Rabu, 04 Oktober 2023

Chapter 2

"Guru itu perlu ditakuti atau disegani sih?

Jadi, saya mulai dengan kalimat seperti ini; "guru itu perlu ditakuti atau disegani", yang semestinya ditanyakan sedekat apa siswa memberikan respon kepada guru, ketika ada hal-hal di luar kesepakatan. Ketika kau puas dengan wajah-wajah siswa seperti tertimpa tekanan besar lewat sorot matanya yang tampak menguar bak telur


mata sapi yang meleleh. Ada baiknya kalian periksa lagi kebiasaan kalian ketika memberikan ilmu. Apakah kau memulai dengan perangkat ditubuhmu yang maha segala-galanya, lalu kau tumpahkan semua jenis pengetahuanmu sampai-sampai kau tidak lagi bisa membedakan jenis air muka pada peserta didikmu. Mungkin mereka tetap saja 'cerah' karena tak ingin dapat PR tambahan sebagai sarana 'penghukuman' yang menurutmu layak diterapkan. Atau situasi kelas mirip kuburan hingga mereka untuk menggerakan jari saja butuh keberanian luar biasa. Apalagi untuk minta izin untuk  kencing di kamar mandi, selalu kau curigai. Mestinya kau sedikit memberi ruang pada mereka, yang membutuhkan penjelasan atas sikap-sikapmu yang begitu menakutkan dengan cara yang bisa mereka pahami. Melalui apa saja, dialogkah, pertanyaan ringan seputar kehidupannya, habis lulus mau kemana, dan seterusnya. Tetapi catatan ini selalu didasari atas perjuangan yang membuat siswa didik memiliki ketegasan sikap tidak mudah goyah, apalagi pengikut setia klan tanpa pernah mengkritisi keberadaan dirinya. 

Setidaknya kau perlu mengubah struktur niatmu yang menggupal menutupi amiqdala berkerak dan berdaki. Lalu kau tumbuhkan daya nalar anak-anak dengan 'semaunya' sendiri. Meski kau berkutat-kutat pada buku paket, tetapi kau perlu menjentikkan jemari agar kau tak kaku menerima perubahan dan perkembangan anak yang tak bisa kau jejali dengan ilmu-ilmu langka yang peroleh bertapa bertahun-tahun di bawah meja diknas(itu tidak masalah, jika kau mau membuka diri).

Ada apa sebenarnya ini, hingga kau tak bisa meramu segala jenis pembaharuan yang ada di dalam kurikulum diknas, hingga kau begitu bangga membawa buku paket dan merasa sudah cukup dengannya. Lalu kau dikelas bertindak sebagai 'aparatur negara' yang punya kawasan tak terbatas. Jika apa yang kau sampaikan tak bisa diserap oleh kepala siswa dan kau berharap mereka bisa mengaktifkan secepat yang kau kira. Hingga kau tak pernah menyalahkan diri sendiri tentang apa-apa yang kau telah berikan selama ratusan jam di depan siswa dengan modal yang sama. Ini agak menggelikan, di luar sana banya orang yang pintar tetapi tidak menyandang predikat sebagai guru, guru semestisnya tetap belajar, meski mahaguru tersemat padanya puluhan tahun silam. 

Kau mungkin pernah 'membentaknya' berhari lewat gerakan yang kau sendiri tak menyadari. Mungkin mereka akan mengingatnya sepanjang mereka masih bernafas. Sejenak menoleh pada kanan kirimu apakah kau sudah menyebrangkan jalan bagi anak-anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, bukan apa yang telah kau berikan. Ini Zaman dimana hal-hal yang kau anggap sudah cukup (ilmu dan turunannya) untuk peserta didik, sejatinya mereka baru mulai menyerap (warm up) lalu kau tiba-tiba berhenti di tengah jalan, tanpa kau merasa hilang beban.

Kalau kau merasa senang ditakuti oleh siswa, seluruh instruksi mereka jalankan tanpa pernah sedikitpun mereka berniat makar untuk protes, adakalanya kau mungkin perlu mengambil jeda sejenak. Lalu kau mungkis bisa 'mengutuki' diri sendiri secara keras jika kau peduli pada siswa-siswa, kemudian kau mulai menata arah agar mereka punya jarak yang fitrah. Kau tahu segala sesuatu hendaknya dimulai dengan ftrah, dorongan diri yang tak perlu kau koprek-koprek terus menerus sampai mereka bosan. Kau bisa memilih jalan lain, yang sekiranya dapat menumbuhkan apa yang mereka sudah lalukan selama bertahun-tahun di sekolah. 

Lalu tiba-tiba mereka keluar dari sekolah tak mengantongi apapun. Ketika di sekolah yang baru mereka mulai lagi dari awal. Jika modal di kantong mereka, memerlukan usaha untuk amati tiru modifiksi (kata mas-mas motivator) hingga mereka tidak tertegun-tegun terhadap apa yang mereka yakini begitu saja pudar di bangku kelas yang baru. Ini cukup memilukan, atau menyedihkan.

Jalan mereka saja sudah memutar, ada tahapan yang mereka lakukan. "Didiklah anakmu sesuai zamannya," begitu pepatah lama yang masih menjadi jargon dalam ilmu pengasuhan. Meski orang mulia yang memberi pepatah itu telah dipanggil lebih awal oleh Allah. Kau tentunya iri dengan hal ini. Ada wilayah jariyah yang terus mengalir sampai terompet itu dibunyikan dan manusia buru-buru bangkit dari dalam kuburnya.

"Apa perlu otot-otot yang kaku, wajah yang keras, sorot mata mengancam, lalu kau buru-buru mengaku sebagi guru yang telah memberikan kewajiban sebagai mana mestinya." Jawabannya, Bisa jadi. Tetapi apakah kau sudah memberikan hak-hak siswa tanpa pernah mencoba mengurangi barang seditikpun. Mereka perlu doa, didoakan dalam sujud-sujud panjangmu, agar mereka memiliki nafas panjang untuk terus memperharui (memperbaiki) apa yang kurang dan lemah. Bahkan mereka perlu memahami apa kekuatan mereka hingga bisa meningkatkan tanpa pernah kalian sadari. Meski wajah kalian masih menjadi momok yang terus diperbincangkan sampai kalian  wafat.

