Rabu, 12 Februari 2025

10. Petualangan

Aku terkejut ketika Naura mengeluarkan Crossbow Barnet Ghost 350 dan anak panah dari tas ransel yang terlihat sesak melebihi kepala. Ia mulai menyiapkan dengan caranya sendiri, terlihat mengagumkan.

Menjelang senja Ponpes Cendrawasi belum juga kami temukan. Suasana sunyi, sepi, dan mencekam. Lampu kepala (head lamp) mulai kami pasang. Sinar dari head lamp menerangi jalan setapak yang mulai burem. Ini mirip jalan menuju rumah para pemburu yang mengerikan.

Kami memasuki hutan pinus yang lebat.

Selimut gelap mulai menyelubungi suasana sekitar.

Malam makin pekat. Serba hitam dan gelap. Tubuh kami menuntut haknya. Tapi tidak sekarang. Bukan saat yang tepat untuk rebahan di tengah kegelapan.

"Ben suara apa itu," bisik Ares.

"Anjing hutan," jawab Naura. Kami berjalan bergegas. Mencoba membuat jarak dengan gonggongan Anjing. Suara Anjing itu makin menimbulkan efek provokasi. Kami terkepung dengan nyalak anjing yang merusak konsentrasi kami dalam waktu singkat.

"Ben, kau lihat di balik semak-semak itu," bisik Naura.

"Mata para Anjing itu kah,"

"Ya."

Kawanan para anjing itu menatap kami galak. Mereka keluar dari semak-semak sembari menyalak satu persatu. Diantaranya melolong seperti melihat mahluk astral. Kami berempat di anggap buruan segar. Anjing paling besar maju terlebih dahulu. Seringainya menyeramkan. Terlihat ingin mengatakan sesuatu. Kalian semua benar-benar bodoh.

"Jangan ada yang bergerak," pintanya tiba-tiba. Anjing-anjing itu mulai berjalan pelan mendekati kami yang saling berdekatan. Aku terasa ingin pipis di celana, tapi apa kata dunia.

Seperti di Film favorit, Naura melesatkan satu persatu anak panah dengan kecepatan yang sulit kuceritakan. Kawanan Anjing itu melengking keras ketika kepalanya tertembus anak panah satu persatu. Mereka terkapar sebelum taringnya mengoyak kulit kami. Di antara mereka ada yang melarikan diri sebelum tiada.

Kami berjalan lebih cepat. Tubuh Ares yang gembul kelihatan lucu. Di depan sana, ada jalan setapak yang bebas dari semak.

"Anjing-Anjing itu makin dekat." Kiera panik. Kawanan anjing lainnya, mengejar dan mengendus langkah kami.

"Anak panah masih ada Ra," bisikku.

"Tinggal satu."

Aku melihat sebuah glondongan kayu besar teronggok menyerupai peti kemas. Tengahnya berlubang dengan diameter kira-kira tiga meter. Suara-suara anjing itu makin memecahkan akal sehat kami.

"Teman-teman cepat masuk!" Ares membentangkan sebuah kain kamuflase, untuk menutupi lubang pintu masuk. Kutaburkan bubuk kopi di atas kain itu. Aku tak tahu pasti, taburan kopi itu berfungsi atau tidak.

"Ben!, cepat!" Pinta Ares

Aku masuk dan bersembunyi di dalam terowongan kayu glondongan bersama ketiga temanku yang sama-sama terpaku.

Anjing-Anjing hampir saja menemukan kami, mereka sibuk mengendus-ngendus kain penutup lobang. Berkeliling sepanjang glondongan kayu purba. Mereka tak berhasil mencium keberadaan kami. Langkah-langkah kakinya terdengar sibuk. Kemampuannya menghidu betul-betul mereka gunakan.

Mereka tetap mondar-mandir seperti satpam sekitar sebelas menit. Berikutnya langkah mereka lenyap berganti dengan desauan air terjun yang terdengar sayup di kejauhan.

Di dalam terowongan kayu, Kiera dan Naura tak mengeluarkan sepatah kata. Ia duduk sambil memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 miliknya. Ia seperti sedang mengumpulkan cakra.

Untuk beberapa saat kami berempat hanya diam membisu. Bahkan Kiera sudah tertidur, kasihan sekali. Kunyalakan glow stick yang sempat ku bawa. Hadiah dari Paman Erik. Kata Paman Erik nyala lampunya bisa bertahan sampai delapan jam. Satu persatu dari kami tumbang tertidur pulas. Aku masih terjaga untuk sesaat. Lalu gelap muncul kemudian, entah mendengkur atau tidak. Gelap itu kami perlukan dalam kondisi seperti ini.

Baru terlelap sebentar, Aku dan Ares terbangun. Kusempatkan untuk menyemprotkan minyak wangi pengusir serangga dan hewan melata lainnya. Tak lama, Ares mendengkur membentuk melodi yang rancak. Di sertai batuk, bersin, dan mengigau. Ku sinari wajah Naura dan Kiera bergantian. Naura terlihat damai memeluk Crossbow Barnet Ghost 350 dan mimpinya. Sementara Kiera tidur menyender di bahu Naura sambil tersenyum.

Senin pagi yang lembab. Kami melewati sebuah sungai dangkal berbatu. Airnya jernih dan menyejukkan. Naura dan Kiera membasuh mukanya. Ares nyebur tak peduli dengan jaket yang ia pakai. Bunyi kecipak seperti buaya kawin. Aku asik mengisi botol minuman pada salah satu sudut mata air. Setelah tubuh segar dan penatpun hilang, kami melanjutkan perjalanan.

Hujan turun dengan deras. Naura kembali siap dengan Crossbow Barnet Ghost 350 nya bersama anak panah yang telah kembali. Lebatnya hujan telah mengurangi jarak pandang kami. Sulit membedakan langkah hewan dan langkah kaki sendiri. Serangan seekor Harimau lapar dapat melumpuhkan salah satu dari kami.Perlahan hujan mulai reda. Tetesannya tak lagi mencemaskan. Ketakutan tentang terkaman harimau begitu menghantuiku. Di tambah tatapan monyet besar yang sedang menyender pada bahu sang jantan

Perjalanan kami terhenti. Seorang pemuda bertubuh kekar, penuh rajah, rambut di kepang dua, dan menggenggam tombak pendek. Tangan lain memegang busur. Pisau berburu terselip diantara ikat pinggangnya. Mungkin saja ia memiliki senjata rahasia yang disembunyikan rapat-rapat. Jaraknya kami dengannya hanya dua depa orang dewasa.

"Kalian mau kemana." Suaranya terdengar dingin, angkuh, dan terlatih seperti salesmen.

"Desa Candi Nata," jawabku

"Kalian mata-mata ya!" katanya. Matanya semakin tajam. Untung saja tidak putih semua.

Kami menggeleng. Jakun Ares sudah naik turun.

"Saya bisa dapat hadiah besar, bila bisa memenggal kepala kalian!" katanya tegas. Giginya menyeringai dan senyumnya kecut asam manis.

Posisi kami terpojok. Aku terkejut ketika Naura malah merentangkan busur Crossbow Barnet Ghost 350 dengan anak panah terakhir. Kepanikan segera menyergap.

Pemuda berkepang itu mendengus kesal. Kiera secara tak terduga mengeluarkan pisau lemparnya. Sebenarnya mereka siapa?. Celanaku masih kering. Jangan sampai ngompol di celana.

"Tunggu!, ku coba mengulur waktu. Lutut kananku bergetar.

"Sedikit kalian bergerak!, salah satu dari kalian akan tewas!" ancamnya.


"Begitu juga kau!" tegas Naura

"Dasar amatir!" Jawabnya.

"Jangan kau anggap kami anak kecil," seringai Kiera.

"Iya!" Ares memberi kejelasan siapa kami. Ia
berkata sambil mengacungkan ranting kayu yang di ambil acak. Lubang hidungnya berubah-ubah. Kedua kakinya bergetar, bibirnya gemeter. Ketegangan makin memuncak.

"Tunggu!"

"Apa!, Intonasinya makin tak nyaman di telinga.

Kuberikan kalung pemberian bang Zoro.

"Kau dapat dari mana hah!, pemuda berambut kepang bereaksi takut. Matanya membelakak. Bibirnya berkedut. Ia seperti melihat hantu.

"Hadiah dari teman," ucapku.

"Dasar bodoh!, seharusnya kau harus lebih hormat pada kalabubu ini." Tampak ragu-ragu ia menerimanya. Tangannya seperti orang terkena stroke, lututnya juga ikut bergoyang, entah apa maknanya. Naura menurunkan busurnya yang terentang beserta anak panahnya

"Mati kau!, teriak Kiera sambil melempar pisau yang terselip diantara jemarinya. Pemuda berkepang itu menangkis dengan tombak kecil dan menghempaskan pisau kecil itu ke tanah. Ia kemudian menyembunyikan tombak kecil di balik bahunya.

"Sompret!" ku arahkan tinju kananku ke arah dagu pemuda berkepang itu. tapi, meleset beberapa inchi. Nafasku memburu. Kemungkinan kecil untuk mengalahkannya.

"Amatir," kata-katanya mengejek. Ia mengeluarkan parang panjang dari balik punggungnya yang liat. Kalung yang ku berikan juga masih digenggamnya erat.

"Licik."

"Kau yang bodoh." Katanya.

"Kepalamu bisa dijadikan mahar untuk calon istri saya." Ia tersenyum lebar, giginya merah.

Suasana makin genting. Tiba-tiba sebuah boomerang melesat cepat tepat mengenai pergelangan tangan pemuda berambut kepang. Ia melenguh kesakitan. Busur dan anak panahnya terlempar ke semak. Kalungnya juga ikut terjatuh. Kupikir dia sakti mandra guna. Ia bergerak cepat lari kedalam hutan pinus, dan menuju pepohonan yang rapat. Gerakan begitu cepat seperti siamang.

Pemuda lain muncul dari balik semak-semak yang rapat. Wajahnya tertutup riasan gelap. Badannya kekar dan berpostur tinggi. Di punggungnya menggelayut sebuah tas ransel.

