Sabtu, 18 Juli 2020

SEKOLAH BUKAN TEMPAT LOUNDRY

Pertemuan Ke-2


Ia melempar meja dan kursi seperti kertas-kertas dari buku yang disobeknya kasar. Kotak-kotak kecil berisi perlengkapan bergulingan, tak beraturan. Map-map berjatuhan. Sebuah lukisan yang dibungkus secara apik berubah remah-remah. Ketika seorang guru masuk, ia membentaknya secara vulgar tanpa segan ataupun tak enak. Pertahanan terbaiknya adalah tantrum sejadi-jadinya. Sebuah benteng yang teramat kokoh lagi sulit ditembus. Kecuali oleh orang-orang yang dipercayainya.

"Diam!" bentaknya. Guru itu menatapnya prihatin. Meski hatinya ikut juga mendidih, terapi langit ia gulirkan agar tersungging senyuman kemudian. Telapak tangannya berkeringat. Karbo yang dikunyahnya di pagi hari cepat sekali menguap. Guru yang lain ikut membantunya. Pasukan tambahan, sementara ia mulai menertibakan segala sesuatunya.

Kami menikmati makan siang dengan rasa tak biasa. Lapar yang tak tergantikan dengan lauk apapun. Sebuah kehambaran yang kerap terjadi, meski tampak sepele tapi hormon tak juga membantu. Kegiatan makan siang seperti melambat. Seperti film yang diperlambat agar frame semakin tajam terulang dengan maksimal.

"Diam!" bentaknya kembali. Teman-teman yang mencoba menghiburnya surut juga nyalinya. Tak berani melakukan hal yang jauh lagi. Pergerakan tampak kaku dan serba kikuk.

Kami meninggalkannya sejenak untuk memberi ruang privasi. Agar ia bisa meredam emosinya yang terlanjur meluap. Syukurlah ia bisa meluapkan emosinya, walau tampak berlebihan. Kadang serba diam ketika meredam situasi juga tak begitu salah, asal tampak wajar dan proporsioanal. Kami tak ingin melihatnya dalam diam yang menyeramkan.

Tubuhnya memang kecil, tapi ia punya kekuatan di atas rata-rata anak sebayanya. Meski baru sembilan tahun, ia memiliki tenaga tambahan yang dikumpulkannya sejak lama. seperti kumpulan tenaga dalam yang dilatihnya bertahun-tahun. Tinggal menunggu momen saja, maka ia bisa mengangkat meja dengan enteng saja. Padahal butuh dua anak untuk bisa mengangkat dengan wajar.

Sorot matanya terasa menyimpan dendam. Dendam pada orang dewasa di sekelilingnya. Meski tak semua orang dewasa bersikap tak kompromi dan terlihat menakutkan. Setiap ia tantrum, seisi kepalanya berhamburan peristiwa-peristiwa buruk yang datang secara otomatis. Ia kerap hadir untuk memporak-porandakan segala sikap yang pernah dituturkan oleh gurunya.

Guru itu mencoba merengkuh kedua bahunya yang tampak ringkih. Mencoba menawarkan menu makan siang. Tatapannya tampak ragu, tapi sorot sang guru seperti meyakinkan. Ia pun mengangguk, melangkah ke meja makan mengambil piring dan sendok dan mengisinya dengan nasi beserta lauk pauk.

Raut wajah yang tampak menakutkan bagi anak-anak yang lain, kini mulai mencair. Tersungging senyuman yang terlihat wajar, tapi ada rasa yang masih disembunyikan. Ia seperti  beranjak dari kenyataan satu ke kenyataan yang lain. Ia masih menyimpan rasa sakit yang penawarnya masih misterius. Atau barangkali hanya ia sendiri yang mampu mengobati. Bahkan sekolah bisa jadi menyuburkan "penyakit" dengan perlakuan yang tidak tepat. Bisa jadi sebaliknya. Ini hanya asumsi semata. Boleh setuju boleh tidak.

Kamis, 25 Juni 2020

Sekolah Bukan Tempat Loundry

Anak perempuan itu memukul-mukul mejanya. Guru di hadapannya tak ia pedulikan. Pijakan lembut tak juga mempan menyentuh gendang telinganya saja. Tak sampai perasaannya. Mungkin membutuh momen untuk membuatnya tenang dengan ketidakmampuannya membaca.

Dengan badannya ia bisa menipu siapa saja. Mungkin pikirannya tak bisa ia tipu. Guru di depannya tak begitu ia anggap sebagai mana mestinya, ini hanya contoh, tak perlu risau.

Mungkin karena ia guru baru, jadi tak ia anggap sama sekali. Ia mungkin menghormati guru lamanya yang telah menundukkan "keliarannya" selama ini. Ia ingin mengintimidasi gurunya, sebagai mana ia sering diintimidasi guru lamanya. Sebuah pikiran yang tampak normal. Sebuah dendam yang tak berkesudahan, tapi mungkin terlalu berlebihan.