Kedekatan yang kalian bangun dengan siswa bukan pada tataran layaknya orang tua dulu. Bukan juga kedekatan yang kalau "sabda" sebagai seorang guru, isinya mereka harus setuju. Lalu untuk apa mereka "bersekolah, sekolah" sudahi penderitaan mereka jika kalian masih saja mengadopsi metode yang tak pernah kalian singgung untuk menerima perubahan, keterbukaan, kehangatan percakapan, dan hal-hal yang kalian anggap masih 'mistis'.Yang membuat kesulitan untuk meningkatan kemampuan dalam mendidik siswa-siswi di sekolah. 

Keakraban (sebagai warga kelas satu (guru) kepada warga kelas dua (murid)) itu jika kalian mau memikirkan apa yang saya tulis. Tidak perlulah (kelas satu lebih baik dari kelas dua, tetapi keduanya saling bersinergi dengan baik). Kalau kata mas-mas motivator kalian bisa berelaborasi dengan tekun dan ramah, terbuka, dan saling menjaga jarak. Sebagai guru atau sebagai murid. Keduanya memiliki batasan. Panggilah guru seperti layaknya seorang guru, bukan nama dan seterusnya, hingga ruang guru dan murid tetap terlihat harmoni. Setidaknya ini menjadi plihan melihat anak-anak kita mulai sulit untuk menatap diri sendiri dan mudah sekali tersulut. Meski ada jutaan lain yang tetap bisa memposisikan. Kita berharap. 

Minggu, 24 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya


Chapter 3

Lukman berjalan menuju sebuah pasar. Ingin membeli sebuah kado pengantin, ia ingin menyenangkan layaknya suami pada umumnya. Tempat yang dirindukan, meski beraroma tai bebek. Meski begitu, pasar rakyat ibarat surga yang menyenangkan, mungkin banyak penipuan disana. Apa yang mesti ditupu, jika Dulu semasa kecil, ia bersama dengan teman-temannya mengais cabe-cabe tak layak jual untuk dikumpulkan dan dijadikan bahan sambel untuk makan malam. Ia tak ingin dejavu seperti yang biasa terjadi jika mental sedang melankolia. Justru dengan ingatan jelas tentang sebuah masa, ia ingin memperjelas kenangan menjadi sebuah kekuatan.

Jalan yang aman dari para mata-mata penguasa hanyalah sebuah gang sempit yang sempat ditutup. Tak ada yang berani melintas meski pintu gang telah menganga lebar. Ingatanya juga melayang pada gang yang sedang dilewatinya, sebuah gang yang mengerikan, dimana telah terjadi pembunuhan yang mengerikan. Tubuh korban dimutilasi dan potongannya disusun menjadi sebuah kata. “PUAS” sebuah kata yang sampai sekarang tak ada yang bisa menerjemakan, meski para ahli bahasa sekalipun.

Gang yang sempit hanya bisa dilewai oleh dua orang berjajar, kedua sisinya diapit oleh tembok-tembok dari gedung perkantoran dan pusat berbelanjaan. Ingatannya tanpa dipanggil lebih dalam, tiba-tiba saja muncul seperti bisul. Sebelum ditembok, gang ini adalah lapangan bola luas yang bisa menampung seluruh anak-anak kecil sekampung, termasuk Lukman. Tempat mengadu laying-layang, pertandingan tarkam yang selalu ribut menjelang maghrib, atau melihat layar tancap dimalam hari dengan mulut sibuk mengunyah kacang rebus.

Kini semuanya serba kaku dan membisu, jalan-jalan tak lagi aman dan menyenangkan, anak-anak bingung mencari tempat bermain.

Selain sempit, gang ini juga selalu dipenuhi air semata kaki. Entah air dari mana, tak peduli hujan atau tidak. Gang ini sangat menjengkelkan sekaligus mengerikan. Orang-orang lebih memutar dari pada harus melewati gang ini, ketika berangkat ke pasar. Lukman tak melakukannya.

Ia berjalan sambil melihat tulisan yang banyak menghiasi tembok sepanjang gang. Isinya macam-macam, ada yang mengutuk, mengumpat, ataupun memaki.

Tulisan itu seperti: Tumpas, tebas, korupsi sampai habis. Lalu ada yang menambahka pada tembok lain, korupsi, kolusi, nephotisme, biang kerok. Dan seterusnya, seperti tak ada tempat penghisap darah.

Mata yang terlatih itu terus menyerap semua tulisan dari tangan-tangan berminyak yang kebanyakan kerja hanya mengandalkan tenaga. Bisa saja mereka menuliskan sambil tersedu-sedu, karena terus saja memikirkan bagaimana nasib bangsa Indonesia setelah ia tiada. Di gantikan oleh anak cucu yang mengais rempah-rempah keadilan dengan cucuran peneyelasan.

Penamaan pengantin dan mencari kado setelah usai resepsi pernikahan agaknya ganjil. Tetapi tidak bagi Lukman, ia justru ingin menghadiahi istrinya dengan kado setelah menikah, entah apa kadonya. Uang tebal juga tak ia genggam, hanya bunyi kepingan uang yang saling beradu pada kantong bajunya. Ia ingin duduk santai di tepi ranjang, sambil menatap punggung istrinya yang sedang menyisir rambutnya yang basah, padahal subuh tadi terlalu dingin.

Sampai di mulut gang, ia melihat tulisan mural yang membuatnya tampak nyaman. “Tulisan itu hasil residu dari bahasa lisan.” Di bawahnya tersemat sebuah nama: Sapardi Djoko Damono. Ia melangkah sambil tersenyum menyebrang jalan raya. Ia menurunkan tudung kepala sampai menyentuh kedua alisnya. Matanya menyisir cepat, siapa tahu ada para serdadu yang tingkahnya aneh. Menyamar sebagai pedagang yang aroma tubuhnya sama sekali berbeda.

Lukman melipat baju dan memasukannya kedalam kantong plastik. Tak berkado, juga tak elegan. Hanya sepasang baju yang dibelinya dengan perasaan bercabang.