Aku duduk diatas akar pohon besar. Debar jantungku masih cepat. Ares menggelosorkan tubuhnya ke atas tanah seperti ular terpotong kepalanya. Kiera menyelipkan kembali pisau kecilnya yang luput sasaran. Pemuda berias gelap itu mendekatiku. Aku menjaga jarak dengannya. Kami mungkin selamat dari mulut macan, malah masuk mulut singa.

"Ben, kau tak apa." Ia tersenyum, barisan giginya kukenal. Tetapi dimana ya. Tak kusangka, ia lantas menjewer kupingku kuat-kuat. "Aduh sakit tahu!" ku coba untuk menepis tangannya tetapi gagal. "Kau mau jadi jagoan ya?" Ia menyebut namaku kembali. Aku mencoba mengingat dimana gigi itu ku lihat. Telingaku terasa panas.

Pemuda itu menghapus riasannyanya dengan kain. Aku terkejut riang. Seorang yang sangat ku kenal dari kecil.

"Paman Erik!, dari mana paman tahu?"

Malam berikutnya. Kami sampai di jembatan gantung yang cukup panjang, tepat ketika malam telah meruntuhkan cahaya. Di ujung jembatan, ribuan kunang-kunang menyambut kami. Mengusir penat dan lelah. Naura dan Kiera lari-lari kecil untuk bermain dengan kunang-kunang itu. Karpet safana terpampang megah. Langit terlalu cerah untuk diabaikan. Kami makin dekat dengan pintu utama Ponpes Cendrawasih yang berdiri gagah di tengah Padang Safana.

Seorang santri menyambut kami. Ia mempersilahkan kami untuk duduk di salah satu saung beratap daun Aren. Tak lama, beraneka macam makanan ditampilkan. Delapan cangkir teh rosela panas siap untuk diseruput. Ponpes ini dikelilingi tembok tinggi yang kokoh. Sebuah konstruksi bangunan yang baik dari serangan hewan buas, atau manusia tak bermoral. Terdengar pekikan langit saling bersahutan. Terdengar dzikir setelah sholat maghrib.

Tiga orang datang menuju saung kami duduki. Diakah pimpinan pondak yang terkenal itu?

"Kyai, apa kabar." Paman Erik membuka percakapan.

"Alhamdulillah, Erik, sudah lama tak bertemu. Rupanya takdir berkehendak. Saya dapat informasi kalau ada sekelompok remaja pemberani yang datang mengantarkan surat undangan pensi ke sini, ternyata kau bersama mereka."

"Benar Kyai, keempatnya siswa dari MAN Idolaku. Salah satu dari mereka adalah keponakan saya."

"Mana?" ucapnya senang.

Ku acungkan tangan. Aku pun menyerahkan undangan pensi ke tangan Kyai itu. Ia menerimanya sambil tersenyum, mata menenangkan.

"Berikan ucapan terimakasih kepada kepala sekolah. Bila Tuhan berkehendak kami akan datang ke sekolah kalian. Menginaplah malam ini, tubuh kalian butuh istirahat. Santri sudah mempersiapkan kamar terbaik."

Selasa, 11 Februari 2025

9. Tersesat


Satu siang yang panas.

Usai bel sekolah, bang Zoro sudah menjemput di depan sekolah. Aku dan Naura diantarkan bang Zoro menuju lokasi yang kami tuju. Tak lama sebuah mobil jeep hitam arang datang. Naura berdiri memastikan siapa yang muncul. Pintu mobil terbuka, turun seorang gadis memakai baju army, syal melilit di lehernya, dan tas ransel menggelayut di punggungnya.

"Kiera!" Seru Naura. Ia menghambur dan keduanya berpelukan.

"Kakak tidak senang saya datang," kata Kiera.

"Dari mana kau tahu perjalanan ini."

"Sumber yang terpercaya."

"Kau tidak suka dikawal oleh dua putri titanium dari klan bidadari ya," tukas Naura.

"Bukan?"

"Lalu."

"Kalian hampir 'membunuhku' kemarin, keterlaluan sekali, aku tak mau misi ini gagal."

"Kau masih marah." Tanya Naura.

"Kami berdua hanya mengukur seberapa besar kepedulianmu pada kami."

"Aku tak mengerti jalan pikiran kalian."

"Terimakasih ya Ben."

"Jangan lakukan lagi, bahaya tahu."

"Jadi kakak udah nggak marah nih." Ledek Kiera.

Aku perlu memberi jarak pada pikiranku. Tak lama mereka menawariku berbagai cemilan. Kuambil cemilan dari mereka dan makan tak jauh dari mereka. Kelakuan mereka masih menyisakan rasa dongkol. Apakah semua gadis perlu sedemikian rupa dalam menguji sahabatnya sendiri.

Kami berjalan melintasai jalan beraspal yang di apit persawahan hijau. Kalau malam mungkin tampak menyeramkan. Kanan kiri jalan penerangan terbatas sekali. Kami beristirahat di bawah pohon dadap dan mulai menikmati bekal makan siang tanpa banyak bicara.

Sebuah angkot datang.

"Mau kemana kalian," ucap sang sopir. Ia menjulurkan kepalanya. Tubuhnya gempal dan suaranya yang ku kenal. Di mana ya?. Sopir itu menurunkan ujung topinya hingga menutupi setengah wajahnya.

"Ponpes Cendrawasih," kataku.

"Tempatnya jauh, kalian serius kesana."

"Kami harus ke sana."

Supir itu malah tertawa, tak ada yang lucu. Tubuh gempalnya goyang-goyang. Makin jelas sudah.

"Ares, kupikir kau nggak datang." Aku berseru gembira. Ia mahir juga menyamar.

"Itu bukan gaya saya Ben."

Satu jam telah berlalu.

"Jika normal, tinggal delapan kilometer lagi kita akan sampai di ponpes cendrawasih." Ares menyodorkan selembar peta ke arahku. Jalanan sangat lengang, seperti desa mati.

Kami berhenti di depan sebuah penginapan. Tak beruntung. Penginapan itu lebih mengerikan dari pada jalanan lengang yang barusan kami lewati. Halaman tak terawat dan banyak gulma tumbuh menjulang menghalangi pandangan. Kami melanjutkan perjalanan.

Kiera terlihat gugup. Naura mulai menghimpun ketenangan yang menurutku terlihat aneh. Pandangannya setajam silet. Bulu kudukku meremang. Kami melewati jalan beraspal hitam yang di jaga hutan lebat tak bertepi. Desau angin lebih menakutkan. Penginapan yang kami cari tak kunjung ketemu.

"Aduh, gawat Ben!"

"Kenapa Res!"

"Kita tersesat!"

Kiera tiba-tiba berteriak. Wajah Naura menegang. Suara nyalak anjing buruk rupa mengejar angkot. Ukurannya tinggi besar dan wajahnya seperti bonek terbakar. Mereka berlima dalam kerumunan yang solid.

"Res kau bisa lebih cepat!, teriakku.

"Kita lihat saja!"

Tangan kanan Ares menekan sebuah tombol. Ares menyeringai ke arahku. Sebuah benda kecil muncul diantara kedua kakinya. Bertuliskan NOSE. Sebuah tulisan yang pernah ku lihat di film laga. Suara anjing menyalak galak tak bosan mengejar. Mereka makin beringas dan ganas. Mungkin kami telah mengganggu musim kawin meraka. Ares menekan tombol NOSE dengan jempol hobbitnya.

"Semua pegangan!" teriak Ares.

Jantungku berdenyut lebih kencang. Ares komat-kamit merapalkan sesuatu, terdengar kalimat langit yang dilafalkan tanpa intonasi. Angkot hitam kerbau melaju kencang. Anjing-anjing kelabu itu tertinggal jauh. Dalam hitungan menit anjing-anjing menyebalkan itu kembali mengejar. Seringainya makin memuakkan. Air liur berjatuhan di atas aspal. Lidahnya menjulur meledek. Matanya selegam arang sate. Manurut orang tua, Anjing itu diberi nasihat atau tidak, ia tetap saja menjulurkan lidah. Dasar Anjing.

"Kau bisa lakukan seperti yang tadi," tanya Kiera.

"Ada satu cara agar kita bisa kabur dari mereka!, sekarang kau naik ke kap. Ada tiga tombol warna!, warna merah, hijau, dan kuning. Warna merah untuk keluarin parasut!, cepat Ben!"

"Ya!"

Aku keluar melalui jendela. Susah payah naik ke atas kap mobil. Sejak kapan Ares melengkapi angkotnya dengan alat-alat canggih. Ia ternyata tidak hanya jago main basket. Kedua kakiku gemetar sibuk merangkak di atas angkot. Lajunya kencang tapi tetap terkejar oleh anjing-anjing itu. Seekor Anjing mulai mendekati bemper belakang mobil. Gonggongannya sukses membuatku merinding. Ku tekan tombol merah cepat-cepat. Bukan parasut, tetapi potongan-potongan daging berbentuk dadu meluncur cepat ke arah mereka. Sekarang mereka sibuk mengunyah daging gratis sambil mendengus rakus.

"Katanya terbang!, kau bohong ya!"

"Sorry!, lupa!, bukan merah!, tapi kuning!." Aku masih duduk di atas kap angkot. Semak-semak di kanan kiri makin rebah. Pohon-pohon besar dan rapat. Cahaya matahari tak sudi menyambangi ujung rerumputan. Suasana langka seperti ini patutnya untuk kontemplasi. Didampingi burung-burung berkicau bersahutan memadu kasih. Ditingkahi suara monyet besar yang sedang birahi. Memuncaki libido yang terkekang puluhan hari. Mereka mungkin sedang kawin, atau sedang bertengkar berebut makanan.

Anjing-anjing berwajah boneka terbakar itu memberi jeda barang sejenak. Di antara mereka mungkin sedang sakit gigi, atau tak boleh menyentuh daging untuk sementara waktu.