Semua cerita bisa berawal dari mana saja. Ini hanya cerita, kalian senang dan tertarik, itu biasa. Menganggapnya luar biasa, karena sekolah bukan tempat mencuci segala kebodohan, itu juga biasa. Karena kadang menganggap yang biasa itu tak biasa. Mungkin sekolah hanya menempa, bukan mencipta, biarkan anak-anak berkembang mengasah bakatnya. Kalaupun tak ditemukan bakat apa-apa. Justru itu yang barangkali luar biasa. Karena ia berjalan tanpa memakai selendang kesombongan. Di saat teman-teman yang dulunya berbakat, ia bersedih karena menemukan temannya meringkuk di balik jeruji besi. Atau ia tetap rendah hati, kepada temannya yang berbakat apa saja.

Perjalanan ini baru saja di mulai...

Senin, 22 Juni 2020

Cerita Akhir Pekan

Ia menghendaki agar suasana rumahnya lebih nyaman dari sebelumnya. Kebebasan berpikir kerap mewarnai, lebih tepatnya percekcokan sih. Perempuan yang telah mengandung anak-anaknya tak jadi soal ketika sekolah berhenti di tengah jalan. Ada apa dengan isi otaknya. Gelagapan ketika mendung jadi hujan, api yang menyengat, dan tulang masih kuat.

Ini cerita tentang sejarah yang terulang. Sejarah mestinya tak perlu diulang-ulang, bila memang perlu. Kesalahan mestinya jadi sejarah, agar tak terulang.

Ia laki-laki dusun yang kedusunannya mengalahkan dusunnya sendiri. Di luar sana orang dusun bisa menjelajahi eropa dan asia, mungkin juga lebih, tapi hanya ke Bandung saja, ia mengeluh. Di ledek teman-temannya sedikit, ia ngambek, mutung, dan mencari-cari alasan agar tak menopang seluruh tanggung jawabnya sebagai suami. Kapan ia akan belajar untuk menopang, bukan menelantarkan hak-haknya, lalu bersandar kepada orang yang tampak kuat.

Sekian tahun berlalu, tampak begitu-begitu saja. Mungkin baginya nasib tak pernah bisa diubah. Padahal nasib ada pada telapak tangannya sendiri.

Ini cerita akhir pekan yang paling sumir, meski tak ingin di sebut menyedihkan. Tapi sebenarnya amat memilukan. Beban pikulan harusnya terbagi secara rata agar beban tak menumpuk pada pundak yang sama. Manusia terlalu rapuh untuk tempat bersandar.

Selasa, 17 Maret 2020

NAIK SETINGGI TELINGA

1

Udara masih berkaldu bubuk mesiu. Mengawang-awang mencari residu yang tersisa. Sisa-sisa mencekam masih mengembun. Mereka sudah ramai membicarakan tentang kemerdekaaan. Setidaknya tak mereka temui bendera setengah tiang.

Orang-orang masih mencari sisa-sisa akal yang terbengkalai akibat bom, martir, atu peluru tajam. Hal-hal terasa seperti merendam kedua kaki dalam jamban lama. Bau busuk serta aroma terapi.

Kalian menyangka peperangan menghasilkan kemenangan nyata. Ia hanya ilusi, sekedar mencari popularitas kekuasaan atau oligarki yang tertahan seperti kentut tiga hari belum BAB. Bila kemenangan hanya merebut sebagian hati orang, menyenangkan, menyuapi, bahkan mengelus-elusnya setiap menjelang tidur.

Mungkin kita hanya perlu menaikkan tangan setinggi telinga, agar kewajaran  akan nampak sebagai kemenangan. Pahlawan hadir melengkapi kenyataan pahit. Mereka menganggap realita sebagai kemenangan yang tertunda. Mungkin saja tidak, kemenangan hanya ada kalau orang-orang yang tegar untuk mengalah.

Prajurit yang bersitatap dengan kawan seperjuangan akan mengatakan MERDEKA!, sambil tangannya naik setinggi telinga. Ia bukti kuat atas pengorbanan yang telah lama ia idam-idamkan. Agar tak ada lagi bendera setengah yang terkibar-kibar. Karena nampak bosan mengibarkan bendera kuning pada setiap gang demi gang.

Aku curiga kita hidup tak pernah menaikkan tangan setinggi telinga. Kita terlalu abai dengan banyak hal.Nyawa dianggap remah-remah roti. Hingga kehormatan nampak seperti kenclengan yang mesti dicicil bil perlu.

Sabtu, 14 Desember 2019

Sisi Jagawana

Seorang Jagawana terlihat waspada. Ia sudah puluhan kali melewati batas larangan. Ia punya kuasa atas hal itu. Ia di antara sedikit orang yang tetap waras bila masalah menggerus akalnya. Hutan menjadi tempat terakhir untuk menuntaskan hidup yang berarti. Sebuah papan di tengah hutan berkata. Bila ingin bunuh hidupmu ingat keluarga, istri dan juga anakmu.

