Jumat, 04 Februari 2022

Seorang Guru Yang Berjalan Tanpa Atap-4

Rasa letih itu, jika perlu hancurkan sampai rasa letih- 'letih'- untuk menggeroti jiwa sang guru agar tetap dalam perfoma yang maksimal. Ia adalah materi dasar yang ada pada manusia. Ia  bisa menjadi daya dobrak yang bisa menggegerkan seluruh kekuatan yang berdiri diatas kesombongan tiada tara.

Pikiran-pikiran yang melelahkan bisa menggoyahkan pendirian, jika duduk-duduk bersama para pendengki dan belum mengenal rasanya bersyukur (mungkin). Ada baiknya, jika kita tak mampu merawat pendirian yang kokoh itu maka berdirilah pada tempat-tempat tertinggi yang jauh dari gonggongan dan gertakan yang tidak bertanggung jawab.

Sampai di sini ada baiknya kita perlu mencoba untuk terus bertahan.

Senin, 24 Januari 2022

SEORANG GURU YANG BERJALAN TANPA ATAP

Seorang guru baru dikabarkan oleh guru-guru lama menjadi bahan pembicaraan. Pembicaraan yang bisa mengurasan keharmonisan seisi ruang kerja guru. Bagaimana tidak, guru baru itu mampu meredam anak-anak kelas tinggi yang terkenal dengan "keaktifan" yang membuat isi perut. Atau bisa jadi tiba-tiba gumoh dimana-mana, karena merasa wilayahnya telah ditundukkan oleh anak baru yang pengalamannya juga minimalis.

Bisa jadi perangai-perangai yang dimiliki oleh guru lama tidak masuk dalam kategori; Guru yang Tulus. Tulus seperti air dingin yang mampu meredam apa saja, api yang memberangus hal-hal yang menyebalkan di depan, mengarahkan bahkan mengahasukan hal-hal baik ataupun buruk. Sifat tulus bisa mendatangkan "keajaiban" secara tiba-tiba tanpa merasa dipanggi atau terpanggil. Ia seperti keinginan baik yang terus menerus ada. Cara kerjanya melebihi apa yang tak pernah terberi oleh guru-guru lama.

Mungkin juga kekecewaan-kekecewaan yang terus menerus dipahatkan pada sanubari anak-anak sehingga air dingin yang tiba-tiba coba diberikan oleh guru lama terasa timah panah yang dituangkan ketelinga.

Bukan hukuman yang sejatinya mampu menaklukkan ombak yang sedang tinggi-tingginya, tetapi cara kita meluncur bersama ombak hingga berjalan beriringan sejajar tanpa sekat; ngobrol atau jadikan teman diskusi pada hal-hal yang sederhana. Anak seperti layangan, yang mudah tertiup angin, dan ia mengandalkan angin.

Rabu, 19 Januari 2022

Kemampuan Menulis Layaknya Di miliki Oleh Semua Orang

Judul diatas sepatutnya menjadi perenungan sebagai mahluk yang diputuskan untuk mengadu pada segala hal. Salah satu aduan yang terbaik adalah dengan cara menuliskan pada apa-apa yang bisa ditorehkan.

Torehkan apa yang tersemat pada benak kalian, pada apa yang meresahkan jiwa kalian. Hingga yang terkecil pun kalian bisa menerapakan dalam tulisan imaji kalian. Artinya beberapa hal sering memusingkan jiwa tak mampu menorehkan hal-hal substansi, padahal ide/gagasan sifatnya tidak dicari,didatangkan, tetapi dipaksa hadir agar ide tumbuh cepat secara maksimal.

Lalu apakah semua ide bisa diwujudkan dalam kumpulan kata, kalimat, dan seterusnya. Semuanya tergantung pada kepekaan Anda untuk menangkap semuanya ide, lalu dituangkan pada semua hal. Mungkin kertas, buku, ingatan, dan seterusnya.

Lalu muncul pertannyaan, Apakah semua orang mampu untuk mengikat semua ide yang bersliweran diatas muka bumi ini?, jawabannya Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Sebagian orang bisa mencatatnya sempurna, sebagian lain tak peduli atas semua ide yang berterbangan seperti kumpulan matriks.

