Jumat, 23 Agustus 2024

BONA

Mobil kijang yang kukendarai berhenti di depan rumah sakit ibu dan anak Vitalaya. Aku datang bukan untuk menjenguk teman yang melahirkan. Tetapi, aku datang karena telepon dari Bona. Perempuan perkasa dari Bogor. Ia salah seorang perawat di rumah sakit ini. Sejam yang lalu ia mengabarkan bahwa pernikahan tak bisa lagi dipertahankan. Mendadak setelah hampir setahun kami tak bertemu.“Kita harus cerai, titik tak ada koma!” begitu obrolan terakhir di ujung telepon sebelum mati. Dan bagaimana ia mendapatkan nomor HPku dengan mudah setelah seringkali berganti-ganti, aku tak tahu.

Bona, perempuan kulit putih, dan ia tak mau di sebut bule. Kami bertemu setahun yang lalu di DPR (di bawah pohon rindang) UIN Ciputat. Ia memakai gaun lembut dengan jilbab lebar. Seekor ular jatuh persis di samping tempat duduknya. Ia lari ke arahku dan bla-bla-bla. Kami berkenalan. Tiga bulan kemudian kami menikah. Bulan keempat kami berpisah, tepatnya ia melarikan diri dari rumahku. Mencoreng wajah kedua orang tua, terutama ayahku. Ia hanya meletakkan sepucuk surat di atas meja kamar. Isinya satu kata-MAAF.

Lama kumenunggu di halaman rumah sakit. Hampir dua jam. Kuputuskan untuk hengkang dari tempat terkutuk ini.

“Tunggu!

Aku menoleh ke arah suara. Seorang perempuan yang kukenal. Jantungku hampir copot. Kini ia makin cantik. Di belakangnya seorang anak kecil berjalan tertatih-tatih sambil mencengkram tangan kanan Bona. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, tetapi siapa. Aku masih dilanda kaget bertemu dengannya.

“Apa kabar,” tanyanya.

“Kabar baik,” jawabku.

Lalu Bona mengulurkan amplop coklat.

Kubuka, membacanya sebentar lalu menatap Bona tajam.

“Kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku!” Teriakku. Rahangku sampai sakit. Dan kedua kakiku melemah.

“Kau tak punya salah sama sekali, kau laki-laki yang nyaris sempurna.” Jawab Bona tenang. Sementara anak kecil di dekatnya takut dan bersembunyi di belakang punggung Bona.

“Lalu!, kenapa kau gugat aku. Salahku apa hah!”

“Maaf.” Jawab Bona datar.

“Bukan itu jawabannya!, aku ingin sebuah penjelasan!”

Bona menarik lembut anak kecil kehadapannya.

“Ini alasannya,” ucap Bona.

“Ini anak kita bukan Bon,” suaraku agak melunak melihat wajahnya mengingatkan seseorang.

“Tepatnya anak saya, bukan anakmu. Ini anak ayahmu. Lelaki bejat yang kau sering bangga-banggakan di setiap ceramahmu yang tak terhitung. Ia tak lebih dari seorang bajingan tua. Selalu sembunyi di balik jubah dan sorban.” Ucapnya dingin.

Tubuhku kejang, nafasku berat. Kepalaku teramat pening seperti kena godam. Pandanganku gelap dan tubuhku tumbang menghajar aspal. Kuharap malaikat maut cepat-cepat mencabut nyawaku dan juga ayahku.

Bogor- ‎Kamis, ‎28 ‎Desember ‎2023, ‏‎08.20.40