Kamis, 30 Mei 2019

PUTU WIJAYA

Bagian Keempat


Penulis kelahiran Tabanan, Bali, 1944 ini tercandera sebagai absurdis atau fabulis, ia segera menunjukkan diri sebagi seorang realis kembali-yakni pemotret situasi sosial yang tanpa ampun-sebagaimana terbukti, misalnya, dalam kumpulan cerita pendeknya Tidak (1998). Kepenulisannya cenderung menyangkal predikat apapun yang dilekatkan kepadanya. Putu bergerak ke pelbagai arah sekaligus, merengkuh sekian banyak corak sastra. Bahasa sasstra bagi Putu bukanlah (sekedar) bahasa tinggi, namun merangkum seluruh ragam bahasa yang mungkin ada. Pada saat sebagian besar sastrawan mengejar kebenaran, Putu sekedar memberikan kebetulan. Ia mampu menampilkan karakter individu yang tebal, namun pada saat yang lain ia hanya menyodorkan sosok samar-samar atau palsu, bukan sekedar gerombolan. Penceritaan Putu bisa menukik kedalaman, bagaikan psikoanalisis, namun bisa juga bermain di permukaan, bagaikan lawakan Srimulat. Menyerap tradisi lisan dari pelbagai khazanah kita, ia memperkaya khazanah sastra absurd dunia dengan konteks Indonesia.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

PUTU WIJAYA

Bagian Ketiga


Cerita pendek Putu Wijaya sering mulai dengan lugas, misalnya dengan fragmen dari kehidupan sehari-hari, tapi dengan segera ia menarik kita ke arah yang mustahil. Ia memberi kita fait accompli, yakni agar kita segera meninggalkan acuan rasional. Inilah misalnya: seorang ayah menemukan bom diranjangnya ketika bangun tidur, dan ia membawa bom itu ke puncak tiang bendera sampai, ia tergantung di sana bertahun-tahun lamanya; seorang lelaki penumpang pewasat lupa mengenakan kepalanya, dan pramugari memberinya kepala yang lain agar ia bisa makan.

Fiksi adalah dusta, sungguh dusta yang nikmat, untuk mengingatkan kita kembali bahwa apa yang bernama realitas tiada lain dari pada tumpukan opini yang telanjur dipercaya sebagai kebenaran. Tiada kontruksi dalam cerita Putu, justru sebaliknya: apa yang sudah diterbina, entah itu tema, motif, suasana, pola, karakter, selalu terbongkar kembali, tergagalkan, tergantikan yang lain, dan begitulah seterusnya. Alur pelbagai cerita pendeknya yang terkumpul dalam, antara lain, Bom (1978), Gres (1982), Blok (1994), dan Yel (1995) tak mengikuti satu garis lurus, melainkan bercabang-cababng, melingkar, bahkan menguli- singkatnya, mengelak untuk stabil.

Sumber: Penghargaan Achmad Bakrie 2007

POLA PIKIR

Ia seperti PALU yang terus memaku keyakinan agar tak lepas dari genggaman
Ia seperti REM tangan agar tak terperosok ke dalam jurang yang dalam
Ia seperti OMBAK yang mampu mengikis kekerdilan pikiran
Ia seperti RANJAU yang akan menjebak sekaligus merontokkan kesombongan

Ia seperti FILTER yang terus menyaring setiap virus kebodohan menggerogoti
Ia seperti OBAT yang akan menyembuhkan perasaan yang putus asa
Ia seperti RODA yang akan menggilas kemalasan tiap kemalasan
Ia seperti CAMBUK yang akan menyadarkan akan turunnya sebuah kepribadian

JENDELA

Udara pagi masuk lewat jendela
Fentilasi yang mashur
Tak pernah jemu
Manusia terus membuat
Agar tak lembah seisi rumah

Sirkulasi adalah penting
Sepenting udara itu sendiri
Jam panjang membuat kerja tubuh lelah
Hingga udara perlu masuk lewat jendela

Membaca adalah jendala
Mampu mengintip hanya dengan duduk bersila
Membentang cakrawala di belahan dunia
Membaca adalah menerapkan jendela informasi

Sarung Tanpa Celana Dalam

Mushola Baitul Mustaqim. Beberapa jamaah sudah berada di dalam sambil menunggu iqomat. Aryo kecil berjalan menuju ke Mushola. Setelah mandi Aryo langsung menyambar sarung dan memakai pakaian takwa yang terbaik. Paling baik.

Aryo kecil masuk ke dalam Mushola.

Ia duduk bukan bersila. Tetapi Jegang. Gaya duduk khas orang Purbalingga.

Naas. Kemaluannya terlihat.

Para jamaah tersenyum dan tertawa. Aryo balik dengan muka merah menahan malu.