Padang safana menyambut kami setelah terjebak dalam hutan yang epik. Ilalang tampak selalu tinggi. Penginapan belum tampak juga. Rasa udara safana mengurangi ketegangan. Sambil duduk bersila, kupandangi safana yang beraroma jamur. Aku hampir terjungkal kebelakang, secara mendadak Ares sudah menekan gas mobil kuat-kuat.

"Ada apa lagi Res!"

"Harimau mengejar!, juga para Singa!"

Aku tak menyangka Harimau dan Singa bisa akur memburu kami. Apakah mereka sudah memiliki kesepakatan-kesepakatan.

"Apa salah kita Res!"

"Mungkin mereka sedang pedekate!"

"Ngaco!"

Hembusan angin menampar-nampar. Membuat mataku berair. Kupegangi kuat-kuat salah satu besi pegangan. Ares makin terobesesi dengan kecepatan mobilnya. Angkot mendatangi salah satu bukit yang cukup tinggi. Sampai di titik yang kritis. Angkot lompat dan meluncur tajam terseret gravitasi. Ku pukul tombol kuning. Seperti sulap, sebuah parasut keluar secara otomatis membentuk payung besar. Di antara roda belakang muncul baling-baling yang berputar cepat. Dalam detik yang menegangkan angkot berhasil terbang melayang. Ku lihat Harimau berhenti diam, mungkin takjub. Harimau manyun di tempat, mungkin tak jadi naik angkot. Aku berteriak senang sekaligus sedih. Selama hidup tak pernah kulihat hewan dengan mimik paling menyentuh.

Angkot terbang membumbung tinggi mengangkangi hutan, lembah, dan padang rumput. Dua puluh dua menit kami mengudara di atas hutan. Dari atas angkot ini, segala hal yang di bawah tampak lebih mudah. Kalian menyangka itu pasti mustahil, tetapi bagi orang yang berusaha keras dan kreatif tidak akan sulit untuk mengubah angkot biasa menjadi angkot terbang. Aku mesti menyanjung tinggi tentang kemampuan modifikasi kendaraan yang dimilikinya.

Aku terbelalak, merinding bulu roma. Duduk di atas angkot sambil 'menikmati' pemandangan. Sampai pada satu kesempatan, kulihat sebuah bangunan mirip kastil, berwarna biru, berdiri megah di atas padang yang luas. Dipeluk hutan-hutan yang rimbun dan asri. Terlihat orang-orang "aneh" yang tampak memanggul karung-karung besar dan kecil.

"Lihat!, ada bangunan biru di bawah!"

Naura dan Kiera menjulurkan kepalanya. Melihat ke bawah. "Wah!, keren!" Seru Kiera.

"Kita harus kesana kapan-kapan," usul Naura.

"Pasti," sambutku.

Lima berlalu, bangunan mirip kastil tak lagi terlihat. Hutan lebat telah menghilangkan keindahan kastil itu.

"Ada penginapan di bawah!"

"Kita turun Ben!" Teriak Ares sambil menjulurkan kepalanya.

Angkot mendarat. Kuharap semua ini hanya mimpi.

"Kau lama sekali di atas, kau tidak kencing di celana kan?" Komentar Ares.

"Aku tak selemah itu!"

Ares tertawa. Beberapa orang keluar dari penginapan. Melihat pemandangan yang langka. Kami seperti outlander. Beberapa dari mereka mengambil 'kodak' yang bersuara legend.

Mereka saling berbisik satu sama lain. Ada yang mengangguk, menggeleng, dan menggumankan sesuatu. Mungkin kami dianggap mahluk aneh yang turun mendadak dari langit.

Seorang laki-laki dewasa berwajah X-Man menyambut kami. Mengklaim dirinya sebagai pemilik penginapan. Pak Ahmad namanya. Mengenakan pakaian cowboy lengkap dengan syal dan topi lebar. Di pinggangnya terselip sebuah senter panjang klasik.

"Ada yang bisa saya bantu anak muda."

"Ada kamar kosong Pak."

Kami berkemas membawa tas caril ke kamar masing-masing. Beberapa dari penghuni penginapan masih terlihat penasaran dengan angkot milik Ares. Secara tak terduga, parasut dan baling-baling kembali ke tempat yang tersembunyi. Ares terlihat senang dengan kerumunan orang-orang itu.

Para penghuni terlihat bersiap meninggalkan penginapan untuk berburu. Senapan angin dan alat perburuan lainnya tampak menempel pada tubuh mereka. Mereka pergi dengan berkelompok, lengkap dengan anjing-anjing pemburu. Mereka tampak lebih bersahabat.

Ku buka sebuah peta di atas meja panjang. Ketiga temanku langsung berkumpul.

"Ada yang tahu posisi kita dimana?" tanyaku.

"Banyak yang berubah sekarang Ben," jawab Ares.

"Kita tanya sama pemilik penginapan ini, siapa tahu?" usul Naura.

"Permisi Pak, bapak bisa membaca peta ini?" aku mengawali pembicaraan.

Ia diam sejenak mengawasi jalur dan simbol yang ada di dalam peta. Matanya menerawang jauh. Desahan nafas panjang terdengar. Ia berdiri menatap jauh kedepan.

"Kalian mau kemana."

"Ponpes Cendrawasih," jawabku.

Kami kembali ke penginapan. Diskusi dengan pemilik penginapan membuat kami semangat.

Aku duduk di serambi penginapan. Lampu neon panjang di kerubungi ratusan laron. Tokek dan cicak cukup menjulurkan lidahnya cepat-cepat. Para pemburu pulang dari perburuannya. Mereka mungkin sudah memiliki izin berburu. Seekor rusa jantan berwarna coklat di panggul melintang kaku. Ada bekas sayatan di lehernya.

Salah satu pemburu menganggukkan kepala ke arahku. Akupun membalasnya. Ia menggunakan masker burung hantu. Di lehernya menggelantung sebuah wolkman. Ketika membuka maskernya ada luka sayatan di pipinya. Badannya terlihat kencang, ototnya tampak menonjol. Ia berjalan mendekatiku. Ia mengamati kalung yang ku pakai. Matanya tajam tak berkedip seolah menemukan barang langka yang telah lama hilang. Dari jarak sedekat ini ia akan memukulku dengan mudah. Pisau pendek terselip diantara ikat pinggangnya. Tubuhnya beraroma pandan.

"Darimana kau dapatkan kalabubu itu." Ia menunjuk ke leherku.

"Oh, maksudmu kalung ini," tanyaku penasaran.

"Iya."

"Oh, ini dapat dari seorang teman, kenapa?"

"Dulu, kalung itu semacam kebanggaan setiap lelaki di Nias Selatan yang ingin jadi prajurit. Namanya kalabubu, kalung yang terbuat dari kayu istimewa. Hadiah "berdarah" bagi prajurit yang naik pangkat, dengan cara memburu kepala manusia, lalu tengkoraknya di gantung di osale sebagai hiasan. Setelah itu mereka mendapatkan kesempatan menikahi gadis pujaannya."

Aku terperanjat mendengar penjelasnnya.

"Osale itu apa," tanyaku.

"Mungkin semacam rumah panggung yang luas. Ujian lainnya setelah menjadi prajurit adalah melompati susunan batu setinggi 1,7 meter, itu bukan perkara mudah, karena prajurit Nias rata-rata bertubuh pendek. Kau bisa bayangkan itu." Jelasnya. Aku mengangguk-angguk saja, mencoba memahami.

Pemuda itu lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kaos dalamnya. "Kita punya kalung yang sama. Oh ya, nanti malam ada acara panggang daging rusa, kau dan teman-temanmu bergabunglah."

Ku anggukan kepala,dan membungkukkan badan sedikit.

Malam semakin larut. Burung hantu mulai bersuara. Aku masuk kamar mendapati Ares dalam dengkuran yang teratur. Kuputuskan untuk keluar untuk mencoba daging rusa panggang bersama pemuda tadi. Ku harap ia tidak basa-basi. Aku berpapasan dengan Naura setelah keluar dari kamar. Ia memakai sweter lengan panjang. Bersepatu kets hitam. Kedua telapak tangannya ia masukan ke dalam saku.

"Kau mau kemana Ben."

"Gabung sama anak-anak pemburu, mereka berhasil membawa pulang seekor rusa besar. Kalian juga di undang."

Ia menatapku dingin. Pandangan matanya betul-betul meruntuhkan. Khas seorang sekar kedaton.

Kami berjalan menuju tempat kongkow para pemburu yang sedang memanggang sebagain daging rusa. Bau gurih menyergap hidungku. Tajam dan menggugah selera. Pemilik penginapan juga hadir. Ia menjadi semacam penanda kemeriahan acara ini. Pemuda tadi menyambut kami ramah. Wolkman masih menggelayut manja di lehernya.

Lima setengah menit Ares datang. Keduanya matanya masih memerah. Rasa lapar telah membangungkan tidurnya. Kami mencoba akrab satu sama lain. Kiera datang dan menoleh ke berbagai sisi. Naura melambaikan tangan ke arahnya. Keramaian tiba-tiba senyap. Seperti orong-orong yang tiba-tiba berhenti bersuara karena kaget. Ia mengenakan baju hangat panjang, mirip seperti blazer. Bersepatu bot hingga nyaris menutupi lututnya.

"Kalian pemburu, bukan pria hidung belang. Kalau kalian menggunakan "pelana" bukan pada tempatnya. Lihat saja, istri atau ibu kalian akan membuat kalian mengggigil tidur di luar sepanjang musim salju." Ucap pemilik penginapan. Ia lantas duduk dan mengeluarkan pisau pendek, memotong apel merah yang tiba-tiba muncul.

Aku ingin tenang. Wedang jahe ku seruput pelan-pelan. Daging rusa panggang akhirnya dibagikan dalam nampan-nampan kecil. Kami mulai mengunyahnya pelan-pelan. Ini seperti makan daging kelinci yang empuk dan kenyal. Lengkap dengan sambel kecap berisi irisan cabe dan bawang merah.

Kiera bergabung setelah aku duduk di bale. Satu persatu tumbang diatas pembaringan. Ia menatapku, aku tak membalasnya. Hanya sudut mataku yang bisa menangkapnya. 