Semua orang bisa menulis dengan kadar tulisan yang berbeda, tetapi berangkat awalnya adalah kemampuan menulis itu sejatinya diperoleh secara lahir.

Selasa, 18 Januari 2022

Seorang Guru Yang Berjalan Tanpa Atap

Tidak lagi menikmati, keseharian karena tak tega menanggalkan baju kebesaran dari rumah pengalaman. Lagi juga tak pernah merasakan tumpukan uang dalam jumlah yang besar, lalu apa yang dicarinya. Mencoba pada tahap menjadi BOS juga tak bisa, ia lahir dari pengalaman seorang prajurit, bukan dari seorang jendral. Mungkin ini hanya alasan yang berulang-ulang, sampai ia lupa pada kekesalan atas ego yang lebih besar.

Ia sedang berhadapan dengan seorang beruang betina yang sedang buas-buasnya, karena dihadapannya ada mahluk yang mungkin dianggapnya tak mengerti apa-apa. Pengalamannya juga tak seberapa, hingga beruang betina itu mudah untuk mencakarnya atau bahkan mencabik-cabiknya hingga si Guru tak lagi bercuap-cuap soal pengalaman yang tak seberapa itu.

Si Guru kembali ke kantor setelah menerima kekalahannya yang berulang terus. Menghadapi beruang betina tidak lagi sebuah dulu, kini ia harus mawas diri atas usianya terus beranjak senja. Bahkan si Guru juga mulai tak lagi mengenali diri, apakah ia layak menjadi Guru yang penuh kompeten, apakah Sastra telah menyedotnya hingga palung hati, pikirannya kini terlampau gelap untuk keluar dari ruang yang biasa ia lakukan setiap pagi.

Si Guru mulai menghitung tentang perkembangan masa depannya. Apakah ia mau melakukan kudeta atas dirinya sendiri, seperti yang ia lukukan dulu pada sekolah-sekolah yang digelutinya. Kuda-kudanya kini tak lagi kokoh untuk menantang pikirannya sendiri. Apalagi kudeta merangkak tak lagi cocok baginya. Ia hanya seorang guru, yang mencoba terus mengkudeta mimpi-mimpinya.

Guru, itu lupa dan kembali menafikan kekurangannya, mencoba bertahan istilahnya. Apa boleh buat, jika ia lemah, ada sastra yang menguatkan. Jika itupun tak berhasil, ia akan kembali pada sabda-sabda langit yang tak membuatnya kecewa.

Tokoh kita memang, ada duanya, bukan tiada duanya. Label sering memelantingkan kedalam prasasti kejengkelan atas nama GURU, yang sering dibilang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, bisakah dibalik pernyataan agar lebih aristokrasi.

Jumat, 05 November 2021

Manusia Persimpangan

Orang-orang yang terbuang seringkali masa hidupnya sejalan dengan sabda langit, tak peduli ia berhadapan dengan siapa, menindak siapa di belakangnya, ia manusia yang memilih pada percaturan yang tak aman

Perhatikan saja langkah dan gerak bibirnya, seperti uap segar yang akan menyengat siapa saja yang melanggar sisi kemanusiaan paling hakiki, panggilan kejiwaan menuntutnya untuk melangkah memenuhi ambisi pribadi berpondasi kepada ke adiluhungan

Lihat saja perutnya yang jarang membuncit, ia bisa menimbun semua kenikmatan dalam satu lambung dan memaksanya terus menerus dengan berbagai jenis makanan, ia melarang untuk buncit, berlemak saja ia tidak ingin

Ia tak peduli pada penjegalan yang menimpanya, bulan tak bersinar semalam saja, ia tetap tersenyum karena ada berkas pada bulan-bulan berikutnya, lalu dengan tenang ia memulai memberi warna pada kanvas yang dibelinya bukan hasil pensiunan tetapi pada karya yang berhasil dijual dengan harga yang pantas