“Kau belum tidur,”

“Mana mungkin aku bisa tidur, ini hari yang bahagia, tetapi serdadu itu terus saja membuatmu kecut.”

“Maaf, mungkin ini membuat perasaanmu ringan.” Lukman mengulurkan baju yang dibelinya di pasar tadi pagi.

“Uang dari mana.” Tanya istrinya.

“Seperti biasa, aku memposisikan diri sebagai konsultan hukum.”

“Orang-orang itu masih percaya.”

“Mungkin tidak ada pilihan lagi.”

Lukman meninggalkan istrinya setelah tengah malam. Melepaskan diri dari pelukannya. Menyibak selimut kain hadiah dari seorang teman yang mengaku diriya sebagai pejuang HAM. Seorang teman yang mata kirinya telah dibuat buta oleh hantu menguntitnya sejak lama. Naasnya setelah kejadian itu, temannya dituding sebagai orang bergaya modern, tiap hari dituding sebagai mata lensa.

Kakinya melantur kemana-mana sampai ia berhenti pada warung 24 jam. Penjualnya sedang menikmati secangkir kopi, menyesapya pelan-pelan. Ia menoleh ke arah Lukman.

“Hei penyair duduklah, kubuatkan kau segelas kopi.”

“Andai masih ada Wiro Sableng, mungkin aku bisa taya sesuatu padanya.”

“Kau mau tanya apa Man?”

“Mungkin beliau bisa kuajak untuk demontrasi sambil ia mengacungkan kapak naga geni 212. Atau jurus matahari yang bisa menyilaukan para serdadu, hingga kami bebas bersuara. Setelah itu aku akan bertanya tentang arti kemerdekaan, apakah termasuk dalam jenis hantu.”

“Aku punya bukunya, kau ingin baca.”

“Aku sudah membaca semuanya.”

“Mungkin ini belum.”

Lukman tercengang melihat serial novel yang belum pernah dibacanya. Digengamnya erat-erat dan sebuah teriakan serigala menjalar ke segala arah. Ia mulai membaca halaman demi halaman pertama sambil menikmati gelas-gelas kopi lainnya. Sementara penjualnya sudah mendengkur memimpikan kapak yang sering di idam-idamkanya.

Teriakan serigala berubah menjadi kokok ayam yang saling sahut menyahut. Lukman menuntaskan setengah novel Wiro sableng. Dan ia memutusan untuk kembali ke rumah sambil merapatkan tubuhnya ke sisi istrinya. Untuk sejenak ia seperti terlupakan oleh serdadu yang selalu bernafsu untuk meringkus dirinya.

Lukman terbangun ketika hidungnya mencium aroma kopi seperti yang ada di televisi. Ia berharap istrinya yang membuatkan segelas kopi, bukan mertua seperti yang sudah-sudah.

Ia mengintip dari lubang kunci, halaman rumahnya kini ramai oleh anak-anak yang sedang menonton aksi topeng monyet diiringi musik penuh bulian. Ia tersentak manakala bertubrukan dengan mata si monyet. Si monyet mogok untuk melakukan aksinya. Sang pawang terus saja membentak-bentak si monyet. Tanpa di sadari, ia melihat monyet itu lari lintang pukang meninggalkan pawang yang terengah-engah mengejarnya. Sore hari Lukman mandi di sungai. Ia menyelam sampai ke dasar sungai. Ikan-ikan kecil kocar-kacir dibuatnya. Ia senang karena salah satu temannya menepati janji agar tak membuang limbah ke sungai. Tapi, apakah janji itu akan diturunkan kepada orang yang akan menggantikannya nanti. Malam hari ia kembali ke warung 24 jam. Tak lama ia duduk-duduk di warung. Telinganya seperti mendapati langkah-langkah sepatu yang ia kenal. Sepasang sepatu yang bisa mematahkan jemari kalian. Sepasang sepatu yang tak berbau meski telah berlumuran darah.

Sabtu, 23 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya

                                               Chapter 2

Pintu terbuka setelah sebelumnya Lukman mengetuk pintu rumah tiga kali. Ia menunggu beberapa saat, mungkin mereka masih terlelap di sisa pagi yang belum menghangat. Kucing penunggu rumah juga masih tidur-tidur ayam diatas keset menatapku malas.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Sebuah langkah kaki terdengar.Ia menoleh kebelakang siapa tahu anak buah jendral itu berhasil mengendus keberadaanku dengan anjing pelacak penggonggong.

Aku menahan nafas, siapa yang akan membukakan pintu untuk pertama kalinya. Kuharap bukan ayah ibunya, atau adik-adiknya. Gagang pintu diputar cepat setelah penghuni rumah mengintip dari balik gorden rumah dan mengenali wajahku.

“Lukman,” katanya pelan.

“Kau punya makanan,” jawabku lebih pelan.

“Masuklah,” katanya. Ia menyela beberapa helai rambut yang menggantung di depan matanya. Mengintip keluar rumah melalui gorden yang ia sibakkan sedikit. Pedagang lontong sayur yang tertangkap oleh kedua matanya. Berhenti di depan rumahnya meski ia tak memesan.

Lukman duduk di sofa panjang coklat, pikirannya kabur entah kemana. Untung ia masih menyimpan alamat rumah yang sekarang ia lihat, kalau tidak ia akan luntang lantug mengukur jalanan seharian. Ada banyak foto yang tertancap di dinding, Lukman menatap satu persatu, nyaris tak ada yang dikenalinya. Kecuali foto wanita yang bermata sipit dengan hidung sedang dan rambut ikal panjang sebahu. Lukman berkenalan dengan wanita di foto itu setahun setelah demonstrasi yang mendebarkan.

Lukman cepat-cepat beralih pandangannya kepada sepiring nasi, sambel kecap dan telur goreng yang membuat perutnya tak lagi merintih-rintih sepanjang malam. Ia merasa darahnya yang telah membeku puluhan jam kembali hangat, sendii-sendi yang tiba-tiba linu seperti terserang rematik kembali bisa bergerak dengan leluasa. Sepanjang malam ia meringkus di kakus bambu yang dibawahnya ikan gurame seperti ingin mengajaknya berbicara. Hanya saja ia tidak menjadi gila karena bercakap-cakap dengan raja ikan air tawar.