INTERVAL

Sore itu Aryo terjebak pada perasaan senang karena pertandingan sepakbola di lapangan Kaligondang baru dimulai. Sepanjang perjalanan keringat menetes tak beraturan. Kerah baju kami pun mulai basah. Aryo berjalan riang sepanjang jalan.

Kantong kresek berwarna hitam terjatuh dari sepeda jengki merah.

Aku berteriak tetapi pengendara sepeda itu terus ngebut, mempertahankan kecepatan dan keseimbangan. Turunan panjang membuat pengendara itu fokus, terlalu fokus.

" Bang kantongnya jatuh!." Sekali lagi Aryo berteriak kencang, aneh orang itu sama sekali tak mendengar.

Aryo berlari mengejarnya. Kedua kakinya yang kekar mampu mengejar pengendara sepeda itu. Orang itu menoleh dan melotot. Mungkin merasa tak nyaman, Aryo mengejarnya bak orang kesurupan.

Pengendara sepeda itu malah makin kalap, ngebut tanpa mau tahu apa kemauan Aryo.

Pertarungan

Pilihan kata adalah mampu mencerna hal-hal yang bersifat jelas. 
Memberi semangat untuk yang lemah.
Sebuah senyuman yang mampu menetralisir semua kejanggalan tentang makna kata.
Soal beda rasa adalah keniscayaan pada sebuah jembatan pikiran per kepala.
Keyakinan pada kebenaran yang kita anut membuat kita seringkali terjebak pada ke egoisan.

Ini soal pertarungan yang terus merajalela peradaban manusia.
Pertarungan keyakinan.
Pertarungan kepercayaan.
Pertarungan kepintaran.
Pertarungan yang lainnya.

Pertarungan sesungguhnya adalah melawan perasaan kita sendiri, kecenderuangan, dan manipulasi ketenaran yang meninabobokan.

Sabtu, 25 Mei 2019

Mati Rasa

Jumlah kata yang kita ucapkan merupakan perumpamaan yang terlalu curang untuk dinikmati. Sejatinya sama dalam memaknai perbedaan yang menghiasi detik-detik rasa yang lama kalian tumbuhkan.

Mati rasa yang terlalu dalam membuat kematian lebih cepat untuk dinikmati tiap persinggahan.

Kalau setiap rasa yang kita tunjukkan adalah bentuk rasa yang sama dalam memaknai perbedaan sekaligus persamaan.

Selasa, 14 Mei 2019

Bunga Kamboja

Pagi selalu saja banyak hal menarik. Seorang Ibu berjalan ke satu arah, mungkin menuju kota. Putrinya selalu saja mengikutinya dari belakang. Sepeda jengki biru dituntun tak pernah dikayuh sekalipun. Ini berlangsung sejak aku MI. Tak pernah sekalipun mereka bosan untuk melakukan aktivitas itu.

Yang ku penasaran, kenapa pandangan mereka begitu kosong. Seperti zombi yang kehilangam selera makan. Mereka mudah dikenali. Pakaian yang mereka kenakan selalu sama dalam rentang waktu 3 hari.

Seringkali aku berpapasan dengan mereka. Ingin sekali aku merasakan kehidupan di antara mereka. Sekedar mereka berbicara dengan ibunya, atau perselisihan kecil  juga tak apa-apa.

Menempuh perjalanan jauh. Kerap mereka bersendal jepit. Membawa kantong kresek besar kosong. Payung hitam selalu menemani.

Aku ingin menceritakan tentang mereka.

Perhitungan sama Allah Swt

Kita melakukan aktivitas yang sifatnya keduniawian tak pernah mengeluh sedikitpun. Karena targetnya jelas dalam ukuran rupiah. Meski lelah dan letih tak pernah ia berucap untuk beralih darinya. Tak pernah kita hitung-hitungan.

Logikanya masih linier. Tak pernah lelah untuk mengejar materi, seolah hidup selamnya. Boleh saja. Asal Equel.

Coba sesekali gunakanlah logika terbalik. Agar tak pernah lelah dalam ibadah. Tak terdengar keluhan. Allah tak pernah hitungan dengan kita. Justru kitalah yang pelit sama Allah. Hitung-hitungan terus sama Allah.

Jumat, 10 Mei 2019

Interval

Interval mengambil jejak untuk rehat sejenak. Sekedar memperoleh tenaga lalu beraktivitas kembali.

Dalam hal perasaan juga sama. Rehat sejenak untuk mengambil kesempatan berpikir apakah perasaannya sama atau berbeda.

Interval amatlah bijak untuk mengawasi diri kita agar tak terlanjur membiarkan kebiasaan buruk apapun itu. Lalu beranjak kepada hal yang mengupgrade tentang nilai pribadi.