Suatu kali matanya yang terlatih menemukan kerangka manusia dengan tengkorak terpisah. Sementara jaket, celana, dan sepatu masih membungkus tulangnya yang terakhir. Ia menjauh tak ingin mengusik jenazah yang terlanjur mengakhiri hidupnya dengan cara yang kasar. Tak jauh darinya tergeletak bekas tali yang menjerat lehernya. Seseorang telah mengguntingnya lalu merebahkannya dengan perasaan berkecamuk.

Setiap berpatroli dengan mengikuti jejak tali yang sengaja di pasang seseorang yang berniat bunuh diri. Ia menemukan sebuah tenda kuning dan seseorang ada di dalamnya.

"Kau baik-baik saja kan. Aku jagawana, kebetulan sedang keliling."
"Ya."
"Kau punya makanan."
"Ya ada."
"Kau mendirikan tenda di tengah jalan."
"Maaf."
"Kau akan pulang atau menginap di sini."
"Ya, akan pulang, terimakasih. Maaf sudah merepotkan."
"Tidak masalah."

Jagawana terus berpatroli. Ia kembali menatap kiriman bunga yang diletakkan di satu sudut pepohonan. Rupanya keluarga tetap merasa kalau hidupnya harus tetap dihargai meski harus kehilangan salah satu anggota kelurga.

Kamis, 18 Juli 2019

Lima

Lima, kekurangan yang ditimbulkan oleh ketidakadilan seseorang adalah cara terbaik untuk memulai kemandirian.

Lima, kita tidak bisa untuk membungkam perkataan orang, tentang perilaku kita.

Lima, lima kejadian,sebelum datangnya lima kejadian.

Lima, yang menjadi persoalan bukan berat atau ringan, tetapi seringkali meremehkan untung rugi.

Lima, kesiapan seseorang untuk menghadapi masa depan seringkali membuat kecenderungan untuk khawatir saat ini.

Rabu, 17 Juli 2019

Empat

Empat, tantangan yang paling berat menatap pasangan kita adalah bertemunya dua karakter yang saling berlawanan.

Empat, persaingan yang terlalu ketat seringkali melunturkan keakraban kian parah.

Empat, hitam tak selamanya adalah gelap, karena putih kadang menjadi lawan yang ekstrim, lalu gelap karena uang yang tak kekal.

Empat, perjalanan akan mengakibatkan kelesuan jika terlalu lama memikirkan kekurang pada tiap langkah.

Empat, kelakuan para hewan yang polos seringkali membuat geli dan perangainya berubah jadi galak tapi menyenangkan.

Tiga

Tiga, caranya menyapa dengan senyum dan salam, adalah permulaan yang baik.

Tiga, koper yang terbuka seringkali terlena untuk memasukkan semua barang-barang sepuasnya.

Tiga, monyet yang kelaparan seringkali lebih arogan dan bersiap untuk menancapkan permusuhan di awal pertemuan.

Tiga, persiapan matang saja seringkali mengakibatakan kekecewaan, karena meremehkan lawan.

Dua

Dua, yang terlewat adalah masa lalu menutup diri dari keterbukaan yang sering meninabobokan.

Dua, percepatan seringkali menidurkan kepala kita dari kelambanan memaknai setiap kejadian.

Dua, roda yang lepas kemudian memercikan bunga api yang membuat jalanan malam menjadi terang.

Dua, ikatan yang lepas seringkali malas untuk meng eratkan kembali, padahal hanya untuk sesaat saja.

Dua, perbedaan yang muncul kerap menjauhkan dari keintiman persahaban yang mengakar.

Satu

Satu, seringkali peristiwa terlewat begitu saja tanpa tercatat dalam kenangan atau tertulis dalam catatan.

Satu, keheningan kadang lebih mencekam dari pada keramaian yang membunuh.

Satu, bodoh kadang lebih baik dari pada pintar tapi merongrong pelan-pelan.

Satu, jujur lebih menyakitkan tapi nyaman ketika menyelamatkan jiwa dan raga.

Satu, peperangan seringkali membawa dendam berkepanjangan, tetapi hati yang terbuka meminta maaf dan memberi maaf adalah kebaikan abadi.

Gadis Parkit

Ia pendiam laksana air yang mengalir paruh waktu. Sejalan dengan pikiran yang tak terluapkan.

Giginya rata tetapi sorot matanya tajam seperti hantu siang bolong yang 'mengungkai' pakainya secara lupa diri.

Secara tak sengaja gadis itu keluar suara yang mengagetkan. Seperti bersiul keras. Terdengar mirip burung parkit.

Menjemukan sekali orang yang bersikap lemah lembut. Dibelakangnya 'memutilasi' secara kejam

Jalannya menunduk seperti menggendong beban berat yang tak tertangguhkan.

Seperti malam, bintang dan rembulan saling berbisik ceria. Satu sama lain saling mengisi. Tidak pernah berhianat.