Ia kerap menyanyikan beberapa bait untuk sekedar merefleksikan segala yang tercapai pada batas normal, hingga orang-orang yang menjegalnya tak pernah berhasil untuk membuatnya patah. Sebuah perbandingan yang akan membuat kalian tetap terjaga setiap malam, memikirkan bagaimana menyingkirkannya, padahal ia sedang tidur lelap bersama kuas yang selesi dicuci menjelang akhir pekan

Orang ini mengharapkan hak-haknya hak manusia yang telah dilanggar tetaplah menjadi perhatian perhitungan yang akan ditagih tidak hanya didunia, tetapi di hadapan Tuhan mereka tak akan bisa berkutitk untuk sekedar berkelit pun sulit

Akan ada masa umurmu menjadi sebidang kecerdasan yang tak mampu mereka beli, padahal mereka punya kemampuan untuk membeli apapun, tetapi tidak untuk pikiran.

Jumat, 22 Oktober 2021

Kata Nenek

Bandusan Mabur membuat jalan-jalan sore agak terganggu. Mau kesawah saja kedua kaki rasanya sebel, tak ada teman dan tak yang bisa membungkam aura seperti batman tanpa Robin. Menit yang kami miliki sangat berharga, untuk kemudian menjadi masa-masa yang sulit untuk kami hadapi pada masa-masa sulit.

Dengusan nenek juga mempunyai arti yang memungkinkan bisa berpikir macam-macam. Bandusan mabur adalah caranya mengarahkan kami pada kenakalan-kenakalan yang tidak bisa ditunda.

Senin, 18 Oktober 2021

Pembacaan dekat dan lain-lain

Aku membaca banyak novel dari yang populer atau pun yang digolongkan pada sastra. Dan aku tidak bermaksud untuk membedakan keduanya, atau merendahkan satu sama lain. Karena pada dasarnya dua-duanya bisa dibilang sebuah karya. Mungkin ada yang bisa menulis kedua-duanya, dan memang ada. Hanya saja yang membedakan adalah soal tema, gaya penulisan, dan seterusnya. Bagaimana sebuah cerita dipresentasikan menjadi sebuah cerita apa, itu juga jadi soal. Apakah hanya mendeskripsikan kalimat yang terus saja sama sampai akhir cerita, atau akan membuat kalimat yang menarik isi kepala dan bisa diskusikan sampai ke tempat yang menakjubkan.

Satu waktu aku kecolongan karena mengungkapkan isi pikiran dengan menyebut sebuah nama yang membuat mereka 'berang' atau hanya kekhawatiran semata, jika itu aku maklumi. Tetapi jika tidak, ada hal sembrono yang mereka tampilkan dengan cara pikir pendek dan tak coba bertanya tentang alasan-alasan. Sebut saja mengapa anda membaca buku tersebut,hal itu akan membuat pengakuan yang bersumber pada kenyamanan pikiran, bukan pada ketertekanan. Karena banyak alasan kenapa seseorang membaca buku-buku "sensitif" bukan tangkas untuk memberikan stigma atau apalah yang menyumbat kebebasan berkreasi.

Cara membacaku sepertinya "diaminkan" oleh Cah Mahfud Ikhwan, ketika melihat tayanganya di sebuh youtobe (https://www.youtube.com/watch?v=D7ue8VhLoqs 20:22), menurutnya cara ini tidak mengalami rasa sakit yang mendalam. Dengan alasan ia langsung membaca karya sastra ketika ia kuliah. Ini menjadi semacam obat untukku, bahwa apa yang kulakukan tidak terlalu buruk dalam tahap pembacaan. Itu yang bisa kusimpulkan untuk saat ini.

Soal membaca adalah soal pendalaman akan kreatifitas seseorang. Lagi-lagi prosesnya tergantung pada cara ia berangkatnya. Apakah hanya ingin mengetahui cara berpikir penulis itu, atau hanya ingin melihat teknik atau cara menulisnya. Lebih-lebih bisa mendalami gaya kepenulisan. Menurutku itu sah-sah saja, seorang penulis yang membaca karya orang lain berarti sudah menjalankan sebuah tradisi sebuah etika. Menurut A.S Laksana, kalau karya Anda ingin dibaca orang lain maka Anda juga harus membaca karya lain yang bukan milik anda, kurang lebih seperti itu.

