Jumat, 31 Mei 2019

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Ketiga



Passion wthout creation is meaningless, nothing! Nah, uang berasal dari kinerja, yang akan sangat keren jika diawali dari passion. Apakah bisa dapat uang tanpa passion? ya, bisa saja, tetapi belum tentu prosesnya mengasyikkan dan sudah pasti tidak maksimal. Mempertanyakan bagaimana jika passion tidak bisa bayar tagihan sama saja bertanya kenapa tamatan SD tidak menghasilkan uang? Kenapa karyawan baru tidak langsung jadi presiden direktur? Kenapa suka politik, tetapi tidak jadi anggota parlemen? Jawabannya, semua dan apapun di kolong langit perlu proses.

Bagaimana mempersiapkan diri dan generasi penerus atas masa depan yang tidak pasti dan penuh tantangan? Ken Robinson percaya jawabannya adalah passion dan kreativitas. Keduanya adalah basis folosofi kehidupan berdaya.

Kenapa passion? Mengikuti arah kehidupan menggunakan passion yang sudah ada dalam diri sendiri adalah hal paling alamiah yang bisa dilakukan seseorang. Mencari passion adalah perjalanan berksinambungan memahami diri sendiri yang butuh kontemplasi, keheningan, dan kesabaran. You are responsible to turn your passion into meaningful creation.

Kenapa kreativitas? Karena ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan terus berkembang. Dunia tida lagi dan tidak akan pernah lagi sama. Perubahan dunia tidak bisa lagi di respon dengan pendekatan berbasis template masa lalu. Minyak bumi akan habis. Krisis pangan. Krisis air bersih. Krisis energi. Kemampuan bumi menyokong semua kehidupan semakin teruji. Peran manusia adalah sebagai pemelihara, penyeimbang, dan penjaga tatanan berkesinambungan.

Passion, kreativitas, dan pendidikan, ketiganya adalah inti pembahasan Ken Robinson dalam Finding Your Element. Seharusnya ini sudah bisa menjawab sebagian besar keraguan, kebingungan dan ketidaktahuan soal satu kata yang secara berulang-ulang disebutkan,"passion".

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kedua


Ken Robinson percaya pendidikan lebih dari secarik kertas mahal atau formulasi angka yang tergambar dalam indeks prestasi komulatif (IPK). Kecerdasan tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Dengan jenaka, disebutkan oleh Ken Robinson bahwa yang harus dikembangkan bukan cuma isi kepala, atau bahkan hanya separuh dari isi kepala (mengacu pada pendewaan fungsi otak kiri sebagaimana yang dianut oleh sebagain besar institusi pendidikan). Sistem pendidikan harus menyediakan cukup ruang untuk berimajinasi, berksperimen, dan berekspresi.

Pendidikan tulen adalah soal pemberdayaan diri dan orang lain.

Lebih jauh disebutkan oleh Ken Robinson bahwa pendidikan harus lebih dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Bukan cuma rutinitas, melainkan terobosan. Tidak hanya program, tetapi juga esensi dan manifestasi ilmu. Education is always about how to think, not what to think. And the how can be as many as the stars in the sky. Gamblang terhadap isu yang satu ini, izinkan saya melengkapinya dari pemahaman atas tulisan dia.

Jadi, harus bagaimana jika passion tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup?

Ken Robinson: Seriously people, what pays you bill is money, not passion! (ini bukan jawaban asli dari beliau, hanya rekaan saya atas respon yang mungkin diberikan oleh Ken Robinson). Passion bukan komoditas sehingga tidak bisa dihargakan sebagaimana layaknya barang dagangan. Membayar tagihan bulanan, cicilan kartu kredit, biaya anak sekolah, dan alokasi investasi harus perlu, dan mutlak menggunakan uang sebagai denominator transaksi yang paling diakui hingga saat ini.

"Passion" dalam konteks Pendidikan, Kreativitas, dan Bayar Tagihan

Bagian Kesatu


Anak-anak yang masuk SD tahun ini akan memasuki usia pensiun sekitar tahun 2069. Tidak ada satu orang pun atau metode apapun yang bisa memastikan hal-hal yang mereka hadapi. Tidak ada yang akan tahu bentuk dan tatanan dunia saat itu. Jangankan puluhan tahun, apa yang akan terjadi lima tahun ke depan saja sudah sangat sulit diprediksi.

Apa yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan mereka dan diri kita sendiri menghadapi dominasi ketidakpastian? Apakah segala hal yang kita ketahui, terutama soal pendidikan saat ini sudah cukup memadai? jika tidak, hal apa lagi yang bisa dilakukan?