"Kau tuhu guru ekonomi itu?"

"Tentu saja." 

"Ia Pelakor, waspadalah."

Senin, 10 Februari 2025

Guru Lama=Guru Baru


BABAK 6

Guru Lama, pikiran-pikirannya mampu mendobrak dinding penghalang bernama ketidakpercayaan atas nama pengorbanan-pengorbanan integritas. Tak mengandalkan pengorbanan sehingga ia mampu meninggalkan pekerjaan keluarga dan memberikan tugasnya pada pada orang lain sementara ia mampu. Mimilih tidur diruangan tertentu, merasa sudah kebal hukum (mungkin). Merasa telah berkorban lebih banyak dibanding guru lain, maka melimpahkan tugas pada guru baru atau guru lama yang bersifat (yes men), adalah termaafkan menurut dirinya dan dunianya. Berdalih telah melakukan banyak hal untuk lembaga yang telah membesarkan 'namanya', baik itu waktu-tenaga-biaya-dan merasa tak berdosa untuk menumbalkan guru lain (yang bisa diajak 'komproni'). Padahal 100 persen ia mampu berada dikelas dalam kondisi yang prima. Lalu memilih tidur dikantor barang sejenak untuk mengobati kantuknya yang hebat terbentur oleh jadwal yang hebat dan padat dihari libur. Padahal ia bisa membatasi itu semua. Lagi-Lagi pemberian kepercayaan secara penuh hingga berlebihan telah mengurangi sensor pribadinya, atas nama identitas yang seringkali menipu diri. 

Diatas tadi sejenis kepicikan yang sering melanda guru-guru lama. Ada banyak guru lama yang tetap setia pada proses, hingga tak mudah terjerumus pada hal-hal yang sifatnya kontradiktif-bersoal dengan hal yang tidak membawa perubahan sistem pendidikan sekolah. Ia hanya mengomentari kebenaran dan menjunjung tinggi kebenaran itu hingga tulang sumsumnya. Tidak mudah goyah oleh segelintir angin busuk yang berhembus. Mereka semakin kokoh dan mantap untuk melakukan pendampingan demi pendampingan. Itu jika tenaganya dan kemampuannya masih dipercaya, tanpa kepercayaan tertentu, guru lama sering memberi jarak pada dirinya bukan guru lain. Yakni mulai legowo untuk menerima perubahan. Dan mulai berpikir untuk memposisikan dirinya pada kebijakan tertentu, hingga tak lahir kekecewaan demi kekecewaan. Bila sudah terjebak pada satu kekecewaan, akan sulit keluar darinya, jika guru lama tak betul-betul melepasnya dan mengunci dirinya pada taraf saling mendoakan dan memaafkan. Karena memaafkan jauh lebih terhormat, karena posisi lebih tinggi derajatnya.  

Sementara Guru Baru, tak melulu soal pengabdian. Sehingga ia bisa melaju kapan saja tanpa pernah membaca situasi. Ia kokoh bersikap atas nama kemerdekaan bukan pengabdian. Pengabdiannya adalah bentuk feodal, jika nama itu diartikulasikan secara personal. Suatu saat ia bisa tergelincir dalam kubang merasa benar. Kata-katanya harus didengar guru lain. Dengan sedikit saja melepaskan diri dari penjara personal. ia bisa melihat situasi dengan kacamata nocturnal. Disisi lain ia bisa memiliki keberanian untuk datang di awal waktu, bukan tepat waktu. Tepat waktu adalah pengabdian personal. Ia harus datang awal waktu sebagai wujud hakiki pengabdian terhadap misi yang sedang dijalani; guru.

Ada banyak hal yang kadang dilewati guru baru. Menunjukkan kemampuan adalah satu hal, membuktikan kemampuan adalah dua hal lainnya. Semuanya pada taraf performa kebajikan. Seringkali melampaui batas, siapa dirinya, tetapi bisa menumbuhkan sikap kreasi yang tak terbatas. Semuanya dipolarisasi agar tak menerabas batas-batas dirinya dan orang lain. Tidak juga menampilkan semua hal ia tahu hasil dari pengalaman lama pada tempat yang baru, agar tidak terjebak pada situasi bahwa guru lama sudah semakin uzur dalam kreasi dan seterusnya. Pengalaman yang tidak ada pada tempat baru mesti bertahap agar suasa sosial tetap terjaga. Itu jika guru lama memakai kaca mata lebah, bila kebalikannya kacamata lalat yang dipakai, guru baru makin menemukan dirinya pada situasi yang membingungkan. Tidak percaya pada kemampuan diri dan memandangi guru lama dengan pikiran: Satu waktu datang muka satu lalu pergi dengan muka yang lain. Ini menyedihkan kawan. 

Yang bisa dilakukan menciptakan dua sayap kesatria bintang. Guru lama selalu terbuka pada hal-hal baru yang makin mengentalkan keguruannya, dan memandangi mereka (guru baru) layaknya kawan lama yang baru bertemu. Jauh dari hirarki. Yang baru, rendah hati dan sigap memposisikan dirinya pada level pembelajar, meski isi kepalanya seperti seorang profesor. 

Sebuah buku tertinggal di sebuah tempat, pada halaman belakang terdapat tulisan yang membuat tertegun; Jika pemain utama telah kembali, maka mengertilah sudah saatnya peran pengganti mundur teratur. Kalimat itu telah memanggil ruh empati yang terdalam, tiba-tiba tercerabut membabi buta. Ada luka yang dibiarkan menganga sekian lama, mungkin sampai ia mati. Bahwa siapapun yang sedang menjadi pemain utama, isi kepalanya adalah pendampingan untuk hal-hal yang baru dan mengokohkan yang telah kuat. Guru baru tak perlu merasa dirinya dalam kondisi kosong tak ada isinya sama sekali. Ia hanya perlu beradaptasi untuk beberapa waktu saja. Semuanya bisa saling mengisi, jika berangkatnya adalah keterbukaan tanpa ada 'perundungan' verbal baik disengaja atau tidak disengaja. Biarkan isi hatinya membuncah penuh kehangatan, dan jangan biarkan ia menetes melalui celah matanya. Itu sangat menyakitkan kawan, karena semua profesional berangkat amatir yang tak apa-apa. Tak perlu merasa serba tahu, dan juga tak perlu merasa rendah diri, semuanya punya peluang yang sama. 

Tinggalkan kalimat-kalimat yang menyakitkan, jangan biarkan ia memasuki daun telinga, tepiskan ia sebelum masuk gendang telinga, buang jauh-jauh, hematkanlah energimu untuk hal yang lain. Beri jarak pada pernyataan yang membuatmu semakin terpuruk dalam menyalahkan diri sendiri, dekati kalimat-kalimat yang memiliki magnet untuk menggenggam sebuah perubahan. 

Sabar bukan pada pukulan pertama (kalimat yang menyakitkan) tetapi seberapa tenang seorang guru baru menghadapi kalimat itu dan mengubahnya menjadi kalimat penggunggah minimal untuk isi kepalamu, meski ia sebagai cadangan. Guru lama memperlakukan kalimat yang menyakitkan sebagai upaya menaikan diri pada level berikutnya. 

Sebagai penutup, karena beberapa paragraf tersebut diatas malah menjelma sebagai petuah dari kakek sakti kepada salah seorang cucu kesayangannya dan murid terbaiknya. Bahwa, Jangan pernah melihat orang (Guru Lama Guru Baru) dari sampulnya saja. Biarkan waktu yang mempresentasikan siapa sebenarnya mereka. Ada kalanya perlu satu hari, satu bulan, satu tahun, bahkan bertahun-tahun, oh ternyata Guru Lama memiliki pernah merajai lapangan sebagai pelari tercepat di lapangan sekolahnya, pernah menjadi murid terbaik dalam hal Tata Boga, Lempar Lembing, atau pernah mengalahkan gurunya sendiri dengan pukulan lurus pada saat sesi latihan. Oh Guru Baru, yang dikira seorang chef (karena memiliki hafalan yang banyak) ternyata memiliki kebiasaan tidur di area dapur. Tetapi ia memiliki tengan kanan yang kuat saat main bola, pandai memijat, tekun beberapa hal. Jika memakai kacama psikolog semua orang melakukan sesuatu berdasarkan sebab dan musababnya. Bila sudah seperti ini, yang paling penting; pantaskan pada amanah yang sedang di embah. Agar nantiya rezekinya meresap sampai tulang belulang. Ketika sudah berbaring diatas tanah, banyak cahanya yang tiba-tiba menyertainya. 

Jika dipikir-pikir semuanya pada garis edar yang sama. Tinggal bagaimana memaknainya, dengan cinta atau kedengkian. Dalam hal ini semoaga ada titik temu. Titik itu menjadi garis hitam yang saling mengubungkan, menjadi jembatan, memberi ruang untuk terus berkarya dengan nol intervensi. 


Minggu, 09 Februari 2025

8. Sebatang Coklat


Aku mendekam sejenak di toilet. Membersihkan tangan dari bau bribil hitam mengkilat. Ku lihat dinding toilet penuh coretan. Tangan-tangan jahil menulis seenaknya. Vandalisme kah? kurasa tidak, anggap saja ungkapan jujur yang sulit terucap. Gadis baru dari kota-jakarta, mungkin sedang tersenyum dikelas setelah sesi perkenalan yang membosankan. Kenapa perkenalan selalu hirarki dan primodialis. Satu kebiasaan yang membosankan.

Kutenggelamkan wajahku dalam sebuah cermin kecil. Ingin rasanya aku masuk ke sana. Dan tak ingin kembali lagi.

Bau bribil tak terendus. Kuputuskan untuk keluar dari toilet. Tak baik terlalu lama ngendon di dalamnya. Katanya, aura buruk bisa mencengkrammu erat-erat. Ujung celana gombrongku basah. Kupastikan bukan urin. Kugulung lengan baju beberapa lipatan untuk menutupi warna jelaga. Rambutku yang gondrong sebahu, kubasuh dengan air agar tampak klimis. Menutupi ratusan uban yang bersembunyi di bawah rambut hitamku.

