Menjelang senja Ponpes Cendrawasi belum juga kami temukan. Suasana sunyi, sepi, dan mencekam. Lampu kepala (head lamp) mulai kami pasang. Sinar dari head lamp menerangi jalan setapak yang mulai burem. Ini mirip jalan menuju rumah para pemburu yang mengerikan.
Kami memasuki hutan pinus yang lebat.
Selimut gelap mulai menyelubungi suasana sekitar.
Malam makin pekat. Serba hitam dan gelap. Tubuh kami menuntut haknya. Tapi tidak sekarang. Bukan saat yang tepat untuk rebahan di tengah kegelapan.
"Ben suara apa itu," bisik Ares.
"Anjing hutan," jawab Naura. Kami berjalan bergegas. Mencoba membuat jarak dengan gonggongan Anjing. Suara Anjing itu makin menimbulkan efek provokasi. Kami terkepung dengan nyalak anjing yang merusak konsentrasi kami dalam waktu singkat.
"Ben, kau lihat di balik semak-semak itu," bisik Naura.
"Mata para Anjing itu kah,"
"Ya."
Kawanan para anjing itu menatap kami galak. Mereka keluar dari semak-semak sembari menyalak satu persatu. Diantaranya melolong seperti melihat mahluk astral. Kami berempat di anggap buruan segar. Anjing paling besar maju terlebih dahulu. Seringainya menyeramkan. Terlihat ingin mengatakan sesuatu. Kalian semua benar-benar bodoh.
"Jangan ada yang bergerak," pintanya tiba-tiba. Anjing-anjing itu mulai berjalan pelan mendekati kami yang saling berdekatan. Aku terasa ingin pipis di celana, tapi apa kata dunia.
Seperti di Film favorit, Naura melesatkan satu persatu anak panah dengan kecepatan yang sulit kuceritakan. Kawanan Anjing itu melengking keras ketika kepalanya tertembus anak panah satu persatu. Mereka terkapar sebelum taringnya mengoyak kulit kami. Di antara mereka ada yang melarikan diri sebelum tiada.
Kami berjalan lebih cepat. Tubuh Ares yang gembul kelihatan lucu. Di depan sana, ada jalan setapak yang bebas dari semak.
"Anjing-Anjing itu makin dekat." Kiera panik. Kawanan anjing lainnya, mengejar dan mengendus langkah kami.
"Anak panah masih ada Ra," bisikku.
"Tinggal satu."
Aku melihat sebuah glondongan kayu besar teronggok menyerupai peti kemas. Tengahnya berlubang dengan diameter kira-kira tiga meter. Suara-suara anjing itu makin memecahkan akal sehat kami.
"Teman-teman cepat masuk!" Ares membentangkan sebuah kain kamuflase, untuk menutupi lubang pintu masuk. Kutaburkan bubuk kopi di atas kain itu. Aku tak tahu pasti, taburan kopi itu berfungsi atau tidak.
"Ben!, cepat!" Pinta Ares
Aku masuk dan bersembunyi di dalam terowongan kayu glondongan bersama ketiga temanku yang sama-sama terpaku.
Anjing-Anjing hampir saja menemukan kami, mereka sibuk mengendus-ngendus kain penutup lobang. Berkeliling sepanjang glondongan kayu purba. Mereka tak berhasil mencium keberadaan kami. Langkah-langkah kakinya terdengar sibuk. Kemampuannya menghidu betul-betul mereka gunakan.
Mereka tetap mondar-mandir seperti satpam sekitar sebelas menit. Berikutnya langkah mereka lenyap berganti dengan desauan air terjun yang terdengar sayup di kejauhan.
Di dalam terowongan kayu, Kiera dan Naura tak mengeluarkan sepatah kata. Ia duduk sambil memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 miliknya. Ia seperti sedang mengumpulkan cakra.
Untuk beberapa saat kami berempat hanya diam membisu. Bahkan Kiera sudah tertidur, kasihan sekali. Kunyalakan glow stick yang sempat ku bawa. Hadiah dari Paman Erik. Kata Paman Erik nyala lampunya bisa bertahan sampai delapan jam. Satu persatu dari kami tumbang tertidur pulas. Aku masih terjaga untuk sesaat. Lalu gelap muncul kemudian, entah mendengkur atau tidak. Gelap itu kami perlukan dalam kondisi seperti ini.