Logika ini bisa dijadikan landasan oleh Ken Robinson untuk terus mempertanyakan sistem dan cara kerja sebagian besar institusi pendidikan di dunia yang semakin usang. Sistem pendidikan yang merupakan warisan dari revolusi indrustri ditujukan sepenuhnya untuk mengisi kotak-kotak yang dibutuhkan di dunia indrustri. Celakanya, struktur indrustri pun sudah berbeda dan semakin berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, lingkungan, bisnis, politik, dan interaksi manusia.

Kamis, 30 Mei 2019

JAJANAN TUMPAH

Ramadan memasuki hari ke 25. Kami jalan-jalan sore. Menikmati setiap jalanan bersama keluarga adalah hal yang menyenangkan. Setelah mengambil gaji milik bunda. Motor berhenti di depan kedai modern. Kami masuk dan mulai memilih kebutuhan masing-masing. Ayah mengambil tiga butir Orea rasa coklat untuk campuran jus pisang. Bunda memilih kebutuhan dapur. Eza dan QQ sudah beberapa kali berjalan keliling memanjakan matanya. Bingung untuk memilih jajanan yang akan mereka pilih.

Ayah dan Bundanya menawarkan Donat. Mereka tolak. Tangan kecilnya kemudian mengambil jajanan butir-butir coklat yang terbungkus menarik dalam satu tabung kecil yang lucu. Lengkap dengan tutupnya.

Setelah keluar kami beralih membeli Voucer. Di sana QQ meminta ayahnya untuk membuka plastik yang menutupi kepala tabung kecil.

Tanpa di duga QQ mencabut tutup tabung dengan kasar. Semua kepingan coklat berhamburan di atas lantai yang berdebu. Beberapa detik kemudian QQ menangis.

Padahal intruksinya. Buka jajanan dengan hati-hati. Atau buka di rumah lebih aman.

Jarum Panjang Jarum Pendek

" Eza nanti pulang ke rumah ketika Jarum pendek di angka sembilan dan jarum panjang di angka dua belas." Awal ayah mengenalkan tentang konsep waktu Eza sesaat terdiam. Mungkin mencerna setiap penjelasan yang ayah berikan. Matanya yang jernih menatap jarum panjang dan jarum pendek agar tidak tertukar.

Lalu ketika merebus telur ayam, yang menurut Eza sebagi telur putih. Eza bertanya kepada ayahnya. " Berapa lama yah merebusnya."

"Sekarang jarum panjang di angka 10, Eza tunggu sampai jarum panjang di angka 12." Tuturku.

Dulu ketika berusia empat tahun, ayah belum mengenalkan tentang konsep waktu. Justru mengenalkan lewat konsep jari. Bila lima jari berarti lima menit. Kalau satu jari, berarti waktu tinggal satu menit.

Setiap pulang dari bermain, sepertinya Eza cukup paham, sampai di rumah tepat waktu. Mungkin ia melihat jam dinding di rumah temannya.

Semoga saja.

TEGURAN

Rapat belum selesai. Ketika itu bulan Ramadan. Setelah tadarus selesai. Eza tengah bermain dengan QQ di tengah-tengah kami yang duduk melingkar. Salah seorang dari teman kerja memberi nasihat. " Itu tidak aman Eza, sayang dong, sama adiknya."

Tanpa diduga Eza langsung menjerit kesal. Mungkin baginya teguran itu bagai petir yang meruntuhkan mentalnya. Eza tak terima karena diberi nasihat oleh orang dewasa, bukan ayah dan bundanya. Eza langsung menghambur ke arah ayahnya dan merajuk minta pulang.

Ayah langsung memeluknya. Menenangkan kondisi kejiwaannya. Ayah bisikkan kata-kata yang meluruskan persipnya tentang makna teguran. " Eza, teman ayah hanya memberi tahu. Eza tidak perlu marah." Berungkali Eza menolak untuk nasihat itu, tetapi ayah terus memberi persepsi tentang teguran itu.

Setelah ayah peluk cukup lama. Eza turun dari pelukan dan bermain dengan teman lain yang sedang membawa perahu kertas. Eza tertarik dan turun dari pelukan lalu senyum mengembang, seolah-olah masalah tadi lenyap.

DEWI LESTARI

Terus Mencoba


Bagian ketiga

" Saat itu yang paling menantang adalah menyelesaikan cerita itu sendiri," kenang Dee soal pengalaman pertamanya dalam menulis. Dee yang sangat menyenangi menulis novel merasa belum memiliki "stamina" dan pengalaman menulis yang cukup ketika itu untuk bisa bertahan hingga mampu menamatkan sebuah cerita. Sampai akhirnya novel pertamanya berhasil diselesaikan. "Kuncinya, terus mencoba. Lama kelamaan pengalaman itu akan terakumulasi sendiri," saran perempuan lulusan Universitas Parahyangan ini.