Sarapan pagi yang nikmat itu di akhiri dengan tegukan air dari bibir gelas keramik yang kau ulurkan dengan wajah cerah. Gelas itu bergambar naga yang sedang terbang di atas awan dengan mulut berapi. Kaki-kakinya yang kuat dan tajam itu mengangkat seorang putri bermahkota tandur kerbau.

“Seandaianya Naga itu ada, aku ingin juga dicengkram olehnya dan dibawa entah kemana, menjadi santapan anak-anaknya juga tak sesal, dari pada menjadi ekperimen para prajurit yang menganggapku sebagai orang membawa penyakit bagi negeri ini,” ucap Lukman

“Sakit itu akan lenyap manakala kita menutup mata untuk waktu yang lama. Bagaimana kabar keluargamu?”

“Semoga sehat, sekarang kau berkacamata,” jawab Lukman, ia mengalihkan perhatiannya pada fota yang tergantung di dinding.

“Sebuah kebutuhan.” Jawab wanita itu, sambil tersenyum manis.

“Aku iri kepadamu, orasi dimana-mana tetap nyenyak tidur di rumah sendiri.”

“Siapa bilang, saat ini hanya aku yang tahu, sekarang rencanamu kemana,” Tanya wanita itu sambil menyeruput teh jumput yang masih mengepulkan asap.

“Kau bertanya tetapi tentu saja kau tahu jawabannya.”

Lukman pamit kepada pemilik rambut ikal sebahu, ia mungkin tak menganggu anggota keluarga yang lain terbangun disela-sela rasa kantuk. Ia harus pergi lagi dan pergi agar para prajurit yang mengemban tugas tak dapat mengendusnya dalam waktu cepat, pekerjaan mengulur waktu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Ia tidak ingin budinya berubah menjadi air yang mendinginkan semangat melakoni drama sebagai pesakitan bagi para penguasa. Ia ingin mengetuk pintu itu lagi, sebuah pintu yang telah mengobarkan api semangat di tengah pelarian yang tak berujung. Akan datang saatnya nanti pintu itu ia ketuk lagi dalam kondisi yang berbeda bukan sebagai buronan di tengah kakap yang berdansa di pagi hari sambil barbeque di halaman rumah bersama tikud-tikus gendut berkepala botak.

Lukman merapatkan jaketnya yang telah berumur panjang hadiah dari kawan sesama demonstran. Ia merasa agak terlindungi dari cibiran, sebab ada logo negara asing menempel di jaket jin belel beraroma rupa-rupa. Tetapi penguasa itu apakah mau mempertimbangkan ketika melihat Lukman berjaket berlogo negara asing, apakah mereka segan lalu mengundurkan penangkapannya dalam tempo lama. Setidaknya ada jatuh tempo sebelum para penguasa betul-betul membuatnya tak bisa kemana-mana.

Menjelang dini hari Lukman mengikuti langkah-langkah orang gila menuju tempat persembunyiannya, sampai di tempat tujuan segala aroma menyeruak ke segala penjura. Lukman tidur di atas bangku panjang licin yang beraroma kemenyan beratap langit, ia tersenyum manakala memejamkan matanya, tubuhnya yang ringkih di sapu oleh angin dari semak-semak tinggi yang menjadi benteng sebuah rumah kosong yang amburadul seperti terkena rudal.

Lukman tak memperdulikan segala tingkah polah tawa yang berderai-derai dari sudut ruangan gelap dan beberapa benda jatuh. Orang-orang gila itu sudah terlelap dalam dengkuran panjang yang kasar. Ia menganggap derai tawa sebagai sebuah sambutan selamat datang baginya yang telah menjadi penghuni baru dan membuat suasana lebih hangat.

Rabu, 20 September 2023

Kafilah Menggonggong Anjing-Anjing Menjulurkan Lidahnya

Chapter 1

Lukman berdiri di sudut ruangan bersama puluhan orang dari berbagai desa. Bajunya telah lengket. Mereka sedang mendengarkan khotbah dari pria kota. Setiap berbicara kumisnya ikut bergoyang-goyang melambai naik turun. Ini menimbulkan efek perisai agar orang-orang tak berperkara dengannya. Hidungnya bulat seperti jambu merah. Ia kerap mengulang cerita tentang bayi-bayi perempuan yang di sunat. Mereka kaum yang tinggal di daerah yang membuat kuliat kalian bisa menghitam hanya beberapa jam saja, katanya. Seorang dari mereka datang terlambat membawa anak perempuan yang tertidur dalam pelukannya. 

Lukman mencatat kedatangan wanita dalam secarik kertas yang semakin sulit dikendalikan, kertasnya sudah bercampur keringat yang muncul dari telapak tangan. Ia memunculkan suatu saat dalam bentuk lain yang terasa lembut dan nyaman. Ketika diskusi tengah memuncak beberapa orang berseragam penguasa datang marah-marah. Mereka memaki kami yang tak memakai masker. Salah seorang dari mereka bahkan menendang salah satu kursi hingga membuat salah seorang perempuan yang sedang menyusui terjungkal kebelakang.

Salah seorang pria berseragam penguasa tengah menodongkan senjata tepat di keningnya, membuat lelaki itu duduk kembali di kursinya. Satu persatu membubarkan diri. Pria berseragam penguasa lainnya menghentikan langkah Lukman. Ia tak menggubris peringatan keras dari pria-pria berseragam. Lukman malah berlari kencang mencoba meninggalkan gedung dari tanah liat yang unik. Ia terus berlari sampai kedua kakinya terjerembab dan masuk lubang tanah yang berlantai lunak. Sekelilingnya menghitam, tangannya meraba. Jemarinya menyentuh permukaan lembut yang terasa lebar. Ia pun menariknya sampai menutupi kepalanya. 

Teriakan dari pria berseragam terus meneriakinya. Salah seorang pria masuk ke lubang tanah yang ruangannya menghitam. Tubuh Lukman menggigil, ketika selimutnya di tarik-tarik secara tergopoh-gopoh. Kalimatnya terasa panas di telinga: Namamu ditelevisi….” Kalimat itu mendengung-dengung di kepala. Istrinya terus mengulang kata itu secara sporadis. 

