Aku tersenyum.
"Bagaimana kabar Intan."
"Masih sama bang."
Bus Dony Jaya berhenti di depan sekolahku, MAN I Idolaku. Sebelum turun aku sempatkan untuk tersenyum pada kursi yang selalu didudukinya. Yang duduk di sana, Intan. Teman esempe. Ia gila, tepatnya dibuat gila. Orang-orang tua menuduh para jurik sebagai biang kerok atas tragedi yang menimpanya. Tetapi hanya omongan sampah yang tak perlu kalian dengarkan. Aku punya alasan sendiri, tetapi kerap kali kusimpan. Satu kali mengutarakan kepada orang-orang tua itu, aku dianggapnya gila puluhan kali.
"Ben!"
"Ya Bang?" rupanya ia memergoki mematung. Lelaki dewasa yang menggotong jasad kakak Intan dengan batok kepala remuk. Sementara darah terus merembes membasahi bajunya dan tanganku. Sejak saat itu Intan tak lagi sama.
Sebelum turun, bang Zoro memberikanku sebuah kalung unik berbahan kayu. Ia bilang kalau kalung tersebut tergantung di dinding gudang rumahnya sejak ia masih kecil. Kedua orang tuanya telah lupa asal muasal kalung itu.
"Salam buat pamanmu."
"OK bang?"
Tubuhku meredup dan terasa dingin. Gerbang utama sekolah terkunci rapat. Pak Taro berdiri menantang. Tangannya kebelakang menelangkup. Seperti menggendong mahluk ganjil. Ia terlihat sinis. Tatapannya tajam menusuk. Melingkar di jari tengahnya cincin batu akik asli bandar klawing Purbalingga. Jari jempolnya besar berlemak.
"Sampai kapan kau akan begini Ben!, terlambat terus."
"Maaf Pak."
Gadis itu tertawa. Baru ini kulihat. Sambil membetulkan tas gendongnya, ia melirikku seperti silet. Gerak-geriknya terlihat berbeda. Atau terlalu pede. Sepatunya keren berlogo terkenal. Terlalu bersih untuk ukuran umum anak MAN Idolaku. Kulitnya seperti tak pernah tergarang matahari.
Aku berdiri di halaman sekolah. Bendera merah putih berkibar sambil memeluk tiang. Kami berdua menaikkan tangan setinggi telinga (memberi hormat). Diam-diam ku kenakan kalung pemberian bang Zoro dan menyembunyikannya di balik kerah baju. Razia kelas bisa merebut paksa tanpa pernah kembali.
"Saya Kiera, kamu?"
Aku diam saja.