Soal menentukan target menulis, bagi Dee, sah-sah saja, asalkan realistis. Untuk sebuah karya yang menang dalam perlombaan atau dimuat di media massa-Anda juga harus paham betul karakteristik media massa yang anda tuju-biasanya amat tergantung subjektivitas juri dan kebutuhan redaksi. Selama para penulis pemula punya mental yang cukup kuat terhadap penolakan, boleh-boleh saja pasang target seperti itu, kata Dee. "lebih realistis kalau targetnya adalah menyelesaikan sebuah novel dalam dua bulan, atau mengerjakan cerpen dalam dua minggu, dan seterusnya. Bisa juga diterapkan dalam target membaca," saran Dee.

Selain itu, hal seperti ini mungkin akan terlontar, "Ah, saya tidak punya bakat menulis. Pasti sulit." Ya, bakat menjadi faktor tersendiri. Ada orang-orang yang dilahirkan dengan batin yang peka dan memiliki archetype pencerita, ujar Dee. Mereka biasanya pandai merangkai cerita dengan alami. "Namun, menulis juga merupakan skill dan teknik, yang artinya bisa dipelajari. Semakin jernih dan peka seseorang bisa merasa dan berpikir, semakin mudah mereka dapat mengomunikasikan alam pikirnya. Saya rasa itu modal utama seorang penulis," tutur Dee.

Sumber : Majalah Parenting
Kolom   : Celebrity
Edisi      : Februari 2014
Hal         : 94
Oleh       : Nur Resti Agtadwimawanti

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak



Bagian dua

Dalam menyiasati tantangan tersebut, ada cerita menarik yang datang dari cuitan Dee dalam akun Twitternya, @deelestari, beberapa waktu lalu. Untuk menyelesaikan karyanya, Dee bahkan sampai menulis sambil menggendong bayinya. "Waktu nulis Supernova:Petir, Keenan sudah lahir. Sekitar 40 Persen buku tersebut saya selesaikan sambil mengasuh Keenan yang masih bayi," Ujarnya. Dee hanya bisa menulis saat Keenan terlelap. Karena masih menyusui, mau tidak mau, kadang-kadang Dee terpaksa mengetik satu tangan sembari sebelah tangannya lagi menggendong Keenan yang sedang menyusu. Tak berakhir dengan Keenan, saat menulis Madre dan Partikel, Atisha juga sudah lahir. Akhirnya Dee baru mulai menulis lagi setelah Atisha berusia satu tahun. "Caranya kurang lebih sama, yakni dengan mencuri waktu sebisanya. Setiap hari, syukurnya, masih dapat satu-dua jam menulis di kamar tanpa diganggu, sementara Atisha main dengan pengasuh atau ayahnya saran," saran Dee.


Karena saya penulis fiksi, tentunya saya menulis berdasarkan imajinasi saya. Dan imajinasi saya didapatkan dari kombinasi, minat, passion, observasi, dan riset.

BUAH PIKIRAN DEE

* Novel Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh
* Novel Supernova: Akar
* Kumpulan Prosa dan Puisi: Filosofi Kopi
* Novel Supernova: Petir
* Kumpulan Cerita Rectoverso
* Novel Perahu Kertas
* Kumpulan Cerita Madre
* Novel Supernova: Partikel

DEWI LESTARI

Berkarya Sambil Mengurus Anak


Bagian Satu 

Merampungkan tulisan yang tak sedikit sembari mengurus anak bukanlah perkara yang gampang. Ya, kira-kira begitulah pengalaman Dewi Lestari, penulis yang akrab disapa Dee. Sebelum memiliki anak, ia memegang teguh konsep ideal tentang menulis: bahwa menulis itu harus dilakukan pada malam hari, harus panjang waktunya, tidak terputus, tidak ada gangguan, dan sebagainya. Namun setelah memiliki anak, ia harus menghadapi realitas bahwa konsep ideal tersebut sudah berubah. "kalau saya menunggu kondisi ideal itu hadir, tidak akan ada buku baru yang lahir. Akhirnya saya belajar berdamai," kenang perempuan kelahiran Bandung ini.

Istri Reza Gunawan ini mencoba menulis kapanpun waktu yang bisa dimanfaatkannya. "Kalau dapat sejam ya bersyukur, kalau enggak, menyambung lagi begitu ada kesempatan," cerita Dee. Dari delapan buku yang terbit, ada dua buku yang dia kerjakan sebelum memiliki anak, yakni Supernova 1 dan 2. Enam buku sesudahnya, termasuk Partikel yang lebih dari 500 halaman, dikerjakan setelah memiliki buah hati." Jadi, sebetulnya punya anak bukan sebuah keterbatasan, melainkan tantangan yang bisa disiasati," kata Ibu dari Keenan dan Atisha ini.

