Senin, 16 Februari 2015

GADIS MERAH SAGA

20

Selesai mandi Wiro kembali menuju ruang tengah sambil membawa sepiring makanan di tangan kanannya. Ia mengambil tempat duduk tak jauh dari Marko.

“ Ro, gimana kerjaanmu lancar.” Tanyaku.

“ Lancar Mas, hanya saja lumayan capek karena sehari bisa 3 Desa yang harus memesan Tahu.” Jawab Wiro singkat.

“ Jaga Sholat kamu Ro, karena itu adalah satu amal yang akan menjadi pemberat kelak di hari akhirat.” Aku memberi nasihat kepada adikku yang sudah makin dewasa.

“ Iya Mas, Insya Allah saya berusaha untuk menjalankan dengan baik.”

“ Oh ya Mas, Kapan tanggal pernikahan Mas, biar saya izin dulu sama Bos.” Wiro bertanya sambil nyengir.

“ Insya Allah 10 hari lagi, tetapi sepertinya akan di undur.”

“ Kenapa Mas, kok di undur. Apakah Nara membatalkan pernikahannya.”

“ Karena Nara sedang ada dalam penjara. Ia di tuduh mengedarkan uang palsu.”

“ Apa Mas!, di penjara!.” Wiro kaget lalu menghentikan makannya dan meletakkan piringnya di atas meja.

“ Iya Ro, aku bingung. Kabar ini sebaiknya jangan kau ceritakan kepada teman-temanmu.”

“ Iya baiklah Mas, Wiro juga akan ikut prihatin Mas. Semoga musibah ini sefera berakhir.”

“ O ya Wiro, tadi sebelum kamu pulang ke rumah, kita kedatangan tamu yang sama sekali tida terduga. Farah anaknya Ibu Mara telah tahu kalau Aku akan memikah dengan gadis dari Desa Kaligondang. Berita melamar itu ternyata sudah menyebar. Entah siapa yang menyebarkannya.”



“ Maaf Mas..., Aku ke ceplosan kemarin ketika di tanya sama tetangga.” Tiky menjawab dengan perasaan bersalah. Ia rupanya belum tidur. Beberapa saat kemudian Ibunya juga muncul dari balik gorden. Lalu bergabung.

“ Tadi Farah kesini dengan membawa makanan, lalu Aku tolak pemberiannya. Setelah itu dia marah-marah, karena telah menolak makanannya juga katanya telah mengabaikan perasaannya, cinta, dan perhatianku. Aku jadi tahu kalau Farah memang egois, dan harus selalu menuruti keinginannya. Padahal belum jadi apa-apa, dia sudah merasa menguasai segalanya.”

“ Wiro tiba-tiba berhenti makannya. Dia teringat dengan perjuampaan dengan farah di jembatan itu. “Sebuah ancaman benar-benar akan datang kepada keluarganya”. Batinnya gelisah.

“ Kamu kenapa Wiro..., kamu bertemu Farah tadi di jembatan”. Tanyaku menyelidik.

“ Mas Marko tahu!”. Wiro kaget seperti berhadapan dengan seorang paramal.

“ Firasat Mas saja.”

“Sekarang Kamu dan Mara harus pandai-pandai menjaga diri. Kita keluarga miskin amat mudah di tindas oleh orang-orang kaya. Walau kebenaran ada di pihak kita, tapi uanglah yang akan menggantikan dengan kejahatan. Kita berharap pada pertolongan Allah SWT”. Aku mengetahui kegelisahan Wiro, dan berusaha meredam dengan nasihatnya.

“ Dia juga mengancam agar menjaga keluarga baik-baik, Mas. Aku tidak mau kematian Ayah terulang lagi.” Wiro mengeluh.

“ Aku akan berusaha menjaga kalian dengan nyawaku. Jangan takut Allah bersama dengan orang-orang yang benar.” Aku berusaha meyakinkan dan menguatkan Ibu dan kedua adikku, mereka adalah darah dan jiwaku.

“ Jangan pikirkan macam-macam Ro. Satu lagi jangan pernah berbuat konyol yang akan membuat lebih runyam masalah.” Aku menasihati Wiro yang suka meledak-ledak bila marah, karena ia pernah menolong seorang maling. Malah ia sendiri yang harus mendekam dalam penjara beberpa hari. Untunglah setelah tertangkap. Maling tersebut adalah tetangga sendiri, jadi bisa gantian di penjara.

Hujan tak turun lagi. Hanya rintik-rintik yang menghiba di atas tanah menyelusup ke dasar. Sementara Wiro seperti kehilangan selera makannya. Dari tubuhnya seperti keluar keringat yang mengandung hawa panas luar biasa, padahal di luar rumah hujan masih turun.

Lewat tengah malah. Ibu dan kedua adikku sudah nyaman dalam peraduan. Wiro mendengkur cukup keras. Sementara kedua mataku susah untuk ku pejamkan. Pikiran dan jiwaku tak tenang. “Sedang apa kau sekarang Nara, apakah kamu baik-baik saja. Sudah makankah kau, lalu apa yang kau makan. Sampai kapanpun aku akan terus menuggumu walau satu persatu uban menerpa rambut hitamku. Walaupun aku sendiri terus menunggumu aku takkah lelah, karena cinta menuntut pengorbanan meski takdir berkehendak lain. Ku tetap menunggu. ”

0 Comments:

Posting Komentar