Usai bel sekolah, bang Zoro sudah menjemput di depan sekolah. Aku dan Naura diantarkan bang Zoro menuju lokasi yang kami tuju. Tak lama sebuah mobil jeep hitam arang datang. Naura berdiri memastikan siapa yang muncul. Pintu mobil terbuka, turun seorang gadis memakai baju army, syal melilit di lehernya, dan tas ransel menggelayut di punggungnya.
"Kiera!" Seru Naura. Ia menghambur dan keduanya berpelukan.
"Kakak tidak senang saya datang," kata Kiera.
"Dari mana kau tahu perjalanan ini."
"Sumber yang terpercaya."
"Kau tidak suka dikawal oleh dua putri titanium dari klan bidadari ya," tukas Naura.
"Bukan?"
"Lalu."
"Kalian hampir 'membunuhku' kemarin, keterlaluan sekali, aku tak mau misi ini gagal."
"Kau masih marah." Tanya Naura.
"Kami berdua hanya mengukur seberapa besar kepedulianmu pada kami."
"Aku tak mengerti jalan pikiran kalian."
"Terimakasih ya Ben."
"Jangan lakukan lagi, bahaya tahu."
"Jadi kakak udah nggak marah nih." Ledek Kiera.
Aku perlu memberi jarak pada pikiranku. Tak lama mereka menawariku berbagai cemilan. Kuambil cemilan dari mereka dan makan tak jauh dari mereka. Kelakuan mereka masih menyisakan rasa dongkol. Apakah semua gadis perlu sedemikian rupa dalam menguji sahabatnya sendiri.
Kami berjalan melintasai jalan beraspal yang di apit persawahan hijau. Kalau malam mungkin tampak menyeramkan. Kanan kiri jalan penerangan terbatas sekali. Kami beristirahat di bawah pohon dadap dan mulai menikmati bekal makan siang tanpa banyak bicara.
Sebuah angkot datang.
"Mau kemana kalian," ucap sang sopir. Ia menjulurkan kepalanya. Tubuhnya gempal dan suaranya yang ku kenal. Di mana ya?. Sopir itu menurunkan ujung topinya hingga menutupi setengah wajahnya.
"Ponpes Cendrawasih," kataku.
"Tempatnya jauh, kalian serius kesana."
"Kami harus ke sana."
Supir itu malah tertawa, tak ada yang lucu. Tubuh gempalnya goyang-goyang. Makin jelas sudah.
"Ares, kupikir kau nggak datang." Aku berseru gembira. Ia mahir juga menyamar.
"Itu bukan gaya saya Ben."
Satu jam telah berlalu.
"Jika normal, tinggal delapan kilometer lagi kita akan sampai di ponpes cendrawasih." Ares menyodorkan selembar peta ke arahku. Jalanan sangat lengang, seperti desa mati.
Kami berhenti di depan sebuah penginapan. Tak beruntung. Penginapan itu lebih mengerikan dari pada jalanan lengang yang barusan kami lewati. Halaman tak terawat dan banyak gulma tumbuh menjulang menghalangi pandangan. Kami melanjutkan perjalanan.
Kiera terlihat gugup. Naura mulai menghimpun ketenangan yang menurutku terlihat aneh. Pandangannya setajam silet. Bulu kudukku meremang. Kami melewati jalan beraspal hitam yang di jaga hutan lebat tak bertepi. Desau angin lebih menakutkan. Penginapan yang kami cari tak kunjung ketemu.
"Aduh, gawat Ben!"