Di depan pintu kelas yang berjendela. Suara Bu Nurma terdengar nyaring sampai keluar. Kakiku terasa berat melangkat, seperti ada yang menggelayuti manja. Kuketuk pintu kelas dan membukanya. Muka ini langsung kebas. Segala sesuatu bisa saja menjadi tak terkendali. Bu Nurma lulusan sekolah bonafit dan mantan karyawan bank swasta yang beken itu berhenti bicara dan menatapku.

Beberapa detik selanjutnya.

"Silahkan masuk," ucapnya. Belum genap dua bulan, guru baru ini sudah 'memukulku' bertubi-tubi. Ia pandai sekali "menikam" dari semua penjuru.

"Maaf terlambat," suaraku tersangkut di tenggorokan, adakah kedondong didalamnya.

"Dasar pencuri," katanya dengan menurunkan kacamatanya kebawah. Melihat sambil mengintip. Hidungnya yang terawat itu tampak licin. Ini menyebalkan, kau tahu.

Ia menganggapku sebagai pencuri, kenapa kata-katanya terlalu tinggi untuk otakku yang mungkin menciut kekurangan daging di akhir pekan. Kau tahu suweg, salah satu kudapan musim kemarau yang sering kumakan. Taburan kelapa parut, garam, membuat makanan jelata itu menjadi sedikit borjuis. Pilihan lain ada gadung salah satu jenis umbi yang bisa dinikmati setelah proses yang panjang.Hati-hati, kalian bisa 'mabuk' loh...

"Sekarang kau bernyanyi balonku ada lima versi arab." Perintah Bu Nurma.

Seperti terdengar gemuruh badai, petir bersahutan, disusul lolongan serigala. Teman-teman, kalian mendengar tidak, suara-suara menyeramkan itu?

"Ayo?" Ia memberi instruksi.

Sekilas ku tatap wajah-wajah menunggu, semuanya menatapku tegang. Hanya Naura yang menyembunyikan kepala di balik buku tulis akuntansi. Sementara kursi milik Ares kosong. Mungkin ia sedang menonton final basket tim kesayangannya.

"Ayo nyanyi," ucapnya sekali lagi mendapatiku diam. Tepatnya kaget berdiri mau kejang.

Balonku ada lima... Temanku yang duduk paling pojok langsung diam menahan tawa. Aku menyanyikan dengan langgam ngaji dan bertajwid. Kulirik Bu Nurma menunduk, mencatat sesuatu. Tunggu-tunggu, ia tidak sedang mencatat, tapi corat-coret. Bibirnya gemetar. Apakah perutnya keram?

Rupa-rupa warnanya... Ku tambahkan cengkok arab lebih medok lagi, sebisa mungkin. Ku atur lidahku agar sefasih orang-orang arab, meski itu sulit. Tanganku mulai mengayun menirukan seorang komposer. Teman-teman yang duduk paling depan tak bisa mengendalikan diri, mereka sudah terbahak-bahak. Ku lirik Bu Nurma yang mulai membekap mulutnya dan rahangnya mengeras.

Hijau, kuning, kelabu... Efeknya ku tambah lagi. Aku sedikit menguasai kelas. Bu Nurma mulai melepas tangan dari mulutnya. Ia menggeleng-gelangkan kepalanya. Bibirnya membentuk sudut yang kaku.

Merah muda dan biru...Naura menunduk makin dalam. Ingin sekali kulihat ia tertawa seperti teman-teman. Bu Nurma tak bisa lagi mengendalikan dirinya. Mulutnya terbuka, sebaris gigi putih terawat terlihat. Lalu mulai tertawa tanpa suara.

Meletus balon hijau DOR! ...Seisi kelas sudah tak terkendali. Kutambah lagi efeknya (malu-malu dah). Barisan tengah sudah terpingkal-pingkal. Memegang-megang perutnya. Kali ini aku jadi badut tanpa tepukan tangan. Setelah ini kalian tidak tahu nasib seseorang.

Hatiku sangat kacau... Aku merasa kehausan di padang pasir. Kesepian dan kerinduan akan oase yang sejuk dan segar. Ku bayangkan aku ada di sana. Kini se isi kelas pecah, tawa yang tumpah ruah di dalam kelas. Sebuah lawakan gratis di pagi hari.

Balonku tinggal empat... Mereka masih tertawa dan mulai bosan dengan tawanya sendiri. Mungkin rahangnya mulai kaku.

Kupegang erat-erat... Tangangku mendekap erat di atas dada. Lututku masih gemetar menjelang nada terakhir. Jakunku naik turun menelan ludah yang sulit tertelan. Ada hawa panas yang barusan mengendusi bagian ubun-ubunku.

Ku selesaikan lagu ini dengan perasaan amburadul seperti makan lima mangkuk mie tanpa bumbu. (Mana tali jemuran!, mana!)

Naura mengangkat wajahnya. Dari tadi ia bergeming. Apakah ia tertawa sambil menunduk. Aku tak tak melihatnya jelas. Bisa jadi ia tersenyum dalam sembunyi.

"Kau tidak kongkow dulu di tepi jalan?"

"Nggak Bu."

"Siapa nama kau tadi."

"Beni."

"Nama yang keren."

Beberapa kaum hawa masih bermuka merah. Mungkin ambeyennya kambuh setelah mendengar nyanyianku.

"Beni?" panggil Bu Nurma.

"Ya Bu."

"Kumis mu perlu dicukur," ucap Bu Nurma sambil memiringkan kepalanya. "Gubrak," terdengar suara berdebam. Aku kaget bukan main. Beberapa teman menjatuhkan kepalanya. Bu Nurma tersenyum menang. Hingga gigi putih rata terawatnya makin bercahaya. Gawat...

Kelas 3 IPS 4 kembali ricuh. Hiruk pikuk layaknya pasar kaget. Naura, putri titanium dari klan bidadari kembali menunduk menatap buku tulisnya. Aku masih berdiri sekaku kanebo kering. Naura menenggelamkan wajahnya terlalu lama. Mungkin ia simpati atau malu temannya terlambat. Mungkin juga ada alasan lain yang ia sembunyikan.

Aku berjalan menuju tempat dudukku. Sebuah kursi kayu yang penuh coretan pulpen. Ketika duduk pantat terasa sedingin es batu. Ku masukan tas ke dalam laci meja. Banyak keajaiban di dalam laci meja sekolah. Mungkin kalian akan tersenyum bila mengenangnya untuk sesaat.

Sejak kedatangan Bu Nurma aura gelisah menerpa ruang otak yang terseok-seok pelajaran berhitung. Kukuatkan diri pada detik-detik terburuk. Bully makin kentara kurasakan. Jika kalian dianggap ber IQ jongkok, maka efeknya pada kepopuleran kalian di sekolah. Yang paling parah nama kalian tak pernah diingat pada level manapun. Apakah jenis sekolah ini yang bisa merubah peradaban. Pengetahuanku tentang pernyataan barusan.

"Kau dari mana saja." bisik Naura.

"Ketiduran Ra."

"Dasar kau..."

"Bisa dimulai Beni dan Naura."

"Bisa Bu." Serentak kami menjawab.

"Cieee, kompak banget." Ledek teman-teman.

Satu ketukan pintu cukup membuat kami membisu. Bu Nurma paling sok, ia seperti melihat hantu. Antara marah tetapi tampak kaku. Langkah anak jakarta mengetuki lantai. Ia maju elegan mengahadapi Bu Nurma.

"Mau ketemu Beni Bu, Boleh?"

"Jangan lama-lama, ini bukan kafe, ini kelas!" jawabnya ketus.

Aku bukan anak kecil lagi, jadi jangan ceramahi aku terus, jaga saja moral Ibu!" kata Kiera tak kalah sengit. Kami membisu, tepatnya membantu. Hari yang aneh, tak ada satupun murid di sekolah ini yang memiliki nyali sebesar itu. Kami hanya berani di belakang.

Gadis itu berjalan ke arahku. Mengulurkan sesuatu. "Selamat ulang tahun?" katanya gembira. Ada lesung pipit dikedua pipinya. Noura yang duduk tepat dibelakangku memberi kode. Tetapi situasi sulit kukendalikan.

"Kau tak mau."

"Aku jarang makan coklat."

"Kau tak mengerti cara memperlakukan perempuan ya, Aku bikin sendiri tadi malam."

Aku mengambil coklat itu. Ia balik kanan. Tak ada senyuman. Kelas kami hening. Bel ganti pelajaran yang menyelamatkan kami. Kuletekan batang coklat itu.

Saat istirahat aku membagikan coklat itu. Teman-teman menikmatinya. Noura sudah tak ada dikelas sejak detik pertama bel istirahat. Aku mengira-ngira kemana dia sekarang. Apakah di kantin? rasanya tidak mungkin.


Sabtu, 08 Februari 2025

7. Anak Baru Dari Kota


 

Mini bus berhenti, supirnya kukenal. Ia memberi isyarat agar lekas naik. Aku menyebutnya samurai kotak. Ia berhenti tanpa mematikan mesinnya. Bau solar segera menyergap. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Penuh.

Samurai kotak melaju meninggalkan halte Kaligondang. Aku duduk di atas kursi kecil, persis di samping Bang Zoro. Kedua matanya tampak fokus menatap ke jalananan, sementara tangan kanannya mencengkram batang setir.

Ketika kutengok ke samping kanan, mataku menatap mata gadis berseragam putih abu-abu yang tertangkap sedang menatapku. Cepat-cepat ia berpaling. Ia memakai masker bergambar Doraemon. Kedua alisnya yang tebal hampir bertemu. Pada detik berikutnya kedua alisnya kembali. Matanya yang sipit terlihat terpejam. Dengan rambut yang tergerai hitam panjang, ia akan mudah menjadi pusat perhatian. Apakah ia bisa merasakan hal itu?

"Bangun jam berapa kau," tanya bang Zoro.

Aku tersenyum.

Bang Zoro menggelengkan kepala. Terdengar ia menghela nafas panjang. Entah apa maknanya.