Satu hal yang menggelisahkan sekarang, kalau belum tahu duduk permasalahannya, hendaknya menahan diri. Membaca karya orang bukan berarti ikut larut dalam pimikirannya. Tetapi bisa jadi ada maksud-maksud lain di balik pembacaan dekatnya itu. Ada hal lain, yang mungkin tidak bisa diceritakan secara gamblang pada saat yang bersamaan.

Jumat, 24 September 2021

Kata Nenek

Sudah beberapa jam Febri dibawa Kelong. Berita ini tentu saja menggemparkan seluruh penduduk gang rapingun. Kami yang sedang duduk-duduk di beranda Mushola selepas mengaji merasa kecut. Aura Mushola yang semestinya memberikan ketenangan seakan mengungkung kami dalam ketakutan. Apakah nanti menjadi prasasti sebagai anak yang paling banyak diusili oleh dedemit.

Menurut para sesepuh di desa kami, kaum dedemit yang terorganisir itu akan "menyerang" atau "menangkap" anak-anak yang tidak patuh orang tua, klayaban sendirian, dan suka terbengong-bengong. Konon mereka handal dalam hal merongrong wibawa manusia, apalagi anak-anak.

Nenek memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap dunia perdemitan,ia seorang yang kata-katanya didengar oleh keluarga. Ia punya ingatan lengket tentang para kompeni yang mendera pada anak cucunya. Setidaknya pada Supri, cucu yang pernah diteror oleh ular besar penunggu pohon besar.

Menurut Nenek derivasi pada dunia dedemit terpecah-pecah dalam tataran yang sering kali tidak masuk akal. Supri sering memprotesnya, tetapi ketakutan menjadi perisai atas ketidaksukaan pada dunia rekaan sang nenek. Ia seringkali menerka-nerka apa isi kepala sang nenek, apakah otaknya dipenuhi dengan konspirasi-konspirasi untuk menjaga para cucunya.

Ia memperkenalkan sosok Cepet sebagai lelaki serba hitam yang seringkali muncul dari balik rerimbunan pohon bambu. Bambu wulung menjadi hunian paling nyaman bagi para kumpulan Cepet beserta sanak familinya. Cepet seringkali menjelma menjadi sosok yang dikenali oleh orang-orang terdekat. Kemunculannya bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Begitu kata nenek, sebagai awal pembicaraan serius di tengah malam. Ketika membukakan pintu untuk Supri yang pulang malam.

"Nek, Febri dibawa Kelong," Ucap Supri ketika mengunyah nasi dingin dengan campuran lauk yang tampak menggigil.

"Ternyata mereka tak juga kapok."

Lalu nenek bercerita panjang lebar. Ia menebak kalau Febri sudah dibawa berkeliling menuju tempat-tempat yang semestinya buruk pada dunia nyata. Tampak indah bila sedang membersamainya. Mungkin Febri akan ditemukan pada tempat-tempat yang tak terduga.

Sebelum tidur, Supri dikenalkan kembali pada dunia rekaan nenek. Sumbernya pun sulit untuk ditelusuri. Dugaan sementara menurut para teman-temannya, nenek pernah dikejar oleh serdadu Jepang sampai terbirit-birit masuk lereng dan bukit-bukit berhantu. Lalu pulang dengan segudang pengalaman yang meneror. Sesaat sebelum tidur, ia bercerita tentang dunia Jewilwa yang muncul pada siang bolong ketika anak-anak keras kepala tak pulang ke rumah. Ia tidak bercerita secara lengkap asal muasal Jewilwa itu. Jenis berikutnya ada sosok yang sering disebut dengan Nggerem, mahluk penganggu pada anak yang malas gosok gigi dan kabur saat tidur siang.

Pagi hari Supri terbangun mendengar jeritan ayam hutan yang dipelihara oleh kakeknya. Ia kadang melengkapi dunia rekaan nenek menjadi terlihat nyata dan bisa ditelusuri dari masa yang lampau. Apakah mungkin?

Ia melangkah untuk memulai hari bersama dunia rekaan sang nenek.