Lukman tertidur cukup lama, sampai kedua telinganya menangkap kemarahan dari seorang pria berseragam dengan pangkat tinggi. Dadanya bergemuruh ingin membungkam mulut yang setiap pagi dijejali oleh roti tawar selai pisang. Namanya yang terus menerus disebut-sebut membuat kebenciannya terhadap negerinya makin memuncak. Ia pikir dengan tidur lagi bisa menyembuhkan luka pikirannya karena kebebasan bicaranya telah dipasung hingga ia menjadi buronan yang perlu dilenyapkan. 

Ia curiga kalau cara terbaik untuk menghentikan sebuah perbedaan adalah dengan cara melenyapkan. Ini pola pikir syetan, ungkap Lukman yang tak pernah keluar dari mulutnya untuk sementara waktu. Kemarahan pria berseragam tingkat tinggi itu meluapkan kemarahannya ditelevisi, di siarkan secara langsung tanpa terpotong iklan dan perkataan MC, yang telinganya telah diteriaki oleh orang yang berkuasa. Lukman terbangun setelah mimpinya terganggu oleh suara tukang getuk yang menjajakan jualannya dengan memutar musik memekakkan telinga. 

Sebuah lagu dangdut yang mengalun sebagai isyarat pada pelanggannya bahwa menu kali ini tidak mengecewakan. Lukman membuang slimut tipis yang terbuat dari jarit coklat, dijahit menyerupai selimut pada umumnya. Membiarkan kedua kakinya menjuntai kebawah dan membiarkannya berayun-ayun sejenak. Ia memandang langit-langit rumah yang mulai dihuni oleh laba-laba kaki panjang ayah. Mengucek kedua matanya yang lengket dan menyisakan satu mata yang selalu merah akibat kekerasan penguasa, mengusap rambutnya yang kriting dan mengecep lidahnya yang dipaksa untuk mengecap makanan yang sama berhari-hari. 

Ia memasang telinga kalau jendral yang meneriaki namanya berkali dengan wajah merah padam bara. Mengucungkan jari telunjuknya ke arah kamera awak media yang segar wajahnya, bak dapat segudang durian yang jatuh dari truk berjalan endut-endutan. Ternyata yang didengarnya hanyalan iklan shampo, bumbu dapur, pembalut, dan obat sakit kepala. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan di atas lantai semen kasar dan mengintip ruang tamu dari balik gorden lusuh berbau macam-macam, karena terkadang beralih fungsi menjadi lap tangan sehabis makan.

Ia mengambil handuk yang menggantung di balik pintu kamar, menyampirnya ke bahu dan berjalan cepat menuju kamar mandi. “Namamu ditelivisi….” Ucap sang istri sambil menyetrika baju. “Kekejaman kemanusian ternyata mudah sekali terendus oleh istriku.” Kata Lukman sambil menutup pintu kamar mandi. Lukman keluar dari kamar mandi dengan memakai baju berwarna kuning terang tanpa mengganti celana, ia berjalan ke belakang rumah yang segar. Banyak tumbuhan apotik tumbuh disana, dari mulai jahe, kunyit, lengkuas, jahe merah, kencur, panegoang, dan sebagainya. Lalu ia menjemur handuk dan berjalan ke ruang dapur. Ibu mertuanya telah meletakkan segelas kopi pahit. Seperti yang sudah menjadi kebiasaan sang ibu mertua meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. 

Ia menyeruput sedikit dan membunyikan suara puas, dan menggelangkan kepalanya. Matanya menombak foto pernikahannya yang makin buram. Bingkai dari gleges membuatnya semakin tak solid, digeser sedikit foto itu akan keluar amburadul. Lukman berpapasan dengan istrinya ketika keluar dari ruang dapur dan menghirup sabun batangan dari balik tubuhnya. “Wanginya…” ledak Lukman. “Kita semua panik Mas!, namamu disebut-sebut oleh jendral itu.” ucap sang istri meletakan baju yang telah licin kedalam lemari satu persatu.

“Tentu saja takut, tetapi aku harus berani. Dan aku tidak meninggalkan apapun kepada kalian kecuali api yang terus membara sepanjang nafas di kandung hayat.” Jawab Lukman.

BU- ULLY

Saya Punya Hak Untuk Tidak Menjawab

Begitu kata Bu-Ully saat para wartawan mendatangi tempat dimana ia menjalani hidupnya sebagai pendidik. Tapi entahlah sebagai buruh saya tak merasakan apapun tentangnya. Bahkan aura sebagai pendidik pun aur-auran. Lalu kemana ruh gurunya. Tanya seekor anak Rusa yang pernah mencium kaki lelaki saat induknya terjerat tali. Mungkin hilang untuk sesaat saat ia dihipnotis dengan lembaran-lembaran sombong bernimina. Kalian tahu nomina itu fiksi loh. Jika kalian mau berpikir, nomina hanya diciptakan untuk menominakan perkara-perkara yang sukar untuk di bilang. Mengapa era dulu, emas menjadi alat tukar transaksi, baru itu Fakta.

"Kenapa berani menghilangkan perasaanya," seekor anak rusa bertanya pada induknya.

"Hanya Bu-Ully yang bisa menjawab," jawab Induknya.

"Semua orang berhak menjawab."

"Itu hanya ada di dunia dongeng, camkan itu.

Induknya menceritakan bagaimana Bu-Ully sempat membuat kakinya terjerat. Perasaan putus asa segera merayap cepat. Bersukur anaknya mau mempertaruhkan nyawanya untuk menolong dirinya. Kalau tidak, ia akan terjerat dan tewas di makan hewan liar lainnya.