"Bagaimana kabar Intan."

"Masih sama bang."

Samurai kotak berhenti persis di depan sekolah MAN I Idolaku.

"Tunggu Ben!

"

Bang Zoro memberikanku sebuah kalung unik berbahan kayu. Ia bilang kalau kalung tersebut tergantung di dinding gudang rumahnya sejak ia masih kecil. Kedua orang tuanya telah lupa asal muasal kalung itu.

"Jaga baik-baik ya."

Ku anggukan kepala, lalu melangkah turun dari samurai kotak.

"Salam buat pamanmu ya?"

"OK bang?"

"Halo?" sebuah sapaan mengagetkanku. Ternyata gadis bermasker Doraemon itu. Mimpi apa semalam.

"Ya." Ia bertanya sambil menggerakan rambutnya yang hitam arang itu, kuharap ia tak sering-sering melakukannya. Kiamat sudah dekat, kau tahu. Syukurlah hanya sekali.

"Kelas Dua E mana ya."

"Depan perpustakaan."

"Terimakasih ya," Ia masih berdiri menatapku.

"Apa lagi?"

"Sepertinya kau salah seragam?"

"Memang."

"Lihat saja sendiri."

Tubuhku meredup dan terasa dingin. Gerbang utama sekolah terkunci rapat. Pak Taro berdiri menantang. Tangannya kebelakang menelangkup. Seperti menggendong mahluk ganjil. Senyumnya tak enak dilihat. Tatapannya tajam menusuk. Melingkar di jari tengahnya cincin batu akik asli bandar klawing Purbalingga. Jari jempolnya besar berlemak.

"Sampai kapan kau akan begini Ben!, terlambat terus."

"Maaf Pak."

"Bukan waktu yang tepat untuk minta maaf, lebaran masih lama. Kenapa kau pakai pramuka, ini hari senin, kau lupa ya!"

"Kupikir hari kamis, maaf Pak."

"Lebaran masih jauh Ben, kenapa minta maaf lagi. Sekarang masuk dan tunggu di halaman sekolah."

Memang minta maaf harus nunggu lebaran. Lama sekali keburu numpuk dosanya.

Sambil membetulkan tas gendongnya, gadis itu tersenyum lagi. Gerak-geriknya terlihat berbeda. Atau terlalu pede. Sepatunya keren berlogo terkenal. Terlalu bersih untuk ukuran umum anak MAN Idolaku. Dan kulitnya sepertinya tak pernah tergarang matahari.

Aku berdiri di halaman sekolah. Bendera merah putih berkibar sambil memeluk tiang. Kami berdua menaikkan tangan setinggi telinga (memberi hormat). Diam-diam ku kenakan kalung pemberian bang Zoro dan menyembunyikannya di balik kerah baju. Razia kelas bisa merebut paksa dari kalian.

"Saya Kiera, kamu namanya siapa?"

"Beni, IPS 4."

"Saya pikir kita seumuran," ucapnya tersenyum. Anak itu bahasa Indonesia terdengar enak, bukan logat banyumasan. Ini mengingatkanku pada penyiar SBS, radionya wong Purbalingga, Tias Amalia.

Pekan lalu Pak Taro memberiku hukuman menyiram tinja bekas murid yang belum lulus toilet training. Mereka meninggalkan tumpukan tinja menggunung di atas kloset jongkok. Sungguh biada, jebakan sempurna.

Pagi ini ku harap tak ada kloset jongkok penuh gunungan tai yang diendapnya berhari-hari dalam perut mereka. Mungkin itulah awal mula kenapa kentut mereka bisa sebusuk bangkai. Gas yang menyerempet tai hitam itu bisa membuat kepala kalian pusing disertai perut mual-mual.

"Tugas kamu sekarang, bersihkan toilet kelas dua, setelah itu masukan kotoran kambing kedalam karung."

Kuanggukan kepala ke atas dan ke bawah.

"Kau anak baru, siapa namanya."

"Kiera Pak."

"Pindahan dari mana?" ucapnya terdengar ramah.

"SMA 108 Jakarta."

"Ok, silahkan masuk, kepala sekolah sudah menunggu."

Kiera menurunkan tangannya.

"Siapa suruh turunkan tanganmu. Naikkan lagi setinggi telinga Ben!," Menelan khotbah pagi bukan perkara mudah.

Aku masih berdiri kaku menatap rumput halaman sekolah yang mulai bau asem. Menanti putusan waktu. Sempat ku berpikir membenturkan kepala ke dinding lalu terbangun di hutan terlarang sabuk yang berisi tali-tali bekas bunuh diri. Apakah itu mungkin? Rasanya sulit untuk kulaksanakan, aku tak bisa membayangkan wajah kedua orang tua ketika melihatku terbujur kaku di pembaringan.

Suara kambing mengembik keras menyambut kedatanganku. Ia seperti menertawakan atas hukuman yang ku terima. Kucari tempat aman untuk meletakkan pakaian dan sepatu. Berganti dengan celana pendek dan kaos oblong gelap. Aku hanya bersikap waspada pada anak yang terobsesi pada film Jaka Tarub. Bisa saja aku mencari baju seragam dari kelas ke kelas dengan kostum petani.

Kotoran-kotoran kambing yang telah menggunung itu selesai ku masukan ke sebuah karung besar, yang nantinya berakhir sebagai pupuk kandang. Masker yang membekap mulutku tak mempan mengusir bau kotoran kambing yang menyengat dan lembek karena tak kebagian sinar matahari.

Seperti Ninja, Pak Taro muncul tanpa suara. Aku sudah kembali rapih, baju atas ku masukan ke dalam celana dan membiarkannya tanpa ikat pinggang. Ia menatap kesal.

"Duduklah," ucapnya.

"Ben."

"Ya Pak."

Ia terdiam, matanya menombak tanah tak berkedip. Berkali-kali ia meremas jemarinya. Rambutnya yang tebal bergelombang ia usap secara perlahan-lahan. Ini pemandangan ganjil dari seorang punggawa sekolah yang paling ditakuti oleh seluruh murid MAN Idolaku.

"Bapak mendapatkan tugas dari kepala sekolah untuk mengantarkan undangan Pensi ke ponpes Candi Nata, kau bisa menggantikan Bapak," ucapanya pelan.

"Kenapa hanya aku pak, yang lain juga terlambat."

"Jumlah terlambatmu lebih banyak. Tiga ratus kali. Ini jenis hukuman yang tepat untukmu. Kau mau ibu atau ayahmu dipanggil ke sekolah?"

"Nggak Pak."

Pak Taro memberikanku kertas sakti yang dapat membantumu masuk kelas. Tanpa kertas sakti itu, anak-anak yang terlambat sekolah haram masuk kelas. Mungkin sampai beruban.

Jumat, 07 Februari 2025

Perjalanan Sang Demonstran

BABAK 8
Mengintip Indrustri Perusahaan Politik lewat Mata Elang 

Ini panas yang kesekian. Kerongkongan telah menyeduh air liur berliter-liter, hingga yang ia telan hanya kekeringan bersamaan dengan ngilu berkali-kali. Badannya legam, hanya saja mungkin putih hatinya. Siapa tahu. Tidak ada yang tahu hati seseorang. Ia mengipas-ngipas wajahnya. Berada ditengah geladak kapal sungguh mengharukan bersama para pahlawan devisa yang amat bersahaja. Senyumnya selalu tulus, sebuah etika yang sama sekali tak bisa diambil. Tetapi bisa diamalkan.

Lebaran menjadi tonggak penting dari sebuah perjalanan. Dimana gengsi bisa dilempar dimakan anjing kelaparan. Elang melihat pemuda tampan tengah menggendong beras menjuang tinggi tanpa peduli tatapan gadis-gadis centil yang tengah mabuk perasaan. Dari mana datangangnya kekuatan itu, Elang tersenyum ketika disampingnya ada seorang nenek yang tengah mengunyah sirih sambil memegangi ujung pemuda itu dan mengarahkan pada tempat duduk yang dituju. Pemuda berwajah keras nan tampan mengipas-ngipang badannya yang berkeringat. Laut jawa tengah membuatnya lebih rupawan dari pada punggawa istana yang tubuhnya tak anti bakteri. Sediki-sedikit ke salon untuk meremajakan kulitnya.

Ia mengeluarkan secarik kertas lusuh dari kantong celana yang tak lagi berbau kanji. Padangannya menerawang menatap ombak tenang. Tak muncul barang seekor lumba-lumba merah muda atau biru yang sedang berpesta mangsa terkepung. “Laut seperti ini hidup, penumpangnya selalu murung, bertemu keluarga yang tak merindukan,” ucap Elang sambil menuliskannya pada bait pertama puisinya. Pensil dari tukang kayu kemarin membuatnya kesulitan membuat mengatur ukuran huruf yang diinginkan. Ia menyelipkan diantara duan telinga. Angin laut bersahabat tak sudi melempar pensil tukang Makita, warnya mungkin membuatnya jengah untuk tak disentuh.

Perumpaaan seperti apa yang membuat Elang bebas melangkah, kata-katanya tak lagi dibungkam oleh penguasa yang tak ngerti tentang satire, jika tak mengerti paling tidak memahami metaphora dari para demonstram seperti dirinya. Hingga yang keluar bukan perintah yang mengancam sekaligus peluru-peluru yang bisa saja menyasar tenggorakan.

“Kau punya perumpaaan yang bagus untuk hidup ini,” tanya Elangpada pemuda tampan yang bahunya tengah tersender lunglai nenek yang terkantuh-kantuk.

“Aku tak punya macam perumpaan itu Pak Cik,” ungkapnya.

“Sekarang kau sudah di Laut Jawa, tak perlu kau cakap macam orang Malasyia.” Tutur Elang.

“Macam ikan Pari ya Pak Cik?”

“Terserah kau sajalah.”