Baru terlelap sebentar, Aku dan Ares terbangun. Kusempatkan untuk menyemprotkan minyak wangi pengusir serangga dan hewan melata lainnya. Tak lama, Ares mendengkur membentuk melodi yang rancak. Di sertai batuk, bersin, dan mengigau. Ku sinari wajah Naura dan Kiera bergantian. Naura terlihat damai memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 dan mimpinya. Sementara Kiera tidur menyender di bahu Naura sambil tersenyum.
Senin pagi yang lembab. Kami melewati sebuah sungai dangkal berbatu. Airnya jernih dan menyejukkan. Naura dan Kiera membasuh mukanya. Ares nyebur tak peduli dengan jaket yang ia pakai. Bunyi kecipak seperti buaya kawin. Aku asik mengisi botol minuman pada salah satu sudut mata air. Setelah tubuh segar dan penatpun hilang, kami melanjutkan perjalanan.
Hujan turun dengan deras. Naura kembali siap dengan Crossbow Barnet Ghost 350 nya bersama anak panah yang telah kembali. Lebatnya hujan telah mengurangi jarak pandang kami. Sulit membedakan langkah hewan dan langkah kaki sendiri. Serangan seekor Harimau lapar dapat melumpuhkan salah satu dari kami.Perlahan hujan mulai reda. Tetesannya tak lagi mencemaskan. Ketakutan tentang terkaman harimau begitu menghantuiku. Di tambah tatapan monyet besar yang sedang menyender pada bahu sang jantan
Perjalanan kami terhenti. Seorang pemuda bertubuh kekar, penuh rajah, rambut di kepang dua, dan menggenggam tombak pendek. Tangan lain memegang busur. Pisau berburu terselip diantara ikat pinggangnya. Mungkin saja ia memiliki senjata rahasia yang disembunyikan rapat-rapat. Jaraknya kami dengannya hanya dua depa orang dewasa.
"Kalian mau kemana." Suaranya terdengar dingin, angkuh, dan terlatih seperti salesmen.
"Desa Candi Nata," jawabku
"Kalian mata-mata ya!" katanya. Matanya semakin tajam. Untung saja tidak putih semua.
Kami menggeleng. Jakun Ares sudah naik turun.
"Saya bisa dapat hadiah besar, bila bisa memenggal kepala kalian!" katanya tegas. Giginya menyeringai dan senyumnya kecut asam manis.
Posisi kami terpojok. Aku terkejut ketika Naura malah merentangkan busur Crossbow Barnet Ghost 350 dengan anak panah terakhir. Kepanikan segera menyergap.
Pemuda berkepang itu mendengus kesal. Kiera secara tak terduga mengeluarkan pisau lemparnya. Sebenarnya mereka siapa?. Celanaku masih kering. Jangan sampai ngompol di celana.
"Tunggu!, ku coba mengulur waktu. Lutut kananku bergetar.
"Sedikit kalian bergerak!, salah satu dari kalian akan tewas!" ancamnya.
"Begitu juga kau!" tegas Naura
"Dasar amatir!" Jawabnya.
"Jangan kau anggap kami anak kecil," seringai Kiera.
"Iya!" Ares memberi kejelasan siapa kami. Ia
berkata sambil mengacungkan ranting kayu yang di ambil acak. Lubang hidungnya berubah-ubah. Kedua kakinya bergetar, bibirnya gemeter. Ketegangan makin memuncak.
"Tunggu!"
"Apa!, Intonasinya makin tak nyaman di telinga.
Kuberikan kalung pemberian bang Zoro.
"Kau dapat dari mana hah!, pemuda berambut kepang bereaksi takut. Matanya membelakak. Bibirnya berkedut. Ia seperti melihat hantu.
"Hadiah dari teman," ucapku.
"Dasar bodoh!, seharusnya kau harus lebih hormat pada kalabubu ini." Tampak ragu-ragu ia menerimanya. Tangannya seperti orang terkena stroke, lututnya juga ikut bergoyang, entah apa maknanya. Naura menurunkan busurnya yang terentang beserta anak panahnya
"Mati kau!, teriak Kiera sambil melempar pisau yang terselip diantara jemarinya. Pemuda berkepang itu menangkis dengan tombak kecil dan menghempaskan pisau kecil itu ke tanah. Ia kemudian menyembunyikan tombak kecil di balik bahunya.