Selasa, 19 September 2023

Chapter 1

"Puncak Prestasi Seorang Guru"

Guru yang 'tepat' atau setidaknya mendekati maksimal dan mengandung banyak kebaikan, banyak keberkahan, saya pikir bukan sekedar memberikan pemahaman yang mumpuni kepada para murid-muridnya. Tetapi bagaimana guru itu memberikan banyak-banyak inspirasi, atau setidaknya  menginspirasi. Bentuknya macam-macam. Jika guru itu memberikan semacam dogma lalu muridnya bisa menangkap wawasan baru, pengetahuan baru. Tidak sekedar memberikan dogma yang kaku, kalimat-kalimat yang terus saja menggurui, meski ia seorang guru. Saya pikir tidak ada orang satupun di dunia ini yang suka diberikan nasihat terus menerus tanpa pernah diberikan kesempatan untuk berbicara. Bahkan sekedar mengungkapkan apa yang menggelisahkan pikirannyapun kelu. 

Di depan kelas, 'dulu', seorang guru berdiri di depan kelas, muridnya diam tidak mau protes, bahkan untuk protes pada pikirannya sendiri. Karena menganggap guru itu maha, mungkin di belahan kelas yang lain ada begitu banyak murid yang mengacungkan tangan mengkonfirmasi sesuatu, menginterupsi sesuatu, sebelum guru itu selesai bicara. Tanggapi saja sejenak, lalu berikan pijakan. Jika tak mampu maka endapkanlah dulu hingga kau menemukan kelamahan sekaligus kekuatan yang bisa kau bangun dengan sempurna. Untuk membangun peradaban konon banyak-banyaklah mendengar. Itu salah duanya. Dan seterunya. 

Ada yang bilang guru itu harus dan bisa menggerakan semua elemen departeman.  Jika tidak semua, ya beberapa departemen saja sudah cukup untuk memajukan bangsa ini, itu kalau kalian setuju. Saya kembalikan kepada jalan pikiran kalian. Saya khawatir itu jadi semacam jargonism, bila kalian tempel besar-besar di atas spanduk lalu berhenti disana. Tanpa pernah berani mengkonfirmasi guru sebagai penggerak bangsa, jika ide yang kalian gulirkan selalu keruh dari hulu ke hilir, atau dari hilir ke hulu. Yang mau kalian gerakan itu apa, jika guru-guru masih cemas memikirkan masa depannya sendiri atas bangsanya sendiri, lalu mereka berubah menjadi buruh pabrik di kelas-kelas. Cepat-cepat pulang karena istri dan keluarga mereka menunggu beras untuk dimasak, itupun kalau kalian sejenak berpikir. 

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, yang konon katanya uji coba pertama apakah bom itu bisa meledak atau tidak. Ternyata meledak, hingga seluruh awak pesawat hanya melongo menatap kepulan asap yang membumbung ke angkasa bak cendawan berjamur-jamur. Lalu sekonyong-konyong ada seorang fotografer yang mengabadikan peristiwa memilukan itu. Hingga bisa kalian lihat sampai sekarang, sebagai sebuah bencana atau krisis cara berpikir. Tetapi yang saya mau tekankan adalah; setelah bom meledak seorang prajurit datang menghadap ke kaisar Hirohita, lalu mengatakan; "Jepang sudah kalah." "Kumpulkan seluruh guru yang tersisa, lalu kita bisa bangun 20 tahun kedepan," itu kira-kira skema pembicaraan cerdas yang membuat seluruh jendral yang tersisa tampak kebingungan, tetapi hanya sesaat. Mereka langsung mengumpulkan seluruh guru yang tersisa konon sejumlah 45.000.

Artinya guru itu memang tidak perlu pujian apapun, tetapi sejahterakan mereka dengan cara-cara terhormat. Memang pahlawan yang berjasa, bukan tanpa tanda jasa. Hingga mereka bisa secerdas para pemikir bangsa. Mereka pun bisa menghilangkan kebiasaan buruk yang menempel seperti daki, hingga mereka berani jujur kalau para guru wajib belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Hingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, berkah secara ilmu, kuat secara fisik, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam penjaga moral bangsa ini. Dan yang penting dari penting-penting lainnya, mereka tidak antipati terhadap 'mahluk' bernama kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Meski terseok-seok atau jalan memutar, jalan lempeng, mereka menatap damai AI.

Karena dari mereka (guru-guru) akan 'lahir' dari rahim mereka anak-anak yang dapat memilah dan memilih untuk ia sendiri dan masa depannya. Bukan untuk "mengencingi" guru mereka sendiri, sebab nihilnya moral yang mereka serap dari gurunya. Atau mereka punya jalan sendiri, karena pilihan dari mereka yang sulit untuk mereka bendung. Jika mereka berani "mengencingi" guru seperti mereka bakar moral yang guru celupkan pada ruh-ruh mereka sejak dini, lalu mereka dapat kekuatan jahat dari mana? apakah dari gurunya, lingkungannya, keluarganya, atau mereka sendiri yang menentukan arah pribadi.

Moral sebagai kekuatan epic menjadi senjata pamungkas setelah inspirasi. Derita-derita yang mereka rasakan sebagai guru, lebur menjadi gumam indah menjelang tidur, meski beras tingga 12 kunyah. Minyak tinggal sekali goreng, dan tempe tahu tinggal satu hari kadaluarsanya, dan mimpi tinggal satu malam. Lalu di ujung tidurnya mereka mimpi indah setelah mendoakan murid-muridnya, bahkan murid yang kalian katakan bandel. Tak lepas dari guru ini, guru yang siap meski Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak. Yang siap mau bukan karena mampu, tetapi tak ingin melihat ruang kosong yang bisa mengkerdilkan pikiran-pikiran cerdas yang sedang tumbuh-tumbuhnya. 

Mungkin saya akan tutup sementara gendu-gendu rasa ini dengan kalimat; "Ada yang lebih cerdas dari guru, ya banyak, banyak sekali, tetapi mereka mungkin tak bisa rebut keberkahan dari seorang guru, jika mereka tulus dan ikhlas," kata seorang penggembala kepada para kerbaunya jelang senja. Ia seorang guru SD honorer yang menggembalakan kerbau-kerbau milik Kepala Sekolah, dan ia selalu menolak undangan makan malam dari putrinya. Lalu putrinya bertanya setelah sekian lama undangannya selalu di tolak. "Aku tidak ingin terjebak oligarkhi" jawabnya. Ia pergi sambil menenteng jatah makam malam. Putri kepala sekolah itu menjeling kepada penggembal. Ia mendengus kesal dan pulang ke rumah. Sementara langit geap disusul silih berganti guruh bersahut-sahutan. Meski hujan tidak lekas turun menyiram bumi. 