“Hidup ini tak perlu perupamaan apa, cihh tai kucing. Penguasa-penguasa di dunia ini seringkali menganggap dirinya bisa mengendalikan hidup semua orang. Termasuk hal-hal kecil yang tak perlu mereka pusingkan. Anggap saja aku sekarang berhadapan dengan seorang penyair, karena aku ingin mengataka bahwa; kita tak perlu merunduk tunduk pada cara pandang seseorang terhadap apa yang kita yakini. Sikap, pemikiran, itu lahir dari pengalaman serta pergulatan panjang yang membuat kita semakin kokoh. Bukan pada pergulatan mentah yang menghasilkan sikap selalu curiga dan tak bisa mencoba untuk mendengarkan, konon Hitler saja bisa tercerabut kegagahannya bersama lawan jenis, di sudut sempit bungker anti bom. Ketakutannya telah membunuhnya dengan tak etis, sebagaimana ia selalu tampil sebagai orang yang tak tersentuh,” ucap nenek setengah ngantuk.

“Apakah ia sedang mabuk laut,” tanya Elang pada pemuda tampan yang lengan kekarnya sedikit basah oleh air liur atau keringat sanga nenek.

“Maaf Pak Cik, kami ingin istirahat. Bisakah kau memberi kesempatan pada kami.” Tutur pemuda tampan itu.

“Ini masih terik, apakah kalian bercanda.”

“Pak Cik yang perlu mengatur suhu tubuh. Lihat orang-orang sekitar, tubuh mereka terbalut jaket musim dingin, tetapi mereka begitu nyenyak tidur meski terik membakar. Orang-orang yang selalu bertanya; “nggak gerah pakai jaket terus, atau kamu lagi sakit ya, kok jaketnya nggak dilepas.” Semua aku kembalikan pada Pak Cik.”

Waktu ia hendak ke Yogya, tetapi ia harus melewati jalur tak biasa. Jalur-jalur yang tak mudah diendus oleh serdadu-serdadu yang anjing pelacaknya mulai tak akurat. Hidungnya terlalu banyak mencium asap rokok dan kopi asli yang membuat seseorang bisa terjaga selama berjam-jam. Ia masih bisa merasakan seluruh tubuhnya di mata air, mengguyurnya dengan air hangat-hangat kuku. Ia merasa diawasi oleh sekumpulan bidadari yang tengah mengawasi para bidadari lain agar tertinggal selendangnya. Kesalahan klise yang tak boleh terulang, sejarah mencatat akan ada kejadian lain yaitu jatuh cinta para bidadari, tanpa perlu meninggalkan jejak apapun. Mata air akan mengalir bersama para ketua desa yang selalu mencoba bersabar menolak permintaan warga agar menyodet mata air ke seluruh penjuru desa tanpa perlu bersusah payah mendatanginya.

Ketua desa perlu mempertimbangkan permintaan warganya. Betul bahwa mata air adalah bentuk kearifan lokal yang perlu dijaga sampai anak cucu. Tetapi seorang warga desa yang rela naik bus umum sambil membawa ember-ember berisi air bersih, kain baju cucian, jaraknya mungkin bisa membuat baju kalian kering setelah diguyur hujan lebat. Apakah pembaca tahu perumpamaan yang tepat untuk hal ini?

Elang terlonjak kaget. Menoleh ke arah nenek yang menatap lekat wajahnya. “Soal itu tak perlu perumpamaan yang berlapis-lapis. Kadang kesederhanaan adalah hal terbaik dari segala perumpamaan yang baru saja kau tanyakan. Ungkapan hatimu mudah terdengar hingga tak lagi menjadi rahasia yang kau jaga seumur hidup. Sekali waktu kau mungkin perlu membaca novel Balada Si Roy, atau sketsanya Pak Kayam agar suara hatimu rapat tersimpan. Aku hanya tinggal bertanya pada angin, angin topan, angin puyuh, bahkan angin-angin selalu memberikan jawaban. Tidakkah kau berpikir?”

Iangatan lain seakan ikut terbangun diantara banyak lintasan. Bagaimana tidak, di saat tubuh terasa terpanggang dan telapak kaki serasa terbakar, salah satu matanya dihujani sepatu bersol besi hasil impor luar negeri. Ia mengerang di tengah serdadu yang begitu gagah menentang senjata. Tetapi hatinya tercelupi sepasukan iblis yang doyan sambel ijo daging bebek muda. Mereka merengsek menghalau orang-orang yang berteriak ditengah jalan besar, jalan utama. Letusan yang menggema itu mengerang melejit ke angkasa, ia masih sorak-sorai, tetapi ketika melesat pada kerumunan tiba ia menangis dan ingin mengerem tetapi lajunya terlalu cepat, bahkan residu yang ada didalamnya tak mempan mengendalikan lesatan peluru itu.

Ia mengaduh tetapi hanya ia yang mendengar, ia tertinggal barisan bukan ditinggal. Mereka dipaksa mundur dalam radius yang ksatria. Dibanding mereka yang berseragam penguasa yang tegar mempertontonkan sikap jumawa tak ayal. Salah satu dari mereka menendangnya begitu santai, seakan tubuhnya seonggok sampah tak guna. Sesampahnya sampah masih berguna diantara mereka pencari kejujuran yang hidungnya berakrab-akrab dengan segala macam kebusakan. Lucunya, mereka jenis kaum yang tak tersentuh oleh segala jenis virus. Ia mengerang, tetapi hanya ia sendiri yang mendengar. Matanya telah gelap, sebagaima ia menyukai kegelapan, karena terang selalu menghianatinya. Ia berjalan terhuyung-huyung menghindari sepakan, terjangan, juga makian. Ia mencari jejak digital, tak satupun dari mereka berada dalam jarak dekat. Mereka berlari untuk menyusun strategi, ataukah mengembalikan cerita pada kacamata para penguasa. Yang didapatkan ketika Elang berhasil menghindari kerumunan orang-orang berseragam itu, tubuhnya terasa lebih ringan, gelap sebentar, tiba-tiba tubuhnya bergetar pandangannya yang tajam berubah bisu dan buram, ada ngilu yang dalam. Rupanya ia telah berkenalan dengan barang yang pernah di jahit oleh Nabi Daud. Tetapi utusan Allah ini tak pernah menghianati barang sejengkalpun tentang kemampuan yang maha dahsyat. Elang meraba matanya masih berada ditempatnya, tetapi ngilu yang dalam itu membuatnya pingsan dalam rentang kebisingan dan teriakan tak henti dari orang-orang yang menginginkan kebebasan kemanusiaan. Ia terbangun dan mendapati tubuhnya berada diselokan berbau tai. Wajahnya pun berlumuran paceran yang menyengat. Rasa gatal segera menjalari selangkangan, ungtungnya celana dalam tak terlepas dari pinggangnya yang seukuran kambing gule muda. Lidahnya mengecap rasa asin dari air liur yang diteguknya setengah paksa. Ia berdiri melangkahi orang-orang yang berselimut paceran hitam pekat. Ia ingin teriak memanggil orang-orang itu agar lekas bangun, karena azan maghrib telah menggema ke saentero jagat. Ia ingin memastikan siapa tahu diantara mereka ada yang tak ingin ketinggalan jamaah sholat, ia pernah mendengar dari para kyai yang memberi petatah-petitih selepasa subuh; “sholatlah tepat waktu” yang terdengar adalah tangisannya sendiri melihat orang-orang yang dikenali tidur berbantal air selokan dan berselimut paceran.

“Hei!, kalian semua bangun. Apa kalian tak ingin cerita yang baik di ujung kehidupan. Apa kalian tak rindu bercengkram dengan si bungsu yang merengek minta jajan bakso ketika bertemu kalian di ujung kelelahan. Bangun pengecut!, bangun!, serigala-serigala itu sedang merokok dan minum kopi di warung-warung kejujuran. Sebentar lagi mereka datang membawa pasukan harimau dan singa yang mengembik.” Elang melenguh panjang, lalu tubuhnya tumbang menghantam paceran. Nafasnya memburu, serigala benar-benar datang dan mulai mengendusi teman-temannya yang begitu pelit bersuara.

Bau kopi membuyarkan lintasan yang lara di masa lampau. Nenek terkekeh di depan Elang meninggalkan pemuda tampan yang mendengkur keras di bawah panas yang membakar. Nenek bilang serigala-serigala itu sekarang banyak bersuara burung-burung poksei yang kadang hinggap di atas daun singkong. Melompat kesana kemari tanpa memperdulikan buluyang yang makin rontok. Lalu ia terjatuh karena tak bisa lagi terbang. Ia menyeruduk ke segala penjuru karena tak punya sayap lagi, lalu suatu pagi ditemukan diatas panggangan seorang chef yang sedang menaburinya dengan garam bergaya menggelikan. Tak perlu memahami segala perumpamaan yang ada pada sebuah rezim. Serigala-serigala itu sekarang sekarang terkena gudig stadium empat. Berbagai salep telah dibelinya dari luar negeri. Harganya mahal, tetapi tidak ada tanda-tanda kunjung sembuh. Mereka lalu mulai bekerjasa dengan para tikus untuk mencabuti kutu-kutu yang menempel pada bulu mereka. “Aku tak ingin mengucapkan hal itu” ungkapnya. Lalu ia melanjutkan; seseorang telah merancang sebuah permainan yan mengorbankan banyak pion dan mengurbankan beberapa menteri. Jika jalan tak mulus Raja akan memaksa seluruh pasukan agar ia bisa berjalan bebas di atas altar merah mewah.

“Di agama nenek, apakah ada Nabi Khidir yang mayshur itu?” tanya Elang sambil menyeruput kopi pahit getir. Campuran apakah yang dipakai, terasa seperti perasan kunyit yanh hanya digeprek tanpa proses parut.

“Ia gurunya Nabi Musa, guru-gurunya dari segala kehidupan.” Jawab sang nenek.

“Apakah ia masih hidup,”

“Aku tak berani menjawab, dulu nenek sering kabur membantu seorang kakek yang kesulitan mendorong gerobak pada jalanan menanjak. Sementara sang Kyai malah memberiku jenang sebagai hadiahnya. Kupikir kupingku yang akan memanas karena jewerannya, tetapi kyai itu begitu memahami tak hanya berteori. Kok malah ngelantur. Apakah nanti pembaca akan mudah mengeluh karena ceritamu seperti dongengan nenek sambil nyirih menunggu senja turun.”