Kamis, 02 September 2021

Aku dan Dea Anugrah

Mungkin persamaanku dengan Dea Anugrah, hanya satu hal saja. Ia pernah meminum air galon selama dua hari untuk mempertahankan "kehidupannya" selama kuliah. Maaf, ini terdengar sok tahu. Karena aku hanya melihat Dea Anugrah bercuap-cuap di You Tube yang kutonton berjam-jam. Entah kenapa pemuda ini menyedot isi pikiranku untuk mendengarkan kata-kata yang menurutku amat jenius, jika ini tidak berlebihan. Aku hanya melihat dari jauh, mungkin suatu saat bisa bertemu, dan bertanya banyak hal padanya. Tulisan ini kubuat, untuk mengabarkan pada khalayak. inilah caraku berterima kasih padanya.

Aku lebih tragis darinya sekaligu iri, ia "hanya" meminum air galon selama dua hari, sementara aku harus menyiksa perutku selama tiga hari dengan air galon yang kubeli Rp 3000 rupiah. Satu kali gratis membeli air galon, jika berhasil mengumpulkan tujuh kali bukti pembelian. Kuanggap diriku sebagai penyintas dari ketidakberdayaan melawan kelaparan yang 'kugauli' selama kuliah di Ciputat. Ia begitu lentur bercerita soal pengalaman intelektual di Yogyakarta, berfilsaf di UGM dan lebih sering nongkrong dengan anak UNY.


Ini sebentuk kekaguman saja pada cara menuangkan ide dan tulisan, sekali lagi aku mengenalinya lewat tulisan dan media sosial. Setelah selesai tertawa sempurna biasanya ada hal memikat yang bisa keluar dari mulutnya. Misalnya ia mengatakan "setiap tulisan akan menemukan bentuknya sendiri" kurang lebih seperti itu. Bagiku ini jenius, aku yang masih gagap mempresentasikan sebuah cerita menjadi puisi, cerpen, atau novel seperti mendapat uluran tali ketika hendak jatuh ke jurang.

Bagiku yang awam berfilsafat mendengar cara pikirnya tentang dunia filsafat. Ia mengatakan tanpa Georg Wilhelm Friedrich Hegel tidak ada Karl Marx, ia seperti ingin melipat 'keruwetan' dalam dunia filsafat menjadi lebih sederhana. Itu yang kurasakan.

Entah kenapa 'mereka' yang dari filsafat sanggup membuat tulisan yang mencengangkan. Ada juga yang dari lulusan sastra yang bisa melahirkan konsep dan cara berpikir yang cerdas. Sebut saja Mahfud Ikhwan, yang usianya terpaut empat tahun saja denganku. Dan mungkin banyak lain yang belum kuketahui. Kita kembali ke pemuda ini, ia mengatakan kalau penulis itu dibentuk dari buku-buku yang dibaca, dan tidak ada kausal dengan latar belakang pendidikannya. Dasar pemikiran itu membuatku menjadi semakin menggebu untuk menyelesaikan tulisanku. "

Cerpen Dea yang menarik salah satunya, Kisah Sedih Kontemporer. Kalian sudah baca, kalau belum itu masalah kalian sendiri.

Kamis, 06 Mei 2021

Yogyakarta ku hanya melintas

Yang lelah adalah peluh marah pada merah-merah darah
Kerah putih mangkrak-mangkrak pada jingkrak-jingkrak
Hitam legam sembunyi-sembunyi dari lelah kematian
Jelaga hitam yang lama tergarang panas setiap saat

Rehat sesaat pada kekalutan yang terlewat-lewat
Terdiam pada petaka pekik telinga gendangnya pecah
Terkenal karena kerendahan hatinya suaranya bikin adem pecah parah
Berkumis tebal kadang gondrong kadang pendek

Yogya ku hanya melintas jalanan
Pada tahun-tahun yang telah lama
Menjadi saksi atas perhelatan setahun sekali
Menjadi pengawal kebutuhan atas nama persaudaraan

Semesta alam mencari kawan bukan lawan yang curang lagi cengeng
Melodi citra tak menjadi alasan bumbu penyedap masakan modus operandi
Berenang dalam genangan darah menyala bumbu penyedap menjelang lebaran
Malulah pada nurani yang kau koyak-koyak seperti kerecek lebaran

