Kamis, 30 Mei 2019

Jarum Panjang Jarum Pendek

" Eza nanti pulang ke rumah ketika Jarum pendek di angka sembilan dan jarum panjang di angka dua belas." Awal ayah mengenalkan tentang konsep waktu Eza sesaat terdiam. Mungkin mencerna setiap penjelasan yang ayah berikan. Matanya yang jernih menatap jarum panjang dan jarum pendek agar tidak tertukar.

Lalu ketika merebus telur ayam, yang menurut Eza sebagi telur putih. Eza bertanya kepada ayahnya. " Berapa lama yah merebusnya."

"Sekarang jarum panjang di angka 10, Eza tunggu sampai jarum panjang di angka 12." Tuturku.

Dulu ketika berusia empat tahun, ayah belum mengenalkan tentang konsep waktu. Justru mengenalkan lewat konsep jari. Bila lima jari berarti lima menit. Kalau satu jari, berarti waktu tinggal satu menit.

Setiap pulang dari bermain, sepertinya Eza cukup paham, sampai di rumah tepat waktu. Mungkin ia melihat jam dinding di rumah temannya.

Semoga saja.

TEGURAN

Rapat belum selesai. Ketika itu bulan Ramadan. Setelah tadarus selesai. Eza tengah bermain dengan QQ di tengah-tengah kami yang duduk melingkar. Salah seorang dari teman kerja memberi nasihat. " Itu tidak aman Eza, sayang dong, sama adiknya."

Tanpa diduga Eza langsung menjerit kesal. Mungkin baginya teguran itu bagai petir yang meruntuhkan mentalnya. Eza tak terima karena diberi nasihat oleh orang dewasa, bukan ayah dan bundanya. Eza langsung menghambur ke arah ayahnya dan merajuk minta pulang.

Ayah langsung memeluknya. Menenangkan kondisi kejiwaannya. Ayah bisikkan kata-kata yang meluruskan persipnya tentang makna teguran. " Eza, teman ayah hanya memberi tahu. Eza tidak perlu marah." Berungkali Eza menolak untuk nasihat itu, tetapi ayah terus memberi persepsi tentang teguran itu.

Setelah ayah peluk cukup lama. Eza turun dari pelukan dan bermain dengan teman lain yang sedang membawa perahu kertas. Eza tertarik dan turun dari pelukan lalu senyum mengembang, seolah-olah masalah tadi lenyap.

DEWI LESTARI

Terus Mencoba


Bagian ketiga

" Saat itu yang paling menantang adalah menyelesaikan cerita itu sendiri," kenang Dee soal pengalaman pertamanya dalam menulis. Dee yang sangat menyenangi menulis novel merasa belum memiliki "stamina" dan pengalaman menulis yang cukup ketika itu untuk bisa bertahan hingga mampu menamatkan sebuah cerita. Sampai akhirnya novel pertamanya berhasil diselesaikan. "Kuncinya, terus mencoba. Lama kelamaan pengalaman itu akan terakumulasi sendiri," saran perempuan lulusan Universitas Parahyangan ini.

Soal menentukan target menulis, bagi Dee, sah-sah saja, asalkan realistis. Untuk sebuah karya yang menang dalam perlombaan atau dimuat di media massa-Anda juga harus paham betul karakteristik media massa yang anda tuju-biasanya amat tergantung subjektivitas juri dan kebutuhan redaksi. Selama para penulis pemula punya mental yang cukup kuat terhadap penolakan, boleh-boleh saja pasang target seperti itu, kata Dee. "lebih realistis kalau targetnya adalah menyelesaikan sebuah novel dalam dua bulan, atau mengerjakan cerpen dalam dua minggu, dan seterusnya. Bisa juga diterapkan dalam target membaca," saran Dee.