“Aku tak peduli, itu bukan urusanku. Bagaimana nenek ada di atas kapal yang menyiksa ini.”

“Ini perjalanan yang menyenangkan, aku bisa bertemu dengan pangeran kegelapan, putri matahari. Nama-nama mereka harum semerbak. Tak ubahnya hujan yang merengkuh kemarau agar tak terlampau sedih. Manusia semestinya tak terlalu berharap pada kenyataan pahit. Ia malah mendatangkan keajaiban membelakan mata. Dari yang pahit ada manis melebihi rasa manis yang pernah kalian rasakan. Ada manis yang berasa pahit, pahitnya mengalahkan rasa pahit dari brantawali yang kalian paksa kunyah. He…, maaf. Semestinya kau tak perlu mendengarkan perkataan tak berguna macam ini. kenyangkanlah, hingga kalian tak lagi merasa ingin lapar. Apapun itu, nenek merasa cukup dengan yang ada, ini terdengar klise, mau apalagi kita hanya mengulang-ngulang tetapi selalu lupa.” Ia meludah sembarangan ke atas baskom samudra, apa yang ia lakuka tidak artinya. Mungkin ludahnya akan jadi kudapan ikan-ikan teri yang lambungnya tak kuat menampung sebanyak tiga piring.

Rasa ngilu masih membaluri sekujur tubuhnya, pilu duka menjadi santapan isi kepala. Elangtersenyum barang sejenak, hiburan gratis disediakan oleh alam. Di sampingnya nenek itu tak berhenti bicara mengungkapka apa saja. Nenek yang tahu betul kapan harus bicara dan berhenti bicara juga untuk siapa. Kupingnya merasa dininabobokan oleh dongeng-dongeng masa kecilnya.

Seekor kucing belang coklat datang menggigit ikan yang terbungkus Koran. Ia mengambil ikannya dan meninggalkan Koran lecek untuk Lukman, kucing itu menoleh sebentar; “Bertahanlah nak, hidup ini terlalu singkat untuk disesali” Elangingin bangkit, setelah merasa ajeg. Suara barusan lebih mirip nenek, apakah Elang mulai kehilangan pembanding. Suara hatinya mulai tak jeli untuk membedakan peristiwa dan situasi. Matanya mengerucut jika tidak ingin dibilang sipit. Namanya tertera jelas pada sobekan Koran yang ditinggalkan take tis oleh si kucing belang cokat tanpa menoleh kebelakang barang sekali.

Kalimat-kalimat dalam sobekan Koran itu membuat kepalanya berdenyut-denyut. Ia menelan beberapa butir paramex, obat sakit kepala. Hanya sesaat kepala yang digodam kembali pening. Koran itu bilang; “seorang istri dari penyair buron tengah dipanggil oleh yang berwajib. Ditanya ini itu, soal-soal yang tak ada jawaban. Perihal yang mustahil diterangkan, dan segala tetek bengek kemunafikan. Tak ada satupun yang bisa dicerna oleh isi kepalanya. Ia ingin menembus tempurung kepala para serdadu, yang ada suara-suara nenek yang makin berceloteh riang, makin tak terkendali.

Bagaimana fotograper membidik objek dengan jeli, seorang anak kecil masih terlalu kecil untuk dibilang anak menatap ibunya yang kedua tangannya diborgol oleh serdadu yang tiap ditatap olehnya menyeringai, atau tepatnya ogah-ogahan menangkap seseorang yang hanya menjadi akibat dari peristiwa yang menyulut perpecahan di mana-mana. Ia melihat dengan kepalanya yang masih kecil mengintip ibunya keluar dari rumah, sementara ia hanya bersembunyi dari balik punggung neneknya.

Nenek merebut Koran itu dari tangan Elang, ia terkekeh seperti tokoh antogonis pada sandiwara radio Misteri Gunung Berapi, tentu saja setelah lolongan Srigala yang tak berganti suaranya. “Kau akan mendapati zaman yang membuat orang-orang tampak semakin keras untuk mendapati secuil keadilan dari lumbung yang telah dikuasai berbagai jenis Tikus,” cecar Nenek. Ia meludahi mangkok kecil yang tampak menggenang merah.

“Sama sekali tak ada kemerdekaan buat orang sepertiku Nek, begitu nyaman hidup nenek. Semua seolah-olah berjalan lebih lambat di mata nenek.” “Mungkin mereka harus membaca cerita tentang Anjing Rimba yang menjadi biru,” kata nenek sambil terkekeh lagi. Lalu tatapan tajam milik ia hujamkan kepada Elang.

“Bagaimana pendapatmu?” tanya nenek.

“Aku belum membaca cerita itu?”

Nenek mengeluarkan dari tasnya sebuah buku tipis, tak bersampul, berkertas coklat. Ia memberikan kepada Elang. Tatapannya yang menaklukkan membuat Elang pasrah untuk menerimanya. Ia mulai membukanya lalu terhenti sejenak pada kisah yang baru saja judulnya diberitahukan oleh nenek. Sebuah buku cerita tua yang sejenak teralihkan dari Koran yang membuat pusing kepala. Nenek di sampingnya manggut-manggut melihat murid barunya mulai sibuk untuk membaca kata demi kata dan seterunya.

Elang menghentikan sejenak apa yang baru saja dikagumi oleh nenek. “Dasar pembaca malas, baru saja kau buka satu halaman sudah kau merasa cukup itulah kenapa bangsa kita mudah kena tipu daya,” sumbar nenek, matanya meredup melihat samudra luas.

“Aku membutuhkan penjelasan atas semua ini,” ungkap Elang.

“Nenek bukan Tuhan yang Maha Tahu, kau sendiri yang harus cari sendiri jawabannya. Tak mesti semua pertanyaan yang kau gelisahkan mendapatkan penyelesaian pada saat yang sama.”

“Aku mulai mengandalkan pengandaian dari nenek.”

Nenek tertawa dan berhenti pada saat yang bersamaan. “ Nenek bukan ahli nujum, kau tahu sejak Nabi Muhammad lahir, Iblis dan para dedengkotnya tak bisa menguping berita langit, jadi jangan berharap lebih pada manusia, apalagi pada nenek yang kau tak tahu masa lalu nenek.”

“Apa perlu mengetahui masa lalu seseorang untuk memperoleh satu jawaban. Amat dengki, jika mengetahui aib masa lalu lalu orang-orang meninggalkan satu persatu.”

“Nenek tak suka cara menjawabmu, terlalu didaktik, kau perlu belajar banyak tentang kebijaksanaan. Bila kau teruskan caramu itu kau akan banyak kehilangan rasa, kawan, dan pengalaman.”

“Kematian membebaskan kita dari segela tuduhan yang membuatmu sesak dada, pada saat yang sama kebenaran akan muncul terang benderang. Itu tak bisa mereka nafikan, meski mereka berusaha keras untuk menyumpal dengan berbagai tahta, atau tak jarang wanita yang memikat. Yang kau takutkan akan menjadi semacam kesanggupan menahan kerasnya hantaman mereka. Satu persatu pilar-pilar yang mereka susun, akan menimpa mereka sendiri. Jika mereka masih kokoh, umur mereka akan terus berkurang dan kematian terus mengintai pada jarak tombak mematikan. Dan itu tak bisa mereka sangkal, jadi tenanglah anak muda. Panjang umur perjuangan.”

“Begitukah Nek?”

“Ya, kau tak perlu menegaskan apaun pada dunia, karena yang kau perjuangkan akan terus terkenang dan banyak bahu baru yang terus meremajakan setiap perjuangan. Kau perlu menengok tulisan dari para jiwa tulus juru damai negeri ini, guru pendidik bagi orang-orang yang gemar sholat. Mereka bukan Nabi, mereka yang membenarkan apa yang diajarkan oleh Nabinya. Guru pendidik itu bilang; “teruslah berjuang, hingga perjuanganmu lelah diujung kain kafan. Teruslah berjalan, hingga berlarimu berhenti pada titik kebahagian yang tak bisa dirasakan oleh musuh-musuhmu. Teruslah berteriak, hingga kata-kata tak lagi mucul dari balik pita suara. Teruslah menulis, hingga kertas tak lagi menampung tinta sejarah.” Hingga cita-citamu tak lagi berhenti dipersimpangan, lalu menguap berganti generasi ke genarasi. Itu pun tak perlu kau risaukan. Meski ragamu lenyap oleh kawanan burung pelatuk yang memuntahkan peluru pecundang dan penghianat bagi bangsanya sendiri. Kaupun tak perlu mencari tahu tentang TKW sepertiku yang hinggap di atas geladak kapal yang mampu mendidihkan ubun-ubun bayi. Ada banyak alasan kenapa seseorang perlu sejenak hilang dari kerumunan orang-orang terdekat, agar mereka mampu membedakan tentang kehangatan bertetangga dan saling menjaga. Dermaga sudah makin jelas, mungkin ketika cucuku benar-benar bangun, akan kuceritakan tentang seseorang yang menakjubkan. Kau tahu, cucuku hanya mendapati dirinya tidur dalam mimpi, ia sama sekali tak bisa bermimpi. Seluruh pekerjaannya telah menyita sebagian masa mudanya, sungguh kasihan?”

“Setidaknya cucu nenek memiliki rasa merdeka,”

“Tetapi kau telah memperjuangkan “kemerdekaan” bagi mereka yang tak sempat berteriak atau suaranya tertahan dalam pilu dan lara?”

Elang berkemas, peluit panjang agaknya bisa disebut sangkakala, setidaknya mirip begitu. Bila Malaikat peniup sangkakala, benar-benar manusia tak bisa lagi melakukan banyak hal. Mereka siap-siap berkemas menerima segala resiko yang pernah dilakukan didunia fana. Elang menatapi senja yang makin hangat, ia seperti ingin menjadi matahari yang tampak berwibawa dengan segala keanggunan, tanggung jawab, tak pernah mangkir dan lain-lain.