Yang jadi kian menjadi-jadi
Yang tanpa makin lelah karena perasaan bimbang
Limbung dan lumbung yang kalian rampas seperti ada perang
Yah, inilah jika petuah hanya menjadi kuah makan siang kalian

Minggu, 02 Mei 2021

Memanggil Kepekaan

Bagi jiwa yang tidak memiliki hubungan dengan Tuhan-Nya maka ketersediaan nilai kesadaran akan hubungan-Nya, semakin mengecil. Kemuliaan-kemuliaan yang melekat pada setiap jiwa akan mengkerut jika tak terdapat secuil kepekaan dalam pikiran juga dadanya. Ia membiarkan karat mengganggu perjalanan nuraninya. Ia juga tak cepat-cepat mengkoreksi coretan itu dengan lafal-lafal dari langit, melepaskan begitu kehendak yang sempat terbesit dalam pikiran jernih. Ia rela menuangkan segelas gelap yang membutakan langkah-langkahnya, bahkan tongkatpun tak juga memberinya jalan kemudahan. Ia malah mengeratkan ikatan yang telah lama mengungkungnya diam-diam, lalu tanpa disadari muncul benjolan yang menyerap terus menerus kelembutan hingga tak berbekas.
 
Ketaknormalan yang merajalela tak juga ditanggapi sebagai panggilan Tuhan agar ia lekas-lekas mengoreksi catatan keimanannya. Jika tak sanggup ada pilihan hati yang bisa menyokongnya menjadi detak-detak semangat dan inspirasi bagi manusia lain. Sebagai cipatan-Nya insan menyediakan secuil potensi agar gerak lisan dan jiwanya tak hitam jelaga. Sesekali tisu putih yang berubah menjadi krecek akan terasa nikmat, jika tak disadari keberadaannya.

Yang lain, penggerak roda pikiran menjadi lebih mulus ketika semua fungsi tubuh mengarahkan pada kebahagiaan yang hakiki. Insan menjadi lebih terpanggil pada kenyataan hidup di depan matanya, meski statusnya sebagai insan 'papa' menjadi incaran mulut-mulut yang miskin kasih sayang. Mereka juga butuh pertolongan, tinggal menunggu momen saja.

Malaikat turun ke bumi menyapa sang Nabi terakhir ingin menyampaikan mandat dari Tuhan-Nya. Ia mengatakan "Wahai Nabi tak jauh dari Anda ada seorang "Malang" yang nantinya akan masuk neraka." Setelah selesai ia melesat pergi dari hadapannya.

Lalu lewatlah seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang tak berhenti menangis sebab lapar yang menohok. Wanita "malang" yang bekerja di tengah lumpur kegelapan tengah menggigit sebagian kurmanya. Ia menghentikan gigitannya dan berjalan tergesa-gesa menyambangi si anak dan memberikannya. Malaikat turun dan menjalankan mandatnya bahwa si wanita "malang" itu akan menjadi penghuni surga.

Level keibaan wanita "malang" itu pada level yang membuatnya nasib si wanita berubah seketika, tidak perlu menunggu waktu lama agar takdir si wanita "malang" menjadi takdir yang mulia. Itulah definisi dari insan yang berfilantropi.

Jiwa yang keras jua menjadi titik gelap hingga ia tak bisa menyerap kejadian dari Tuhan. Bahkan Ahli kegiatan langit pun tak bisa membedakan sebuah peristiwa. Ketika banjir melanda dan air sudah menyentuh lututnya, menyentuh dadanya, bahkan ketika air sudah sampai loteng ahli kegiatan langit tetap menolak semua pertolongan manusia. Ketika ia protes dengan Tuhannya. "Mana pertolongan Mu" kata si ahli kegiatan langit. "Aku sudah memberi pertolongan kepadamu sebanyak tiga kali" kata Tuhannya. Hati yang keras telah membuatnya menolak semua kebenaran (pertolongan) dari para penolongnya. (Hanya Tuhan Yang Tahu).