Selain itu, hal seperti ini mungkin akan terlontar, "Ah, saya tidak punya bakat menulis. Pasti sulit." Ya, bakat menjadi faktor tersendiri. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan batin yang peka dan memiliki archetype pencerita, ujar Dee. Mereka biasanya pandai merangkai cerita dengan alami. "Namun, menulis juga merupakan skill dan teknik, yang artinya bisa dipelajari. Semakin jernih dan peka seseorang bisa merasa dan berpikir, semakin mudah mereka dapat mengomunikasikan alam pikirnya. Saya rasa itu modal utama seorang penulis," tutur Dee.

Sumber : Majalah Parenting
Kolom   : Celebrity
Edisi      : Februari 2014
Hal         : 94
Oleh       : Nur Resti Agtadwimawanti

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak



Bagian dua

Dalam menyiasati tantangan tersebut, ada cerita menarik yang datang dari cuitan Dee dalam akun Twitternya, @deelestari, beberapa waktu lalu. Untuk menyelesaikan karyanya, Dee bahkan sampai menulis sambil menggendong bayinya. "Waktu nulis Supernova:Petir, Keenan sudah lahir. Sekitar 40 Persen buku tersebut saya selesaikan sambil mengasuh Keenan yang masih bayi," Ujarnya. Dee hanya bisa menulis saat Keenan terlelap. Karena masih menyusui, mau tidak mau, kadang-kadang Dee terpaksa mengetik satu tangan sembari sebelah tangannya lagi menggendong Keenan yang sedang menyusu. Tak berakhir dengan Keenan, saat menulis Madre dan Partikel, Atisha juga sudah lahir. Akhirnya Dee baru mulai menulis lagi setelah Atisha berusia satu tahun. "Caranya kurang lebih sama, yakni dengan mencuri waktu sebisanya. Setiap hari, syukurnya, masih dapat satu-dua jam menulis di kamar tanpa diganggu, sementara Atisha main dengan pengasuh atau ayahnya saran," saran Dee.


Karena saya penulis fiksi, tentunya saya menulis berdasarkan imajinasi saya. Dan imajinasi saya didapatkan dari kombinasi, minat, passion, observasi, dan riset.

BUAH PIKIRAN DEE

* Novel Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh
* Novel Supernova: Akar
* Kumpulan Prosa dan Puisi: Filosofi Kopi
* Novel Supernova: Petir
* Kumpulan Cerita Rectoverso
* Novel Perahu Kertas
* Kumpulan Cerita Madre
* Novel Supernova: Partikel

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak


Bagian Satu 

Merampungkan tulisan yang tak sedikit sembari mengurus anak bukanlah perkara yang gampang. Ya, kira-kira begitulah pengalaman Dewi Lestari, penulis yang akrab disapa Dee. Sebelum memiliki anak, ia memegang teguh konsep ideal tentang menulis: bahwa menulis itu harus dilakukan pada malam hari, harus panjang waktunya, tidak terputus, tidak ada gangguan, dan sebagainya. Namun setelah memiliki anak, ia harus menghadapi realitas bahwa konsep ideal tersebut sudah berubah. "kalau saya menunggu kondisi ideal itu hadir, tidak akan ada buku baru yang lahir. Akhirnya saya belajar berdamai," kenang perempuan kelahiran Bandung ini.

Istri Reza Gunawan ini mencoba menulis kapanpun waktu yang bisa dimanfaatkannya. "Kalau dapat sejam ya bersyukur, kalau enggak, menyambung lagi begitu ada kesempatan," cerita Dee. Dari delapan buku yang terbit, ada dua buku yang dia kerjakan sebelum memiliki anak, yakni Supernova 1 dan 2. Enam buku sesudahnya, termasuk Partikel yang lebih dari 500 halaman, dikerjakan setelah memiliki buah hati." Jadi, sebetulnya punya anak bukan sebuah keterbatasan, melainkan tantangan yang bisa disiasati," kata Ibu dari Keenan dan Atisha ini.

Lebih dekat dengan Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944, sebagai anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Sejak SMP ia menulis cerita pendek yang termuat di suratkabar Suluh Indonesia di Bali. Di tahun 1962, setelah lulus SMA Negeri di Singaraja ( yang kepala sekolahnya adalah Ibu Gedong Bagoes Oka), ia pindah ke Yogyakarta, memasuki Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan tamat di jurusan perdata, 1969. Di kota itu pula, ia sempat belajar di Akademika Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan Akdemika Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia bergabung dengan bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra, dan terlibat dalam beberapa nomor "minikata" yang terkenal itu.