Lebih dekat dengan Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944, sebagai anak ketiga dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Sejak SMP ia menulis cerita pendek yang termuat di suratkabar Suluh Indonesia di Bali. Di tahun 1962, setelah lulus SMA Negeri di Singaraja ( yang kepala sekolahnya adalah Ibu Gedong Bagoes Oka), ia pindah ke Yogyakarta, memasuki Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan tamat di jurusan perdata, 1969. Di kota itu pula, ia sempat belajar di Akademika Seni Drama dan Film (ASDRAFI) dan Akdemika Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia bergabung dengan bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra, dan terlibat dalam beberapa nomor "minikata" yang terkenal itu.

Pindah ke Jakarta di tahun 1970, Putu Wijaya sempat terlibat dalam pementasan Teater Ketjil (arahan Arifin C.Noer) dan Teater Populer (Teguh Karya). Ia pernah bekerja sebagai redaktur wartawan di majalah Ekspress, Tempo, dan kemudian Zaman. Pada tahun 1971 ia mendirikan kelompoknya teaternya sendiri, Teater Mandiri, dengan konsep "bertolak dari yang ada", dan mengadakan berbagai pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dan kemudian Gedung Kesenian Jakarta, untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai "teror mental", sampai kini; pentasnya antara lain, Anu, Aduh, Dag-Dig-Dug, Edan, Gerr, Hum-Pim-Pah, Dor, Los, Aum, Zat, Tai, dan Front. Di tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat. Selama 1985-1988, ia tinggal di negeri itu, antara lain untuk menjadi dosen tamu di University of Wisconsin-Madinson; ia juga mengadakan pementasan di sejumlah kota, misalnya di La Mama Experimental Theater Club, New York.

Putu Wijaya bukan hanya sastrawan, sutradara, dan aktor. Ia juga penulis skenario film, tiga diantaranya memenangkan Piala Citra; ia menulis begitu banyak ulasan seni pertunjukan untuk majalah Tempo. Ia pun menyutradai film layar lebar dan sinetron. Ia sudah menerbitkan 50-an judul buku dari limpahan karyanya yang berupa novel, novelet, cerita pendek, naskah sandiwara, esai dan ulasan. Dan ia masih terus berkarya. Pun ia tetap rajin berpentas bersama Teater Mandiri. Novelnya yang terbaru adalah Putri. yang terbit pada 2004, dalam dua jilid sangat tebal.

PUTU WIJAYA

Bagian Kelima


Putu Wijaya dalam mengerjakan bidangnya lebih rileks dibanding para sastrawan lain. Bila kaum sastrawan berhasrat memurnikan bahasa, dan bila kaum panulis populer hendak memanjakan publik, maka Putu memadukan, juga memparodikan, peran keduanya. Ia mengangkut bahasa jalanan dan segenap derau ke ranah sastra, ia melakukan apa yang disebutnya teror mental kepada publik. Mengarang, bagi penulis yang terlahir dengan nama I Gusti Ngurah Bagus Putu Wijaya ini, adalah melazimkan bahasa bergerak sendiri. Dan gerakan yang bisa seenaknya ini hanya pada tahap tertentu belaka meminta campur tangan si pengarang. (Maka dari tangan Putu lahirlah makna baru sejumlah kata kerja seperti "membetot", "menggebrak", "berkibar", bahkan kata baru seperti "dangdut". ) Ia membiarkan ceritanya terbuka, seakan mengelak dari tata atau struktur, seakan mengalir dan tanpa akhir, agar khalayak mampu menyempurnakan bagaikan milik sendiri.

Dengan kejengahan akan realisme ia telah memperbaharui khazanah sastra Indonesia pada 1970-an dengan sejumlah novel dan naskan sandiwara non-linier, lalu dengan sikap main-main yang radikal ia menjadi pendongeng pascamodern. Fiksi Putu yang anti-struktur-tepatnya, meluruhkan sendiri struktur yang perlahan dibangunnya-adalah perbantahan dengan sikap totaliter atau perayaan akan keagamaan. Barangkali tanpa kiprah Putu, sastra kita tetaplah sastra yang mengerutkan dahi, atau sastra yang melakukan pembaharuan untuk disiplinnya sendiri. Ia telah membuka jalan bagi para sastrawan yang kemudian untuk bersikap terbuka akan berbagai jenis yang selama ini terabaikan oleh seni tinggi. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang kesusastraan ini diberikan kepada Putu Wijaya.