Bonding

Chapter 4

Melihat Anak-Anak Dari Sudut Pandang Orang Dewasa

"Bahagian dulu dong ayah," ucap sang anak pada ayah yang memunculkan satu ide. Boleh tidak untuk pergi merantau ke luar negeri. Agar gaji ayahnya bisa mencapai sekian puluh juta. sang anak bisa melontarkan kalimat seperti itu, kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apapun juga. Ia memang nurani jujur sehingga bisa merontokkan tembok mental seorang lelaki dewasa.

Sang ayah rupanya bisa memperoleh kalimat seperti dari hasil diskusi yang setara. Kalimat sederhana dengan intonasi yang rendah, tanpa motiv apapun. Seperti yang lalu-lalu, sang ayah biasanya menggunakan kalimat bernada tinggi dengan bahasa tubuh seorang coboi. Yang bisa mematahkan kalimat apapun yang disampaikan oleh mulut mungil tanpa bau. Kalian orang dewasa yang kadang bau mulutnya saja sudah busuk, lalu kata-kata yang keluar dari mulutmu lebih busuk dari apapun.

Rupanya yang seperti itu bisa jadi terjadi di rumah-rumah kalian yang bertabur marmer sabagai lantai, dan dinding bertabur foto-foto hasil prestasi kalian yang mentereng dari berbagai pelatihan, seminar, pembicara, atau sekedar peserta pelatihan.

Rabu, 13 September 2023

Bonding

Chapter 3

Apakah kita pembuli anak sendiri?

"Kamu masih butuh bantuan ayah," kata si ayah pada satu malam menjelang tidur. Mendapati putrnya yang sering main HP tak bisa dikontrol. Entah itu lewat peringatan atau teguran. Sang ayah akhirnya memakai cara intimidasi, sang ayah berharap apa yang dilakukannya benar. Setidaknya untuk waktu yang dekat. Kalau ada kebenaran dengan pola asuh yang benar tanpa pembully, niscaya ia akan ikuti. Meski dengan rasa yang campur aduk. Antara malu dan butuh. Melihat putranya sendiri makin hari makin bisa melihat situasi. Ia akan mencibir dengan memajukan kedua bibir. Ayah pun terpancing.

"Kau pernah akan digampar oleh seorang tukang, gara-gara bibirmu yang dimonyong-monyongkan tak jelas," ungkap si Ayah. Berharap putranya akan memahami apa yang ia ucapkan. Sebenarnya ia sendiri sudah mengetahui caranya itu salah, tetapi dikepalanya seperti ada iblis yang terus menganggu dan memuntahkan apa yang menjadi gerundelan ketika kata-katanya tak mempan lagi untuk menundukkan putra laki-lakinya. Mungkin ia perlu memanggil dirinya sendiri lebih dalam, agar ia lebih kalem dan percaya akan magic word. Sapaan yang lembut dan teguran yang tidak menurunkan harkat martabat seorang laki-laki, kerap ia lupakan. Laki-laki butuh penghargaan bukan cibiran dan perlakuan seperti bayi yang tidak tahu apa-apa.

Si anak tak menjawab. Tetapi bibirnya komat-kamit memaki sang ayah dengan suara yang tertahan di mulut dan tenggorokan. Si ayah mengetahuinya. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali memuntahkan lagi apa-apa yang ada di kepalanya. Sungguh sebuah kepengecutan yang tiada tara. Tetapi ia terpasung dalam dunia sunyi, suram, gelap, ia belum bisa memahami apa yang ada benak putranya.

"Kalau kau tak nyaman dengan ayah. Kau bisa cari ayah yang lain," Si ayah menyerang lagi dengan brutal. Magic World tenggelam lagi dalam luapan emosi yang meledak. Ia makin gelisah. Ia menambahkan nama-nama temannya untuk dijadikan sebagai ayah pengganti. Itu tidak elegan, caranya menegur dengan membungkam seluruh logika putranya. Ayah berharap seorang psikolog, entah terkenal entah tidak. Bisa mmebaca tulisan ini, lalu merespon dengan tulus. Mungkin mereka akan menulis tentang kekolotan seorang ayah yang mendidik anaknya dengan rasa dendam terhadap masa lalunya. Masa lalu sang ayah yang suram, sekiranya tak perlu diwariskan pada anaknya. Berhentilah. Kata seorang psikolog suatu saat nanti. Ayah berharap dapat pelukan atau apapun dari psikolog, bahwa yang kamu lakukan itu bisa benar-tetapi caranya sungguh keterlaluan. Lalu mereka mengajak sang ayah pergi ke kedai kopi untuk sekedar menyesap pahitnya bubuk kopi.

Ayah pun tak sanggup lagi menatapmu. Yang terus berkomat-kamit memaki sang ayah. Ayah pindah ke ruang tamu. Dengan cara bergeser saja. Bukan berjalan, hanya bergeser. Kalian tahu maksudku. Baiklah. Lalu rebahan. Menatap dinding rumah yang mulai retak, padahal cicilan belum genap satu tahun. Mereka para tukang yang begitu hemat, hingga tega mengurangi takaran semen dan seterusnya.

Selanjutnya, ayah tak tahu bagaimana menatapmu ketika malam menjelang tidur. Pungguh ayah terasa nyeri. Syukurlah tangan mungil istri mampu membuat ayah nyaman. Balsem dioleskan ke seluruh punggung. Sambil sesekali tanya jawab.

"Mungkin ayah perlu merantau, agar putra kita siapa tahu bisa lebih dewasa?" tanya sang ayah pada sang istri yang tengah memijatnya.

"Nggak usah yah, itu tambah runyam. Putra kita mungkin akan lebih penurut. Itu karena dia takut sama bunda. Jiwanya lelakinya akan redup. Itu sangat berbahaya. Janganlah merantau, tetaplah bersama mereka. Sampai mereka besar dan bisa melangkah tanpa perlu penerang.