Pindah ke Jakarta di tahun 1970, Putu Wijaya sempat terlibat dalam pementasan Teater Ketjil (arahan Arifin C.Noer) dan Teater Populer (Teguh Karya). Ia pernah bekerja sebagai redaktur wartawan di majalah Ekspress, Tempo, dan kemudian Zaman. Pada tahun 1971 ia mendirikan kelompoknya teaternya sendiri, Teater Mandiri, dengan konsep "bertolak dari yang ada", dan mengadakan berbagai pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dan kemudian Gedung Kesenian Jakarta, untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai "teror mental", sampai kini; pentasnya antara lain, Anu, Aduh, Dag-Dig-Dug, Edan, Gerr, Hum-Pim-Pah, Dor, Los, Aum, Zat, Tai, dan Front. Di tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat. Selama 1985-1988, ia tinggal di negeri itu, antara lain untuk menjadi dosen tamu di University of Wisconsin-Madinson; ia juga mengadakan pementasan di sejumlah kota, misalnya di La Mama Experimental Theater Club, New York.

Putu Wijaya bukan hanya sastrawan, sutradara, dan aktor. Ia juga penulis skenario film, tiga diantaranya memenangkan Piala Citra; ia menulis begitu banyak ulasan seni pertunjukan untuk majalah Tempo. Ia pun menyutradai film layar lebar dan sinetron. Ia sudah menerbitkan 50-an judul buku dari limpahan karyanya yang berupa novel, novelet, cerita pendek, naskah sandiwara, esai dan ulasan. Dan ia masih terus berkarya. Pun ia tetap rajin berpentas bersama Teater Mandiri. Novelnya yang terbaru adalah Putri. yang terbit pada 2004, dalam dua jilid sangat tebal.

PUTU WIJAYA

Bagian Kelima


Putu Wijaya dalam mengerjakan bidangnya lebih rileks dibanding para sastrawan lain. Bila kaum sastrawan berhasrat memurnikan bahasa, dan bila kaum panulis populer hendak memanjakan publik, maka Putu memadukan, juga memparodikan, peran keduanya. Ia mengangkut bahasa jalanan dan segenap derau ke ranah sastra, ia melakukan apa yang disebutnya teror mental kepada publik. Mengarang, bagi penulis yang terlahir dengan nama I Gusti Ngurah Bagus Putu Wijaya ini, adalah melazimkan bahasa bergerak sendiri. Dan gerakan yang bisa seenaknya ini hanya pada tahap tertentu belaka meminta campur tangan si pengarang. (Maka dari tangan Putu lahirlah makna baru sejumlah kata kerja seperti "membetot", "menggebrak", "berkibar", bahkan kata baru seperti "dangdut". ) Ia membiarkan ceritanya terbuka, seakan mengelak dari tata atau struktur, seakan mengalir dan tanpa akhir, agar khalayak mampu menyempurnakan bagaikan milik sendiri.

Dengan kejengahan akan realisme ia telah memperbaharui khazanah sastra Indonesia pada 1970-an dengan sejumlah novel dan naskan sandiwara non-linier, lalu dengan sikap main-main yang radikal ia menjadi pendongeng pascamodern. Fiksi Putu yang anti-struktur-tepatnya, meluruhkan sendiri struktur yang perlahan dibangunnya-adalah perbantahan dengan sikap totaliter atau perayaan akan keagamaan. Barangkali tanpa kiprah Putu, sastra kita tetaplah sastra yang mengerutkan dahi, atau sastra yang melakukan pembaharuan untuk disiplinnya sendiri. Ia telah membuka jalan bagi para sastrawan yang kemudian untuk bersikap terbuka akan berbagai jenis yang selama ini terabaikan oleh seni tinggi. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang kesusastraan ini diberikan kepada Putu Wijaya.

