BAB
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Empat
Lorong itu seperti jalanan rel kereta Api yang panjang dan berkelok-kelok. Entahlah seharusnya listrik sudah masuk ke alun-alun Purbalingga. Keluar dari lorong di sambut dengan jembatan panjang yang seakan tak berujung dan juga sebuah tangga menurun berkelok-kelok. Sipir pendiam menuruni tangga di susul Nara dari belakang. Nara makin heran selama ini tidak ada cerita tentang bagaimana sebenarnya isi sebuah penjara di Purbalingga. Dalam pikirannya hanya menggumpal sebuah bayangan kalau penjara tak lain adalah deretan ruangan bersekat yang lembab dan bau. Itu saja.
“Jembatan Apa itu Pak Sipir.?” Tanya Nara penasaran sementara kedua kakinya terus saja menuruni anak tetangga satu persatu.
“Jembatan menuju pulau Nusa Kambangan. Para tahanan yang kesalahannya terlalu berat maka akan di kirim kesana.” Sipir pendiam menjawab tanpa menoleh ke belakang.
“ Apa itu tidak terlalu mengerikan, di bawahnya ada sungai dan jurang yang berbahaya bila sampai jembatan itu putus tiba-tiba.” Nara berdalih.
“ Semula para tahanan yang di kirim ke pulau Nusa Kambangan itu dalam kondisis mata terbuka, tapi setelah tewasnya seorang sipir pengawal ketika mengantarkan para tahanan itu sekarang para tahanan yang di kirim di tutup kedua matanya terlebih dahulu.” Jawab sang sipir berhenti sebentar, lalu bergegas kembali menuruni anak tangga.
Nara mengikuti arah sipir itu berjalan. Kedua kakinya sudah kembali menapak ke atas tanah. Ia menghadap keatas tangga yang menjulang tinggi persis menuju ke awan. Di kedua sisi terdapat jalan setapak beberapa ratus meter dengan pembatas tembok. Di depannya terdapat sebuah pintu yang di tutupi oleh dahan yang merambat. Sekilas tidak ada pintu di depannya. Nara menyimpulkan kalau ini adalah jalan rahasia lain yang ingin di tunjukkan oleh sipir pendiam itu.