Selanjutnya yang ayah rasakan hanya gelap beserta lalu lintas mimpi yang silih berganti. Ingin ayah catat mimpi-mimpi itu. Setelah bangun. Ayah disibukkan dengan roti bakar, mandi, dan membangunkanmu. Karena bagimu pukul 06.45 sudah terlambat. Dan tak layak untuk masuk kelas.

Ketika bertemu di ruang dapur. "Ayah minta maaf, ayah harus berkata lebih dewasa. Semuanya agar kamu bisa lebih dewasa." Kata ayah. Si anak mengangguk. Mungkin kalimat barusan akan ditertawakan oleh para psikolog, entah. Hanya saja, ayah perlu minta maaf. Ayah masih bodoh dan goblok, untuk urusan-urusan parenting.

Selasa, 12 September 2023

Bonding

Chapter 2


"Maafkan anak saya, saya juga kadang kena omelannya." begitu kata sang Ayah meminta maaf kepada tukang yang kebetulan dapat sikap tidak mengenakkan dari putranya.

Selepas itu anaknya menangis meminta pembelaan. Bahwa ia sering tersenyum sendiri, tak jelas. Sering parkir motor di depan rumahnya. Dan bla-bla-bla. Semua itu membuat putra tak nyaman. Ia memberontak dengan caranya sendiri. Bahwa Etika pada seorang tukang di rumah tetangga perlu di perbaiki. Bagaimana caranya, harus diperbaiki.

Ia menangis di depan rumah di bawah lirikan tukang yang membuatnya ayahnya punya satu misi. Yaitu membuat anaknya tetap kokoh sebagai lelaki. Sebagai ayah tak mungkin membuat kejadian itu memorosotkan mentalnya hingga menjadi rapuh bak kerupuk.

Ada beberapa perilaku yang membuat putrnya. Bahwa ia anak kecil yang tidak bisa menutupi kekesalan pada orang lain, terhadap Etika yang diterapkan oleh ayahnya di rumah. Maka ketika ada orang dewasa yang dengan sengaja merubah aturan di kepalanya, ia pun berontak dengan caranya sendiri. Tetapi orang dewasa di sekitar yang tidak siap dengan anak (jenius) akan menganggapnya sebagai pengganggu. Mereka meminta para orang tua untuk mendidik anaknya lebih keras lagi, agar sikap-sikapnya dapat diterima pada orang dewasa umumnya.

Itu cukup menggelikan. Tetapi berbicara pada orang yang dikepalanya dipenuhi semak belukar, tanpa pernah dikoret oleh sabit, yah seperti gonggongan aning pada bangkai buruan.

"Kalau nggak saya gampar anakmu itu," kata si Tukang, dengan perubahan redaksi yang terdengar agak keterlaluan.

Ayah sepertinya belum siap menerima teguran itu. Tetapi ayah tak mau kau tumbuh sebagai lelaki pengecut yang tak mau tahu soal peristiwa dan tak mau belajar dari kesalahan. Jika terdapat kekeliuran yang orang lain membetulnya dengan cara yang kurang tepat menurutmu, itu masih jauh lebih baik. Dari pada mereka memujimu atau tak enak pada ayahmu, sama saja mereka sedang menjerumuskanmu dalam lembah kesombongan. Merendahkan orang lain dan menolak kebenaran termasuk kesomobongan yang membuat tubuh firaun ditenggelamkan laut ganas. Ayah tak mau kau tumbuh dengan modal seperti itu.

Meski ayah masih pengecut, belum becus menjadi ayah, masih galak pemarah. Setidaknya ada sisipan nilai yang pernah Ayah ajarkan pada saat-saat ayah mungkin sudah lupa. Kau mungkin tak lupa.

Lepas dari itu. Kau tahu, orang-orang seperti itu membuatmu celaka dan memutus semua yang cita-citakan bersama bundamu. Dan ayah tak mau mereka mencelakaimu dengan cara-cara yang ayah sendiri tak tahu kapan mereka mencelakakan. Kau tahu, mereka bisa melakukan apapun tanpa perlu motif, seperti para pembunuh yang menghilangkan nyawa tanpa perlu kompromi dengan nurani. Kalau mau bunuh, bunuh saja, tak perlu aturan ini aturan itu. Sementara ayah sering meninggalkan rumah dari pagi hingga petang baru kembali. Ditambah kau juga ikut ayah bekerja, sementara siapa yang menjaga Bunda dan adik-adikmua. Ayah perlu seratus langkah agar kau, bunda, dan adik-adikmu.

Untuk sementara sikap ayah seperti ini.

Selasa, 25 Juli 2023

Minggu, 14 Mei 2023

Fase 1

Juli 1949

Perkenalan ini memang tak begitu mulus, mungkin hanya maaf yang kami ulurkan. Semua butuh awalan, dan aku baru memulainya.

Kisah ini baru akan di mulai.

Bayi itu menangis histeris. Ibunya di samping panik, tangannya gemetar membalut pinggang bayi itu dengan handuk basah. Lingkar pinggang bayi itu tak sengaja tersiram air panas, alhasil sepekan kemudian lingkar pinggar bayi itu membentuk warna hitam. Ibu sang bayi tak henti-henti berdoa agar kesembuhan menyambangi putranya. Begitu juga sang ayah.

Tiga setengah bulan telah berlalu. Bayi itu tersenyum kembali. Ayah dan Ibunya bahagia mendapati putranya yang sembuh. Jejak air panas membentuk lingkaran hitam selebar 2 cm. Sejak saat itu orang tuanya memanggilnya dengan Kendit Polang.

Bu Besari dan Pak Marta mengundang kerabat keluarga memberi konfirmasi atas bayinya yang semakin sehat dan lucu. Senyum mengembang tak henti dari Bu Besari dan Pak Marta. Handai tolan dan sanak famili memberikan selamat.

Kendit Polang semakin tumbuh besar. Hitungan tahun terasa cepat. Waktu berlomba dengan aneka macam peristiwa. Kendit Polang tumbuh dengan otot yang mengagumkan. Postur tubuh tak terlalu tinggi. Cara jalannya seperti bebek, hidungnya paruh beo, bergigi kelinci, dan rambutnya tebal berombak.