PUTU WIJAYA

Bagian Keempat


Penulis kelahiran Tabanan, Bali, 1944 ini tercandera sebagai absurdis atau fabulis, ia segera menunjukkan diri sebagi seorang realis kembali-yakni pemotret situasi sosial yang tanpa ampun-sebagaimana terbukti, misalnya, dalam kumpulan cerita pendeknya Tidak (1998). Kepenulisannya cenderung menyangkal predikat apapun yang dilekatkan kepadanya. Putu bergerak ke pelbagai arah sekaligus, merengkuh sekian banyak corak sastra. Bahasa sasstra bagi Putu bukanlah (sekedar) bahasa tinggi, namun merangkum seluruh ragam bahasa yang mungkin ada. Pada saat sebagian besar sastrawan mengejar kebenaran, Putu sekedar memberikan kebetulan. Ia mampu menampilkan karakter individu yang tebal, namun pada saat yang lain ia hanya menyodorkan sosok samar-samar atau palsu, bukan sekedar gerombolan. Penceritaan Putu bisa menukik kedalaman, bagaikan psikoanalisis, namun bisa juga bermain di permukaan, bagaikan lawakan Srimulat. Menyerap tradisi lisan dari pelbagai khazanah kita, ia memperkaya khazanah sastra absurd dunia dengan konteks Indonesia.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

PUTU WIJAYA

Bagian Ketiga


Cerita pendek Putu Wijaya sering mulai dengan lugas, misalnya dengan fragmen dari kehidupan sehari-hari, tapi dengan segera ia menarik kita ke arah yang mustahil. Ia memberi kita fait accompli, yakni agar kita segera meninggalkan acuan rasional. Inilah misalnya: seorang ayah menemukan bom diranjangnya ketika bangun tidur, dan ia membawa bom itu ke puncak tiang bendera sampai, ia tergantung di sana bertahun-tahun lamanya; seorang lelaki penumpang pewasat lupa mengenakan kepalanya, dan pramugari memberinya kepala yang lain agar ia bisa makan.

Fiksi adalah dusta, sungguh dusta yang nikmat, untuk mengingatkan kita kembali bahwa apa yang bernama realitas tiada lain dari pada tumpukan opini yang telanjur dipercaya sebagai kebenaran. Tiada kontruksi dalam cerita Putu, justru sebaliknya: apa yang sudah diterbina, entah itu tema, motif, suasana, pola, karakter, selalu terbongkar kembali, tergagalkan, tergantikan yang lain, dan begitulah seterusnya. Alur pelbagai cerita pendeknya yang terkumpul dalam, antara lain, Bom (1978), Gres (1982), Blok (1994), dan Yel (1995) tak mengikuti satu garis lurus, melainkan bercabang-cababng, melingkar, bahkan menguli- singkatnya, mengelak untuk stabil.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

POLA PIKIR

Ia seperti PALU yang terus memaku keyakinan agar tak lepas dari genggaman
Ia seperti REM tangan agar tak terperosok ke dalam jurang yang dalam
Ia seperti OMBAK yang mampu mengikis kekerdilan pikiran
Ia seperti RANJAU yang akan menjebak sekaligus merontokkan kesombongan

Ia seperti FILTER yang terus menyaring setiap virus kebodohan menggerogoti
Ia seperti OBAT yang akan menyembuhkan perasaan yang putus asa
Ia seperti RODA yang akan menggilas kemalasan tiap kemalasan
Ia seperti CAMBUK yang akan menyadarkan akan turunnya sebuah kepribadian

JENDELA

Udara pagi masuk lewat jendela
Fentilasi yang mashur
Tak pernah jemu
Manusia terus membuat
Agar tak lembah seisi rumah

Sirkulasi adalah penting
Sepenting udara itu sendiri
Jam panjang membuat kerja tubuh lelah
Hingga udara perlu masuk lewat jendela

Membaca adalah jendala
Mampu mengintip hanya dengan duduk bersila
Membentang cakrawala di belahan dunia
Membaca adalah menerapkan jendela informasi