam itu berkata sambil menatap mata Nara.

“Terimaksih Pak Sipir.” Hanya itu yang bisa di sampaikan oleh Nara. Ia pun naik keatas dan memperhatikan sebuah pintu rahasia yang sedang di kunci dari bawah. Sebuah foto Presiden tiba-tiba bergerak mengikuti pintu itu ditutup. Nara mengerti kalau kunci rahasia ruangan itu adalah bingkai foto seorang presiden.

Nara lalu duduk di atas kursi dan menata keadaan dirinya karena telah mengetahui beberapa titik persembunyian dan juga pintu rahasian yang berujung pada penjara buatan jepang yang paling aman menurut sipir pendiam itu. Tak lama kemudia seorang Polisi pengawas mendatangi ruang Nara untuk memeriksa kondisinya. Polis pengawas itu membuka lobang angin untuk mengintip dari luar kondisi tahanan. Nara hanya melihat sepasang mata dari pintu itu tengah mengawasinya. Ia berharap Polisi itu benar-benar mempunyai moral yang baik.

Tak lama kemudian Polisi pengawas ruangan itu menutup kembali lubang angin dan meninggalkan ruangan Nara untuk memeriksa para tahananan lain yang bersebelahan dengan Nara. Ia dapat bernafas lega karena polisi itu tak macam-macam dengannya. Air mata tiba-tiba turun dari kelopak matanya. Ia membayangkan keadaan Ibunya yang tengah di landa kecemasan. Malam ini Nara kembali tidur berselimut kecemasan dan rasa rindu dengan Ibunya. Semenjak itu Nara terus tumbuh menjadi wanita dewasa dan mempunyai keberanian serta mental tangguh.

0 Comments:

Posting Komentar