"Sompret!" ku arahkan tinju kananku ke arah dagu pemuda berkepang itu. tapi, meleset beberapa inchi. Nafasku memburu. Kemungkinan kecil untuk mengalahkannya.
"Amatir," kata-katanya mengejek. Ia mengeluarkan parang panjang dari balik punggungnya yang liat. Kalung yang ku berikan juga masih digenggamnya erat.
"Licik."
"Kau yang bodoh." Katanya.
"Kepalamu bisa dijadikan mahar untuk calon istri saya." Ia tersenyum lebar, giginya merah.
Suasana makin genting. Tiba-tiba sebuah boomerang melesat cepat tepat mengenai pergelangan tangan pemuda berambut kepang. Ia melenguh kesakitan. Busur dan anak panahnya terlempar ke semak. Kalungnya juga ikut terjatuh. Kupikir dia sakti mandra guna. Ia bergerak cepat lari kedalam hutan pinus, dan menuju pepohonan yang rapat. Gerakan begitu cepat seperti siamang.
Pemuda lain muncul dari balik semak-semak yang rapat. Wajahnya tertutup riasan gelap. Badannya kekar dan berpostur tinggi. Di punggungnya menggelayut sebuah tas ransel.
Aku duduk diatas akar pohon besar. Debar jantungku masih cepat. Ares menggelosorkan tubuhnya ke atas tanah seperti ular terpotong kepalanya. Kiera menyelipkan kembali pisau kecilnya yang luput sasaran. Pemuda berias gelap itu mendekatiku. Aku menjaga jarak dengannya. Kami mungkin selamat dari mulut macan, malah masuk mulut singa.
"Ben, kau tak apa." Ia tersenyum, barisan giginya kukenal. Tetapi dimana ya. Tak kusangka, ia lantas menjewer kupingku kuat-kuat. "Aduh sakit tahu!" ku coba untuk menepis tangannya tetapi gagal. "Kau mau jadi jagoan ya?" Ia menyebut namaku kembali. Aku mencoba mengingat dimana gigi itu ku lihat. Telingaku terasa panas.
Pemuda itu menghapus riasannyanya dengan kain. Aku terkejut riang. Seorang yang sangat ku kenal dari kecil.
"Paman Erik!, dari mana paman tahu?"
Malam berikutnya. Kami sampai di jembatan gantung yang cukup panjang, tepat ketika malam telah meruntuhkan cahaya. Di ujung jembatan, ribuan kunang-kunang menyambut kami. Mengusir penat dan lelah. Naura dan Kiera lari-lari kecil untuk bermain dengan kunang-kunang itu. Karpet safana terpampang megah. Langit terlalu cerah untuk diabaikan. Kami makin dekat dengan pintu utama Ponpes Cendrawasih yang berdiri gagah di tengah Padang Safana.
Seorang santri menyambut kami. Ia mempersilahkan kami untuk duduk di salah satu saung beratap daun Aren. Tak lama, beraneka macam makanan ditampilkan. Delapan cangkir teh rosela panas siap untuk diseruput. Ponpes ini dikelilingi tembok tinggi yang kokoh. Sebuah konstruksi bangunan yang baik dari serangan hewan buas, atau manusia tak bermoral. Terdengar pekikan langit saling bersahutan. Terdengar dzikir setelah sholat maghrib.
Tiga orang datang menuju saung kami duduki. Diakah pimpinan pondak yang terkenal itu?
"Kyai, apa kabar." Paman Erik membuka percakapan.
"Alhamdulillah, Erik, sudah lama tak bertemu. Rupanya takdir berkehendak. Saya dapat informasi kalau ada sekelompok remaja pemberani yang datang mengantarkan surat undangan pensi ke sini, ternyata kau bersama mereka."
"Benar Kyai, keempatnya siswa dari MAN Idolaku. Salah satu dari mereka adalah keponakan saya."
"Mana?" ucapnya senang.
Ku acungkan tangan. Aku pun menyerahkan undangan pensi ke tangan Kyai itu. Ia menerimanya sambil tersenyum, mata menenangkan.
"Berikan ucapan terimakasih kepada kepala sekolah. Bila Tuhan berkehendak kami akan datang ke sekolah kalian. Menginaplah malam ini, tubuh kalian butuh istirahat. Santri sudah mempersiapkan kamar terbaik."